Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia kini tengah dihadapkan dalam era yang disebut globalisasi.

Sebuah era yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

(IPTEK), pasar bebas, lahirnya budaya massa dan lain sebagainya. Konsekuensi

logis dari ekses yang ditimbulkan globalisasi tersebut yaitu menyebabkan suatu

kehidupan masyarakat yang dinamis. Secara tidak langsung semua orang dituntut

untuk mengikuti arus perkembangan tersebut, sehingga tak ada pilihan lain bahwa

setiap individu di dalam masyarakat akan menghadapi suatu perubahan-perubahan

dalam segala sendi kehidupan.

Saat ini, perubahan-perubahan memang sedang terjadi dalam skala dan

kecepatan yang lebih. Hampir di setiap wilayah di Indonesia, berbagai perubahan

sosial yang disebabkan globalisasi tersebut memang terjadi. Tak hanya di wilayah

perkotaan, akan tetapi perubahan-perubahan sosial itupun juga terjadi di wilayah

perdesaan. Media komunikasi dan hiburan yang semakin canggih seperti

handphone, radio, televisi dan internet seolah telah menghapus jarak dan sekat

yang ada. Dunia seolah tampak menjadi satu, sehingga informasi di suatu wilayah

dapat dengan cepat diketahui di wilayah lain. Hal inilah yang mendorong

perubahan sosial itu terjadi secara merata di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

14
Selanjutnya dalam konteks kebudayaan sendiri diketahui bahwa

masyarakat beserta kebudayaan yang tercipta di dalamnya tidak akan berhenti

berproses, kecuali apabila masyarakat dan kebudayaan tersebut telah benar-benar

punah. Di Indonesia, sering dikatakan bahwa masyarakat desa sama sekali tidak

berubah atau suku-suku adat yang terasing, sama sekali murni. Sebenarnya hal

tersebut kurang tepat adanya, apalagi jika hanya didasarkan pada sudut pandang

yang sempit. Dalam konteks ini, masyarakat Kampung Naga bukanlah suatu

pengecualian, dimana masyarakat Kampung Naga pun lambat laun mengalami

perubahan dari masa ke masa, bahkan dari hari ke hari.

Masyarakat Kampung Naga kini tengah mengalami suatu paradoks yakni

di satu sisi masyarakat Kampung Naga mulai perlahan-lahan membuka diri

sebagai tujuan wisata, akan tetapi di sisi lain sebelumnya Kampung Naga dikenal

sebagai sebuah wilayah yang berisikan masyarakat adat yang teguh memegang

tradisi dan menjaga kesakralan wilayah mereka 1.

Secara administratif Kampung Naga adalah bagian dari Desa Neglasari,

Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Penamaan

Kampung Naga sendiri tidak ada sangkut-pautnya dengan karakter Naga yang ada

dalam cerita kartun. Kata Naga sebenarnya berasal dari bahasa Sunda yaitu

“Nagawir” yang berarti perkampungan yang berada di gawir atau lembah, dan

memang perkampungan ini berada di lembah, dari situlah masyarakat setempat

memberikan nama pada kampung tersebut yaitu Kampung Naga 2. Daerah inti

1
Maria, Siti. dkk. (1995). Sistem Keyakinan pada Masyarakat Kampung Naga dalam Mengelola
Lingkungan Hidup. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Hal. 11.
2
Ibid.

15
Kampung Naga adalah lahan pemukiman dengan luas sekitar 1,5 hektar. Di area

pemukiman inilah “hukum adat” berlaku.

Terkait sejarah Kampung Naga, sejauh ini asal-usulnya masih belum jelas

dan lebih berupa mitologi. Beberapa pendapat menyebut bahwa leluhur Kampung

Naga adalah prajurit Mataram yang menyerang Batavia pada abad ke-17, akan

tetapi sesepuh Kampung Naga sendiri menolak pendapat itu. Mereka menyatakan

bahwa leluhurnya adalah Sembah Dalem Singaparna dari Kerajaan Galunggung

yang mengasingkan diri dan bersemedi di sebuah daerah yang sekarang menjadi

Kampung Naga3. Hingga saat ini, masyarakat Kampung Naga menganggap

dirinya “pareumeun obor” (kehilangan jejak sejarah). Lepas dari kebenaran

historis cerita di atas, fakta tentang masa lalu Kampung Naga yang masih diliputi

tanda tanya memunculkan kesan (sekaligus pesan) mengenai identitas mereka

sebagai masyarakat adat.

Tidak dipungkiri bahwa dengan keunikan adat dan tradisi yang dimiliki

masyarakat Kampung Naga, menjadikan tempat tersebut sebagai tujuan yang

menarik untuk dikunjungi para wisatawan, entah itu wisatawan dalam negeri

ataupun wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, wajar jika saat ini masyarakat

Kampung Naga dihadapkan pada serbuan perubahan terkait aspek sosial, ekonomi

dan lingkungn fisik yang terjadi di wilayah mereka lewat aktivitas pariwisata

tersebut.

Dampak pariwisata tekait kehidupan sosial mayarakat Kampung Naga

diantaranya adalah dikarenakan banyaknya para wisatawan yang datang dengan

3
Sedyawati, Edi. (2006). Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat dalam buku Arkeologi dari
Lapangan ke Permasalahan. Jakarta: IAAI. Hal. 176-177.

16
membawa berbagai macam nilai dan kebiasaan baru bagi kehidupan sosial

masyarakat setempat, seperti kebiasaan dalam berpakaian, berperilaku, berbicara

dan lain sebagainya, yang lambat laun hal tersebut mulai ditiru oleh penduduk

setempat. Lalu terkait aspek ekonomi, dengan semakin seringnya wilayah

Kampung Naga dikunjungi para wisatawan, otomatis hal tersebut menciptakan

peluang usaha baru bagi masyarakat. Saat ini, mulai banyak masyarakat Kampung

Naga yang menjalani profesi di bidang jasa pariwisata, seperti menjadi tourist

guide, membuka kios-kios makanan, dan menjadi penjual souvenir. Selanjutnya

terakhir, terkait aspek lingkungan fisik, secara kasat mata bisa di lihat bahwa

dengan semakin ramainya aktivitas pariwisata yang terjadi, saat ini lingkungan

fisik di sekitar wilayah Kampung Naga pun mulai mengalami pencemaran,

diantaranya adalah pencemaran udara oleh asap kendaraan pengunjung,

banyaknya sampah yang bertebaran di sekitaran wilayah kampung dan lain

sebagainya.

Sejak dahulu masyarakat Kampung Naga memang telah dikenal sebagai

masyarakat yang sangat memegang teguh adat tradisi leluhur yang telah mereka

jaga selama ratusan tahun, tetapi saat ini dengan semakin tingginya intensitas

pariwisata yang terjadi dan semakin seringnya interaksi antara masyarakat

Kampung Naga dengan para wisatawan, pada akhirnya hal tesebutlah yang

mendorong terjadinya perubahan-perubahan seperti yang telah disebutkan diatas.

