Anda di halaman 1dari 21

TATA PERMUKIMAN LOKAL

KAMPUNG CIREUNDEU

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Besar Tata Permukiman Lokal

Semester III Tahun Akademik 2018 / 2019

Disusun Oleh

Faishal Hafizh 10070317021


M Izharuddin 10070317100
Fardhi Fadilah Ramadhan 10070317101

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2019 M / 1440 H
KONDISI EKSTERNAL, POSISI PERMUKIMAN DALAM KONTEKS
REGIONAL

1. KONDISI EKSTERNAL

Pertigaan
jembatan
cimindi

Gambar: 1
Peta administrasi kampung cireundeu
Sumber : peta citra 2019

Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di lembah


Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun secara
administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Kampung ini berbeda dengan kampung biasanya karena lokasi yang sangat dekat
dengan kota bahkan untuk menuju kampung cireundeu ini jika melihat pada
Gambar 1 banyak melewati pabrik karena kawasan industri sangat mayoritas di
bandingkan permukiman.

Kampung Cireundeu dapat di akses dengan mudah menggunakan


angkutan umum, dengan cara:

1) Naik angkutan trayek Cimahi-Leuwipanjang atau Cimahi-Station Hall,


kemudian turun di bawah jembatan Cimindi atau pertigaan Cibereum.
2) Kemudian menaiki trayek warna hijau-kuning (Cimindi-Cipatik) turun di
bunderan Leuwih Gajah,
3) Selanjutnya naik Trayek warna biru langit (Cimahi-Leuwigajah-Cangkorah)
turun pada pertigaan kea rah CIreundeu,
4) Menggunakan angkutan bermotor (Ojeg) hingga pintu gerbang Kampung
adat Cireundeu
2. POSISI PERMUKIMAN DALAM KONTEKS REGIONAL

Gambar: 2
Peta administrasi kampung cireundeu
Sumber : peta citra 2019

Posisi permukiman disini sangat bermacam-macam karena sebenarnya


kampung cireundeu ini adalah sebuah kampung yang didalamnya ada
adat/budaya jadi bukan kampung adat ujar kang Obi. Setiap rumah adat di
kampung Cirendeu semuanya menghadap ke timur atau menghadap ke bukit
sebab mereka menyakini bahwa menghadap ke bukit tersebut akan membawa
energi tersendiri karena selain menghadap ke bukit sekaligus berhadapan
langsung dengan matahari, dan posisi pinggir atau samping rumah adat tersebut
menyampingi selatan dan utara sebab supaya angin lebih banyak masuk-keluar
lewat samping dan sifat bangunannya tidak permanen, beda dengan rumah
penduduk biasa yang sifatnya permanen atau bangunan beton, untuk posisi nya
mereka (masyarakat biasa) tidak ada aturan khusus karena mereka mendirikan
rumah menyesuaikan lahan nya saja dan setiap bangunan adat selalu lebih tinggi
dari penduduk biasa karena bangunan yang terbuat dari kayu.
MITOLOGI / KOSMOLOGI / SEJARAH PERMUKIMAN

1. MITOLOGI KAMPUNG CIREUNDEU


Penduduk kampung Cireundeu masih memegang teguh adat istiadat
dan kepercayaan leluhurnya yakni kepercayaan Sunda Wiwitan tetapi tidak
semua warga menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, sudah ada warga yang
memeluk agama lain, seperti Islam dan Kristen. Sunda Wiwitan sendiri
mengandung arti Sunda yang paling awal. Warga kampung Cirendeu sendiri
menganut kepercayaan Sunda Wiwitan karena bagi warga kampung Cirendeu
agama bukan sebagai tuntutan namun sarana aplikasi dalam kehidupan,
namun warga kampung Cirendeu tetap menyakini adanya Tuhan. Mereka
memegang teguh tradisi yang dibawa oleh tokoh terdahulu yaitu, Pangeran
Madrais dari Cigugur, Kuningan. Pada zaman pemerintah Belanda, Madrais
pernah ditangkap dan dibuang ke Ternate. Ia baru kembali sekitar tahun 1920
untuk melanjutkan ajarannya.

