Anda di halaman 1dari 18

KAJIAN LIVING HADIS ATAS TRADISI MAPPACCI MAPACCI PADA

PERNIKAHAN SUKU BUGIS MAKASSAR

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas mata kuliah Kajian Hadis Indonesia
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag

Disusun Oleh:

Rifki Amanullah
NIM. 30700120019

ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2024

i
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan

petunjuk dan rahmat-Nya kepada kita untuk terus mengeksplorasi dan memahami

ajaran-Nya melalui berbagai konteks kehidupan. Melalui kesempatan yang

diberikan, saya dengan rendah hati menyajikan makalah ini tentang Kajian Living

Hadis Atas Tradisi Mappacci Mapacci Pada Pernikahan Suku Bugis Makassar.

Hadis, sebagai salah satu sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an,

bukan hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang
mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks suku Bugis-Makassar,

hadis bukan hanya dipahami sebagai teks keagamaan, melainkan sebuah warisan

yang hidup dan mengalir dalam keseharian mereka, memengaruhi keputusan-

keputusan, kebiasaan, dan tradisi yang mereka anut.

Harapan saya, makalah ini dapat menjadi kontribusi yang berarti dalam

pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana ajaran agama, khususnya hadis.

Dengan demikian, diharapkan dapat memperluas wawasan dan menghormati

keanekaragaman budaya serta kearifan lokal yang tercermin dalam implementasi

nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua

pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam penyusunan makalah

ini. Semoga makalah ini dapat menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan bagi

pembaca yang ingin memahami lebih dalam peran hadis dalam konteks budaya

Mappacci suku Bugis-Makassar.

Samata, Januari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3


A. Letak Geografis Suku Bugis-Makassar ........................................................ 3

B. Deskripsi Tradisi Mappacci ......................................................................... 4

C. Pandangan Hukum Islam Terkait Budaya Mappacci................................... 8

BAB III PENUTUP............................................................................................... 13

A. Kesimpulan ................................................................................................ 13

B. Implikasi..................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan tradisi, budaya, suku, etnis, dan bahasa

yang beragam. Berbagai perbedaan itu tampak luar biasa dan selalu menarik untuk

dibahas. Semua aspek kehidupan sehari-hari manusia terkait dengan tradisi dan

kebudayaan, termasuk bagaimana mereka makan, berpakaian, berbicara, dan

melakukan hal-hal lainnya. Bahkan tindakan ini dianggap baik dan patut

dicontoh.Sebagai umat beragama, setiap orang harus berperilaku sesuai dengan


aturan agamanya, terutama orang Islam harus berperilaku berdasarkan alQur'an

dan hadis.Dalam hal tradisi, diskusi tentang pernikahan juga memiliki berbagai

versi dari prosesnya berdasarkan budaya dan tradisi tempat pernikahan dilakukan.

Dalam bahasa, "tradisi" mengacu pada adat kebiasaan turun temurun yang

dipraktikkan oleh sebuah masyarakat. Adat ini dapat berupa adat kebiasaan yang

disesuaikan dengan ritual agama atau ritual tradisional. Pernikahan adat Bugis

yang disebut Mapacci adalah salah satu prosesi pernikahan yang sangat berbeda.

Tradisi Mapacci menarik karena cara pelaksanaannya berbeda-beda di

antara bangsawan dan masyarakat biasa. Alat-alat yang digunakan sangat berbeda;

mereka tidak hanya berbeda dari alat-alat umum, tetapi juga memiliki makna

khusus. Sebagian besar orang Bugis percaya bahwa Tradisi Mapacci adalah salah

satu prosesi pernikahan yang harus dilakukan karena bernilai baik. Jika kita

membandingkan tradisi yang memiliki arti yang serupa dengan Mapacci

(membersihkan) dan alat yang digunakan, kita akan menemukan bahwa tradisi

yang serupa dengan Mapacci pada umumnya tidak dianggap sebagai salah satu

prosesi pernikahan secara mutlak; mereka hanya terjadi di sela-sela prosesi

pernikahan (karena nilai estetika) karena kemajuan teknologi dan zaman.

1
Makalah ini bertujuan untuk mengulas perspektif hukum Islam terkait

budaya Mappacci di kalangan masyarakat suku Bugis Makassar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan

masalah pada makalah ini adalah bagaimana perspektif hukum Islam terkait

budaya Mappacci di kalangan masyarakat suku Bugis Makassar.

C. Tujuan

Untuk mengetahui perspektif hukum Islam terkait budaya Mappacci di

kalangan masyarakat suku Bugis Makassar.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Letak Geografis Suku Bugis-Makassar


Kota Makassar adalah sebuah kotamadya sekaligus ibukota provinsi

Sulawesi Selatan. Kotamadya ini adalah kota terbesar dan terletak diantara

5°8‟LU 119°25‟BT dipesisir barat daya pulau Sulawesi, berhadapan dengan selat

Makassar. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten kepulauan Pangkajene,

sebelah barat berbatasan dengan selat Makassar, sebelah Selatann berbatasan

dengan Kabupaten Gowa, sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Maros.

Sejak abad k-16 kota Makassar menjadi pusat perdagangan yang dominan di

Indonesia Timur dan kemudian menjadi salah satu kota terbesar di Asia Tenggara.

Selain itu, sikap yang toleran terhadap agama berarti bahwa meskipun islam

semakin menjadi agama yang utama diwilayah tersebut, pemeluk agama Kristen

agama lainnya masih tetap dapat berdagang di Makassar 1. Jumlah kecamatan

dikota Makassar sebanyak 14 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Diantara

kecamatan tersebut, ada 7 kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu

Tamalate, Mariso, wajo, Ujang Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanaya.

Kota Makassar merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0-

5° ke arah Barat, diapit dua muara sungai yakni sungai Tallo yang bermuara di

bagian utara kota dan sungai Jeneberang yang bermuara diSelatan kota. Luas

Wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77 km² daratan

dan termasuk 11 pulau di selat Makassar diambah luas wilayah perairan kurang

1
Fiola Panggalo, “Perilaku Komunikasi Antarbudaya Etnik Toraja Dan Etnik Bugis Makassar Di
Kota Makassar,” 2013.

3
lebih 100 km². Secara geografis, dewasa ini tanah Bugis dan Makassar terletak di

Propinsi Sulawesi Selatan, Kawasan Indonesia Bagian Timur.2

B. Deskripsi Tradisi Mappacci


Secara universal dalam geografis masyarakat Bugis adalah salah satu

kelompok etnis yang menempati bagian tengah dan selatan Jazirah Sulawesi

selatan sebagai daerah asal dan tempat menetapnya. Suku Bugis yang menyebar

dibeberapa kabupaten memiliki adat istiadat yang masih dipertahankan

keberadaannya yang terdiri dari 3 corak: 1) Batal ketetapan raja, tidak batal

ketetapan adat, 2) Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum, 3) Batal

ketetapan kaum tidak batal ketetapan rakyat. 7 Suku Bugis yang tergolong ke

dalam suku-suku melayu Deutero, berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang

Bugis. Penamaan “Ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di

Pammana..3 Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi.

Dalam masyarakat Bugis, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama,

baik dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai suatu stuktur

masyarakat. Aspek kekerabatan tersebut termasuk perkawinan, karena dianggap

sebagai pengatur prilaku manusia yang berhubungan dengan seks dan kehidupan

rumah tangganya. Perkawinan juga berfungsi untuk mengatur ketentuan akan

harta dan memelihara hubungan kekerabatan4. Pihak-pihak yang terlibat berasal

dari strata sosial yang berbeda, namun setelah mereka menikah akan menjadi

mitra dalam menjalani kehidupan, selain itu juga bertujuan untuk menyatukan

2
A B Takko Bandung, “Budaya Bugis Dan Persebarannya Dalam Perspektif Antropologi
Budaya,” Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya 15, no. 1 (2020): 27–36,
http://journal.unhas.ac.id/index.php/jlb.
3
Panggalo, “Perilaku Komunikasi Antarbudaya Etnik Toraja Dan Etnik Bugis Makassar Di Kota
Makassar.”
4
Kadir Nasriah, “Adat Perkawinan Masyarakat Bugis Dalam Perspektif UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Di Desa Doping Kecamatan Penrang Kabupaten Wajo.” (universitas negeri
makassar, 2015).

4
hubungan kedua keluarga besar yang sudah terjalin sebelumnya menjadi erat atau

dalam istilah Bugis mappasideppe‟ mabe‟ „lae “mendekatkan yang jauh”. 5

Pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak

dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan perempuan

yang bukan mahram.6 Pernikahan bertujuan untuk mendirikan keluarga yang

harmoni, sejahtera, dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan

kewajiban keluarga. Sejahtera, terciptanya ketenangan lahir dan batin karena

terpenuhinya keperluan hidup, sehingga timbul kebahagiaan, yakni rasa kasih

saying antar anggota keluarga.7


Seiring dengan perkembangan zaman dan tekhnologi modern yang

mempengaruhi dan menyentuh masyarakat Bugis, namun kebiasaan-kebiasaan

yang merupakan tradisi turun menurun bahkan yang telah jadi adat masih sukar

untuk dihilangkan. Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis yang

disebut “appabottingrng ri tana ugi” (pernikahan tanah bugis), terdiri dari

beberapa tahap yang merupakan rangkaian berurutan dan tidak boleh saling tkar-

menukar, kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat Bugis yang betul-betul

memelihara adat-istiadat. Salah satu rangkaian prosesi adat pernikahan yaitu

mapacci, mapacci merupakan upacara adat perkawinan yang turun temurun

dilakukan oleh suku Bugis dengan tujuan untuk membersihkan atau mensucikan

mempelai dari hal-hal yang buruk, dengan keyakinan bahwa segala tujuan yang

baik harus didasari oleh niat dan upaya yang baik pula. Mapacci berasal dari nama

daun pacar (pacci) yang dapat diartikan paccing (bersih), dengan demikian prosesi

mapacci mempunyai makna membersihkan (mapaccing) yang dilakukan oleh

kedua belah pihak mempelai. Dahulu dikalangan bangsawan, acara mapacci ini

5
Nasriah.
6
Ahmad Mahfudz, “Tradisi Pernikahan Di Masyarakat Payudan Karangsokon Guluk-Guluk
Sumenep (Kajian Living Hadis)” (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, n.d.).
7
Al-Malik Fahdli, “Budaya Pernikahan Sulawesi Selatan,” Bandung: Salemba Humanika, 2014.

5
dilaksanakan tiga malam berturut-turut, akan tetapi saat ini acara mapacci

dilaksanakan satu malam saja, yaitu sehari sebelum acara pernikahan. Konon

prosesi Mappacci hanya dilaksakan oleh kaum bangsawan namun sekarang

umumnya masyarakat Bugis melaksanakannya. 8.

Ada beberapa unsur yang harus disediakan seperti lilin yang menyala,

beras yang digoreng kering, bantal, 7 lembar sarung, daun pisang, daun nangka,

gula merah, kelapa dan tempat daun pacci (daun inai). Masing-masing unsure tak

hanya berperan sebagai pelengkap, namun menurut keyakinan mereka memiliki

makna filosofi yang mendalam. Apabila calon mempelai berasal dari keturunan
bangsawan maka akan ada upacara pengambilan daun pacci (malekke pacci) yang

bertempat dirumah raja atau pemangku adat, prosesi ini dilakukan oleh keluarga

yang terdiri dari pria, wanita, tua, muda, dengan pakaian adat lengkap dan iring-

iringan. Namun, jika mempelai berasal dari masyarakat biasa prosesi pengambilan

daun pacci hanya dilakukan oleh satu atau dua orang kerabat dekat, dengan

pakaian adat lengkap, dan dilakukan dirumah kerabat calon mempelai atau

langsung mengambil daun pacci pada pohonnya 9.