Masyarakat Kampung Naga yang semula unik dan khas dengan tradisi

mereka, sedikit demi sedikit mulai berubah, menyesuaikan dengan perkembangan

pariwisata di wilayah mereka. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan

17
lingkungan fisik Kampung Naga yang telah berubah dikarenakan aktivitas

pariwisata inilah yang menarik perhatian penulis. Oleh karena itu berdasarkan

latar belakang diatas, maka penulis hendak mengangkatnya dalam sebuah

penelitian tesis berjudul: "Pariwisata dan Perubahan Sosial di Kampung Naga

Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat".

18
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah bagaimana aktivitas pariwisata dapat mengubah

kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan fisik di Kampung Naga?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum, dalam pelaksanaan penelitian ini penulis mempunyai tujuan

yang hendak dicapai yaitu untuk mendeskripsikan dan menganalisis keberadaan

wilayah adat di tengah hiruk-pikuk globalisasi saat ini. Secara khusus, penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aktivitas pariwisata dapat mengubah

kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan fisik di Kampung Naga.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Manfaat Praktis

a. Bagi Pemerintah

Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait

pola pengembangan kawasan wisata agar sifatnya sustainable

19
dengan memperhatikan semua aspek baik itu aspek ekonomi,

sosial, kultural, dan lingkungan.

b. Bagi Pelaku Bisnis Pariwisata di Kampung Naga

Guna memberikan perhatian kepada pelaku bisnis pariwisata agar

kegiatan bisnis pariwisata yang dilakukan tetap menghargai dan

mengutamakan semangat pelestarian terhadap nilai sosial-budaya

dan konservasi alam di Kampung Naga, disamping penekanan dari

segi komersial.

c. Bagi Masyarakat Kampung Naga

Untuk memberikan masukan pada masyarakat Kampung Naga agar

tetap menjaga nilai-nilai budaya dan sosial luhur yang mereka

miliki serta tetap melestarikan wilayah adat, walau terjadi

gempuran perubahan lewat aktivitas pariwisata di sekitar mereka.

d. Bagi Penulis

Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya perubahan sosial,

ekonomi dan lingkungan fisik bisa terjadi di Kampung Naga

seiring aktivitas pariwisata yang terjadi di wilayah tersebut.

2) Manfaat Teoritis

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Merupakan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam

hal kajian masyarakat adat dikaitkan dengan konsep perubahan

20
sosial. Serta sebagai bahan masukan dalam pengembangan konsep

pariwisata dengan mempertimbangkan aspek sosial, kultural, dan

lingkungan disamping aspek ekonomi.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejumlah tulisan tentang kehidupan masyarakat Kampung Naga telah

banyak dilakukan, tetapi umumnya lebih berkaitan dengan kekhasan masyarakat

Kampung Naga itu sendiri seperti sistem sosial, organisasi sosial kepemimpinan,

lembaga adat, sistem pemerintahan adat, upacara religi, sistem pengetahuan dan

berbagai sistem karakteristik lain yang memberikan kesan tersendiri bagi

masyarakat di luar Kampung Naga.

Sedangkan dalam penulisan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan

bagaimana aktivitas pariwisata dapat mengubah adat, tradisi dan kehidupan sosial

masyarakat di Kampung Naga. Untuk itu, penulis mencari beberapa referensi

penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan tema tersebut, untuk mendapatkan

sudut pandang yang berbeda dan menambah referensi penulis dalam mengerjakan

penelitian ini.

Referensi pertama penulis adalah buku Robert W. Hefner yang berjudul

Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik4. Dalam buku tersebut

ia menggambarkan sejarah tentang keadaan di Pegunungan Tengger, Kabupaten

Pasuruan, sejak jaman kejayaan Hindu di Jawa sampai periode awal Orde Baru.

4
Hefner, Robert W. (1999). Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.
Yogyakarta: LKiS.

21
Hefner menyoroti pasang surut ekonomi di Tengger akibat dari pergantian

penguasa maupun politik, yang pada akhirnya membawa perubahan sosial

budaya di Tengger.

Wilayah Tengger memang dikenal memiliki daya tarik, bukan hanya

terletak pada pemandangan alamnya saja, melainkan juga kekhasan status

keagamaan dan adat-istiadat masyarakatnya. Ketika Bromo-Tengger secara resmi

dijadikan tujuan wisata oleh pemerintah dengan menetapkannya sebagai Taman

Nasional, sejak saat itu pula mulai banyak orang Tengger yang menyediakan

rumah mereka sebagai penginapan bagi para wisatawan, menjadi porter,

menyewakan kuda, juga mengelola mobil jeep dan sepeda motor sebagai sarana

transportasi wisata.

Namun, di balik riangnya kegiatan wisata yang menawarkan masa depan

ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat Tengger, tersimpan suatu hal yang

dilematis, yakni pada satu sisi, meningkatnya pengunjung berarti meningkatnya

pendapatan masyarakat dari sektor wisata. Akan tetapi di sisi lain, seringnya

kunjungan para wisatawan itu berpotensi merusak tanah adat, wilayah keramat,

ekosistem penting, yang pada gilirannya dapat meruntuhkan bangunan sosial dan

identitas masyarakat Tengger. Sehingga saat ini mulai banyak wilayah yang

disebut “Desa Tengger” (desa-desa dalam wilayah 4 kabupaten; Probolinggo,

Pasuruan, Malang, Lumajang) sudah tidak lagi melaksanakan adat-istiadat asli

Tengger.

22
Adapun referensi lainnya adalah jurnal hasil penelitian dari Kusnul Dwi

Anitasari yang berjudul Dari Desa Menjadi Kampung Inggris5. Dalam jurnal ini

Kusnul memaparkan bahwa menjamurnya lembaga kursus bahasa Inggris di Desa

Tulungrejo Pare telah menjadikan desa tersebut dijuluki Kampung Inggris. Seiring

waktu, perkembangan pesat yang dialami Kampung Inggris berdampak pula pada

perubahan sosial dan ekonomi bagi masyarakat Desa Tulungrejo Pare. Hal ini

disebabkan semakin banyaknya para siswa yang datang dari berbagai daerah di

Indonesia bahkan mancanegara untuk belajar ke Kampung Inggris.

Keberadaan Kampung Inggris menjadikan pola kehidupan masyarakat

desa tersebut berangsur-angsur mengalami perubahan dengan ditandai semakin

banyaknya lapangan pekerjaan yang berdiri. Awalnya mayoritas penduduk desa

tersebut adalah petani dan ingon (peternak) sapi, kemudian setelah adanya

lembaga kursus banyak yang mempunyai pekerjaan lain seperti membuka usaha

tempat kos, kios pulsa, warung makan, penyewaan sepeda dan usaha jasa lainnya.

