Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat Fakultas Syariah Sekolah
Tinggi Agama Islam
Darud Da’Wah Wal Irsyad (DDI) Mangkoso
Angkatan 2020
Oleh:
MURSYID
NIM: 200231030
Dosen:
Laela Safriyani, S.Sy., M.HI.
Segala puji milik Allah SWT. Atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini, salawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw juga kepada umat beliau yang tetap
Makalah ini berjudul “Tradisi Rokat Tase Perspektif Hukum Islam” kami
menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna , oleh
karena itu keritik dan saran yang bersifat membangun, senantiasa kami harapkan dari
semua pihak sebagai bahan masukan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu selaku dosen yang telah memberi
tugas dan membimbing kami, akhirnya kami berharap agar kiranya makalah ini
bermanfaat kepada pembuat dan pembaca.
Mursyid
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
A.Praktek Dan Proses Pelaksanaan Rokat Tase..................................................4
B.Perspektif Hukum Islam Tentaang Rokat Tase................................................7
BAB III PENUTUP .............................................................................................10
A. Kesimpulan...................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
kebudayaan yang masih hidup hingga saat ini. Berbagai daerah di Indonesia
beragam suku, dan agama yang ada, dalam setiap bentuk masyarakat yang dapat
1
Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman, Kepercayaan,
Keyakinan, dan Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 33-35
2
Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan
Islam (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 3.
1
2
Masyarakat Madura selain sebagai petani juga sebagai pedagang dan nelayan.
Peneliti mengkaji budaya di Madura bermacam-macam budaya, fokus penelitian ini
tentang rokat tase’. Secara etimologi, rokat berarti bersalamatan untuk menunaikan
nazar, tase’ berarti laut. Sedangkan kata pangkalan berarti tempat berlabuh kapal,
perahu, atau pelabuhan. Rokat tase’ atau pangkalan merupakan suatu upacara kurban
yang dilakukan setiap tahun oleh masyarakat nelayan berbagai tempat di Madura
khususnya di Pasean. Tradisi budaya rokat pangkalan dipilih sebagai objek penulisan
didasarkan pada asumsi bahwa tradisi tersebut memiliki ciri khas yakni dengan
dipakainya simbol-simbol islam seperti terdapat pada nama nabi dan nama-nama
malaikat.4
Rokat tase’ atau ruwatan laut merupakan upacara yang diselenggarakan oleh
anggota masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Upacara ini
dilaksanakan sebagai upaya yang diserukan oleh para nelayan agar mereka dalam
dijauhkan dari mana bahaya selama melaut. Perahu merupakan sarana atau mitra bagi
para nelayan untuk menghidupi diri beserta keluarga mereka. Perahu juga dinggap
memiliki kekuatan atau jiwa. Upacaya untuk keperluan ini di beberapa wilayah
3
A. Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura: Esai-esai Remeh Seputar Kebudayaan
Madura (Surabaya: Andhap Asor Kerja sama dengan Al-Afkar Press, 2013), h. 3-5.
4
Soegianto, Kepercayaan, Magi dan Tradisi dalam Masyarakat Madura (Jember: Tapal
kuda, 2003), h. 177-178
3
disimbolkan dengan memandikan anak gadis yang masih suci (belum mengalami
datang bulan) yang berselimut selembar kain putih.5
Sejarah awal rokat tase’ ini dinamai rokat jaghangan karena rokat nya
berlangsung di tepi pantai dimana para nelayan menyandarkan perahunya, sebelum
berlayar menuju laut. Disetiap desa dimana ada jaghangan biasanya mereka para
nelayan juga melakukan rokat tase’. Maksud penginapan wadah sesaji tersebut untuk
mermberi kesempatan pada masyarakat yang lain barangkali mau menitipkan
sesajinya melalui wadah tersebut. Hal itu dilakukan dengan suka rela dalam bentuk
apa saja, tapi pada umumnya dalam bentuk uang. Dan selain itu pada saat menjelang
rokat tase’, para warga sekitar memperingatinya dengan memasak makanan
hidangan.6
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Makalah
5
A.M. Hermien Kusmayati, Arak-Arakan: Seni Pertunjukan dalam Upacara Tradisional di
Madura (Yogyakarta: Tarawang Press, 2000), h. 17-20.
6
Syaf Anton, upacara rokat tase’ tanjung saronggi, dalam
http://www.lontarmadura.com/upacararokat-tase-tanjung-saronggi/ Di akses 22-Desember-2016.
21:40.
BAB II
PEMBAHASAN
Nelayan adalah pekerjaan yang banyak peminatnya. Meskipun ada sebagian yang berprofesi
pedagang dan petani, akan tetapi pekerjaan ini tidak banyak digeluti, dikarenakan
pertimbangan geografis dan laut adalah bagian tak terpisahkan dar kehidupan masyarakat
pesisir. Diperkirakan sekitar delapan persen penduduk madura mencari rezeki dengan jalan
melaut.7
Setelah berhasil mendapat tangkapan ikan, para nelayan ini kembali ke
pinggir pantai, kemudian hasil selama melaut itu di serahkan kepada para agen dan
penjemput yang datang dengan perahu berukuran lebih kecil, setelah ikan tadi
ditimbang, dipilah pilih mana yang bagus, barulah kemudian dibawa kepasaran, ada
yang dijual dalam bentuk ikan segar, kering atau pindang.
