Anda di halaman 1dari 19

BUDAYA MADURA

Makalah disusun untuk memenuhi tugas geografi , guru pengampu :Bpk Sujiono s.pd

Oleh :

Mohammad Nico Setiawanto


Ahmad Besly Sianturi
Awaluddin Ahmad Yadi
M Yahya Al Farabi
Eko Rizky Kurniawan

SMA NEGERI 1 KELUMPANG HILIR


2022
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Geografi dan Kependudukan................................................................................ i
1.2 Pengaruh Agama Islam........................................................................................ ii
BAB II TIGA WUJUD KEBUDAYAAN DI MADURA
2.1 Budaya Ide/Gagasan
2.1.1 Adat Perkawinan Nyalabar ................................................................................ 1
2.2 Budaya Tindakan 2.2.1 Tanean Lanjang ................................................................... 2
2.2.2 Bahasa Madura ................................................................................................... 3
2.2.3 Karapan Sapi ...................................................................................................... 5
2.2.4 Carok .................................................................................................................. 6
2.3 Artefak 2.3.1 Batik ..................................................................................................... 7
2.3.2 Tradisi Batik Genthongan .................................................................................. 8
2.3.3 Keraton Sumenep ............................................................................................... 9
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 13
3.1 Kesimpulan............................................................................................................... 13
3.2 Saran ......................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Geografi dan Kependudukan

Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7’ sebelah
selatan dari khatulistiwa di antara 112’ dan 114’ bujur timur. Pulau itu dipisahkan
dari Jawa oleh Selat Madura,yang meghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali.
Kebanyakan masyarakat Madura merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih
sembilan puluh persen penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, di desa-
desa, dukuh-dukuh dan kelompok-kelompok perumahan petani (Huub de Jonge,
1989:17). Adapun pertumbuhan dan kepadatan penduduk di Madura, yang
walaupun tanahnya tidak subur, Madura adalah pulau yang berpenduduk padat.

Gambar 1. Peta pulau Madura


(Sumber :
https://www.google.co.id/search?q=geografi+madura+pdf&biw=1366&bih=667&source
=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAYQ_AUoAWoVChMImdLP9qWhyAIVWJGOCh1k
KQeg#tbm=isch&q=Letak+geografis+pulau++madura&imgrc=Q_REaUkKwBCPhM%3
A)
i

1.2 Pengaruh Agama Islam


Seperti halnya dengan hampir semua orang Madura, penduduk desa adalah
penganut agama Islam. Penyebaran agama Islam berlangsung sejalan dengan
perluasan perdagangan. Penyebar yang pertama ialah pedagang Islam dari India
(Gujarat), Malaka dan Sumatra (Palembang) (Schrieke dalam Huub de Jonge,
1989). Disusul dengan pengikut Sunan Ampel dan Sunan Giri, para wali suci Islam
yang berkedudukan di dekat kerajaan-kerajaaan dagang kecil Surabaya dan Gresik
(De Graaf dan Pigeaud dalam Huub de Jonge, 1989)
ii
BAB II
TIGA WUJUD KEBUDAYAAN DI MADURA

2.1 Budaya Ide/Gagasan


2.1.1 Adat Perkawinan Nyalabar
Perkawinan merupakan salah satu unsur daur hidup yang penting pada
hampir semua masyarakat, termasuk pada masyarakat Madura ini. Banyak aturan
adat berdasarkan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang harus dilaksanakan
dalam rangka suatu perkawinan.

Gambar 1. Mantenan Madura


(Sumber : http://www.lontarmadura.com/pernikahan-adat-madura-2/, 2011)

