KAMPUNG CIREUNDEU
Disusun Oleh
1. KONDISI EKSTERNAL
Pertigaan
jembatan
cimindi
Gambar: 1
Peta administrasi kampung cireundeu
Sumber : peta citra 2019
Gambar: 2
Peta administrasi kampung cireundeu
Sumber : peta citra 2019
Gambar 3 Gambar 4
Bangunan pertama yang di buat Bangunan Pertama Yang Di Buat
Sumber : Dokumentasi Kelompok Sumber : Dokumentasi Kelompok
Gambar 5
Trintangtu Buana Kampung Cireundeu
Sumber : Analisis Kelompok
1. Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang
pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk
masyarakat adat Cireundeu khususnya.
2. Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk
reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun
masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya
mencapai 2 hingga 3 hektar.
3. Leuweung Garapan (hutan pertanian / permukiman) yaitu hutan/ lahan yang
dapat digunakan untuk berkebun dan melakuka akivitas sehari-hari
masyarakat adat Cireundeu. Biasanya lahan pertanian ditanami oleh jagung,
kacang tanah, singkong atau ketela, dan umbi-umbian.
Tahun baru Saka 1 Sura yang diperingati warga Cireundeu, bertepatan
dengan tahun baru Islam 1 Muharam. Dalam tradisi Jawa, 1 Muharam dinamakan
1 Sura. Atau bahasa lisannya 1 Suro. Jika Islam menggunakan Hijriyah, maka
tradisi Jawa menggunakan Saka sebagai tahun. Persamaan antara tahun Hijriyah
dan Saka adalah sama-sama penanggalan lunar atau memakai patokan
peredaran bulan. Selain itu, patokan lainnya adalah 1 Muharam dalam Hijriyah.
Tahun Saka Jawa resmi dipakai sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo dari
Mataram, menggantikan Saka Hindu. 1 Sura bagi warga Cireundeu, ibarat
Lebaran. Bagi masyarakat adat kampung Cirendeu, kegiatan ini menjadi sebuah
kegiatan wajib di setiap tahun. Apalagi bagi mereka upacara adat satu suro ini
adalah hari raya dalam kepercayaan yang mereka anut. Upacara syuraan memiliki
makna yang dalam.
Bahwa manusia itu harus saling memahami bila ia hidup berdampingan
dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin,
laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. Hal ini sesuai dengan pandangan
hidup mereka yaitu “Mugia Akur Rukun Repeh Repih sareng Sasama Hirup”.
Menurut Abah Widi, ritual 1 Sura yang rutindigelar sejak kala, merupakan salah
satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian warga Cireundeu
menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami
bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan
lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan
langit. “Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia
rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk
hidup.
a) Jenis Pakaian
Satu Sura bagi warga Cireundeu, seperti hari raya idul fitri. Sebelum
tahun 2000, mereka selalu mengenakan pakaian baru. Namun beberapa
tahun terakhir ini, Saat upacara adat Satu Sura, kaum laki-laki mengenakan
pakaian pangsi warna hitam, sementara kaum perempuan mengenakan
kebaya atau pakaian warna putih yang disebut toro dengan bawahannya
menggunakan batik yang bergambar kujang.
b) Rangkaian Acara
Dalam prosesnya, setiap rangkaian upacara memiliki persamaan yang
cukup signifikan dengan beberapa aktifitas yang dilakukan umat muslim
pada saat hari raya pula. Setiap wanita membawa bunga dari kediaman
masing-masing penyelenggaraan upacara mayoritas ditangani oleh kaum
pria, sedangkan kaum wanita mempersiapkan sesaji yang akan disajikan
untuk masyarakat kampung adat Cirendeu beserta tamu dari luar kampung
adat. Selain itu, pria dan wanita berada ditempat terpisah. Para wanita
berada di bale sarasehan beserta para sesepuh adat, sedangkan para pria
berada di panggung utama. Sebuah tanda syukur terhadap bumi yang
mereka anggap sebagai tuhan disajikan dalam bentuk sesajen, lantas
setelah prosesi upacara selesai sesajen tadi menjadi sesaji yang disajikan
dan dinikmati oleh masyarakat bukan sekedar pajangan semata. Setiap
keluarga juga membawa bunga saat datang ke tempat upacara, bunga-
bunga yang dibawa ini nantinya dijadikan salah satu kebutuhan untuk nyekar
ke makam leluhur setelah proses upacara selesai.
Gambar 6 Gambar 7
Proses Sunda Wiwitan Proses Syukuran Adat
Sumber : Ilmu Sosial Buday.com Sumber : Ilmu Sosial Buday.com
Adapun pesan dari leluhur nya pun apabila mereka tidak memakan nasi
maka akan banyak orang yang datang mengunjungi kampung cireundeu dan ini
memberikan dampak positif dalam masyarakaynya. Namun, apabila melanggar
maka akan di tanggung oleh dirinya sendiri menunggu hukum alam terjadi pada
dirinya sendiri dan tidak adanya hukum secara langsung dari masyarakatnya
sendiri yang pada intinya adanya hukum-hukum yang merlakukannyapun di
butuhkan kesadaran diri sendiri dan tanggung jawab dalam mentaati hukum yang
berlaku. Adanya hukum seperti tidak di perbolehkan memakan nasi dalam
masyarakatnya didukung pula oleh menteri pertahanan pangan pada masa
pemerintahan Gusdur. Adapun dua pantangan di kampung Cirendeu, sebagai
berikut:
a. Jangan memakan keringat orang lain, ini berarti kita tidak boleh memakan
hak orang lain seperti merampas, merampok, mencuri atau menyakiti
orang lain.
b. Tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut aliran kepercayaan yang
mereka peluk.