Dengan adanya lapangan pekerjaan baru tersebut, akhirnya mendorong

masyarakat dari luar Desa Tulungrejo Pare berbondong-bondong datang ke desa

tersebut untuk mengambil peluang dari lapangan pekerjaan baru tersebut. Pada

akhirnya di Desa Tulungrejo Pare selain diisi oleh penduduk pribumi juga diisi

oleh penduduk pendatang yang pasti membawa nilai-nilai dan adat kebiasaan baru

bagi masyarakat Desa Tulungrejo Pare itu sendiri. Sehingga hari ini lambat laun

sistem sosial di masyarakat Kampung Inggris Desa Tulungrejo Pare telah

berangsur berubah dari masyarakat desa yang guyub, tenggang rasa dan suka

5
Dwi Anitasari, Kusnul. (2012). Dari Desa Menjadi Kampung Inggris: Kajian Sejarah
Perekonomian Desa Tulungrejo Pare Kediri 1977- 2011. Malang: Universitas Negeri Malang.

23
bergotong-royong menjadi masyarakat yang individualis, menerapkan sistem

ekonomi kapitalistik, materialistik dan selalu mengedepankan profit.

Lalu referensi lainnya adalah dari tulisan Amin Mudzakkir yang berjudul

Antara Masyarakat Adat dan Umat: Masyarakat Kampung Naga dalam

Perubahan6. Dalam tulisannya ini, Mudzakkir menjelaskan bagaimana kelompok

masyarakat adat di Kampung Naga dihadapkan pada suatu problem pelik yaitu

mereka seolah “dipaksa” menjadi objek komoditas pariwisata.

Pada dasarnya masyarakat Kampung Naga hanyalah masyarakat Sunda

biasa, hanya saja bedanya mereka masih memegang tradisi dan adat-istiadat

leluhur sehingga oleh karena itulah mereka dianggap unik dan berbeda dari

masyarakat lainnya, yang berujung pada upaya komersialisasi budaya Kampung

Naga oleh berbagai pihak yang dirasa mengganggu ketentraman dan nilai hidup

masyarakat di Kampung Naga yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

Oleh karena semakin seringnya Kampung Naga didatangi para wisatawan

dari luar kota bahkan luar negeri yang secara tidak langsung membawa nilai-nilai

baru bagi masyarakat Kampung Naga, sehingga lambat laun hal tersebut semakin

mendorong terjadinya perubahan tradisi dan kebiasaan pada masyarakat Kampung

Naga menjadi seperti sekarang.

Selanjutnya literatur lain yang membahas mengenai masyarakat adat dan

perubahan sosial adalah Ade Rohana dalam tulisannya yang berjudul Kebijakan

6
Mudzakkir, Amin. (2012). Antara Masyarakat Adat dan Umat: Masyarakat Kampung Naga
dalam Perubahan dalam Negara, Agama, dan Perlindungan Hak-hak Minoritas. Jakarta: Jurnal
Institut Maarif Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012.

24
Pemerintah Daerah dalam Menangani Komunitas Adat7, ia membahas mengenai

dua karakter komunitas adat apabila dilihat dari sifat-sifat kefanatikannya.

Pertama, komunitas adat yang menutup diri secara budaya, yaitu dengan

menganut nilai-nilai asli (primordial) dan menolak nilai apapun dari luar yang

tidak relevan dengan budaya asli bangsa Indonesia. Kedua, komunitas adat yang

menyesuaikan diri secara kreatif terhadap globalisasi.

Pada pembahasan bukunya, Ade Rohana menjelaskan bahwa dalam

komunitas adat yang kreatif, komunitas tersebut akan menyadari bahwa besar atau

kecil, cepat atau lambat, perubahan dalam komunitas adat itu tidak dapat

dihindarkan. Dalam konteks ini masyarakat adat harus menyadari dan

menyiasatinya lewat nilai lama yang baik (kearifan-kearifan lokal) yang mereka

miliki, dimana kearifan lokal tersebut dapat menciptakan keseimbangan di dalam

kehidupan mereka guna menghadapi masalah-masalah aktual dan kontekstual saat

ini. Oleh karena itu, disini Ade juga menekankan pentingnya peran Pemerintah

Daerah melalui leading sektornya, yang memiliki kewajiban untuk membuat

sebuah kebijakan dalam penanganan komunitas adat, yang pada akhirnya ikut

mendukung eksistensi masyarakat adat itu sendiri hingga saat ini.

Tinjauan pustaka terakhir penulis adalah berasal dari penelitian tesis yang

dilakukan oleh Dasim Budimansyah yang berjudul "Faktor Sosial Budaya dalam

Proses Adopsi Inovasi Teknologi: Suatu Kajian tentang Tradisi dan Perubahan

7
Rohana, Ade. (2010). Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menangani Komunitas Adat.
Makalah "Festival Komunitas Adat". Sumedang: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bandung.

25
pada Masyarakat dan Migran asal Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya"8.

Penelitian yang dilakukan Budimansyah ini lebih menekankan pada bagaimana

masyarakat Kampung Naga (seperti halnya masyarakat lainnya) telah

diperkenalkan kepada unsur-unsur inovasi teknologi baik secara langsung

dilakukan oleh para agen pembaruan, maupun melalui kontak secara alamiah

dengan masyarakat lain (termasuk salah satunya kontak dengan para wisatawan

yang berkunjung ke Kampung Naga).

Selanjutnya Budimansyah juga menjelaskan bagaimana masyarakat

Kampung Naga harus berpikir, merasakan dan bereaksi terhadap rangsangan dari

luar individu dan kelompoknya. Dalam menyikapi hal tersebut masyarakat

Kampung Naga selalu berupaya mendasarkan sikapnya pada nilai-nilai adat

leluhur yang mereka anggap sebagai papagon hirup (pegangan hidup) yang

bersifat proteksionistik. Akan tetapi, dewasa ini masyarakat Kampung Naga

perlahan demi perlahan sedang mengalami perubahan sebagai akibat dari

rangsangan budaya dan nilai dari luar tersebut, salah satunya berupa masuknya

unsur inovasi teknologi pada masyarakat Kampung Naga dimana hal tersebut

sebelumnya termasuk dalam katalog adat yang ditabukan, seperti penggunaan

televisi dan handphone.

Beberapa referensi yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan

bahwa bagaimana pergulatan adat dan tradisi lokal dengan perubahan sosial yang

dibawa lewat aktivitas pariwisata memang telah menjadi polemik bagi masyarakat

8
Budimansyah, Dasim. (1994). Faktor Sosial Budaya dalam Proses Adopsi Inovasi Teknologi:
Suatu Kajian tentang Tradisi dan Perubahan pada Masyarakat dan Migran asal Kampung Naga
di Kabupaten Tasikmalaya. Bandung: Tesis S-2 Program Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas
Padjadjaran.

26
adat pada umumnya. Khususnya kajian mengenai perubahan sosial yang terjadi di

Kampung Naga itu sendiri memiliki perspektif yang cukup beragam. Setiap

penelitian memiliki keunikan tersendiri sehingga dapat membuka realitas sosial

yang terjadi di Kampung Naga itu sendiri.

Terdorong hal itu, penelitian ini bertujuan menggambarkan sisi lain

masyarakat Kampung Naga yaitu tentang perubahan sosial, ekonomi dan

lingkungan fisik sebagai akibat dari aktivitas pariwisata yang terjadi di sekitar

mereka. Penulis juga berharap bahwa penelitan ini dapat menambah keberagaman

dan melengkapi hasil dari penelitian dan tulisan-tulisan yang pernah dilakukan

sebelumnya.

1.6 Kerangka Konseptual

1.6.1 Perubahan Sosial

Perubahan sosial adalah konsep yang membayangkan masyarakat berada

di dalam suatu keadaan yang dinamis atau berproses. Masyarakat dianggap bukan

objek semu yang kaku tetapi sebagai aliran peristiwa terus menerus tiada henti.

Dalam perubahan sosial, masyarakat (baik itu pada tingkat kelompok, komunitas,

organisasi ataupun bangsa) hanya dapat dikatakan ada, sejauh dan selama terjadi

sesuatu didalamnya, seperti adanya tindakan, perubahan, dan proses tertentu yang

senantiasa bekerja. Oleh sebab itu perubahan sosial dapat terjadi pada perubahan

27
lembaga-lembaga kemasyarakatan, yang selanjutnya mempengaruhi kelompok-

kelompok dalam suatu masyarakat.

Dalam kajian ilmu sosial, beberapa tokoh telah menggambarkan secara

detail tentang bagaimana perubahan sosial dalam masyarakat itu terjadi, dimana

salah satu tokohnya adalah Sztompka. Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa

mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya 9. Dalam kajian

sosiologis, perubahan ini dilihat sebagai sesuatu yang dinamis. Dengan kata lain,

perubahan tersebut tidak terjadi secara linear. Sehingga secara umum Sztompka

berpendapat bahwa perubahan sosial dapat diartikan sebagai suatu proses

pergeseran atau berubahnya struktur atau tatanan di dalam masyarakat, meliputi

pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk

mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat 10, yang dimaksud disini adalah

salah satunya dapat dilihat dari perpindahan cara hidup dan bekerja (profesi) dari

suatu masyarakat.

Selanjutnya pendapat Sztompka diatas juga searah dengan pendapat tokoh

perubahan sosial lain yaitu John Farley, dimana ia mengasumsikan bahwa

perubahan sosial merupakan perubahan yang mencakup pola perilaku, hubungan

sosial, lembaga dan struktur sosial, dimana perubahan sosial tersebut dapat terjadi

di dalam atau mencakup sistem sosial tertentu dan dalam jangka waktu tertentu

pula11.

Perubahan sosial juga tidaklah terjadi begitu saja, akan tetapi selalu

mendapat dorongan dan hambatan dari berbagai macam hal. Menurut Sam,
9
Sztompka, Piotr. (2008). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group. Hal. 65.
10
Ibid. Hal. 3.
11
Farley, John E. (1990). Sociology. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Hal. 626.

28
perubahan-perubahan sosial tersebut salah satunya bisa disebabkan oleh lebih

seringnya kontak dengan golongan-golongan sosial atau suku-suku bangsa

lainnya, atau karena masuknya teknologi moderen, media massa dan sekolah 12.

Atau dengan kalimat lain perubahan sosial tersebut dapat terjadi akibat dorongan

dari luar sistem sebuah masyarakat.

Dari konsep perubahan sosial seperti yang disebutkan para tokoh di atas,

hal yang perlu digarisbawahi setiap pengamat perubahan sosial adalah bahwa

dalam setiap perubahan sosial, pasti dengan serta-merta akan membawa

konsekuensi tertentu terhadap struktur sosial atau bahkan sistem sosial suatu

masyarakat secara lebih luas. Oleh karena itu, di dalam konsep perubahan sosial

juga terkandung dimensi penilaian dan pendapat (judgements) dari para pihak

yang terlibat secara langsung ataupun tidak dengan proses perubahan yang

bersangkutan. Termasuk dalam hal ini adalah mereka pengamat atau peneliti

proses perubahan sosial.

Dengan pemahaman seperti di atas, maka dalam konsep perubahan sosial

pada intinya bukanlah terkait permasalahan “ada atau tidak ada” perubahan, tetapi

yang lebih penting adalah seberapa jauh perubahan sosial itu terjadi, bagaimana

arahnya, dan tentu saja pada akhirnya, apa konsekuensi dan hasilnya terhadap

perkembangan struktur sosial yang ada.

Pada perkembangan selanjutnya, perubahan-perubahan sosial yang terjadi

dalam masyarakat tidak hanya terjadi dalam satu bentuk, tetapi dalam beberapa

bentuk. Modernisasi adalah salah satu bentuk dari perubahan sosial tersebut.

12
Sam A, Suhandi. (1986). Tatanan Kehidupan Masyarakat Baduy Daerah Jawa Barat. Bandung:
Depdikbud. Hal. 3.

29
Modernisasi biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah (directed change)

yang didasarkan pada perencanaan (intended atau planned change) yang biasa

dinamakan social planning.

1.6.2 Pariwisata sebagai Bagian dari Modernisasi

Di awal perumusannya tahun 1950-an, teori modernisasi lahir sebagai

tanggapan ilmuwan sosial Barat terhadap apa yang terjadi di Dunia Ketiga setelah

Perang Dunia II. Teori ini muncul sebagai upaya dari Negara Dunia Pertama

untuk memenangkan perang ideologi melawan sosialisme yang pada waktu itu

sedang populer. Bersamaan dengan itu, lahirnya negara-negara merdeka baru di

Asia, Afrika, dan Amerika Latin (bekas jajahan Eropa) juga melatarbelakangi

perkembangan teori ini. Negara Dunia Pertama melihat hal ini sebagai peluang

untuk membantu Negara Dunia Ketiga sebagai upaya stabilitas ekonomi dan

politik. Sehingga teori modernisasi dianggap mampu memberikan solusi untuk

membantu Negara Dunia Ketiga, salah satunya termasuk masalah kemiskinan,

dimana untuk mengatasinya tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-

negara maju, tetapi negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti

nilai-nilai tradisional dan kemudian melembagakan demokrasi politik 13.

Istilah modernisasi sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti maju dan

berkembang, sehingga di dalam modernisasi mengandung makna perubahan. Jika

13
Garna, Judistira K. (1999). Teori Sosial dan Pembangunan Indonesia: Suatu Kajian melalui
Diskusi. Bandung: Primaco Akademika. Hal. 9.

30
kita telusuri tentang batasan modernisasi, maka akan ditemukan kompleksitas

tentang definisi tersebut tergantung dari sudut mana kita memandangnya.

