Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KEBUDAYAAN ATAU ADAT ISTIADAT DI DAERAH


MASING-MASING
( GILIRENG, KAB. WAJO)

DISUSUN OLEH :
NUR ASIKIN
NIM : 859394317

UNIVERSITAS TERBUKA
PGSD.S1
2020/2021
1
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kita ucapkan kepada Allah SWT yang masih memberikan kita
kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini dengan judul
“Kebudayaan atau Adat Istiadat di Daerah Gilireng atau Suku Bugis”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembelajaran
Berwawasan Kemasyarakatan. Dalam makalah ini mengulas tentang Adat Istiadat di suatu
Daerah.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini. Penulis juga berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan
dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan makalah pada
tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Arajang, 25 Oktober 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 2
BAB I ....................................................................................................... Error! Bookmark not defined.
PENDAHULUAN ................................................................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang ............................................................................... Error! Bookmark not defined.
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................ Error! Bookmark not defined.
BAB II...................................................................................................... Error! Bookmark not defined.
PEMBAHASAN ...................................................................................... Error! Bookmark not defined.
A. KEBUDAYAAN BUGIS ............................................................ Error! Bookmark not defined.
B. CIRI KHAS BUGIS ..................................................................... Error! Bookmark not defined.
C. ADAT PERNIKAHAN................................................................ Error! Bookmark not defined.
BAB III .................................................................................................... Error! Bookmark not defined.
PENUTUP ............................................................................................... Error! Bookmark not defined.
SARAN .................................................................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. Error! Bookmark not defined.

3
Adat Pernikahan di Wajo, Sulawesi Selatan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebagian besar wilayah Asia Tenggara mendapat pengaruh yang kuat dari India. Namun,
tidak begitu dengan suku yang menempati wilayah Sulawesi Selatan ini. Suku yang dikenal
sangat piawai mengarungi lautan ini awalnya sangat menentang asimilasi budaya luar.
Pengaruh India hanya terdapat dalam tulisan lontara berdasarkan skrip Brahmi. Tulisan
lontara ini dibawa ke wilayah Sulawesi melalui jalur dagang oleh para pedagang dari India.

Dalam budaya suku bugis terdapat konsep ade’ atau adat dan konsep spritualitas. Konsep
adat menjadi tema utama dalam catatan-catatan mengenai hukum. Bahkan, terdapat dalam
sejarah orang Bugis.
Masyarakat tradisional suku Bugis mengacu kepada konsep pang’ade’reng atau adat istiadat
berupa norma yang saling terkait satu sama lain.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis sangat memperhatikan adat istiadat, misalnya
memperhatikan hubungan harmonis antarsesama manusia. Hal-hal tersebut dapat
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengucapkan tabe’ yang artinya permisi.
Ucapan ini dilakukan dengan posisi badan membungkuk setengah badan.
Ucapan tabe’ dilakukan saat lewat di depan sekelompok orang-orang yang lebih tua.
Kemudian, mengucapkan iye’ atau jawaban iya yang halus dan ramah. Selain itu, diajarkan
pula untuk menghargai orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda.
Masyarakat Bugis merupakan masyarakat yang sarat dengan prinsip dan nilai-nilai adat dan
ajaran agama di dalam menjalankan kehidupan mereka. Mereka yang mampu memegang
teguh prinsip-prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang dapat
memberikan keteladanan dan membawa norma dan aturan social.

Namun melihat perkembangan zaman yang semakin lama semakin maju,generasi muda
khususnya suku Bugis seakan – akan melupakan adat istiadat dan kebudayaan yang telah
membesarkan nama mereka.

Melihat hal itu, maka penulis sebagai generasi asli suku Bugis merasa terpanggil untuk
kembali menghidupkan kebudayaan yang telah lama terabaikan dari pandangan masyarakat
luas.