Gambar 3 Gambar 4
Bangunan pertama yang di buat Bangunan Pertama Yang Di Buat
Sumber : Dokumentasi Kelompok Sumber : Dokumentasi Kelompok

Pada tahun 1938, Pangeran Madrais berkunjung ke Cireundeu dan


sempat menetap lama disana. Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais atau
Pangeran Madrais adalah salah satu keturunan Kesultanan Gebang Cirebon yang
juga menyebarkan ajarannya di daerah Cigugur, Kuningan. Ajaran Pangeran
Madrais menitik beratkan pada kebanggaan akan identitas kebangsaan atau
kesundaan yang sepatutnya dimiliki oleh seluruh orang sunda. Meski demikian,
ajaran Madraisme tersebut menekankan toleransi dan kesediaan yang kuat dalam
menerima perbedaan, dan pembangunan jati diri bangsa dengan kecintaan pada
tanah air, yang diistilahkan sebagai “tanah amparan”.
2. KOSMOLOGI KAMPUNG CIREUNDEU

Tempat pemakaman umum baik masyarakat


adat ataupun masyarakat non adat

Tempat area hunian adat baik dari rumah


adatya dan rumah seninya

Gambar 5
Trintangtu Buana Kampung Cireundeu
Sumber : Analisis Kelompok

1. Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang
pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk
masyarakat adat Cireundeu khususnya.
2. Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk
reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun
masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya
mencapai 2 hingga 3 hektar.
3. Leuweung Garapan (hutan pertanian / permukiman) yaitu hutan/ lahan yang
dapat digunakan untuk berkebun dan melakuka akivitas sehari-hari
masyarakat adat Cireundeu. Biasanya lahan pertanian ditanami oleh jagung,
kacang tanah, singkong atau ketela, dan umbi-umbian.
Tahun baru Saka 1 Sura yang diperingati warga Cireundeu, bertepatan
dengan tahun baru Islam 1 Muharam. Dalam tradisi Jawa, 1 Muharam dinamakan
1 Sura. Atau bahasa lisannya 1 Suro. Jika Islam menggunakan Hijriyah, maka
tradisi Jawa menggunakan Saka sebagai tahun. Persamaan antara tahun Hijriyah
dan Saka adalah sama-sama penanggalan lunar atau memakai patokan
peredaran bulan. Selain itu, patokan lainnya adalah 1 Muharam dalam Hijriyah.
Tahun Saka Jawa resmi dipakai sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo dari
Mataram, menggantikan Saka Hindu. 1 Sura bagi warga Cireundeu, ibarat
Lebaran. Bagi masyarakat adat kampung Cirendeu, kegiatan ini menjadi sebuah
kegiatan wajib di setiap tahun. Apalagi bagi mereka upacara adat satu suro ini
adalah hari raya dalam kepercayaan yang mereka anut. Upacara syuraan memiliki
makna yang dalam.
Bahwa manusia itu harus saling memahami bila ia hidup berdampingan
dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin,
laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. Hal ini sesuai dengan pandangan
hidup mereka yaitu “Mugia Akur Rukun Repeh Repih sareng Sasama Hirup”.
Menurut Abah Widi, ritual 1 Sura yang rutindigelar sejak kala, merupakan salah
satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian warga Cireundeu
menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami
bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan
lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan
langit. “Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia
rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk
hidup.
a) Jenis Pakaian
Satu Sura bagi warga Cireundeu, seperti hari raya idul fitri. Sebelum
tahun 2000, mereka selalu mengenakan pakaian baru. Namun beberapa
tahun terakhir ini, Saat upacara adat Satu Sura, kaum laki-laki mengenakan
pakaian pangsi warna hitam, sementara kaum perempuan mengenakan
kebaya atau pakaian warna putih yang disebut toro dengan bawahannya
menggunakan batik yang bergambar kujang.
b) Rangkaian Acara
Dalam prosesnya, setiap rangkaian upacara memiliki persamaan yang
cukup signifikan dengan beberapa aktifitas yang dilakukan umat muslim
pada saat hari raya pula. Setiap wanita membawa bunga dari kediaman
masing-masing penyelenggaraan upacara mayoritas ditangani oleh kaum
pria, sedangkan kaum wanita mempersiapkan sesaji yang akan disajikan
untuk masyarakat kampung adat Cirendeu beserta tamu dari luar kampung
adat. Selain itu, pria dan wanita berada ditempat terpisah. Para wanita
berada di bale sarasehan beserta para sesepuh adat, sedangkan para pria
berada di panggung utama. Sebuah tanda syukur terhadap bumi yang
mereka anggap sebagai tuhan disajikan dalam bentuk sesajen, lantas
setelah prosesi upacara selesai sesajen tadi menjadi sesaji yang disajikan
dan dinikmati oleh masyarakat bukan sekedar pajangan semata. Setiap
keluarga juga membawa bunga saat datang ke tempat upacara, bunga-
bunga yang dibawa ini nantinya dijadikan salah satu kebutuhan untuk nyekar
ke makam leluhur setelah proses upacara selesai.