Menurut Piotr Sztompka, konsep modernisasi dalam arti khusus yang

disepakati teoritisi modernisasi di tahun 1950-an dan tahun 1960-an, didefinisikan

dalam tiga cara. Pertama, menurut definisi historis, modernisasi sama dengan

westernisasi atau amerikanisasi. Dalam hal ini, modernisasi dilihat sebagai

gerakan menuju ciri-ciri masyarakat yang dijadikan model. Kedua dalam

pengertian relatif, dimana modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk

menyamai standar yang dianggap modern baik oleh rakyat banyak maupun oleh

elit penguasa. Tetapi, standar ini berbeda-beda, tergantung pada “sumber” atau

“pusat rujukan” tempat asal prestasi yang dianggap modern. Ketiga, dalam

definisi analisis, mempunyai ciri lebih khusus, yaitu melukiskan dimensi

masyarakat modern dengan maksud untuk ditanamkan dalam masyarakat

tradisional atau masyarakat pra-modern14.

Pada perkembangan selanjutnya, karena terlalu berpatokan dengan Barat,

modernisasi diidentikkan dengan westernisasi, sehingga modernisasi menjadi

kurang mampu menjawab semua masalah di Negara Dunia Ketiga. Hal ini

disebabkan karena modernisasi kurang memperhatikan sejarah, tradisi dan kondisi

obyektif masyarakat di Negara Dunia Ketiga, dimana salah satunya adalah

tuntutan modernisasi, yaitu homogenisasi. Proses homogenitas tersebut memang

terlalu dipaksakan dalam kondisi dunia yang heterogen, hal inilah yang kemudian

14
Sztompka, Piotr. (2008). (2011). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group.
Hal. 152-153.

31
pada akhirnya menimbulkan berbagai ketimpangan dalam berbagai aspek pada

antardaerah dan antarsektor.

Walaupun demikian, perlu diakui bahwa modernisasi merupakan salah

satu proses transformasi masyarakat menuju ke arah yang lebih maju atau

meningkat dalam berbagai aspek. Sehingga pada dasarnya setiap masyarakat

menginginkan perubahan dari keadaan tertentu kearah kehidupan yang lebih baik,

lebih maju dan lebih makmur. Keinginan akan adanya perubahan inilah yang

menjadi landasan awal proses modernisasi15.

Pada era modern ini, sudah tidak bisa terelakan lagi bahwa teknologi dan

informasi berkembang sangat pesat, seolah tidak ada batasan antar negara di

dunia, baik dalam bidang ekonomi, teknologi, maupun informasi. Komputer,

televisi, internet, satelit komunikasi, dan peralatan canggih lainnya juga

merupakan hasil nyata adanya modernisasi. Tidak heran pula jika pengaruh

modernisasi kini sudah dapat mengubah setiap sudut dunia, termasuk Indonesia.

Salah satu kemajuan oleh adanya modernisasi ini adalah mendorong

perkembangan di bidang industri, salah satunya adalah industri pariwisata.

Berkembangnya industri pariwisata saat ini, salah satunya adalah dilandaskan oleh

semangat untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan taraf hidup

masyarakat. Sehingga dalam masyarakat industri saat ini, mulai banyak wilayah

yang dulunya adalah merupakan wilayah konservasi budaya (adat) dan alam

(cagar alam) akhirnya berubah fungsi menjadi destinasi wisata.

15
Setiadi, E M. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori,
Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta: Kencana. Hal. 670.

32
Perlu diingat bahwa modernisasi terkait bidang industri pariwisata ini

tidak sekedar menyangkut aspek yang bersifat materiil saja, melainkan juga

aspek-aspek yang immaterial dalam masyarakat, seperti pola pikir, tingkah laku,

dan lain sebagainya. Oleh karena itu, saat ini negara-negara di dunia, dari kota

sampai ke tingkat terkecil seperti desa, tengah mengalami perubahan sosial dan

budaya akibat industri pariwisata yang cepat di era modernisasi ini.

Pariwisata sendiri berasal dari dua kata, yakni pari dan wisata. Pari dapat

diartikan sebagai banyak, berkali-kali, berputar-putar atau lengkap. Sedangkan

wisata dapat diartikan sebagai perjalanan atau bepergian yang dalam hal ini

sinonim dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris. Atas dasar itu, maka dapat

diartikan bahwa pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau

berputar-putar dari suatu tempat ke tempat yang lain 16, dengan tujuan

mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki

kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, berziarah dan

lain-lain17.

Menurut Cohen, pariwisata secara sosiologis dikaji sebagai cabang kajian

yang berkaitan dengan studi motivasi dan peran kepariwisataan, serta mengkaji

institusi, hubungan, dan dampak aktivitas pariwisata terhadap masyarakat

setempat18.

Aktivitas pariwisata sendiri sebenarnya bukanlah fenomena baru di dunia.

Menurut Spillane, pariwisata sudah ada sejak dimulainya peradaban manusia

16
Yoeti, Oka A. (1991). Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa. Hal. 103.
17
Spillane, James J. (1987). Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius.
Hal. 20.
18
Cohen, Erik. (1984). The Sociology of Tourism: Approeches, Issues, and Finding. California:
Annual Review of Sociology. Vol. 10. Hal 373.

33
dengan ditandai oleh adanya pergerakan penduduk yang melakukan ziarah dan

perjalanan agama19. Sayangnya, walaupun manusia menyadari bahwa pariwisata

merupakan agen perubahan yang mempunyai kekuatan besar dan dahsyat, akan

tetapi kajian terkait aspek sosial-budaya dari kepariwisataan relatif jauh tertinggal.

Pengkajian yang lebih besar tentang kepariwisataan pada umumnya lebih

menekankan pada aspek fisik dan ekonomis. Oleh karena pariwisata pada

umumnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi, mengingat tujuan utama

pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik

bagi masyarakat, daerah maupun negara.

Sejauh ini banyak orang memang belum menyadari adanya kaitan antara

pariwisata dengan sosiologi. Karena harus diingat, selain menyangkut

pengembangan ekonomi, pariwisata adalah sektor yang di dalamnya terdapat

berbagai fenomena kemasyarakatan menyangkut manusia, kelompok, masyarakat,

organisasi, kebudayaan, dan sebagainya yang kesemuanya merupakan objek

kajian sosiologi20. Penjelasan secara nyata dapat dicontohkan yaitu jika pariwisata

merupakan sektor yang menghasilkan devisa, ini adalah bagian dari kajian ilmu

ekonomi. Sedangkan penciptaan lapangan kerja pada daerah wisata, perubahan

pola perilaku dan bergesernya nilai budaya masyarakat setempat dikarenakan

berbaurnya masyarakat setempat dengan pendatang dari dalam maupun luar

negeri (wisatawan), inilah kajian sosiologisnya.

19
Spillane, James J. (1987). Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius.
Hal. 20.
20
Pitana, I Gede. (2005). Sosiologi Pariwisata: Kajian Sosiologis terhadap Struktur, Sistem, dan
Dampak-dampak Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 31.

34
Selanjutnya, mengingat pariwisata merupakan suatu aktivitas yang secara

langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga dalam

perkembangannya dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap masyarakat di

berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, sikap dan jati diri serta

terhadap alam dan lingkungan setempat 21. Dampak tersebut dapat bersifat positif

maupun negatif tergantung pada jenis, sifat dan kualitas interaksinya.

