Anda di halaman 1dari 2

Nama : BUDI PURWOKO

NIM : 031137038

Tugas Mata Kuliah : PENGANTAR SOSIOLOGI

PERINGATAN 1 SURO DI DESA MERI

KECAMATAN KUTASARI KABUPATEN PURBALINGGA

Libur nasional Tahun Baru Islam 1440 Hijriah jatuh pada hari Selasa, 11

September 2018. Tahun baru Islam yang jatuh di bulan Muharam ini juga bertepatan

dengan awal penanggalan kalender Jawa, yaitu dimulai dari bulan Suro. Satu Muharam

atau Suro yang memiliki catatan peristiwa penting di dunia Islam ataupun kebudayaan

masyarakat Jawa, telah menjadi latar belakang munculnya berbagai festival atau kegiatan

perayaan untuk memperingatinya. Kegiatan perayaan tersebut tak hanya ditujukan untuk

kegiatan keagamaan saja, akan tetapi juga bagian kultur budaya sekaligus pelestarian

tradisi masyarakat.

Bagi masyarakat Desa Meri Kecamatan Kutasari Kabupaten Purbalingga,

Suran merupakan kegiatan berdoa bersama sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah

diberikan Allah SWT. Selain itu, tradisi Suran dapat mempererat tali persaudaraan diantara

masyarakan Desa Meri. Kegiatan doa bersama warga Desa Meri dilaksanakan tepat pada

malam 1 Suro. Doa bersama dipimpin oleh pemuka agama Desa Meri dan dihadiri oleh

Kepala Desa berserta perangkatnya dan unsur kelembagaan yang ada di Desa Meri. Selain

itu hadir pula tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda Desa Meri.

Pada esok harinya, tepat tanggal 1 Sura diadakan kegiatan kesenian tradisional

Kuda Lumping atau sering dikenal kegiatan Ebeg. Penampilan kesenian disajikan oleh

penari laki-laki yang merupakan bagian dari kesenian yang dimiliki desa selain kegiatan

kesenian lainnya. Atraksi yang disajikan kepada masyarakat tersebut sekaligus merupakan

hiburan bagi masyarakat yang selama ini telah bekerja sebagai petani dan kesibukan lain

sekaligus untuk melestarikan kesenian trasidional Kuda Lumping. Pelestarian kesenian


Kuda Lumping di Desa Meri rata-rata didominasi oleh remaja yang merupakan generasi

penerus untuk mempertahankan kesenian yang sudah mulai jarang dipertontonkan tersebut.

Meski memiliki nilai sakral dan magis, namun kesenian tersebut sekaligus memberi

hiburan kepada masyarakat serta menjaga seni tradisional sebagai ungkapan kerinduan

akan budaya leluhur yang telah ada sejak dahulu. Kesenian tradisional kini mulai

ditinggalkan seiring perkembangan jaman, namun dengan adanya keinginan sekelompok

pemuda dibantu oleh para tetua yang ada, kesenian tersebut mulai dimunculkan kembali.

Saat-saat yang ditunggu oleh para penonton dalam kesenian tradisional Kuda

Lumping diantaranya saat para penari kuda lumping mengalami kesurupan atau dikenal

dengan istilah “wuru atau mendem” jaranan. Sebagian bahkan berani makan pecahan kaca,

berjalan diatas duri dan kesurupan menyerupai binatang seperti babi, kera atau binatang

lain. Meski dimikian sesudah para penari tersebut mengalami kesurupan sang pawang akan

segera menyembuhkan sesudah masa tertentu.

Kesenian Kuda Lumping tontontan yang disukai berbagai kalang baik kalangan

muda maupun kalangan tua. Antusiasme masyarakat menonton kegiatan kesenian tersebut

merupakan bentuk kecintaan masyarakat akan kecintaaan kegiatan tradisional dan misi

untuk melestarikan kesenian tradisional. Upaya melestarikan kesenian tersebut merupakan

salah satu wadah dalam menjaga kebersamaan warga Desa Meri. Penonton yang antusias

melihat pertunjukan kesenian tradisional tersebut diantaranya anak-anak dan orang tua.

Beberapa petugas yang menjaga para penari yang kesurupan diantaranya menjaga agar

para penari tetap berada di arena dan menyajikan tarian-tarian yang menarik untuk

ditonton.

Meskipun kesenian Kuda Lumping diadakan di Desa Meri, namun tontonan

tersebut mampu menjadi magnet bagi masyarakat dari desa lain yang tertarik melihat

pertunjukan kesenian tradisional yang berlangsung dari pagi sampai sore hari. Selain

masyarakat yang terlibat dalam kegiatan keseniat Kuda Lumping, disisi lain juga banyak

para pedagang untuk mengais rejeki dengan berjualan makanan, minuman dan lain

sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai