Anda di halaman 1dari 23

ARSITEKTUR PERILAKU

“PREFERENSI DAN KOGNISI”

DOSEN :

Dr. Eng. I WAYAN KASTAWAN, ST., MA

KELOMPOK 3

MAHASISWA :

I WAYAN SUMADIYASA (1605522023)

I MADE YOGA PRADNYANA (1605522027)

DEWA ALIT BAGIADA (1605522028)

I GEDE KRISTIADA PUTRA (1605522031)

PUTU AIRLANGGA BONANZA. J.(1605522091)

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa ( Tuhan Yang Maha
Esa ) karena rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Makalah ini dibuat guna memenuhi mata kuliah
Arsitektur Perilaku. Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah terlibat dalam
pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pegetahuan. Kami menyadari bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah ini.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Denpasar, September 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................1

1.4 Manfaat Penulisan............................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................3

KAJIAN PUSTAKA..................................................................................................................3

2.1 Arsitektur Perilaku...........................................................................................................3

2.2 Preferensi..........................................................................................................................3

2.2.1 Definisi Preferensi.....................................................................................................3

2.2.2 Preferensi Lingkungan..............................................................................................4

2.2.3 Preferensi dan Desain................................................................................................5

2.3 Kognisi.............................................................................................................................7

2.3.1 Definisi Kognisi........................................................................................................7

2.3.2 Fungsi-Fungsi Kognisi..............................................................................................8

2.3.3 Kognisi Lingkungan................................................................................................10

2.3.4 Cognition With Cognitive.......................................................................................11

2.3.5 Peta Mental..............................................................................................................11

BAB III.....................................................................................................................................15

STUDY KASUS......................................................................................................................15

3.1 Kasus Preferensi.............................................................................................................15

3.2 Kasus Kognisi................................................................................................................17

ii
BAB IV....................................................................................................................................18

PENUTUP................................................................................................................................18

4.1 Kesimpulan....................................................................................................................18

4.2 Saran...............................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................19

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seorang arsitek merancang suatu bangunan didasari oleh suatu pemikiran atau ide
gagasan. Dalam mencari suatu inspari atau mengembangkan suatu desain yang sedang di
kerjakan arsitek tidak lepas dari rasa mencari tahu atau belajar. Berbagai cara dilakukan
dalam mempelajari sesuatu dan juga dalam mencari suatu ide gagasan yang berhubungan
perancangan arsitektur. Salah satu contohnya adalah observasi suatu project sejenis atau
membaca literatur yang berkaitan dengan project yang sedang dikerjakan. Metode
seorang arsitek memahami atau mempelajari sesuatu tersebut merupakan suatu
pengembangan kognisi dalam perilaku arsitek tersebut. Perkembangan kognisi memang
merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh seorang arsitek dalam proses
merancang suatu bangunan. Karena cara arsitek mempelajari atau memahami sesuatu
sangat menentukan dari keberhasilan proses kerja arsitek itu sendiri. Melalui makalah ini
kami akan mencoba mengangkat materi tentang kognisi yang berhubungan dengan
arsitektur perilaku.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian dari Arsitektur Perilaku?


2. Apa pengertian dari Kognisi dan Prefensi?
3. Bagaimana hubungan kognisi dalam arsitektur?
4. Bagaimana hubungan preferensi dalam arsitektur?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan sebagai berikut :

1. Mengetahui pengertian dari Arsitektur Perilaku


2. Mengetahui pengertian dari Kognisi dan Preferensi
3. Mengetahui hubungan kognisi dalam arsitektur
4. Mengetahui hubungan preferensi dalam arsitektur

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk menggali dan menjabarkan pengertian kognisi
dan preferensi serta hubungan preferensi dan kognisi dalam arsitektur. Dari makalah ini
kami harap dapat menambah wawasan mengenai kognisi dan preferensi dan berguna

1
dalam proses pembelajaran atau perkuliahan dan mampu menerapkannya dalam
perancangan.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Arsitektur Perilaku
Definisi Arsitektur Perilaku sebagai berikut:

a. J. B. Watson (1878-1958) memandang psikologi sebagai ilmu yang mempelajari


tentang perilaku karena perilaku dianggap lebih mudah diamati, dicatat, dan diukur.
Arti perilaku mencakup perilaku yang kasat mata seperti makan, menangis, memasak,
melihat dan bekerja. Sedangkan perilaku yang tidak kasat mata seperti fantasi,
motivasi dan proses yang terjadi pada seseorang diam atau secara fisik tidak bergerak.
b. Heimsath (1988) menyatakan bahwa arsitektur yang berwawasan perilaku berarti
mengenali secara lebih mendalam para calon pemakai suatu lingkungan buatan. Ilmu
perilaku merupakan bidang ilmu yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman
mengenai kegiatan manusia, sikap dan nilai-nilai.
c. Joyce Marcella Laurence (Arsitektur Perilaku Manusia:1) menunjukan manusia dalam
aksinya, berkaitan dengan semua aktivitas manusia secara fisik : berupa interaksi
manusia dengan sesamanya atau dengan lingkungan fisiknya. Di sisi lain, desain
arsitektur akan menghasilkan suatu benuk fisik yang bisa dilihat dan bisa dipegang.
Karena itu, hasil desain arsitektur dapat menjadi salah satu fasilitator terjadinya
perilaku, namun juga bisa menjadi penghalang terjadinya perilaku.