Upacara adat mapacci merupakan sebuah rangkaian perayaan pesta

pernikahan dikalangan masyarakat bugis yang masih kental dengan adat

istiadatnya. Pada prosesi mapacci penggunaan simbol memiliki sarat makna yang

butuh pemahaman mendalam guna memahaminya. Makna simbol-simbol tersebut

sebagai berikut: Lilin menjadi simbol penerangan, beras (benno) memberi makna

agar kelak kedua mempelai akan berkembang dengan baik, bersih dan jujur,

sedangkan bantal menyimbolkan kemakmuran, sarung sutera atau lipa berlapis 7

dipakai sebagai penutup tubuh untuk menjaga harga diri seorang manusia. Tidak

8
Ika Dayani Rajab Putri, “Makna Pesan Tradisi Mappacci Pada Pernikahan Adat Bugis Pangkep
Di Kelurahan Talaka Kecamatan Ma‟rang,” Skripsi. Makassar: Fakultas Dakwah Dan Komunikasi
UIN Alauddin Makassar, 2016.
9
Putri.

6
hanya daun inai, daun nangka dan daun pisang juga memiliki arti khusus. Daun

pisang (leko) mempunyai siklus hidup dimana daun muda akan muncul sebelum

daun tua kering lalu jatuh.10 Kurang lebih filosofi yang dapat dipetik dari siklus

pertumbuhan daun pisang hampir mirip dengan apa yang terjadi dalam kehidupan

manusia, sambung menyambung tanpa pernah putus. Daun nangka atau daun

panasa mengandung arti cita-cita luhur, dan tempat menaruh pacci

(appaccingeng), menyimpan arti kesatuan jiwa atau kerukunan hidup dalam

berumah tangga. Semua perlengkapan itu disiapkan dan ditata dalam ruang tempat

melangsungkan mapacci.
Selanjutnya dimulailah prosesi mapacci, calon mempelai duduk

dipelaminan (laming) atau diatas tempat tidur, menghadap 7 lapis sarung sutera

yang diatasnya telah diletakkan beberapa helai daun nangka. Kemudian mempelai

meletakkan tangan diatas 7 lapis sarung, posisi telapak tangan berada diatas

menengadah siap diberi pacci. Satu persatu tamu yang dipilih dan sudah

berkeluarga maju untuk memberikan pacci ke telapak tangan, dan setelah itu

adalah acara penaburan beras.11

Dahulu karena pada umumnya calon pengantin tidak saling mengenal

bahkan saling melihatpun tidak. Pada malam Mappaccing, mempelai laki-laki

dengan berpakaian adat lengkap diantar ke rumah mempelai wanita untuk melihat

dari jauh calon isterinya, sementara mempelai wanita dengan pakaian adat

lengkap di atas pelaminan.

10
Putri.
11
Dwi Hartini, “Kajian Living Hadis Atas Tradisi Mapacci Pada Pernikahan Suku Bugis
Makassar,” Al-Fath 14, no. 1 (2020): 81–106.