Menurut adat, tahap-tahap dalam proses perkawinan di Madura dimulai


dengan mencari gadis bagi jodoh anak laki yang disebut nyalabar. Tahap ini
dilanjutkan dengan menghubungi pihak wanita (narabas pagar), dan kalau dapat
diterima dilanjutkan dengan pertunangan yang diikat dengan penyengset.
(Nurcahyo Tri Arianto, 2011:8)
Gadis yang akan memasuki jenjang perkawinannya harus menjalani
pingitan selama 40 hari. Iring-iringan pengantin pria yang datang ke rumah
pengantin wanita disebut panganten ngekak sangger. Rombongan ini biasanya
diiringi dengan suara musik hadrah. Mereka membawa barang-barang bawaan dari
pihak pria yang disebut bangiban. (Nurcahyo Tri Arianto, 2011:8)
Barang itu antara lain sepasang ayam dari kayu yang melambangkan tekad
pengantin pria dalam menempuh hidup baru. Ada beberapa seserahan yang dibawa
oleh pihak laki-laki, diantranya kembang sekar mayang yang menggambarkan
1
harapan terhadap kelimpahan rezeki, dan bawaan lain yang bersifat simbolis yang
mengandung harapan dan makna tertentu. Seusai ijab kabul, kedua pengantin
diwajibkan menganyam bambu (ngekak sangger), yang merupakan suatu
perlambang saja. Kedua pengantin akan menjadi anggota dan menyatu dalam dua
keluarga besar dan mereka harus menjalin hubungan demi kelestarian rumah
tangganya. Sekarang sudah tidak lagi secara langsung menganyam bambu itu, tapi
hanya sekedar meraba-raba anyaman hambu yang sudah tersedia (Nurcahyo Tri
Arianto, 2011:8).

2.2 Budaya Tindakan 2.2.1 Tanean Lanjang


Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi
tali kekerabatan, dan salah satu simbol yang mendukung tentang tali kekerabatan
ini, dapat dilihat dari denah sebuah rumah yang masih bersifat tradisional atau
rumah – rumah adat yang terdapat di Madura. Permukiman tradisional masyarakat
madura memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan permukiman –
pemukiman masyarakat lainnya, hal ini lebih dikenal dengan model atau sebutan
Tanean Lanjang.
Tanean lanjang (halaman panjang) adalah permukiman tradisional
masyarakat madura yang dihuni oleh keluarga besar yang masih satu keturunan.
Permukiman model seperti ini hanya dimungkinkan oleh keluarga mampu, yang
mampu menyediakan rumah bagi keturunannya. Kelompok yang tinggal di tanean
lanjang merupakan satu kelompok geneologis, pasangan yang sudah menikah
diharuskan tinggal di tanean lanjang bersama dengan orangtua pihak perempuan
dalam satu rumah khusus yang dibangun oleh mereka.

2
Gambar 3. Tanean Lanjang
(Sumber : Ayu Indeswari, 2013)

Desa – desa di Madura sulit dikenali batas batas pemisahnya. Tidak adanya
batas – batas itu memudahkan pemerintah untuk mengubah administrasi desa
karena tidak ada penentangan dari penduduk. Akan tetapi, nampaknya di antara
generasi muda terdapat kecenderungan untuk bermukim di tempat lain, kadang –
kadang setelah beberapa bulan tinggal di rumah atau halaman orang tua atau
mertua. Selain itu, dapat dilihat bahwa di antara generasi tua sering terjadi
perpindahan ke tempat lain setelah terjadi suatu konflik.

2.2.2 Bahasa Madura


Bahasa Madura adalah bahasa daerah yang digunakan sebagai sarana
komunikasi sehari-hari oleh masyarakat etnik madura, baik yang bertempat tinggal
di pulau madura dan pulau pulau kecil sekitarnya maupun di perantauan. Bahasa
madura menempati posisi keempat dari tiga belas besar bahasa daerah terbesar di
indonesia dengan jumlah penutur sekitar 13,7 jiwa (Lauder dalam Akhmad Sofyan,
2010:207)
Berdasarkan sudut pandang linguistik, bahasa Madura dikelompokkan ke
dalam empat dialek utama, yakni (1) dialek Sumenep, (2) dialek Pamekasan, (3)
dialek Bangkalan, dan (4) dialek Kangean serta dua dialek tambahan, yakni (1)
dialek Pinggirmas dan (2) dialek Bawean. Oleh para ahli yang membagi bahasa
Madura menjadi empat dialek. Dialek Pinggirpapas dimasukkan sebagai bagian
dari dialek Sumenep, sedangkan dialek Bawean dimasukkan sebagai bagian dari
dialek Bangkalan (Sofyan dalam Akhmad Sofyan, 2010:208).
3
Dari sudut pandang sosiolinguistik, bahasa Madura dikelompokkan ke
dalam dua dialek atau bahasa, yakni (1) bahasa Madura barat dan (2) bahasa
Madura timur. Sedangkan Kangean dan Bawean dianggap sebagai bahasa yang
berbeda. Bahasa Madura sama seperti bahasa Indonesia yang termasuk ke dalam
rumpun Austronesia Barat.