Perilaku bervariasi dengan klasifikasi: kognisi, efektif dan psikomotorik, yang


menunjukan pada sifat rasional, emosional dangerakan fisik dalam berperilaku. Perilaku
bisa disadari dan tidak disadari

2.2 Preferensi
2.2.1 Definisi Preferensi
Preferensi adalah hak (untuk) didahulukan dan diutamakan, diprioritaskan, pilihan
kecenderungan atau kesukaan dalam menggunakan atau memanfaatkan suatu barang atau
jasa. Preferensi adalah suatu bentuk pernyataan yang menyatakan perasaan lebih suka dari
yang lainnnya yang bersifat individual (subyektif). Dalam kamus Bahasa Indonesia kata
preferensi memiliki arti sebagai berikut:

a. (hak untuk) didahulukan dan diutamakan dari pada yang lain; prioritas
b. pilihan; kecenderungan; kesukaan.

3
Scott (1974) mengatakan, arsitektur hendaknya mempunyai tujuan yang humanis. Bagi
Norberg Schulz (1986), tugas para perancang adalah menyediakan suatu pegangan
eksistensial bagi pemakainya agar dapat mewujudkan cita-cita dan mimpinya. Sementara
itu, Charles Jencks (1971) menambahkan bahwa dalam masyarakat pluralis, arsitek
dituntut untuk mengenali berbagai konflik dan mampu mengartikulasikan bidang sosial
setiap manusia pada setiap situasi tertentu. Atau dengan kata lain, membuat desain yang
tanggap sosial. Salah satu cara untuk mewujudkan suatu desain yang tanggap sosial
adalah mempelajari dengan baik preferensi pengguna, karena jika dalam proses
perancangan arsitek hanya memperhitungkan ketentuan maupun standar secara fisik, akan
memungkinkan terjadinya banyak kegagalan dalam desain.

2.2.2 Preferensi Lingkungan


Preferensi lingkungan merupakan hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap
lingkungannya. Merupakan respon manusia terhadap lingkungan yang bergantung pada
bagaimana individu tersebut mempersepsi serta mendeskripsi lingkungan. Salah satu hal
yg dipersepsi manusia terhadap lingkungannya adalah ruang (space) disekitarnya. Dapat
diungkapkan dengan proses membandingkan, kondisi ini menyebabkan penguna
membandingkan satu stimulan dengan stimulan yang lain. Dari hasil perbandingan
tersebut pengguna menetapkan mana yg lebih nyaman,indah dan lain sebagainya.

Berlyne (1960) menyebutkan empat kriteria preferensi lingkungan, yaitu kompleksitas


(complexity), kebaruan (novelty), keganjilan (incongruity) dan keterkejutan
(surprisingness)

a. Complexity (kompleksitas) : jenis / ragam dari komponen komponen pembentuk


lingkungan,semakin beragam semakin baik. Contoh : tanaman yang beragam
dianggap lebih indah dari pada sekelompok tanaman yang homogen
b. Novelty (kebaruan) : suatu tingkat keunikan dari sebuah objek terhadap
lingkungannya. Sejauh mana lingkungan tersebut mengandung ragam unik yang tidak
ada tempat lain. Contoh restoran mengapung di air lebih menarik dari pada restoran di
darat.
c. Incongruity (ketidaksenadaan) : ketidaksesuiaan terhadap konteks lingkungan. Contoh
: sebuah monumen tinggi menjulang di tengah ruang terbuka, pemandangan yang
menarik karena tidaksenadaannya dengan lingkungan
d. Surprisingness (keterkejutan) : komponen yang membuat pengguna merasa tertarik
karena menimbulkan keterkejutan pada suatu setting. Contoh :ketika berjalan di

4
ruangan sempit secara tidak disadari ruang tersebut mengarah ke ruang yang bersifat
sebaliknya sehingga menimbulkan keterkejutan

2.2.3 Preferensi dan Desain


Yang harus diperhatikan dalam desain adalah dengan tidak memaksakan pemuasan
estetika sebagai kebutuhan dasar, tetapi lebih mempertimbangkan keindahan sebagai
salah satu syarat desain yang baik. Untuk memusatkan perhatian mengenai hirarki
kebutuhan manusia dalam perancangan, arsitek harus berpikir akan kebutuhan pengguna
dan bukan kebutuhan manusia secara umum. Arsitek dapat dapat mencatat apa yang
sesungguhnya menjadi preferensi dari pengguna. Karena beragamnya preferensi dan
tingkat kebutuhan seseorang maka akan sangat bermanfaat jika dilakukan penelitian
pengguna secara kasus demi kasus,daripada memakai data secara umum.