Gambar 6 Gambar 7
Proses Sunda Wiwitan Proses Syukuran Adat
Sumber : Ilmu Sosial Buday.com Sumber : Ilmu Sosial Buday.com

Rangkaian acara pada upacara adat Satu Sura dimulai dengan


mendengarkan wejangan dari salah seorang sesepuh kepala adat disana,
dilanjutkan dengan berdo’a bersama yang di pimpin oleh salah seorang
sesepuh dengan diiringi alat musik kecapi suling. Setelah berdo’a semua
warga bersalaman kepada sesepuh-sesepuh ketua adat dan kepada warga
lainnya. Setelah acara itu selesai barulah mereka nyekar ke makam leluhur.
Pada hari kedua hingga hari terakhir pada bulan syura ada yang
disebut tradisi kirim-kirim. Tradisi kirim-kirim adalah tradisi saling berkirim
makanan berupa nasi dan lauk-pauknya menggunakan rantang (tempat
makanan yang bersusun dengan sebuah pegangan). Teknisnya bergiliran,
dalam sehari satu rumah yang menyediakan makanan untuk di bagikan pada
warga kampung dan hari berikutnya rumah lainnya dan begitu seterusnya
hingga berakhir bulan syura. Pada minggu ke dua atau minggu ketiga di
bulan syura yang bertepatan pada malam minggu diadakan pementasan
wayang. satu malam sebelum pementasan wayang diadakan malam kreasi
seni adat sunda seperti tari-tarian tradisional, permainan musik sunda, dan
silat (jenis bela diri adat sunda).
c) Jenis Makanan
Makanan yang di sajikan pada upacara 1 sura yaitu gunungan sesajen
berupa buah-buahan dan tumpeng rasi (nasi kuning yang berbahan dasar
nasi singkong),dan berbagai jenis makanan olahan yang berbahan dasar
singkong. Semua makanan tersebut tersaji di tengah ririungan (kumpulan)
warga di bale saresehan (tempat upacara 1 sura).

Adapun pesan dari leluhur nya pun apabila mereka tidak memakan nasi
maka akan banyak orang yang datang mengunjungi kampung cireundeu dan ini
memberikan dampak positif dalam masyarakaynya. Namun, apabila melanggar
maka akan di tanggung oleh dirinya sendiri menunggu hukum alam terjadi pada
dirinya sendiri dan tidak adanya hukum secara langsung dari masyarakatnya
sendiri yang pada intinya adanya hukum-hukum yang merlakukannyapun di
butuhkan kesadaran diri sendiri dan tanggung jawab dalam mentaati hukum yang
berlaku. Adanya hukum seperti tidak di perbolehkan memakan nasi dalam
masyarakatnya didukung pula oleh menteri pertahanan pangan pada masa
pemerintahan Gusdur. Adapun dua pantangan di kampung Cirendeu, sebagai
berikut:
a. Jangan memakan keringat orang lain, ini berarti kita tidak boleh memakan
hak orang lain seperti merampas, merampok, mencuri atau menyakiti
orang lain.
b. Tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut aliran kepercayaan yang
mereka peluk.
Sedangkan hal-hal yang harus dilakukan, yaitu:
a. Saur kudu dibubut (bercerita/ berbicara harus hati-hati dan harus pada
tempat yang sesuai).
b. Basa kedah dihampelas (berbicara dengan baik dan sopan).
c. Gotong royong.
d. Toleransi agama.