Gambar 3.1 Tretan Muslim


(Komika asal Madura)

4
2.2.3 Karapan Sapi

Gambar 4. Karapan sapi


(Sumber : Akhmad Sofyan, 2010)

Karapan sapi adalah salah satu perminan rakyat Madura. Orang Madura
menyebut permainan itu keraben sapeh. Permainan ini melombakan
pasanganpasangan sapi yang dikendalikan oleh seorang “joki” yang disebut
penompak. Pasangan sapi itu dilihat dan diukur kecepatan larinya dalam menempuh
jarak sekitar 100-150 meter. Permainan ini konon telah ada pada masa raja
Arjawiraja memerintah kerajaan Madura sekitar abad 12-13 M yang dilakukan oleh
sekelompok petani setelah usai masa panen, dengan melombakan pasangan sapi itu
dari satu pematang ke pematang sawah. (Aries Sudiono dalam Nurcahyo Tri
Arianto, 2008:8)
Permainan ini ada yang dilombakan antar desa untuk tingkat kecamatan,
tingkat kabupaten, atau antar kabupaten yang ada di pulau Madura. Pada masa yang
lebih akhir, pemerintah setempat mengeluarkan persyaratan di mana sapinya harus
asli dari Madura, umur antara 3-7 tahun, berat rata-rata 200 kg. dan tinggi 120 cm.
(Aries Sudiono dalam Nurcahyo Tri Arianto, 2008:8)
Sebelum perlombaan dimulai, sapi-sapi itu diarak di sekitar arena dan
dikenakan kostum “warna-warni” dengan kombinasi warna khas Madura. Ketika
sapi akan dilombakan, pasangan-pasangan sapi itu terlebih dahulu “disatukan” atau
yang disebut pengenong. Pada pengenong itu terikat pula tiga potong kayu yang
menjulur ke belakang di sela-sela badan kedua sapi, yang dinamakan keleles.
Keleles berfungsi antara lain sebagai tempat berjuntai kaki “joki” (penompak).
Penompak berperan mengendalikan dan memacu pasangan sapinya agar
berlari secepat mungkin. Upaya memacu sapi ini dengan cara melecut, bahkan
5
menusuk-nusuk punggung sapi dengan benda tajam, seperti paku yang memang
telah disediakan. Punggung sapi karapan itu memang biasanya penuh luka terkena
tusukan jokinya yang mengharapkan sapinya berlari secepatnya dan menang. Tapi
sekarang biasnya menggunakan cambuk.
Jauh-jauh hari sebelum tiba hari perlombaan, pemilik sapi telah dikunjungi
oleh para kerabat, teman-teman, dan orang lain yang punya kepentingan tertentu.
Biasanya mereka datang pada malam hari untuk mengobrol, memberi semangat
bagi pemilik sapi, atau mengatur strategi dalam menghadapi perlombaan yang akan
datang.
Pada acara selamatan ini ada pembacaan doa, mengharap datangnya berkat
dan keselamatan. Pada selamatan itu disyaratkan tidak memotong ayam atau daging
sebagai lauk. Orang Madura pada umumnya sangat menyenangi permainan ini. Di
antara para penonton tidak jarang yang bertaruh, dan taruhannya ada yang
mencapai jutaan rupiah, dan pihak yang berduit telah mencemari kemurnian
permainan itu. (Nurcahyo Tri Arianto, 2008:8) Karapan sapi ini juga menjadi daya
tarik bagi para wisatawan untuk datang ke pulau Madura.