1.6.3 Dampak Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Fisik dari Pariwisata

Banyak ahli yang telah menguraikan tentang dampak pariwisata bagi

kehidupan sosial masyarakat lokal, dimana salah satunya adalah Gartner 22. Ia

membagi dampak sosial pariwisata kedalam dua kategori yaitu dampak secara

kualitatif dan dampak secara kuantitatif. Pertama, dampak secara kualitatif,

memang cukup sulit untuk mengukurnya karena dampak ini hanya bisa diamati,

misalnya terjadinya akulturasi dalam kehidupan sosial dari dua budaya yang

berbeda. Contoh lain adalah terjadinya manusia marjinal dan cultural shock yang

menurut Oberg23 diartikan sebagai rasa cemas yang diakibatkan oleh hilangnya

physical and psychological ’marker’ dari lingkungan tempat tinggal seseorang.

Terakhir, contoh Gartner terkait dampak sosial pariwisata secara kualitatif adalah

terjadinya komodisasi budaya, dimana suatu pertunjukan seni yang

dipertontonkan oleh host (tuan rumah) kepada wisatawan semata-mata disajikan

21
Ibid. Hal 83.
22
Lihat: Gartner, William C. (1996). Tourism Development: Principles, Processes, and Policies.
Cornell University: Wiley.
23
Ibid. Hal. 169.

35
hanya sebagai kepentingan pariwisata saja, tanpa ada nilai kesakralan lagi

didalamnya. Sedangkan yang kedua, dampak sosial pariwisata secara kuantitatif,

memang relatif lebih mudah untuk diukur, misalnya terjadinya peningkatan angka

kriminalitas, prostitusi, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya.

Pendapat selanjutnya tentang dampak pariwisata adalah dari Cohen,

dimana ia menyoroti dampak pariwisata terkait aspek ekonomi masyarakat

setempat, yang ia kategorikan menjadi delapan kelompok besar, yaitu dampak

terhadap penerimaan devisa, dampak terhadap pendapatan masyarakat, dampak

terhadap kesempatan peluang kerja, dampak terhadap harga-harga, dampak

terhadap kepemilikan dan kontrol, dampak terhadap pembangunan pada umumnya

dan dampak terhadap pendapatan pemerintah24. Lebih lanjut Cohen menyebutkan

juga dampak lain pariwisata terhadap aspek sosial-budaya, yaitu, dampak terhadap

migrasi dari dan ke daerah pariwisata, dampak terhadap ritme kehidupan sosial

masyarakat, dampak terhadap pola pembagian kerja, dampak terhadap stratifikasi

dan mobilisasi sosial, dampak terhadap distribusi pengaruh kekuasaan, dampak

tehadap penyimpangan-penyimpangan sosial dan dampak terhadap bidang

kesenian dan adat istiadat 25.

Dampak pariwisata menurut Cohen diatas, searah dengan pendapat tokoh

lain yaitu Pizam dan Milman, akan tetapi mereka menambahkan aspek lain yaitu

aspek lingkungan di dalamnya. Mereka mengklasifikasikannya menjadi enam

kategori, yaitu, dampak terhadap aspek demografis (jumlah penduduk, umur,

perubahan piramida kependudukan), dampak terhadap mata pencaharian


24
Lihat dalam: Pitana, I Gede. (2005). Sosiologi Pariwisata: Kajian Sosiologis terhadap Struktur,
Sistem, dan Dampak-dampak Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 110
25
Ibid.

36
(perubahan pekerjaan, distribusi pekerjaan), dampak terhadap aspek budaya

(tradisi, keagamaan, bahasa), dampak terhadap transformasi norma (nilai, norma,

peranan seks), dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur,

komoditas) dan dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas) 26.

Sifat dan bentuk dari dampak-dampak pariwisata tersebut sangat

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

ikut menentukan dampak pariwisata tersebut antara lain: jumlah wisatawan, objek

yang menjadi sajian dan kebutuhan wisatawan, sifat-sifat atraksi wisata yang

disajikan (apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan lainnya),

struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di daerah tujuan wisata,

perbedaan tingkat ekonomi-budaya antara wisatawan dengan masyarakat lokal

dan faktor terakhir adalah terkait kecepatan pertumbuhan daerah wisata tersebut 27.

Di satu sisi, aktivitas pariwisata pada dasarnya diawali oleh keinginan

manusia untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi di sisi lain, lewat aktivitas

pariwisata tersebutlah perubahan-perubahan kehidupan sosial-budaya, ekonomi,

dan lingkungan fisik masyarakat timbul. Berbicara tentang dampak pariwisata

tersebut, Dickman berpendapat sebagai berikut: “It must be remembered,

however, there are two sides to the coin, what is good tourism development in one

way may be harmful in another” 28. Dari pendapat Dickman tersebut dijelaskan

bahwa dalam setiap perkembangan pariwisata secara umum akan menimbulkan

berbagai dampak, baik secara positif maupun negatif. Terkait dampak positif

26
Pizam, A dan Milman. (1984). “The Social Impacts of Tourism”: Industry and Environment.
Nairobi: UNEP publication. Vol. 7, No.1. Hal. 11-14.
27
Lihat dalam: Pitana, I Gede. (1999). Pelangi Pariwisata Bali. Denpasar: Bali Post.
28
Dickman, Sharron. (1994). Tourism: An Introductory Text. Victoria: Footscray Institute of
Technology Library. Hal 1 (Chapter 12).

37
pariwisata, Spillane berpendapat bahwa pariwisata mampu berkontribusi terhadap

kemajuan masyarakat antara lain terkait penciptaan lapangan kerja, sumber devisa

negara, mendorong pembangunan dan perbaikan sarana-prasarana, masyarakat

menjadi lebih ingin menggali budaya serta adat istiadat agar bisa disajikan pada

wisatawan, pengetahuan dan pengalaman masyarakat semakin bertambah

utamanya terkait kemampuan bahasa asing (yang digunakan dalam berkomunikasi

dengan wisatawan), dan terakhir mendorong semakin meningkatnya pendidikan

dan keterampilan masyarakat lokal29.

Selain mempunyai dampak positif seperti yang telah disebutkan diatas,

aktivitas pariwisata tentunya juga mempunyai dampak negatif. Beberapa dampak

negatif pariwisata diantaranya yaitu, ketergantungan ekonomi, sifat pekerjaan

yang musiman, timbulnya komersialisasi, berkembangnya pola hidup konsumtif,

perubahan sistem nilai, moral, etika, kepercayaan, dan tata pergaulan dalam

masyarakat, dan dampak negatif terakhir adalah terjadinya pencemaran

lingkungan alam sekitar daerah wisata30.

Maka dari itu, untuk menekan sekecil mungkin dampak negatif yang

ditimbulkan, sudah seharusnya dalam setiap aktivitas pariwisata, faktor sosial,

entitas budaya lokal dan konservasi lingkungan tidak boleh lagi diabaikan, artinya

kehidupan masyarakat tidak boleh tercerabut dari akar sosial-budaya dan

pelestarian terhadap alamnya hanya karena ada penekanan segi komersial dari

tourism.