3 .SEJARAH KAMPUNG CIREUNDEU

Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di


kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. pohon reundeu itu sendiri
ialah pohon untuk bahan obat herbal. Maka dari itu kampung ini di sebut
Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu adalah kampung adat yang berada di
kawasan lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu.
Secara administratif, Kampung Adat Cireundeu tersebut terletak di Kelurahan
Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

Gambar 8
Gapura selamat datang di kampung Cireundeu
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Tak jauh dari kampung adalah bekas lokasi Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Leuwigajah, jangan berharap akan melihat pemandangan lahan sawah
yang menghijau atau padi yang menguning, pada tanggal 21 Februari 2005
terjadi peristiwa longsornya gunungan sampah yang merenggut 157 nyawa , kini
ditempat yang dulu gunungan sampah itu, kita akan banyak dimanjakan dengan
pemandangan kebun singkong yang terbentang luas. Tempat ini adalah
tempatnya masyarakat kita yang dinobatkan sebagai “Pahlawan Pangan” karena
masyarakat disini makanan pokoknya bukan nasi tetapi singkong. Terdiri dari 50
kepala keluarga atau 800 jiwa, mayoritas mata pencaharian mereka adalah
sebagai mana adat orang sunda terdahulu yaitu bercocok tanam (bertani), jenis
pertanian yang di tekuni di kampung adat ini yaitu bertani ketela (singkong).
AKTIFITAS MASYARAKAT, SOSIAL, BUDAYA, EKONOMI.

A. Organisasi di Kampung Cireundeu

Gambar 9
Gapura selamat datang di kampung Cireundeu
Sumber : kompas.com

1. Sistem organisasi
Warga kampung Cirendeu yang berlokasi di daerah cimahi, memiliki
suatu kelembagaan yang terjadi sesuai dengan fungsi-fungsi dari suatu
lembaga kemasyarakatan yang bisa di uraikan sebagai berikut :
2. Pedoman dalam bertingkah laku dalam menghadapi masalah dalam
masyarakat, terutama dalam menyangkut kebutuhan pokok.
3. Menjaga keutuhan masyarakat.
4. Merupakan pedoman sistem pengendalian sosial di masyarakat.
Lembaga Kemasyarakatan (kelompok masyarakat) yang terjadi di
Kampung Cirendeu RW 10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat , yaitu :
 Kelompok Adat
· Sesepuh
· Ais pangampih
· Pangintren
Pemilihan sesepuh adat di kampung cireundeu dilihat dari etika atau
sopan santun yang dimiliki oleh calon. Sesepuh adat tidak ada batas waktu
atau tidak ditentukan lama kepengurusannya. Sedangkan pangintren dan
ais pengampih memiliki batas waktu.

 Kelompok Pemerintah Daerah


· RT
· RW
Pemilihan RT dan RW di kampung cireundeu sama saja seperti
pemilihan RW dan RW pada umumnya

5. Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga atau kekerabatan dalam suku Sunda bersifat
bilateral yaitu garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama.
Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga.
Ikatan kekeluargaan yang kuat dalam suku Sunda sangat mempengaruhi
dalam adat istiadat, dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu
sebagai istilah-istilah untuk menunjukan hubungan kekerabatan. Sistem
kekerabatan ini merupakan simbol dari tali silaturahmi khas Sunda
(pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya
untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu
penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan.