2.2.4 Carok
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa terlepas dari masalah.
Entah itu masalah dengan diri sendiri, orang lain atau kelompok. Carok adalah
sebuah pembelaan harga diri ketika seseorang merasa martabatnya terinjak-injak
oleh orang lain, yang berhubungan ketersinggungan tentang persoalan atau
sengketa harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan, (dari pada hidup
menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang sering
disuarakan menjadi motivasi untuk melakukan carok.
Menurut Wiyata, banyak orang mengartikan bahwa setiap bentuk
kekerasan, baik berakhir dengan kematian atau tidak, terutama yang dilakukan
orang Madura, disebut carok (A. Latief Wiyata dalam Taufiqurrahman, 2011:9).
Ada proses yang mengiringi sebelum berlangsungnya carok. Pelaku carok harus
membunuh lawannya dari depan dan ketika lawannya jatuh tersungkur, maka posisi
mayat menentukan proses kelanjutan dari sebuah carok. Jika mayat jatuh dengan
posisi terlentang, maka keluarga si mayat dipandang berhak melakukan balas
dendam. Akan tetapi, jika posisi mayat telungkup dengan muka menghadap tanah

6
maka balas dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi
korban carok.

Gambar 5. Carok

2.3 Artefak 2.3.1 Batik

Gambar 6. Motif batik madura


(Sumber : Akhmad Sofyan, 2010)

Batik Madura dapat digolongkan sebagai batik pesisir seperti batik


Pekalongan, Lasem, Surabaya, dan Priangan. Warna batik pesisir lebih dominan
warna biru tua, didominasi warna kuning, hijau, merah dengan corak yang hidup
dan cerah. Madura mengenal dua kelompok daerah pembatikan, yaitu Bangkalan,
kecamatan Tanjung Bumi, Sampang, Pamekasan dan Sumenep di daerah Bluto.
Menurut hasil data dan wawancara dari para sumber, batik yang paling dikenal hasil
dan kekreatifannya, dari corak dan tingkat kesulitan dalam motifnya yaitu batik
Bangkalan, Tanjung bumi. Yang dianggap paling berpotensi dan hasil batiknya
halus, beraneka ragam motif yang unik dan rumit motifnya.

7
Batik Tar Poteh Tanjung Bumi ini adalah batik pesisir yang pertama kali
lahir di Tanjung Bumi. Batik Tar Poteh ini juga berkombinasi warna putih, hitam
dan merah yang ketiga warna tersebut mempunyai arti dan makna tersembunyi.
Dan warna tersebut juga dipakai sebagai warna pakem dari batik Tanjung Bumi.
Batik Tar Poteh Tanjung Bumi ini juga mempunyai cerita tersendiri dan banyak
identitas Madura yang tercantum di dalam batik tersebut.
Kebanyakan motif batik Tanjung bumi berkisar pada motif batik tulis
pesisir yang dipengaruhi oleh lingkungan dan letak geografisnya. Warna - warna
khas batik tulis di daerah ini menggunakan warna-warna yang tajam dan kontras
yang disesuaikan dengan karakter masyarakat Madura. Salah satu warna yang
menjadi ciri khas adalah warna merah. Biasanya ada setitik warna merah pada motif
daun, bunga, merak, dan sebagainya.
Kata “tar” yang berarti latar atau biasa disebut dengan kata background,
dan kata “poteh” yang dalam bahasa Indonesia berarti putih. Jadi batik tar poteh
Tanjung Bumi dinamakan dengan batik tar poteh karena dalam batik tersebut
terdapat latar atau background yang berwarna putih dan dikombinasi dengan warna
hitam dan merah sebagai hiasan yang ada diatas background warna putih dalam
batik tersebut.

2.3.2 Tradisi Batik Genthongan

Gambar 2. Batik Madura


(Sumber : Diananta P. Sumedi, 2013)

Tradisi membatik di Madura salah satunya yang terkenal adalah Batik


Genthongan. Disebut Genthongan karena proses pewarnaanya terlebih dahulu

8
direndam dalam wadah mirip gentong. Konon katanya kain direndam selama dua
bulan, kemudian lembaran kain batik disikat untuk menghilangkan sisa lilin atau
malamnya.
Batik Genthongan yang cukup dikenal luas karena kekuatan warnanya yang
bisa bertahan hingga puluhan tahun. Selain bahan kainnya dipilih yang terbaik,
juga pewarnanya menggunakan pewarna alami. Bahan yang digunakan dalam
pembuatan batik Genthongan diracik dari sari tumbuhan pilihan soga alam khas
Madura berasal dari Mengkudu dan Tingi untuk menghasilkan warna merah.
Hijau berasal dari kulit Mundu ditambah tawas. Daun Tarum digunakan jika ingin
memberikan efek warna biru. Kesemuanya itu diramu oleh tangan-tangan terampil
dengan imajinasi seni tingkat tinggi sehingga menghasilkan motif batik yang
beragam dan unik, khas pulau Madura.