29
Spillane, J. (1994). Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius. Hal. 33.
30
Spillane, J. (1987). Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya.Yogyakarta: Kanisius. Hal.
47.

38
Pada akhirnya, dalam kaitannya dengan penelitian ini, penjelasan diatas

mengenai konsep perubahan sosial, pariwisata sebagai bagian dari modernisasi,

dan dampak yang ditimbulkan pariwisata, dirasa mampu mengkaji bagaimana

sesungguhnya fenomena perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan fisik (lewat

adanya aktivitas pariwisata) bisa terjadi di Kampung Naga.

1.7 Metodologi Penelitian

1.7 .1 Jenis Penelitian

Pada penelitian ini digunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode

etnografi. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat

atau kepercayaan orang yang diteliti, dimana kesemuanya tersebut tidak dapat di

ukur dengan angka31. Penelitian kualitatif bertujuan mendapatkan gambaran

seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi

dimana peneliti berusaha untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial, ekonomi

dan lingkungan fisik yang terjadi di Kampung Naga dikarenakan aktivitas

pariwisata yang terjadi di wilayah tersebut.

31
Bogdan, R. & Taylor, S.J. (1975). Introduction to Qualitative Research Methode. New York:
John Willey and Sons. Hal 5.

39
Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan atau

menggambarkan). Maka etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian sosial-

budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui

fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian etnografi berupaya

mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subyek sebagai

obyek studi. Menurut Creswell, studi ini akan terkait bagaimana subyek berpikir,

hidup, dan berperilaku, lalu menggambarkan serta menginterpretasikan pola nilai,

kepercayaan dan bahasa yang dipelajari dan dianut oleh suatu kelompok budaya 32.

Sedangkan dalam buku Handbook of Ethnography, secara umum

penelitian etnografi dijelaskan sebagai bentuk penelitian sosial yang menekankan

pada eksplorasi fenomena sosial pada setting aslinya, data yang digunakan bersifat

tidak terstruktur, penelitian dilakukan bersifat mikro, analisis data meliputi

interpretasi makna dan fungsi dari tindakan manusia, serta hasil dari analisa

tersebut berupa deskripsi verbal serta paparan penjelasan33.

Penelitian etnografi pada dasarnya lebih memanfaatkan teknik

pengumpulan data pengamatan terlibat (partisipant observation). Hal tersebut

dikarenakan peneliti etnografi (etnografer) akan belajar secara langsung dari

masyarakat lokal terkait aspek sosial-budaya khas setempat. Lewat penelitian

terlibat ini, seorang etnografer melakukan eksplorasi terhadap kegiatan hidup

sehari-hari dari objek penelitian, melakukan pengamatan, mewawancarai anggota

kelompok serta mengumpulkan dokumen-dokumen terkait.

32
Creswell, John W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design, Choosing Among Five
Approch. California: Sage Publications. Hal. 68.
33
Atkinson, Paul dkk. (ed). (2001). Handbook of Ethnography. London, Thousand Oaks, New
Delhi: SAGE Pulications. Hal. 323.

40
Pelukisan etnografi biasanya dilakukan secara thick description (deskripsi

tebal). Namun demikian, tebal di sini lebih merupakan formulasi ke arah deskripsi

yang mendalam, sehingga pemaparan kajian penelitian akan lebih berarti, bukan

sekedar data yang ditumpuk. Oleh karena hal inilah maka penelitian etnografi

cenderung mengarah ke kutub induktif, konstruktif, transferabilitas, dan subyektif.

Penelitian etnografi mencoba mengungkap pandangan hidup senyatanya

dari fenomena budaya, tradisi dan hubungan sosial yang ada dari sudut pandang

penduduk setempat (lebih menekankan pada idiografik). Dengan demikian akan

ditemukan makna tindakan sosial-budaya suatu komunitas secara apa adanya.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa tidak setiap fenomena masyarakat lokal cocok

sebagai kajian etnografi, karena kajian penelitian yang dipilih dalam penelitian

etnografi idealnya merupakan peristiwa unik yang jarang teramati oleh

kebanyakan orang.

1.7 .2 Lokasi dan Waktu Penelit ian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Kampung Naga, Desa Neglasari,

Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Proses

penelitian ini dimulai pada awal Januari 2014. Waktu yang dibutuhkan untuk

melaksanakan penelitian adalah kurang lebih enam bulan yaitu dimulai dari bulan

Januari 2014 sampai dengan bulan Juni 2014.

41
1.7 .3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

dengan pengumpulan data primer dan data sekunder, yaitu:

1.7.3.1 Data Primer

1.7.3.1.1 Wawancara Mendalam

Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan teknik wawancara

mendalam. Teknik ini digunakan untuk memperoleh keterangan secara lengkap

dan mendalam, yakni lewat interaksi dan wawancara dengan seorang informan

sesuai dengan permasalahan penelitian, kemudian dilakukan pencatatan secara

sistematik berdasarkan pedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan

sebelumnya.

Wawancara mendalam ini juga dipakai peneliti untuk memperdalam

informasi dengan melakukan cross check antar-informan untuk mendapatkan data

yang benar-benar valid dan dilakukan beberapa kali sesuai dengan keperluan

peneliti yang berkaitan dengan kejelasan dan kemantapan masalah yang dijelajahi.

42
1.7.3.1.2 Observasi Partisipasi

Observasi partisipasi yang dimaksud disini adalah peneliti terlibat secara

langsung dengan masyarakat di lapangan sembari melakukan pengamatan dan

pencatatan terhadap hal yang dianggap berhubungan dengan objek yang diteliti,

atau hal yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Dikarenakan keterbatasan daya pengamatan peneliti, maka pada saat

melakukan observasi partisipasi, peneliti membawa alat bantu berupa alat kamera

dan tape recorder. Dalam hal ini, kamera adalah alat bantu pengamatan untuk

mengabadikan peristiwa-peristiwa atau kenyataan-kenyataan agar kemudian dapat

dipelajari dengan seksama. Tape recorder dipakai membantu pengamatan dalam

menangkap suara informan yang diwawancarai.

1.7.3.2 Data Sekunder

Data sekunder yang dimaksudkan penulis disini adalah dengan studi

dokumen yaitu menjelajahi dan melacak peninggalan tertulis seperti arsip-arsip

dan termasuk juga buku-buku, teori, dalil, catatan statistik, data informasi media

dan lain-lain yang terkait dengan masalah penelitian.

Studi dokumen dalam proses penelitian ini diperlukan dengan tujuan untuk

membentuk dan memperbaiki kerangka konsep. Perlu ditekankan di sini bahwa

studi dokumen juga turut membantu peneliti dalam menyusun konstruksi konsep

43
serta menyempurnakannya, dan mengilustrasikan teori dengan data dari dokumen

terkait.