B. Pendidikan Warga Kampung Cireundeu


Situasi pendidikan di Kampung Cirendeu ini hanya terdapat TK dan
SD, tetapi hal itu tidak mengurungkan niat generasi muda kampung
Cireundeu untuk menimba ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, alhasil lulusan
sarjanapun bisa mereka raih. Selain itu pekerjaan warga kampung
Cireundeu pun tidak hanya bertani ataupu mengolah produk yang berada
di Kampung Cireundeu saja, namun sudah banyak warga kampung
memiliki pekerjaaan di luar kampung misalnya menjadi tentara dll. Di
Kampung Cireundeu setiap hari minggu sore, anak-anak disana diajarkan
aksara sunda oleh Kang Yana di Bale Adat.
Gambar 10
Anak SD Warga Cireundeu
Sumber : kompas.com

C. Konsumsi Warga Kampung Cireundeu

Gambar 11
Singkong Makanan Pokok
Sumber : kompas.com

Sejak tahun 1918, Warga Kampung Cireundeu tidak pernah


menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat
Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang
mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan
tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh
kedamaian dan kerukunan “silih asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga
peryoga“ Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu, yaitu:
“Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare, Teu nanaon teu boga pare
gi asal boga beas, Teu nanaon teu boga beas ge asal bisa ngejo, Teu
nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu, Teu nanaon teu bisa nyatu ge
asal bisa hirup.”
Masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak
memakan nasi melainkan umbi-umbian (seperti singkong). Pangeran
Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana
maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung
memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja
karena singkongnya pun hasil kebun sendiri. Beralihnya makanan pokok
masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi
singkong dimulai kurang lebih tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah
Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-
saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah mulai
mengembangkan makanan pokok non beras ini, berkat kepeloporannya
tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan suatu
penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepatnya pada tahun 1964.
Pada masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar
terhadap makanan pokok singkong, makanan pokok penduduk kampung
Cireundeu tersebut sering diikutsertakan pada pameran-pameran
makanan non beras yang mewakili Kabupaten Bandung. Salah satu tujuan
diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan
proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya
tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok.
Selain tersebut diatas kearifan budaya lokal masih sangat kental yang
selalu diterapkan dilingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu.
Kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan sekitar
menjadi bagian dari kehidupan warga, sebagaimana petuah leluhurnya
dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan dalam
bahasa sunda sebagai berikut : “Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu
Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan, Lebak
Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun, Lembur Uruseun, Walungan
Rawateun, jeung Basisir Jagaeun “.Petuah leluhurnya dalam rangka
menjaga dan melestarikan alam dan hutan dalam bahasa sunda sebagai
berikut : “Saha anu wani ngarempak jagat Pasundan leuweung kahiyangan
isuk jaganing pageto pati kudu wani disanghareupan Nu wani ngaguna sika
leuweung saliara karamat tutupan hirup cadu mawa hurip, kaluhur ulah
sirungan ka handap ulah akaran. Nu nisca kalakuan remen nigas pucuk
linduh dinatangkal hirup teu maslahat hamo lana dipungkas nemahing ajal.
Cahaya isun meting kawani titis galur siliwangi. Ya isun tajimalela nu rek
ngajaga wana nepikeun ka pejah nyawa”. ( Kata-kata ini milik paguyuban
silaturahmi warga kampung Cireundeu, dilindungi undang-undang RI
Nomor 12 tahun 1997 bab VI Ketentuan Pidana Pasal 44 ayat 1 dan 2).

D. Perekonomian Warga Kampung Adat Cireundeu


Kampung Cireundeu adalah salah satu kampung yang sebagian besar
penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras
sebagai makanan pokok sehari-hari. Singkong adalah pilihannya yang
telah terbukti menyelamatkan warganya dari krisis pangan yang telah
terjadi. Sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan
kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung Cireundeu dapat
dibuat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai
contoh yang bisa diimplementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata
Program Ketahanan Pangan.
Potensi kegiatan pengolahan singkong yang dilakukan oleh warga
Kampung Cireundeu dapat memberikan banyak manfaat, salah satunya
dapat meningkatkan perekonomian warga kampung secara signifikan
dibandingkan dengan hanya menjual singkong dalam kondisi bahan
mentah. Pola makanan pokok kampung Cireundeu mudah-mudahan dapat
dijadikan contoh dan disosialisasikan ke khalayak umum di seluruh wilayah
Indonesia. Sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat
terwujud, agar kita dapat terbebas dari krisis pangan yang selalu
menghantui masyarakat kecil khususnya, dengan sendirinya beban
pemerintah akan subsidi pemenuhan beras akan berkurang.