7
C. Pandangan Hukum Islam Terkait Budaya Mappacci
Adat dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-„Urf. Dari segi bahasa

al-„Urf ialah mengetahui.12 Kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui,

dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. 13 Budaya dan tradisi

masyarakat sangat menentukan dalam membuat dan memutuskan hukum. Kalau

aturan tersebut sesuai dengan adat istiadat masyarakat, maka dengan mudah

diterima oleh masyarakatnya.14 Adapun secara Istilah “Urf” merupakan kebiasaan

baik yang berlaku luas di masyarakat dalam hal perkataan atau perbuatan. 'Urf

pada dasarnya sama dengan adat, penyebutan keduanya secara bersama-sama

merupakan bentuk ta'kid (penguatan). Dalam istilah hukum Indonesia, 'Urf dapat

diidentikkan dengan kearifan lokal.15

Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa Adat (Urf) adalah sumber

hukum yang dianut oleh mazhab Hanafi dan Maliki, dan sebenarnya perbedaan

antara Fuqaha adalah perbedaan adat istiadat yang mereka jalani. Dari berbagai

kasus adat istiadat tersebut, para ulama ushul fiqih merumuskan aturan-aturan

fikih tentang adat, termasuk adat istiadat yang dapat diabadikan dalam hukum

asalkan tidak bertentangan dengan nash.16

Al-„Urf sebagai adat kebiasaan masyarakat yang selalu diterapkan pada

kehidupan mereka, baik itu melalui perkataan atau perbuatan, jika ditinjau dari

perspektif Hukum Islam, dan dilihat dari kesesuaian dengan syariat maka al-„Urf

ada dua macam :

12
Ahmad Hanafi, “Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Cet,” V. Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1989.
13
Abd Gaffar, “Peranan Al-„Urf Dalam Mengistimbakan Hukum Islam, Skripsi,” Mangkoso,
Fakultas Syariah STAI DDI Mangkoso, 1995.
14
Supardin Supardin, “Faktor Sosial Budaya Dan Aturan Perundang-Undangan Pada Produk
Pemikiran Hukum Islam,” Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam 1, no. 2
(2014).
15
Muhammad Tahmid Nur and Anita Marwing, “Realitas „Urf Dalam Reaktualisasi Pembaruan
Hukum Islam Di Indonesia,” Pamekasan: Duta Media Publishing, 2020.
16
Bagus Amirullah and Anton Muhibuddin, Pluralitas Budaya Di Indonesia Dan Korelasinya
Dengan Status Hukum Islam Dalam Tata Hukum Positif Di Indonesia (Lima Aksara, 2020).

8
"Urf Sahih adalah adat yang di laksanakan di masyarakat tetapi tidak bertentangan

dengan dalil Syara." Seperti biasa dalam dunia perdagangan yaitu indent

(pembelian barang dengan cara memesan dan membayar dimuka). Adat

membayar mas kawin tunai atau hutang, adat melamar wanita dengan

memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan mas kawin, dan sebagainya.

Urf Fasid adalah 'Urf, yang ditolak dengan dalil-dalil yang bertentangan dengan

hukum karena adanya larangan haram dan makruh. Bisa juga diartikan

menghalalkan atau melakukan apa yang dilarang Allah. Contoh jenis ini antara

lain menyajikan minuman ilegal, bermain game untuk merayakan suatu acara,
menari dengan pakaian seksi pada kesempatan tertentu, membunuh bayi

perempuan yang baru lahir, dan berbagai contoh lainnya. Jenis ini juga bisa

disebut al-'Urf gair al-mu'tabar.

Ahli syariah menyatakan bahwa adat yang masih sahih tetap dapat

dipertahankan dan dipelihara, dengan dasar-dasar sebagai berikut:

1. Allah berfirman dalam QS al-A‟raf/7: 199.


َ‫ض ع َِي ا ْل َجب ُِ ِل ْيي‬ ِ ‫ ُخ ِذ ا ْلعَ ْف َْ َّأْ ُه ْز بِب ْلعُ ْز‬.
ْ ‫ف َّاَع ِْز‬
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Sumber:
https://www.merdeka.com/quran/al-araf/ayat-199)
2. Sabda Rasulullah SAW