1.7 .4 Teknik Analisis dan Interpretasi Data

Analisis dan interpretasi data merupakan dua aspek penting dalam

penelitian kualitatif yang saling terkait dan hampir tidak dapat dipisahkan antara

satu dengan yang lainnya. Suatu analisis data tidak akan banyak memberi manfaat

terhadap hasil penelitian apabila tidak dilanjutkan dengan interpretasi data,

sebaliknya interpretasi data yang tidak sinkron dengan hasil analisis data, justru

hanya akan menyesatkan peneliti terutama dalam pengambilan keputusan

terhadap data hasil penelitian.

Proses analisis data secara keseluruhan melibatkan usaha memaknai data

baik yang berupa teks ataupun gambar. Proses analisis data dimulai dengan

menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,

pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi,

dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Sehingga proses analisis data

secara sederhana dapat disimpulkan sebagai suatu proses untuk pengorganisasian

data dalam rangka mendapatkan pola-pola atau bentuk-bentuk keteraturan.

Sedangkan interpretasi data adalah mencakup pembuatan data itu menjadi

bermakna, atau “pelajaran itu dipelajari”34. Interpretasi juga bisa berupa makna

yang berasal dari perbandingan antara hasil penelitian dengan informasi yang

34
Lihat: Lincoln, Y. S. & Guba, E. G. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA: Sage
Publications, Inc.

44
berasal dari literatur atau teori. Penelitian kualitatif adalah penelitian interpretasi,

maka peneliti harus membuat data temuan itu berarti. Karena dalam penelitian

kualitatif, peneliti percaya bahwa selama proses penelitian berlangsung, data

penelitian tidak akan pernah dapat terpisah dari interpretasi dan refleksi pribadi

atas makna berdasarkan setting penelitian. Jadi, interpretasi atau pemaknaan data

dalam penelitian kualitatif dapat berupa banyak hal, dapat diadaptasikan untuk

jenis rancangan yang berbeda, dan bersifat pribadi, berbasis penelitian, serta

tindakan35.

Dalam penelitian kualitatif proses analisis dan interpretasi data

memerlukan cara berfikir kreatif, kritis dan sangat hati-hati. Kedua proses tersebut

merupakan proses yang saling terkait dan sangat erat hubungannya. Dalam

penelitian kualitatif tidak ada formula yang pasti untuk menganalisis dan

menginterpretasikan data seperti formula yang dipakai dalam penelitian

kuantitatif, walaupun pada dasarnya terdapat beberapa kesamaan langkah yang

ditempuh untuk menganalisis dan menginterpretasikan data.

Pada penelitian ini proses analisis dan interpretasi data yang dilakukan

yaitu diawali dengan menelaah seluruh data yang berhasil dihimpun dari berbagai

sumber yaitu wawancara, pengamatan lapangan, dan kajian dokumen (pustaka).

Langkah berikutnya reduksi data yang dilakukan dengan cara abstraksi. Abstraksi

merupakan upaya membuat rangkuman dari segala data yang ada. Selanjutnya

adalah melakukan pemeriksaan keabsahan data. Langkah terakhir adalah

penafsiran data yang telah diuji untuk dijadikan teori substantif dengan

35
Creswell, John W. (diterjemahkan oleh Achmad Fawaid). (2009). Research Design:
Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 283-284.

45
menggunakan beberapa metode tertentu berpedoman pada kerangka konseptual

yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari fenomena yang

diteliti.

1.7 .5 Proses Penelit ian

Pelaksanaan penelitian ini terbagi menjadi empat proses yaitu proses pra-

penelitian, proses pelaksanaan penelitian, proses refleksi hasil penelitian, dan

proses penyusunan laporan penelitian. Tahapan-tahapan proses penelitian tersebut

dijelaskan sebagai berikut:

1.7 .5.1 Pra-Penelit ian

Pada tahap pra-penelitian, tindakan yang pertama kali dilakukan oleh

peneliti adalah mulai turun ke lapangan sejak Bulan Januari (secara informal)

untuk mencari data awal, diantaranya terkait akses menuju Kampung Naga,

perijinan di Kampung Naga, gambaran wilayah Kampung Naga, dan

gambaran umum masyarakat Kampung Naga serta meminta ijin kepada Ketua

Adat Kampung Naga untuk melakukan penelitian di tempat tersebut.

Walaupun sempat berulang kali terkendala ijin dari Ketua Adat,

dikarenakan Kampung Naga adalah Kampung Adat yang tidak bisa dikunjungi

orang secara sembarangan sehingga perijinan penelitian dan menetap di

Kampung Naga pun cukup sulit di dapat peneliti. Namun akhirnya dengan

46
pendekatan peneliti kepada Ketua Adat Kampung Naga secara intens dan

berulang, kurang lebih selama hampir tiga minggu, akhirnya ijin penelitian di

Kampung Naga pun di dapat peneliti.

1.7 .5.2 Proses Pelaksanaan Penelit ian

Proses pelaksanaan penelitian (secara formal) dilakukan peneliti dari

Bulan Maret 2014, dimana peneliti mulai melakukan observasi partisipasi

berbaur bersama masyarakat di Kampung Naga. Kemudian dengan

berpedoman pada data awal yang dimiliki dari hasil pra-penelitian, peneliti

mulai memfokuskan pada pengumpulan data-data terkait permasalahan

penelitian.

Pengumpulan data yang dilakukan peneliti selama di lapangan

dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan melakukan

wawancara mendalam dengan sejumlah informan yang juga sebagai anggota

masyarakat Kampung Naga. Selanjutnya peneliti juga melakukan pencatatan

pribadi selama observasi partisipasi di lapangan. Catatan lapangan ini juga

digunakan peneliti untuk meng-cross check data hasil wawancara yang telah

dilakukan sebelumnya, dengan tujuan untuk menegaskan dan memperdalam

data guna mendapatkan data yang benar-benar valid.

47
1.7 .5.3 Proses Refleksi Hasil Penelit ian

Dalam proses refleksi hasil penelitian, semua data yang didapat dalam

tahap pelaksanaan penelitian dikumpulkan serta dianalisis sehingga diperoleh

hasil refleksi selama berlangsungnya penelitian yang telah dilakukan. Refleksi

merupakan bagian yang sangat penting untuk memahami dan memberikan

makna terhadap proses dan hasil data lapangan yang di dapat.

1.7 .5.4 Proses Penyusunan Laporan Penelit ian

Setelah semua tahapan proses penelitian yang dimulai dari proses pra-

penelitian, proses pelaksanaan penelitian, dan proses refleksi hasil penelitian

telah selesai dikerjakan, selanjutnya proses terakhir yang dilakukan peneliti

adalah menyusun laporan penelitian.

Dalam penyusunan laporan penelitian, peneliti menuliskan,

mendeskripsikan dan menganalisis semua data yang diperoleh selama proses

penelitian berlangsung, baik itu data yang bersifat primer (hasil wawancara

mendalam dan catatan selama observasi partisipasi di lapangan) maupun data

yang bersifat sekunder (dari telaahan pustaka) untuk disajikan menjadi sebuah

tulisan ilmiah berupa tesis.

48

Anda mungkin juga menyukai