Randy Hester seorang arsitek lanskap mengatakan perancang pada umumnya lebih
menekankan pentingnya activity setting, sementara itu pemakai lebih
mempertimbangkan siapa saja orang yang memakai fasilitas itu, atau dengan siapa
mereka akan bersosialisasi dalam penggunaan fasilitas itu Sehingga terlihat adanya
perbedaan prioritas pemenuhan kebutuhan dasar. Begitu pula dengan cara orang
memenuhi kebutuhan yang sama sekalipun,misalnya dalam mengekspresikan status bisa
berbeda dengan yang lain. Ada yang menggunakan cara memakai barang barang
bermerk, menjabat suatu posisi penting, ataupun mengikuti keanggotaan klub tertentu.

Meskipun pola aktivitas tertentu pada umumnya dapat langsung diterapkan dalam
perancangan suatu lingkungan, mungkin saja terjadi bahwa lingkungan yang dirancang
berbeda dengan asumsi terdahulu yang pernah dibuat karena latar belakang yang berbeda
dapat pula melahirkan preferensi yang berbeda. Misalnya dalam perancangan sebuah
tempat perkemahan, akan ada berbagai preferensi orang berkemah.

5
Gambar 1 : Pola aktivitas

Sumber: www.slideshare.net/

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disumpulkan faktor faktor yang


mempengaruhi preferensi seseorang antara lain

a. Pengalaman individual
b. Kondisi fisik individu
c. Latar belakang budaya
d. Faktor psikologi individu
e. Faktor lingkungan
f. Waktu

Pengamatan suatu behavior setting dapat membantu arsitek untuk mengerti preferensi
pengguna karena preferensi terekspresikan dalam perilaku. Apabila kompetensi
pengguna meningkat maka penggunaan penggunaan lingkungan pun akan menjadi
semakin luas. Sebaliknya menurunnya tingkat kompetensi pengguna, misalnya karena
faktor usia atau cacat fisik, akan menyebabkan penggunaan lingkungan lebih terbatas.
Kontribusi studi perilaku-lingkungan pada desain arsitektur adalah memberi masukan
mengenai masalah masalah yang sesungguhnya harus diselesaikan. Tanpa mengetahui
ini, desain arsitektur akan membuat solusi yang tidak bermanfaat. Dengan pendekatan
studi perilaku-lingkungan yang memerlukan penelitian, pengamatan, atau teknik untuk
dapat menentukan preferensi pengguna diharapkan lingkungan fisik yang dirancang
mampu memaksimalkan kebebasan bagi penggunanya untuk memilih cara mereka hidup

6
dan membuka peluang perilaku dan perseptual untuk mengakomodasikan sebanyak
mungkin kebutuhan pengguna.

2.3 Kognisi
2.3.1 Definisi Kognisi
Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses
berpikir tentang seseorang atau serius. Proses yang dilakukan adalah memperoleh
pengetahuan dan manipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis,
memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan
kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau intelegensi. Bidang ilmu yang
mempelajari kognisi beragam, diantaranya psikologi, filsafat, komunikasi, neurosains,
serta kecerdasan buatan.Kepercayaan/pengetahuan seseorang tentang sesuatu dipercaya
dapat memengaruhi sikap mereka dan pada akhirnya memengaruhi perilaku/tindakan
mereka terhadap sesuatu. Mengubah pengetahuan seseorang akan sesuatu dipercaya
dapat mengubah perilaku mereka.

Kognisi juga merupakan suatu proses mental yang dengannya seorang individu
menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya baik lingkungan
dalam maupun lingkungan luarnya (fungsi mengenal). Bagian-bagian dari proses kognisi
bukan merupakan kekuatan yang terpisah-pisah, tetapi sebenarnya ia merupakan cara
dari seorang individu untuk berfungsi dalam hubungannya dengan lingkungannya. Proses
kognisi meliputi sensasi, persepsi, perhatian ingatan Asosiasi, pertimbangan, pikiran dan
kesadaran. (Yosep,2007) Kognisi mempunyai istilah ilmiah untuk proses berpikir
(process of thought). Secara etomologis berasal dari bahasa latin cognoscere yang artinya
mengetahui, to how recognize.