2.3.3 Keraton Sumenep

Gambar 7. Masjid Agung Sumenep


(Sumber : Andi Prianto, 2014)

Sumenep merupakan Kabupaten di Jawa Timur yang berada di ujung paling


Timur Pulau Madura, bisa dibilang sebagai salah satu kawasan yang terpenting
dalam sejarah Madura. Kita dapat menjumpai situs-situs kebudayaan yang sampai
hari ini masih menjadi obyek pariwisata.
Daerah Sumenep dibuka pertama kali sebagai kabupaten oleh Ario Adikoro
Wiraraja yang memerintah pada tahun 1269 - 1292. Beliau adalah Bupati yang
dibentuk dan diangkat oleh Raja Singosari yang dikenal dengan Raja Kertanegara.
Jadi saat itu Sumenep merupakan daerah bawahan kerajaan Singosari. Bupati-
bupati pada kurun selanjutnya adalah tetap anak turun dari Ario Adikoro Wiraraja
9
dan selalu berkiblat ke arah kerajaan di Jawa (Abdurachman dalam Nunuk Giari
Murwandani, 2007:73).
Bila menilik lagi sejarah dari Keraton Sumenep ini,bisa dilihat bahwa benar
ada percampuran budaya/akulturasi akibat kedatangan imigran dari Cina dan
Belanda. Pada tahun 1229 Sumenep kedatangan dari imigran Cina. Orangorang
Cina yang kemudian kawin dengan orang Madura dan menetap di sana.
Lauw Pia Ngo terkenal sebagai arsitek Keraton Sumenep, pada pemerintahan
Panembahan Sumolo, abad ke 18. (Abdurachman dalam Nunuk Giari Murwandani,
2007:73).
Pada bangunan Keraton dan Masjid Agung yang kini masih terawat baik,
dapat dilihat pengaruh dari arsitektur Cina. Penyelesaian atap dan sebagian
ornamen ukir-ukiran pada pintu dan jendela keraton dibuat dengan penuh langgam
Cina. Pintu gerbang mengingatkan pada bentuk tembok Tiongkok, mimbar yang
diselesaikan dengan porselin dari Cina. Pada rumah tinggal para pangeran juga
dapat ditemukan hal serupa. Rumah Pangeran Letnan dan Pangeran Patih, bentuk
atapnya mirip rumah koloni Cina yang dapat ditemukan di Batavia dan kota-kota
besar di Jawa.

Kedatangan orang Cina selain berusaha pada bidang perdagangan juga


tekun pada bidang pertukangan, maka pengaruh kebudayaan Cina terlihat jelas
pada seni bangunan di Sumenep. Bentuk hiasan penutup atap dan pengukiran atap
dengan top gevel (gunung-gunung), keramik, porselin dari Cina, ukir-ukiran bentuk
Naga, burung Phoenix atau Merak dan sebagainya merupakan pengaruh
kebudayaan Cina. Pintu gerbang Masjid Agung Sumenep mengingatkan pada
Tembok Raksasa di Cina yang terbuat dari tembok dengan bentuk memanjang,
mengesankan kekokohan dan keagungan. Interior ruang masjid Jamik, seperti
mimbar, mihrab dan maksurah pada dindingnya dilapisi dengan keramik porselen
dari Cina. Model interior seperti ini memperlihatkan nuansa pengaruh Cina yang
sangat kuat.