Hasil para nelayan berupa ikan-ikan tadi tidak hanya dijual dalam bentuk
aslinya, tapi bisa menjadi barang olahan berupa petis, terasi untuk menambah volume
penghasilan. Tangkapan yang mereka perolah beranekaragam, diantaranya berupa
ikan kakap, tonggkol, tenggiri, jenis-jenis seafood (udang&kepiting) dan banyak lagi
yang lainnya. Sampai-sampai pasar ikan nasional di kota bogor, banyak menjual ikan
kering yang didatangkan dari wilayah Madura, menunjukkan betapa melimpahnya
ikan-ikan dilaut madura. Biasanya yang melaut hanya di kerjakan para laki-laki, istri-
istri nelayan hanya menunggu hasil tangkapan ikannya di tepian ditangani kemudian
di edarkan ke pasaran.8
7
Hub. De Jong, Madura Dalam Zaman, Suatu Studi Atropologi Ekonomi (Jakarta: Gramedia,
1992), h. 41
8
Min Ahmad Rifa’i, Manusia Madura (Jogyakarta: Pilar Media, 2009), h. 81
4
5
Oleh karenanya mereka perlu untuk mengadakan ritual dan suatu upacara adat
tertentu dengan tujuan agar diselamatkan dari berbagai macam malapetaka yang
mengincar, kemudahan rezeki , dan wujud ungkapan Syukur pada Tuhan yang telah
memberikan limpahan karuniaNya berupa ikan yang melimpah. 9 Acara ini dikenal
dengan istilah Rokat tase’. Beda tempat, penyebutan istilah ini juga berlainan, di jawa
disebut dengan istilah bermacam-macam, di wilayah muncar, dinamakan petik laut, di
Malang selatan dikenal dengan labuhan, lain hal di penduduk popoh tulunggagung,
upacara ini dikenal dengan labuh sesaji, di pantai prigi di namakan larung
sembonyo.10
Dalam urusan penyelanggaraan dan agenda rokat tase, biasanya dilaksanakan
setelah melalui musyawarah terlebih dahulu, yang diikuti oleh para nelayan tentunya
dengan dibimbing langsung oleh tokoh sesepuh setempat. Warga percaya sepenuhnya
kepada para tetua dan tokoh dalam urusan teknis pelaksanaanya. Peneliti melihat
gejala ini bermakna untuk dikaji karena merupakan fenomena sosial yang sarat
dengan budaya, keagamaan dan penuh dengan makna & tujuan. Peneliti memandang
fenomena ini urgent untuk diteliti guna Menemukan jawaban bagaimana pandangan
Hukum Islam terhadap fenomena ini. Dikarenakan segala kegiatan manusia tidak
pernah bisa dilepaskan dari Syariah Islam.
Ada beberapa nama yang populer di khalayak terkait tradisi rokat tase’. Salah
satunya rokat, petik laut, pangkalan, sesaji, dan lain lain. Secara etimologis, rokat
berarti meruwat dan tase` berarti lautan. Kata meruwat mempunyai definisi
menjauhkan orang dari musibah yang akan menimpa mereka (KBBI). yang kata
dasarnya berarti tempat berlabuh perahu atau kapal, sedangkan tepi laut adalah
tempat berlabuh (KBBI).
Arti Selamedhen ialah selametan. Maka secara umum rokat tase' dapat
didefinisikan sebagai "Ritual yang dipraktikkan di pantai lokasi kapal berlabuh,
9
Soegiyanto, Kepercayaan Masyarakat Madura (Jember: Tapal Kuda, 2004), h. 177.
10
Soegiyanto, Kepercayaan Masyarakat Madura, h. 178.
6
11
Tim penulis, Ensiklopedi Pamekasan (Penerbit: Pemkab Pamekasan: 2011), h. 317.
12
Soegiyanto, Kepercayaan Masyarakat Madura, h. 177.
13
A. M Hermin Kusmayati, Seni Pertunjukan Tradisional di Madura, h. 17
7
untuk melaksanakan rokat sedang dan besar. Kedua, Rokat pertengahan (rokat
tennga). Jenis rokat pertengahan dilakukan pada umumnya oleh masyarakat yang
pandai membaca Al-Qur’an, terdiri dari para Kyai, para Ustadz dan pemuka
masyarakat. Biasanya peserta selametan lebih dari 40 orang. Surat Yasin dibaca tiga
kali sebagai penutup acara yang dipamungkasi dengan doa. Dalam pelaksanaan
tingkat Rokat menengah ini, seekor kambing dimasak untuk suguhan.