Istilah kognisi berasal dari Bahasa latin cognoscere yang artinya mengetahui.
Kognisi dapat pula diartikan sebagai pemahaman terhadap pengetahuan atau kemmpuan
untuk memperoleh pengetahuan. Istilah ini digunakan oleh filsuf untuk mencari
pemahaman terhadap cara manusia berfikir. Karya Plato dan Aristoteles telah memuat
topik tentang kognisi karena salah satu tujuan filsafat adalah memahami segala gejala
melalui pemahaman ari manusia itu sendiri.

Kognisi dipakai sebagai proses mental karena kognisi mencerminkan pemikiran dan
tidak dapat diamati secara langsung. Oleh karena itu kognisi tidak dapat diukur secara

7
langsung, namun melalui prilaku yang di tampilkan dapat di pahami dan dapat diamati.
Misalnya kemampuan anak untuk megingat angka 1-10 atau kemampuan untuk
menyelesaikan teka-teki, kemampuan menilai prilaku yang patut dan tidak untuk
diamati.Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kognisi maka berkembanglah psikologi
kognitif yang menyelidiki tentang proses berfikir manusia. Proses kognitif
menggabungkan antara informasi yang di terima melalui indera tubuh manusida dengan
informasi yang telah disimpan diingatan jangka panjang. Kedua informasi tersebut dolah
di ingatankerja yang berfungsi sebagai tempat pemerosesan informasi. Kapabilitas
pengelolahan ini dibatasi oleh kapasitas ingatan kerja dan factor waktu. Proses
selanjutnya adalah pelaksanaan tidakan yang telah diilih. Tindakan dilakukan
mencangkup proses kognitif dn proses fisik dengan anggota tubuh manusia (jari, tangan,
kaki dan suara) . Tindakan dpat juga berupa tindakan pasif , yaitu melanjutkan pekerjaan
yang telah dilakukan sebelumnya.

Faktor yang mempengaruhi kesulitan dan kecepatan pemilihan dan pelaksanaan


respon adalah komplektitas keputusan , perkiraan terhadap respon trade-off kecepatan
dan alkurasi dan feedback yang diperoleh ( Groover, 2007. ). Kompleksitas keputusan di
pengaruhi oleh jumlah tindakan yang mungkin dipilih, yang juga berpengaruh terhadap
lamanya waktu pengambilan keputusan. Perkiraan terhadap respon dipengaruhi oleh
informasi yang diterima jika informasi yang diterima telah diperkirakan sebelumnya,
pemrosesan informasi akan lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diperkirakan.
Trade-off antara kecepatan dan akurasi merupakan korelasi negative antara keduanya
pada pemilihan dan pelaksanaan respon. Dalam beberapa situasi, semakin cepat seorang
memilih respon, kemungkinan kesalahan terjadi meningkat. Feedback merupakan efek
yang di ketahui oleh seorang sebagai verifikasi atas tindakan yang dilakukannya.
Rentang waktu antara tindakan dengan feedback harus diminimalisasi.

2.3.2 Fungsi-Fungsi Kognisi

Adapun Fungsi kognisi sebagai berikut :

a. Atensi dan kesadaran


Atensi adalah pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah besar
informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan dan proses
kognitif lainnya. Atensi terbagi menjadi atensi terpilih (selective attention)dan atensi

8
terbagi (divided attention). Kesadaran meliputi perasaan sadar maupun hal yang
disadari yang mungkin merupakan fokus dari atensi.
b. Persepsi
Persepsi adalah rangkaian proses pada saat mengenali, mengatur dan memahami
sensasi dari panca indera yang diterima dari rangsang lingkungan. Dalam kognisi
rangsang visual memegang peranan penting dalam membentuk persepsi. Proses kognif
biasanya dimulai dari persepsi yang menyediakan data untuk diolah oleh kognisi.
c. Ingatan
Ingatan adalah saat manusia mempertahankan dan menggambarkan pengalaman masa
lalunya dan menggunakan hal tersebut sebagai sumber informasi saat ini. Proses dari
mengingat adalah menyimpan suatu informasi, mempertahankan dan memanggil
kembali informasi tersebut. Ingatan terbagi dua menjadi ingatan implisit dan eksplisit.
Proses tradisional dari mengingat melalui pendataan penginderaan, ingatan jangka
pendek dan ingatan jangka panjang.
d. Bahasa
Bahasa adalah menggunakan pemahaman terhadap kombinasi kata dengan tujuan
untuk berkomunikasi. Adanya bahasa membantu manusia untuk berkomunikasi dan
menggunakan simbol untuk berpikir hal-hal yang abstrak dan tidak diperoleh melalui
penginderaan. Dalam mempelajari interaksi pemikiran manusia dan bahasa
dikembangkanlah cabang ilmu psikolinguistik
e. Pemecahan masalah dan kreativitas
Pemecahan masalah adalah upaya untuk mengatasi hambatan yang menghalangi
terselesaikannya suatu masalah atau tugas. Upaya ini melibatkan proses kreativitas
yang menghasilkan suatu jalan penyelesaian masalah yang orisinil dan berguna.
f. Pengambilan keputusan dan penalaran
Dalam melakukan pengambilan keputusan manusia selalu mempertimbangkan
penilaian yang dimilikinya. Misalnya seseorang membeli motor berwarna merah
karena kepentingan mobilitasnya, dan kesenangannya terhadap warna merah. Proses
dari pengambilan keputusan ini melibatkan banyak pilihan. Untuk itu manusia
menggunakan penalaran untuk mengambil keputusan. penalaran adalah proses evaluasi
dengan menggunakan pembayangan dari prinsip-prinsip yang ada dan fakta-fakta yang
tersedia. Penalaran dibagi menjadi dua jenis yaitu penalaran deduktif dan penalaran
induktif.