Setelah kedatangan imigran dari Cina, menurut buku "Tjareta Negraha


Song-genep", Kompeni Belanda atau VOC datang di Sumenep pada kurun
pemerintahan Raden Bugan (1648-1672), sahabat Raden Trunojoyo. Setelah
perjuangan Trunojoyo dapat dipatahkan, maka Pamekasan dan Sumenep kemudian
takluk kepada kekuasaan Kompeni. Bahkan sepeninggal Raden Bugan, Kompeni
ikut campur menentukan tampuk pemerintahan Sumenep, kemudian menentukan

10
Raden Sudarmo, putra tunggal Raden Bugan yang masih remaja, dibawa dan diasuh
Kompeni di Batavia.

Pada awal berdirinya kabupaten Sumenep kekuasaan Kolonial Belanda


cukup lama (kurang lebih 3 abad), dengan demikian terjadi komunikasi antara
budaya, pengaruh kebudayaan Belanda memberi warna pada kebudayaan
Sumenep. Hal ini terlihat juga pada konsepsi ruang pada bangunan rumah tinggal
kaum bangsawan. Bangunannya mirip dengan konsepsi ruang pada bangunan
Kolonial Belanda yang banyak terlihat di Batavia dan kota-kota besar di Jawa yang
disebut sebagai "landhuise", yakni bentuk arsitektur Belanda yang sudah
disesuaikan dengan iklim di Indonesia. Bentuk-bentuk elemen bangunan seperti
kolom banyak dibuat dengan gaya Arsitektur Belanda (Yunani). Bentuk-bentuk
rumah tinggal Landhuise kini peninggalannya dapat dilihat pada beberapa rumah
kaum bangsawan pedagang Arab dan Pakistan di daerah Kepanjen dan lain-lain.

Kraton Sumenep dan masjid Jamik dirancang oleh arsitek Lauw Pia Ngo
dari Negeri Cina, dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Maka
warisan budaya itu tidak luput dari pengaruh budaya Jawa Hindu, Islam, Cina dan
Belanda. Pengaruh budaya-budaya tersebut tampak pada penampilan dan
penyelesaian bangunan-bangunan tersebut. Pendopo Kraton ternyata memiliki
bentuk bangunan Jawa. Pendopo dengan atap Limasan Sinom dan bubungannya
dihiasi dengan bentuk mencuat seperti kepala naga, merupakan pengaruh Cina.
Sedangkan bangunan dalem terdapat bentuk gunung (top level) yang telanjang
tanpa teritis dan diselesaikan dengan bentuk mirip cerobong asap di puncaknya,
merupakan bukti pengaruh Belanda dan Cina. Pada ragam hiasnya juga nampak
beberapa pola Jawa, Islam dan Cina yang dipadu cukup menarik. Bentuk arsitektur
Kraton Sumenep, menunjukkan wujud adanya akulturasi antara budaya Madura,
Cina dan Belanda. Dengan akulturasi tersebut menunjukkan telah terjadi
komunikasi antar budaya baik budaya imigran maupun pribumi. Adanya
komunikasi budaya mengakibatkan proses akulturasi sebuah budaya menjadi lebih
cepat terbentuk. Berikut bukti adanya akulturasi.

11
Gambar 8. Gapura Keraton
(Sumber : Nunuk Giari Murwandani, 2007)

Tampak depan Labang Mesem (Gapura Kraton). Hiasan tembok meniru


bentuk Parthenon dengan pilar-pilarnya bergaya Ionic sebagai bentuk pengaruh
arsitektur Belanda. Sedangkan atapnya bersusun mirip dengan Pagoda Cina

Gambar 9. Keraton Sumenep


(Sumber : Nunuk Giari Murwandani, 2007)

Tampak Timur Dalem Keraton yang din-dingnya tanpa teritis, mirip


dinding Klenteng. Pada puncak dinding tembok, terdapat bentuk seperti kepala
tugu yang amat mirip dengan bentuk cerobong asap di negeri Eropa (Belanda).