‫ئ‬ َ ِ‫س ِيّئبً؛ فَ ُِ َْ ِع ٌْ َد هللا‬


ٌ ّ‫س ِي‬ َ َ‫س ِل ُو ْْى‬ َ ‫سٌبً؛ فَ ُِ َْ ِع ٌْ َد هللاِ َح‬
ْ ‫ َّ َهب َرآٍُ ا ْل ُو‬،ٌ‫سي‬ ْ ‫َهب َرآٍُ ا ْل ُو‬
َ ‫س ِل ُو ْْىَ َح‬
“Apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di
sisi Allah juga merupakan kebaikan. Dan apa saja yang dipandang kaum
muslimin merupakan keburukan maka ia di sisi Allah juga merupakan
keburukan” (HR Ahmad).
Hadis ini menunjukkan bahwa perkara yang sudah biasa dilakukan pada

adat kebiasaan orang Islam dan dianggap baik, maka perkara tersebut di sisi Allah

pun juga baik, dan dapat diamalkan.17

17
Syarmin Syukur, “Sumber-Sumber Hukum Islam,” Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.

9
3. Bahwa Adanya kebiasaan manusia dari suatu tindakan adalah dalil yang

bermanfaat bagi mereka jika di amaalkan termasuk maslahat bagi mereka.

Jika bertentangan dengan adat istiadat yang selama ini dianggap baik oleh

masyarakat maka akan menimbulkan kesulitan dan kesempatan.

Sedangkan menghilangkan kesulitan termasuk dalam pengembangan

hukum Islam, dan maslahat adalah tujuan hukum Syariah. 18

4. Kaidah Ushul
ٌ ‫ا َ ْلعَب َدةُ ُه َح َّك َوت‬

“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”.


(Sumber: https://aktual.com/mengenal-5-kaidah-pokok-dalam-hukum-fiqih/)

Ada beberapa persyaratan agar adat bida dijadikan landasan hukum dalam

mengambil keputusan. Diantaranya:

a. Tidak bertentangan dengan syariat.

b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan.

c. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.

d. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhat.

e. „Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan.

f. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.

Dari beberapa landasan hukum, baik dari al-Qur'an, Hadits maupun asas-

asas ushul fiqih adat, dimungkinkan untuk mendapatkan gambaran tentang

perspektif hukum Islam dari budaya Mappacci. Penerapan tradisi Mappacci dalam

perkawinan tetap dijaga dan dilestarikan karena merupakan salah satu adat

(kebiasaan) yang dianggap baik dalam rangkaian proses perkawinan komunal di

suku Bugis Makassar dan pelaksanaannya secara keseluruhan tidak. bertentangan

18
Andi Husnul Amalia and Patimah Patimah, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Budaya Mappacci
Di Kalangan Masyarakat Kecamatan Bola Kabupaten Wajo,” Qadauna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Hukum Keluarga Islam 2, no. 2 (2021): 361–75, https://doi.org/10.24252/qadauna.v2i2.19594.

10
dengan Hukum Islam. Namun, masih ada hal yang perlu disempurnakan dalam

prosesi Perkawinan, yaitu pakaian pengantin harus menutupi aurat dan tidak tipis.

Solusinya tetap memakai pakaian adat yang sudah disempurnakan agar sesuai

dengan syariat Islam. Selain itu, hindari meramal hal-hal buruk pada nyala lilin

dalam prosesi, tetap berharap baik dengan lambang lilin dan semoga mendapatkan

jalan terang atau tuntunan dari Allah swt. Menghilangkan kepercayaan bahwa

bencana dapat terjadi atau berujung pada bencana jika kedua calon mempelai

bertemu setelah upacara Mappacci menggeser makna dari perspektif masyarakat

menjadi rasa malu keluarga calon mempelai. Karena melakukan tindakan yang
kurang rasional dianggap tidak relevan.19

Jika melihat dari resepsi masyarakat berdasarkan jurnal-jurnal, maka boleh

jadi redaksi makna yang terkandung dalam tradisi mapacci tersebut merupakan

refleksi dari teks-teks al-Qur‟an dan hadis, salah satunya yaitu:

‫ الَ يُ ْؤ ِه ُي أَ َح ُد ُك ْن َحتَّى يُ ِح َّب لَ ِخ ْي َِ َهب يُ ِحب‬: ‫س ْْل هللا ع َْي الٌَّبِي قَب َل‬
ُ ‫ع َْي أَبِ ْي َح ْو َزةَ أًََ ِس ْب ِي َهبلِكٍ َخبد ِِم َر‬
ِ ‫ِلٌَ ْف‬
َِ ‫س‬

(Referensi: https://almanhaj.or.id/29663-mencintai-saudara-seiman-termasuk-

kesempurnaan-iman-2.html)
Artinya: “Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dari Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam, beliau bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kamu
hingga dia mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia
mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa Islam bertujuan agar semua manusia

yang hidup saling mengasihi dan mencintai, dimana setiap orang muslim

menginginkan terwujudnya kebaikan bagi semua dan kebahagiaan dalam

mesyarakat, keadilan ditegakkan dan ketentraman menyelimuti semua jiwa,

terciptanya kerjasama dan solidaritas di antara mereka. Semua itu tidak akan

19
Amalia and Patimah.

11
terwujud kecuali jika seseorang menginginkan kebahagiaan, kebaikan, dan

ketenangan bagi orang lain sebagaimana citanya untuk dirinya sendiri. oleh karena

itu Rasul mengaitkannya dengan keimanan dan menjadikannya sebagai sifat orang

yang beriman. Pokok keimanan tidak akan terwujud kecuali dengan membenarkan

dalam hati dengan sebenar-benarnya serta tunduk kepada keRububiyahan Allah

SWT. Kesempurnaan iman seorang muslim tidak hanya mencintai kebaikan dan

membenci keburukan bagi saudaranya sesame muslim saja, tetapi sikap tersebut

wajib juga ditunjukan kepada non-muslim. dan berlomba-lomba dalam kebaikan

merupakan kesempurnaan dari iman, sebagaimana Firman-Nya dalam Q.s.


AlMutaffifin: 26.20 (Sumber: Iman Sulaiman, Syarah Hadits Arba‟in Nawawi,

(Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2002), hlm. 106-109)

20
Hartini, “Kajian Living Hadis Atas Tradisi Mapacci Pada Pernikahan Suku Bugis Makassar.”

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa makna yang

tersirat dalam proses adat Mappacci adalah sebuah bentuk harapan dan doa, yang

diharapkan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi calon mempelai. Hal

ini dirangkum dalam kata tunggal "mappacci" yang menggambarkan 9 jenis

peralatan yang harus dipersiapkan. Dengan demikian, makna yang tersemat dalam

tradisi peralatan Mappacci berkaitan dengan hal-hal positif, menjadi hasil dari
adaptasi budaya dan agama. Meskipun zaman dan teknologi terus berkembang,

tradisi ini tetap lestari dan eksis dengan makna-makna yang terkandung dalam

peralatannya. Meskipun ada pergeseran dalam tatanan sosial, dimana prosesi yang

dahulu hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan, kini telah menjadi tradisi bagi

seluruh masyarakat Bugis, baik bangsawan maupun masyarakat biasa. Namun,

perbedaan tetap terdapat dalam persiapan peralatan tersebut.

B. Implikasi
Sehubungan dengan pembahasan di atas, maka penulis mengajukan

beberapa implikasi, sebagai berikut:

1. Makalah ini dapat menjadi titik awal untuk pengembangan kajian hadis

dalam konteks budaya lokal suku Bugis-Makassar. Implikasinya adalah

peningkatan pemahaman tentang bagaimana hadis diterapkan dan

diinterpretasikan dalam kehidupan sehari-hari suku Bugis-Makassar.