2.3.3 Kognisi Lingkungan


Kognisi lingkungan atau environmental cognition adalah suatu proses memahami
(knowing, understanding) dan memberi arti (meaning) terhadap lingkungan. Proses ini

9
dalam kajian arsitektur lingkungan dan prilaku, sangatlah peting karena merupakan
suatu proses yang menjelaskan mekanisme hubungan antara manusia dengan
lingkungan. Rapoport (1997) mengatakan bahwa konsep kognisi lingkungan
dikembangkan oleh kpara ahli psikolgi dan antropologi. Para psikolog mengartikan
kognisi lingkungan lebih sebagai proses mengetahui dan memahami (knowing and
understanding) lingkungan oleh manusia, seangkan ara antropolog lebih melihatnya
sebagai proses pemberian arti atau makna tehadap suatu lingkungan. Proses kognisi
lingkungan ini penting, oleh karena itu, keita manusia ingin membentuk atau
mengubah lingkunganya kognisi lingkungan ini bekerja dan menentukan produk dari
lingkungan yang akan di ciptakan.Di dalam proses kognisi ini, strukur dan rangkuman
subjective mengenai pengetahuan , pemahaman, dan pemaknaan terhadap suatu
lingkungan di sebut sebagai schemata. Dengan kata lain schemata diartikan sebagai
kerangka dasar dimana rangkuman pengalaman terhadap lingkungan baik yang pernah
dialami maupun yang sedang dialami terkonstruksikan. Schemata sering juga
diartikan sebagai proses coding yang memungkinkan indifidu menyerap, memahami,
dan mengartikan lingkungan yang ia hadapi.

Kerangka teoritik kognisi lingungan dan prilak ini oleh Gold dapat dilihat pada
gambar berikut:

Gambar 2 : Kerangka Teori Kognisi

Sumber: www.slideshare.net/

Kognisi Lingkungan yang sifatnya abstrak ini , dapat diproyeksikan secara spasial.
Kognisi spasial berkiatan dengan cara kita memperoleh , mengorganisai , menyimpan
dan membuka kembali informasi mengenai lokasi , jarak dan tatanan di lingkungan
fisik. Termasuk di dalamnya ada prihal penyelesaian masalah navigasi , mengatasi
kekacauan , mencari jalan keluar atau menolak informasi tentang jalan keluar yang

10
semuanya berkaitan dengan lingkungan fisik sehari-hari. Termasuk juga rambu-rambu
pictorial image , dan sematic di dalam benak seseorang.

2.3.4 Cognition With Cognitive


Pada dasarnya kognisi dan kognitif sama, artinya pun sama. Kognitif berarti proses
berfikir atau proses menangkap, menyimpan/mengelola, sampai menggunakan
kembali informasi. Istilah “ cognitive” berasal dari kata cognition. Dalam arti yang
luas Neiser menjelaskan, cognition ( kognisi ) ialah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi
salah satu dominan atau wilayah/ranah psikologis manusia menurut Chaplin hal
tersebut meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi pemecahan masalah, kesenjangan dan
keyakinan.