Disini terlihat Akul-turasi Budaya Cina dan Belanda dalam Seni Bangun.
12
Gambar 10. Masjid Jamik
(Sumber : Nunuk Giari Murwandani, 2007)

Pintu gerbang Masjid Jamik Sumenep yang bentuknya mirip dengan


tembok Raksasa Tiongkok. Dilatar belakang nampak bangunan masjidnya yang
beratap Tajug tumpang tiga pengaruh arsitektur Jawa – Islam.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7’ sebelah
selatan dari khatulistiwa di antara 112’ dan 114’ bujur timur. Pulau itu dipisahkan
dari Jawa oleh Selat Madura,yang meghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali.
Setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing. Madura banyak
menyimpan kebudayaan tersendiri seperti kebudayaan ide, tindakan maupun
artefak yang ada. Pulau yang terkenal dengan persebaran agama Islam ini, ternyata
mempunyai banyak keunikan tersendiri, yang sudah penulis jabarkan dalam
makalah ini.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap agar mahasiswa lain dapat
melanjutkan apa yang sudah penulis kerjakan. Semoga masyarakat yang membaca
makalah ini, dapat mempelajari kebudayaan yang ada di Pulau Madura.

DAFTAR PUSTAKA

13
Internet:
Muryadi. Negara Madura, Sejarah Pembentukan hingga Penyelesaiannya dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/NEGARA%20MADURA.pdf . diunduh
tanggal 24/05/2022 jam 17.07 WTA
Akhmad Sofyan. 2010. Fonologi Bahasa Madura,
http://journal.ugm.ac.id/jurnalhttp://journal.ugm.ac.id/jurnal-
humaniora/article/download/1337/1138humaniora/article/download/1337/1138 .
diakses tanggal 24/05/2022 jam 17.20 WTA
Muh. Syamsuddin. 2007. Agama, Migrasi dan Orang Madura, http://digilib.uin-
suka.ac.id/8280/1/MUH.%20SYAMSUDDIN%20AGAMA,%20MIGRASI%20
DAN%20ORANG%20MADURA.pdf . diakses tanggal 17/05/2022 jam 17.17
Wita
Rifqi Roisul Amri. 2011. Representasi Identitas Madura Dalam Batik “Tar Poteh”
Tanjung Bumi. http://digilib.uinsby.ac.id/10981/4/bab%201.pdf . diakses
tanggal 25/05/2022 jam 17.24 WITA
Nurcahyo Tri Arianto. 2011. Kajian Etnografi,
http://web.unair.ac.id/admin/file/f_34835_kajianetnografi.pdf . diakses tanggal
25/05/2022 jam 17.32 WITA B

Taufiqurrahman. 2007. Identitas Budaya Madura,


https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad
=rja&uact=8&ved=0CGUQFjAHahUKEwilyIyJ_fPHAhUFA44KHQhttps://ww
w.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=rja&uact
=8&ved=0CGUQFjAHahUKEwilyIyJ_fPHAhUFA44KHQ-
hDGQ&url=http%3A%2F%2Fdownload.portalgaruda.org%2Farticle.php%3Far
ticle%3D251111%26val%3D6749%26title%3DIDENTITAS%2520BUDAYA
%2520MADURA&usg=AFQjCNHhRHsEJkpMLyDOToV1grYJdw9-
ag&sig2=2hG-
pXcCPJVmvGnxN43rBAhDGQ&url=http%3A%2F%2Fdownload.portalgaruda
.org%2Farticle.php%3Far
ticle%3D251111%26val%3D6749%26title%3DIDENTITAS%2520BUDAYA
%2520MADURA&usg=AFQjCNHhRHsEJkpMLyDOToV1grYJdw9-
ag&sig2=2hG-pXcCPJVmvGnxN43rBA . diakses tanggal 025/05/2022 jam
19.10 WITA
Nunuk Giari Murwandani. 2007. Arsitektur-Interior Keraton Sumenep Sebagai Wujud
Komunikasi Dan Akulturasi Budaya Madura, Cina Dan Belanda,
http://digilib.uinsby.ac.id/11586/7/bab2.pdf
Ayu Indeswari dkk. 2013. Pola Ruang Bersama pada Permukiman Madura
Medalungan di Dusun Baran Randugading,
http://ruas.ub.ac.id/index.php/ruas/article/download/127/134

Masjid Agung Sumnenep : Andi Prianto. 2014.


http://nationalgeographic.co.id/fotohttp://nationalgeographic.co.id/foto-
lepas/2014/05/masjid-agung-sumeneplepas/2014/05/masjid-agung-sumenep
Carok : http://www.maduracorner.com/terkini/inilah-kronologi-carok-di-kadurpamekasan/
14
15

Anda mungkin juga menyukai