Sedangkan hal-hal yang harus dilakukan, yaitu:
a. Saur kudu dibubut (bercerita/ berbicara harus hati-hati dan harus pada
tempat yang sesuai).
b. Basa kedah dihampelas (berbicara dengan baik dan sopan).
c. Gotong royong.
d. Toleransi agama.
Gambar 8
Gapura selamat datang di kampung Cireundeu
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Tak jauh dari kampung adalah bekas lokasi Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Leuwigajah, jangan berharap akan melihat pemandangan lahan sawah
yang menghijau atau padi yang menguning, pada tanggal 21 Februari 2005
terjadi peristiwa longsornya gunungan sampah yang merenggut 157 nyawa , kini
ditempat yang dulu gunungan sampah itu, kita akan banyak dimanjakan dengan
pemandangan kebun singkong yang terbentang luas. Tempat ini adalah
tempatnya masyarakat kita yang dinobatkan sebagai “Pahlawan Pangan” karena
masyarakat disini makanan pokoknya bukan nasi tetapi singkong. Terdiri dari 50
kepala keluarga atau 800 jiwa, mayoritas mata pencaharian mereka adalah
sebagai mana adat orang sunda terdahulu yaitu bercocok tanam (bertani), jenis
pertanian yang di tekuni di kampung adat ini yaitu bertani ketela (singkong).
AKTIFITAS MASYARAKAT, SOSIAL, BUDAYA, EKONOMI.
Gambar 9
Gapura selamat datang di kampung Cireundeu
Sumber : kompas.com
1. Sistem organisasi
Warga kampung Cirendeu yang berlokasi di daerah cimahi, memiliki
suatu kelembagaan yang terjadi sesuai dengan fungsi-fungsi dari suatu
lembaga kemasyarakatan yang bisa di uraikan sebagai berikut :
2. Pedoman dalam bertingkah laku dalam menghadapi masalah dalam
masyarakat, terutama dalam menyangkut kebutuhan pokok.
3. Menjaga keutuhan masyarakat.
4. Merupakan pedoman sistem pengendalian sosial di masyarakat.
Lembaga Kemasyarakatan (kelompok masyarakat) yang terjadi di
Kampung Cirendeu RW 10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat , yaitu :
Kelompok Adat
· Sesepuh
· Ais pangampih
· Pangintren
Pemilihan sesepuh adat di kampung cireundeu dilihat dari etika atau
sopan santun yang dimiliki oleh calon. Sesepuh adat tidak ada batas waktu
atau tidak ditentukan lama kepengurusannya. Sedangkan pangintren dan
ais pengampih memiliki batas waktu.
5. Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga atau kekerabatan dalam suku Sunda bersifat
bilateral yaitu garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama.
Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga.
Ikatan kekeluargaan yang kuat dalam suku Sunda sangat mempengaruhi
dalam adat istiadat, dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu
sebagai istilah-istilah untuk menunjukan hubungan kekerabatan. Sistem
kekerabatan ini merupakan simbol dari tali silaturahmi khas Sunda
(pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya
untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu
penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan.
Gambar 11
Singkong Makanan Pokok
Sumber : kompas.com
Gambar 12
Aktifitas Ekonomi Warga Cireundeu
Sumber : kompas.com
RUMAH WARGA
RUMAH ADAT
Gambar 13
Tata Letak Bermukim
Sumber : Peta Citra dan Analisis Kelompok
Keterangan:
Gambar 14
Denah Bermukim kampung Cireundeu
Sumber : Peta Citra dan Analisis Kelompok
Di Gambar 14 ini bisa di lihat jelas konsep letak rumah adat semuanya
kearah utara karena di sebelah utara ada bukit sehingga mereka menyakini bahwa
jika menghadap kesana akan membawa energi yang positif dan memberikan
dampak lainnya seperti sirkulasi udara yang baik sedangkan bagi rumah warga
non adat mereka mendirikan rumah hanya melihat dari kondisi fisik lapangannya
saja tidak memperhatikan faktor lainnya sehingga tata letaknya tidak terstruktur
ada yang menghadap ke utara, selatan dan barat. Jalan di kampung Cireundeu
memiliki 2 tipe akses yaitu jalan yang bisa di lalui dengan motor dan jalan setapak
yang hanya bisa di lalui dengan berjalan kaki.
Gambar 15
Garis Melintang kampung Cireundeu
Sumber : Analisis Kelompok
Gambar 16
Bentuk Rumah kampung Cireundeu
Sumber : Analisis Kelompok
Gambar 17
Tata Letak Ruangan kampung Cireundeu
Sumber : Analisis Kelompok
Ada pembagian ruangan pada rumah adat sunda, yaitu ruang depan atau
biasa disebut tepas, ada juga ruang tengah yang biasa disebut tengah imah, dan
yang terakhir adalah ruang belakang yang terdiri dari pawon dan padaringan.
Ruangan tersebut memiliki fungsi masing-masing. Ruang depan atau tepas
memiliki fungsi sebagai ruang untuk menerima tamu. Pada ruangan ini biasanya
tidak disediakan furniture, apabila ada tamu biasanya pemilik rumah menyediakan
tikar. Kemudian pada bagian tengah ialah berfungsi sebagai tempat berkumpulnya
para keluarga. Diruangan ini terdapat ruang keluarga dan ruang kamar. Terakhir
ialah ruang belakang yang terdiri dari pawon dan padaringan. Pawon adalah
dapur sedangkan padaringan adalah tempat menyimpan beras atau bahan
makanan lain.
DAFTAR PUSTAKA
adat-satu-suro-kampung-adat-cirendeu_54f40c6e7455139f2b6c85e9
Sangkala, Rangga Panji. 2014. Filosofi Tata Ruang Pada Rumah Adat Sunda.
Bandung: Tel-U Press.