2.3.5 Peta Mental


Didalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, kognisi spasial disebut sebagai
peta mental. Peta mental atau sering disebut sebagai cognitive maps, didefinisikan
sebagai gambaran spasial yang spesifik terhadap suatu lingkungan, dan berpengaruh
terhadap pola perilaku seseorang. David Stea ( 1975 ) mendefinisikan peta mental
sebagai suatu proses yang memungkinkan kita mengumpulkan, mengorganisasikan,
menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali informasi tentang
lokasi relative, dan tanda tentang lingkungan geografis. Semua informasi yang
diperoleh disimpan dalam suatu sytem struktur yang selalu dibawa dalam benak
seseorang, dan sampai batas tertentu struktur ini berkaitan dengan lingkungan yang
diwakilinya. Dalam proses ini yang berfungsi bukan hanya indra penglihatan saja,
seorang tuna netrapun bisa membuat peta mental tanpa memakai indra penglihatan
sama sekali. Hasil rekaman dari indra-indra lainnya, seperti bau sampah, harumnya
masakan direstoran atau suara bising, kemudian dihubungkan satu sama lain sehingga
menghasilkan sebuah gambar peta dalam ingatan mereka. Semakin banyak masukan
dan semakin lama kita mengenal suatu daerah maka semakin terinci dan baik peta
mental kita. Kadang terjadi perbedaan peta mental dengan kenyataan, hal ini
menunjukkan bahwa peta mental itu sangat subjektif, apa yang dirasakan penting oleh
seseorang akan digambarkan dengan jelas, berukuran besar, dan sebaliknya suatu
yang dianggapnya kurang penting digambarkan kecil, karena peta mental ini peta
pengalaman, bukan peta berdasarkan ukuran yang presisi.

11
a. Fungsi Peta Mental

Beberapa fungsi peta mental:

1. Sebagai mental setting untuk antisipasi bertindak


Peta mental ( mental image ), mengenai lingkungan yang diantisipasi untuk
melakukan tindakan, diperlukan manusia untuk merencanakan perilaku.
Seseorang pilot tidak bisa mengemudikan pesawat jika tidak mempunyai ide
spasial yang menghubungkan dia dengan mesin dan mesin dengan
lingkungan,demikian juga bagi seseorang untuk mempergunakan gedung atau
jalan dikota, diperlukan mental image mengenai lingkungan yang bersangkutan.
2. Sebagai mediasi persepsi
Selain sebagai mental setting untuk antisipasi bertindak, peta mental
memungkinkan orang menandai, menstrukturisasikan, dan menyimpan informasi
visual dan spasial, dan mengatur responnya terhadap objek yang dilihatnya.
Melalui pengalamannya, peta mental ini menjadi pengukur signifikasi lingkungan
bagi hidup seseorang.
3. Sebagai tujuan komunikasi dan menunjukkan identitas diri
Fungsi peta mental juga untuk tujuan komunikasi, bahkan untuk menunjukkan
identitas diri, misalnya Bali dengan Pura, Surabaya dengan Tugu Pahlawan, Paris
dengan Menara Eifel dan sebagainya. Agar peta mental tersebut berguna maka ia
harus mampu memprediksikan sesuatu, artinya tidak cukup dengan jaringan
image. Image tentang lingkungan saat ini harus diasosiasikan dengan image
mengenai objek dan peristiwa yang mungkin akan ada. Demikian pula penelitian
peta mental akan bermanfaat bagi perencana dan arsitek apabila mampu
memprediksikan perilaku atau respon pengguna lingkungan baru diwaktu yang
akan mendatang
b. Unsur-Unsur Peta Mental
Lynch (1960) dan Holahan (1982) mengemukakan bagaimana cara mengukur peta
mental yang terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut :
1. Tanda-tanda yang mencolok (landmark), yaitu bangunan atau benda-benda alam
yang berbeda dari sekelilingnya dan terlihat dari jauh. Misalnya gedung, patung,
tugu, jembatan, jalan layang, pohon, penunjuk jalan, dan sungai.
2. Jalur-jalur jalan atau penghubung (paths) yang menghubungkan satu tempat
dengan tempat yang lainnya.
3. Titik temu antar jalur jalan (nodes), misalnya perempatan dan pertigaan.
4. Batas-batas wilayah (edges) yang membedakan antara wilayah yang satu dengan
wilayah lainnya. Misalnya, daerah permukiman dibatasi oleh sungai, daerah

12
pertokoan dibatasi oleh gerbang tol menuju parkir, atau pagar lapangan golf yang
luas membatasi wilayah perindustrian dari wilayah permukiman.
5. Distrik (district), yaitu wilayah-wilayah homogen yang berbeda dari wilayah-
wilayah lain. Misalnya, pusat perdagangan ditandai oleh bangunan-bangunan
bertingkat dengan lalu lintas yang padat dan daerah kantor-kantor kedutaan besar
negara asing ditandai oleh rumah-rumah besar dengan halaman luas serta jalan-
jalan lebar.
c. Faktor Pengaruh Individual Dalam Peta Mental

Peta mental suatu kota dapat dapat di kategorikan menjadi, yakni peta mental
penduduk kota tersebut, serta peta mental pengunjung. Keduanya dapat mirip tetapi
cenderung berbeda, terutama Karena tingkat interaksi antara keduanya berbeda.
Pengunjung terutama, hanya mempunyai kesempatan untuk mengunjungi pusat kota,
atau beberapa lokasi yang menarik untuk di kunjungi, sehingga peta mentalnya
cenderung terbatas pada bagian-bagian yang mereka pernah lihat.Proses kognisi
seseorang atau proses pembentukan peta mental atau image terhadap suatu lingkungan
bukan lagi suatu proses yang independent. Dengan kata lain, kemajuan teknologi
komunikasi dan media massa, proses pembentukan mental seseorang cenderung
dipengaruhi atau di manipulasi oleh pihak lain.Penelitian mengenai peta mental ini
memberi penelitian bagaimana menciptakan bangunan atau lingkungan yang mudah
dilihat dan diingat, sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman seseorang yang
memaakainya terutama pada fasilitas public. Seberapa jelas sebuah lingkungan harus
dibuat, seberapa jauh diharapkan orang mengeksplorasi lingkungan dengan rasa ingin
tahu, itu adalah desain. Pengalaman akan peta mental inilah yang diharapkan dapat
membekali perancang lingkungan untuk bekarya.

1. Conclusion
Arsitektur prilaku merupakan arsitektur yang menerapkan dan menyertakan
pertimbangan-pertimbangan ke dalam suatu perancangan. Pertimbangan-
pertimbangan ini merupakan dasar awal yang dibutuhkan untuk merancang suatu
objek-objek dalam arsitektur. Objek-objek tersebut dirancang dengan melalui
pentdekatan-pendekatan prilaku yang di Analisa dengan diamati terlebih dahulu.
Pertimbangan dalam memutuskan sesuatu didorong oleh kognisi atau
kepercayaan seseorang yang didapat dari proses berpikir untuk mendapatkan
pengetahuan. Pengetahuan tersebut kemudian dimanipulasi melalui aktivitas-

13
aktivitas sperti mengingat, memahami, menganalisis, menilai, membayangkan,
merasakan serta berbahasa. Kognisi juga merupakan usaha menggali sesuatu melalui
pengalaman pribadi sehingga dari pengetahuan yang ada dan pengalaman yang
dimiliki jika dihubungkan dengan bidang arsitektur saat merancang suatu objek,
ruang-ruang yang diciptakan berdasarkan norma, nila-nilai budaya dan nilai-nilai
psikologis manusia yang selanjutnya ruang-ruagn tersebut akan membentuk setting
tersendiri dalam hidup manusia.
2. Suggestion
Sebaiknya sebagai seorang srsitek dalam merancang suatu objek dilakukan
dengan pertimbangan-pertimbangan yang didasari oleh kognisi baik melalui Analisa,
pendekatan, serta pengalaman pribadi sehingga mampu menciptakan ruang-ruang
maupun wadah hidup manusia berdasarkan norma, nilai-nilai budaya dan nilai
psikologis manusia.

14
BAB III
STUDY KASUS
Pada study kasus ini objek yang kami gunakan ialah Kampus Teknik Bukit, Jimbaran yaitu
ruangan Studio dan area sekitaran dari Ruang Dosen Jurusan Teknik Arsitektur.

3.1 Kasus Preferensi

Gambar 3 : Ruangan Studio Kampus Bukit

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4 : Ruangan Studio Kampus Bukit

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar diatas merupakan salah satu Gedung ataupun Ruangan Studio Arsitektur yang
terdapat di Kampus Bukit, Jimbaran. Pada kasus preferensi ini saya memberikan kuisioner
pada beberapa mahasiswa, dimana mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa Arsitektur
angkatan 2015, 2016 dan 2017 yang menggunakan ruangan tersebut. Kuisioner yang saya

15
berikan yaitu berupa kuisioner terbuka, dan berikut merupakan tanggapan dari beberapa
mahasiswa yang saya ajukan pertanyaan :

Q : Ruang studio arsitektur bagaimana yang anda inginkan ?

Responden 1 : Ruang studio arsitektur yang saya inginkan yaitu ruangan yang luas,
mendapatkan cahaya cukup, keadaan ruangan yang sejuk, terdapat meja
dimana 1 meja digunakan oleh 1 orang mahasiswa.

Responden 2 : Ruang studio yang nyaman dan fasilitasnya lengkap seperti meja gambar,
kursi, dan pendingin ruangan.

Responden 3 : Ruangan yang bersih, suhu ruangan terjaga, intensitas cahaya mencukupi,
sarana dan prasarana pembelajaran yang menunjang dan mendukung
aktifitas menggambar mahasiswa.

Responden 4 : Ruangan yang rapi, bersih, luas, nyaman, pencahayahan dan penghawaan
yang baik, juga lengkap dengan furniturenya dan layak digunakan.

Responden 5 : Ruangan yang sejuk dengan keadaan sarana pembelajaran berupa meja dan
kursi yang layak juga pencahayaan yang baik berupa bukaan yang besar –
besar.