Gambar 12
Aktifitas Ekonomi Warga Cireundeu
Sumber : kompas.com

Masyarakat Kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa


dengan kegiatan budidayaan tanaman singkong, dari mulai proses
pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan
pembuatan beraneka ragam jenis makanan yang berbahan dasar
singkong, salah satunya adalah “Rasi” atau beras singkong. Hal ini telah
dilakukan sejak lebih dari 80 tahun, dan merupakan keseharian masyarakat
kampung Cireundeu hingga saat ini. Dalam kehidupan keseharian
penduduk kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan
dalam hal makanan pokok, sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial
terutama pada harga beras. Taraf ekonomi masyarakat kampung
Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal mengkonsumsi
beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonominya tetapi
disebabkan karena tradisi yang dianutnya.
Masyarakat kampung Cireundeu, Cimahi juga masih mempertahankan
budaya lokal bercocok tanam secara tradisional, baik dalam hal teknik
bertanam hingga penggunaan pupuk alami. Selain itu mereka pun
termasuk masyarakat yang mandiri pangan, yaitu menanam beragam
tanaman mulai dari bahan makanan pokok, sayuran, hingga obat-obatan.
Di bidang peternakan masyarakat adat kampung Cireundeu
mengusahakan ternak domba dan ayam. Misalnya Populasi ternak di
kampung Cireundeu yang paling dominan adalah ternak domba yakni
sekitar 100 ekor, sedangkan ternak ayam hanya sekitar 70 ekor. Hal ini
karena ternak domba dapat dimanfaatkan untuk penggunaan limbah
singkong berupa kulit dan daunnya sebagai makanannya.
Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan ketela mulai dari
akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras
singkong), ranggening, opak cimpring, peyeum atau tape, dan aneka kue
berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit,
daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan
ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya
dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk dikonsumsi
sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan
Produk olahan tersebut mempunyai nilai jual yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan singkong segar hasil panen. Dengan adanya industri
pengolahan tersebut, hasil proses produksinya dapat segera tersosialisasi
kepada masyarakat umum., apabila hal ini terjadi akan mendorong
tumbuhnya kemandirian pangan di lingkungan keluarga, masyarakat dan
akhirnya ketahanan pangan nasional dapat segera tercapai.
TATA BERMUKIM

RUMAH WARGA

RUMAH ADAT

Gambar 13
Tata Letak Bermukim
Sumber : Peta Citra dan Analisis Kelompok

Prinsip Nindung Tidak menolak


Ngula ka Waktu perubahan
Mempertahankan tradisi

Masyarakat adat Cireundeu sangat memegang teguh kepercayaannya,


kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka
Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai
warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing.
Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat
Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya
seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand phone, dan
penerangan.
Seperti lihat di Gambar 13 Tata Bermukim di kampung Cireundeu ini sangat
unik karena pola antara rumah adat dan rumah warga ini jelas sangat berbeda
mulai dari struktur bangunan yang digunakan oleh rumah warga yang sudah semi
permanen sampai permanen, untuk rumah adat sendiri masih menggunakan
material yang berbahan alam seperti kayu dan bilik tetapi ada juga yang
menggunakan batu bata dan semen dan hanya sebatas semi permanen

Keterangan:

RUMAH ADAT JALAN SETAPAK


RUMAH WARGA
JALAN
SEKOLAH
SD

Gambar 14
Denah Bermukim kampung Cireundeu
Sumber : Peta Citra dan Analisis Kelompok