2. Makalah ini menggambarkan bagaimana hadis tidak hanya sebagai ajaran

agama, tetapi juga sebagai bagian tak terpisahkan dari warisan budaya

suku Bugis-Makassar. Implikasinya adalah pentingnya memelihara dan

13
menghormati nilai-nilai budaya yang terkandung dalam implementasi

hadis dalam kehidupan sehari-hari.

3. Kajian ini mengungkapkan bahwa tradisi Mappacci mengandung makna-

makna positif, seperti harapan, doa, dan kebaikan bagi calon mempelai.

Implikasinya adalah penggalian nilai-nilai positif yang dapat diadopsi dan

diaplikasikan dalam konteks sosial dan spiritual masyarakat lebih luas.

14
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Andi Husnul, and Patimah Patimah. “Tinjauan Hukum Islam Tentang
Budaya Mappacci Di Kalangan Masyarakat Kecamatan Bola Kabupaten
Wajo.” Qadauna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam 2, no. 2
(2021): 361–75. https://doi.org/10.24252/qadauna.v2i2.19594.
Amirullah, Bagus, and Anton Muhibuddin. Pluralitas Budaya Di Indonesia Dan
Korelasinya Dengan Status Hukum Islam Dalam Tata Hukum Positif Di
Indonesia. Lima Aksara, 2020.
Fahdli, Al-Malik. “Budaya Pernikahan Sulawesi Selatan.” Bandung: Salemba
Humanika, 2014.
Gaffar, Abd. “Peranan Al-„Urf Dalam Mengistimbakan Hukum Islam, Skripsi.”
Mangkoso, Fakultas Syariah STAI DDI Mangkoso, 1995.
Hanafi, Ahmad. “Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Cet.” V. Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1989.
Hartini, Dwi. “Kajian Living Hadis Atas Tradisi Mapacci Pada Pernikahan Suku
Bugis Makassar.” Al-Fath 14, no. 1 (2020): 81–106.
Mahfudz, Ahmad. “Tradisi Pernikahan Di Masyarakat Payudan Karangsokon
Guluk-Guluk Sumenep (Kajian Living Hadis).” Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, n.d.
Nasriah, Kadir. “Adat Perkawinan Masyarakat Bugis Dalam Perspektif UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Desa Doping Kecamatan Penrang
Kabupaten Wajo.” universitas negeri makassar, 2015.
Nur, Muhammad Tahmid, and Anita Marwing. “Realitas „Urf Dalam
Reaktualisasi Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia.” Pamekasan: Duta
Media Publishing, 2020.
Panggalo, Fiola. “Perilaku Komunikasi Antarbudaya Etnik Toraja Dan Etnik
Bugis Makassar Di Kota Makassar,” 2013.
Putri, Ika Dayani Rajab. “Makna Pesan Tradisi Mappacci Pada Pernikahan Adat
Bugis Pangkep Di Kelurahan Talaka Kecamatan Ma‟rang.” Skripsi.
Makassar: Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar,
2016.
Supardin, Supardin. “Faktor Sosial Budaya Dan Aturan Perundang-Undangan
Pada Produk Pemikiran Hukum Islam.” Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan
Hukum Keluarga Islam 1, no. 2 (2014).
Syukur, Syarmin. “Sumber-Sumber Hukum Islam.” Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Takko Bandung, A B. “Budaya Bugis Dan Persebarannya Dalam Perspektif
Antropologi Budaya.” Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya 15,
no. 1 (2020): 27–36. http://journal.unhas.ac.id/index.php/jlb.
https://aktual.com/mengenal-5-kaidah-pokok-dalam-hukum-fiqih/
https://agussantosa39.wordpress.com/2015/01/14/apa-saja-yang-dipandang-kaum-
muslimin-baik-maka-di-sisi-allah-juga-baik/
https://almanhaj.or.id/29663-mencintai-saudara-seiman-termasuk-kesempurnaan-
iman-2.html
https://www.merdeka.com/quran/al-araf/ayat-199

15

Anda mungkin juga menyukai