Ketiga, Rokat besar (rokat rajah). Pada umumnya rokat besar dilakukan dalam
skala besar. Semua elemen dan pemuka masyarakat turut diundang menghadiri
pengajian sekaligus makan bersama, baik aparat Desa, kelurahan, Ulama, Para
nelayan. Khataman al-Qur'an menjadi bagian dari acara yang mewarnai rokat tingkat
ini, setiap peserta dibagi untuk membaca perjuz. saat realisasi rokat besar ini,
dibuatlah sesaji serta dimuat di atas palkapalan. Selain itu, di sembelihkan seekor
kambing atau sapi, dengan turut dimeriahkan pementasan seni gandrung dan topeng.
Ide diadakannya ritual ini berasal dari para tokoh, nelayan dan para juragan.
Terkadang mereka juga mengundang para juragan lain yang berasal dari luar desa
untuk bertemu di lokasi guna mengatur kegiatan lanjutan. Nilai gotong royong sangat
terlihat pada rokat agung ini, ada yang bertanggung jawab membuat palkapalan,
sebagian bertugas membagi undangan peserta pengajian, kemudian yang lain PJ
pendirian terop, bagian kegiatan kelompok seni sandur. urusan memasak dan sesaji
biasanya disiapkan oleh istri-istri para nelayan.14
Ada beberapa arti terminologis ‘Urf oleh para ahli Ushul, terutama Abdul
Wahhab Khallaf, yang mendefinisikan ‘Urf dengan “setiap sesuatu yang telah ketahui
dan dipraktikkan orang banyak, baik berwujud ucapan dan tingkah laku”. adapun
Wahbah Al-Zuh̠ailî memberi arti ‘Urf dengan “apa yang sudah berjalan dan
dilakukan oleh manusia, baik itu sudah dikenal di kalangan mereka maupun lafadz
14
Soegiyanto, Kepercayaan Masyarakat Madura, h. 190.
8
yang digunakan untuk menunjukkan arti tertentu yang tidak ditunjukkan oleh bahasa,
dan tidak ada makna lain yang dapat dipahami saat mendengarkan Lafazh itu.15
Sementara itu, Yusuf al Qaradawi mengartikan ‘Urf dengan “apa yang telah
menjadi kebiasaan dan diterima oleh manusia dalam hubungannya dengan
kehidupannya, yang kemudian terus menerus ia tularkan, baik dalam bentuk ekspresi
maupun tindakan, universal dan lokal. 16Istilah lain dari ‘Urf yang cukup populer di
kalangan kita adalah istilah adat. Adat memiliki pengertian sesuatu yang dikerjakan
secara berulang tanpa ada keterkaitan dengan logika. Beberapa ahli metodologi
Hukum Islam berpandangan bahwa ‘Urf dan adat bersinonim yang mempunyai satu
makna, tapi kalangan Ulama lain berpendapat bahwa ‘Urf bersifat lebih general dari
adat, ‘Urf meliputi kata dan tindakan sedang adat hanya mencakup ‘Urf yang bersifat
tingkah laku. Pembahasan yang kerapkali digabungkan dengan masalah '‘Urf adalah
adat. Dari segi etimologis, âdat berasal dari dasar َ ْعو ُدkata ْ اَلartinya berulang. Oleh
karenanya, apa pun yang biasa dikerjakan disebut âdat tanpa ada upaya untuk
menyiratkannya. Dari segi terminologi, âdat bermakna “Suatu perbuatan yang
dilakukan secara bersambung dan berulangkali sampai-sampai tanpa membutuhkan
adanya hubungan nalar “.
Pakar Ushul Fiqh Hanafi, Al-Nasafi berpendapat bahwa urf dan adat adalah satu
makna, yang mengandung pengertian “setiap sesuatu yang melekat dalam jiwa baik ucapan
ataupun tingkah laku yang dapat dibenarkan akal, dalam menetapkannya akal memiliki ruang
seperti berubahnya tempat barang karena adanya pengaruh dari gerakan, atau sebaliknya akal
tidak memiliki ruang dalam menentukan seperti dalam masa maksimal dan minal batas haid.
Adapun Ibnu hammam (w 861 H), Al-Badzdawi (w 483 H ) berpandangan lain, menurut
mereka ‘Urf lebih general dari adat. ‘Urf melingkupi ucapan dan tingkah laku, sedang adat
hanya terbatas pada tingkah laku saja. ada sebagian Ulama berpendapat bahwa adat lebih
umum dari ‘Urf, seperti yang dinyatakan Ibnu Amir. Terkait dengan persilangan pandangan
dalam masalah ini, Wahbah Al-Zuhaily lebih menguatkan pandangan pertama. 17
15
Wahbah Al-Zuhaily, al-Wajiz fî Ushul Fiqih (Libanon: Dar Al--Fikr, 2010), h. 147.
16
Yusuf al-Qaradawy, Awamil al-Sa’ah wal Murunah fi Al- Syari’a Islamiyah (Kairo: Dar Al-
salam, 1993), h. 31.
17
Wahbah Al-Zuhaily, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, h. 104.
9
18
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 111.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
10
11
12