Di Gambar 14 ini bisa di lihat jelas konsep letak rumah adat semuanya
kearah utara karena di sebelah utara ada bukit sehingga mereka menyakini bahwa
jika menghadap kesana akan membawa energi yang positif dan memberikan
dampak lainnya seperti sirkulasi udara yang baik sedangkan bagi rumah warga
non adat mereka mendirikan rumah hanya melihat dari kondisi fisik lapangannya
saja tidak memperhatikan faktor lainnya sehingga tata letaknya tidak terstruktur
ada yang menghadap ke utara, selatan dan barat. Jalan di kampung Cireundeu
memiliki 2 tipe akses yaitu jalan yang bisa di lalui dengan motor dan jalan setapak
yang hanya bisa di lalui dengan berjalan kaki.

Gambar 15
Garis Melintang kampung Cireundeu
Sumber : Analisis Kelompok

Kawasan penghidupan yang dimaksud adalah sebuah kawasan yang


memberikan bahan pangan dalam konteks bertani untuk mereka konsumsi dan
tempat makam para warga adat serta non adat karena mereka berprinsip untuk
makam lebih pantas di dataran yang lebih tinggi dari perumahan karena supaya
terjaga kesuciannya.

Kawasan kehidupan yang dimaksud adalah sebuah kawasan yang


didalamnya ada penduduk berhuni atau tinggal dalam konteks berdagang dan
istirahat, untuk letaknya sendiri kawasan kehidupan ini di bawah kawasan
penghidupan dan di atas kawasan pembuangan
Kawasan pembuangan yang dimaksud adalah kawasan yang diperuntukkan
membuang sampah atau kotoran yang di hasilkan oleh warga, untuk letak nya
sendiri kawasan ini berada di luar administrasi kampung Cireundeu. Di kawasan
ini tidak ada rumah tetap, hanya ada pos-pos untuk pekerja persampahan ini
istirahat sementara.

TATA LETAK RUANGAN

Gambar 16
Bentuk Rumah kampung Cireundeu
Sumber : Analisis Kelompok

Gambar 17
Tata Letak Ruangan kampung Cireundeu
Sumber : Analisis Kelompok

Ada pembagian ruangan pada rumah adat sunda, yaitu ruang depan atau
biasa disebut tepas, ada juga ruang tengah yang biasa disebut tengah imah, dan
yang terakhir adalah ruang belakang yang terdiri dari pawon dan padaringan.
Ruangan tersebut memiliki fungsi masing-masing. Ruang depan atau tepas
memiliki fungsi sebagai ruang untuk menerima tamu. Pada ruangan ini biasanya
tidak disediakan furniture, apabila ada tamu biasanya pemilik rumah menyediakan
tikar. Kemudian pada bagian tengah ialah berfungsi sebagai tempat berkumpulnya
para keluarga. Diruangan ini terdapat ruang keluarga dan ruang kamar. Terakhir
ialah ruang belakang yang terdiri dari pawon dan padaringan. Pawon adalah
dapur sedangkan padaringan adalah tempat menyimpan beras atau bahan
makanan lain.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad,Nauval 2018 .http://www.kompasiana.com/sandranurdiansyah/upacara-

adat-satu-suro-kampung-adat-cirendeu_54f40c6e7455139f2b6c85e9

[Diakses:20 November 2018]

Umar,Adil 2018 .http://infocmh.blogspot.co.id/2013/12/yuk-mengenal-kampung-

adat-cireundeu-di.html [Diakses:20 November 2018]

Indah 2018 .http://www.bbpp-lembang.info/index.php/arsip/artikel/artikel-

umum/139-adat-kampung-cireundeu [Diakses:20 November 2018]

Fatimah,Bilqis 2018 .http://rikisubagja47.blogspot.co.id/2014/08/kampung-

cireundeu.html [Diakses:20 November 2018]

Sangkala, Rangga Panji. 2014. Filosofi Tata Ruang Pada Rumah Adat Sunda.
Bandung: Tel-U Press.

Anda mungkin juga menyukai