Responden 6 : Ruangan studio yang memiliki sirkulasi udara yang baik, dilengkapi dengan
fasilitas yang memadai, serta berisi pendingin ruangan.

Responden 7 : Ruangan yang diinginkan yaitu ruangan yang bersih dan nyaman untuk
proses belajar.

Jadi dari semua tanggapan dari responden diatas hampir memiliki kesamaan antar
responden. Setiap responden menginginkan ruangan yang luas, bersih, nyaman, sejuk,
pencahayaan yang baik dan tentunya sarana pembelajaran yang baik dan layak digunakan.

16
3.2 Kasus Kognisi

Gambar 5 : Area sekitar Kampus Bukit

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Foto diatas merupakan area sekitar Kampus Teknik Bukit, Jimbaran antara gedung
milik Jurusan Teknik Mesin dan gedung milik Jurusan Teknik Arsitektur yang dibatasi jalan
menuju Gedung Studio Arsitektur. Berikut penjabaran mengenai unsur – unsur peta mental
pada objek tersebut.

Pada foto diatas dapat dilihat terdapatnya Patung Ganesha, patung ini sendiri dapat
dikatakan sebagai landmark pada titik ini, karena patung ini sangat mencolok dan dapat
dilihat dari kejauhan. Kedua yaitu nodes, nodes sendiri merupakan titik temu pada suatu
tempat. Nah nodes atau titik temu pada foto tersebut dapat dilihat pada tanda ‘+’ yang
berwarna merah. Disana dapat dikatakan titik temu ketika orang yang dating dari kantin
maupun ruang dosen ingin menuju Gedung Studio Arsitektur melalui jalan tersebut.

Selanjutnya yaitu terdapatnya path, atau jalur – jalur penghubung dimana jalur ini
menghubungkan satu tempat dengan tempat lain. Pada foto dapat dilihat adanya jalur – jalur
yang menjadi penghubung baik itu antara Gedung Studio Arsitektur dengan parkiran maupun
dengan kantin.

Dan yang terakhir yaitu batas – batas wilayah atau edges. Nah pada foto dapat dilihat
adanya taman, taman inilah yang menjadi pembatas wilayah. Baik antara bangunan dengan
jalan penghubung, maupun antara bangunan dengan bangunan lainnya.

17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Preferensi adalah suatu bentuk pernyataan yang menyatakan perasaan lebih suka dari
yang lainnnya yang bersifat individual (subyektif). Kognisi adalah kepercayaan seseorang
tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau serius. Kognisi
dipakai sebagai proses mental karena kognisi mencerminkan pemikiran dan tidak dapat
diamati secara langsung. Oleh karena itu kognisi tidak dapat diukur secara langsung, namun
melalui prilaku yang di tampilkan dapat di pahami dan dapat diamati.

Kaitannya dengan desain ialah, seorang arsitek nantinya harus dapat memenuhi
keinginan dari owner dan menerapkannya pada desain yang akan dibuat. Selain itu
bangunan harus jelas dan memili ciri khusus, agar seseorang mudah menemukannya.
Disinilah peranan dari kognisi karena kognisi mencerminkan pemikiran dan tidak dapat
diamati secara langsung. Itulah mengapa pentingnya memperhatikan preferensi dan kognisi
dalam mendesain.

4.2 Saran
Nantinya dalam proses merancang suatu desain bangunan di perlukan tahapan dari
arsitek seperti proses pola pikir yang matang (kognisi) dan melakukan pertemuan dengan
owner atau client guna membahas rancangan desain agar mendapatkan gambaran mengenai
bangunan yang diinginkan oleh si owner ataupun client. Dari sesi inilah penerapan dari
preferensi itu sendiri. Karena itulah pentingnya preferensi dan kognisi, sehingga nantinya
dapat mewujudkan suatu desain yang baik dan nyaman bagi penggunanan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Laurens, J. M. (2005). Arsitektur dan Perilaku Manusia. Surabaya: Gramedia Widiasarana


Indonesia.

Hastjartjo, D. (1994). Arsitektur Kognisi Manusia Menurut Teori ACT. Yogyakarta:


Universitas Gadjah Mada.

Rahmah, Lailatul. (2014). “What is Kognitif?”. https://www.kompasiana.com/lailatul-


rahmah/what-is-kognitif_54f5d371a3331163538b461b, diakses pada 30 November 2017

Anderson, J. R. ( 1983 ). The Architecture of Cognition. Harvard University Press,


Cambrigde, Massa chusetts.

Tutuko, P. (2016, april 30). Kognisi Lingkungan Sebagai Kearifan untuk Pencapaian
Perencanaan dan Perancangan Area Publik.

19

Anda mungkin juga menyukai