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimanakah adat pernikahan di Wajo?
 Ritual apa sajakah yang ada dalam pernikahan di Wajo?
 Apakah perbedaan ritual pernikahan di kab Wajo dengan ritual pernikahan di kab.
Selayar Sulawesi Selatan?
1.3 Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui bagaimana adat pernikahan di Wajo
 Untuk mengetahui ritual – ritual yang ada pada prosesi pernikahan di Wajo
 Untuk mengetahui perbedaan ritual pernikahan di kab. Wajo dengan ritual pernikahan
yang ada di kab. Selayar Sulawesi Selatan
1.4 Manfaat Penulisan
4
 Khusus
Dari pembuatan Karya Ilmiah Remaja ini, penulis dapat memperoleh pengetahuan yang lebih
luas dan mendalam tentang adat pernikahan yang ada di Wajo yang menjadi tanah kelahiran
penulis.

 U mum
Dari pembuatan Karya Ilmiah Remaja ini, penulis berharap masyarakat yang tinggal di
daerah Wajo lebih menghargai kebudayaan mereka dengan mengetahui apa yang sebenarnya
menjadi adat istiadat di daerah yang telah membesarkan nama mereka.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Gambaran Umum Tanah Wajo
Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan. Ibukotanya
Sengkang, sekitar 242 km dari kota Makassar (Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan), dapat
ditempuh sekitar 4 jam dengan menggunakan mobil. Dari kota Parepare, pusat kawasan
pengembangan ekonomi terpadu di propinsi Sulawesi Selatan, sekitar 87 km.

Wajo yang luas wilayahnya 250.619 hektar, terbagi atas 14 kecamatan, 48 kelurahan dan 128
desa, memiliki potensi sumber daya alam yang besar.

Karakteristik potensi alam Wajo, seperti diungkapkan oleh Arung Matoa Wajo, La
Tadampare Puang Ri Maggalatung (1491-1521) : mangkalungu ri bulu‟E, massulappe
ripottanangngE ma matodang ritasi‟E, ri tapparengngE. Artinya : daerah ini merupakan
negeri yang subur dan nyaman. Ibarat seseorang yang tidur, maka ia berbantalkan gunung
dan hutan, memeluk lembah, dan kakinya menyentuh danau atau air laut.

Ungkapan cendikiawan Wajo di abad ke-15 itu memang bukan syair khayalan, namun
merupakan suatu kenyataan yang hingga kini menjadi potensi andalan Kabupaten Wajo.
Hamparan lahan persawahan yang ada di daerah ini sekitar 86.000 hektar. Baru sekitar 20
persen yang terjangkau irigasi teknis. Jika areal persawahan ini rata-rata menghasilkan empat
ton padi setiap tahunnya, berarti Kabupaten Wajo menghasilkan 334.00 ton padi setiap tahun.
Suatu jumlah yang cukup fantastik.

Pada tanah berbukit yang berjejer mulai dari kecamatan Tempe ke Utara – Kecamatan
Maniangpajo, Kecamatan Keera dan Pitumpanua, kini merupakan wilayah hutan tanaman
industri, perkebunan coklat, cengkeh, jambu mete serta pengembangan ternak. Secara
keseluruhan potensi perkebunan di Kabupaten Wajo seluas lebih 38.000 hektar, diantaranya
telah dikelola sekitar 28.000 hektar. Setiap tahun telah menghasilkan produksi ratusan hingga
ribuan ton berbagai jenis komoditas ekspor seperti : cengkeh, kakao, dan kelapa hybrida.
Padang rumput/alang-alang seluas 34.000 hektar merupakan lahan pengembalaan ternak
besar dan kecil yang populasinya kini telah mencapai puluhan ribu ekor. Belum lagi ternak
unggas berupa ayam ras, itik, dan ayam buras yang populasinya sudah melebihi jutaan ekor.

Di pesisir pantai Timur terhampar lahan pertambakan sekitar 15.000 hektar. Masih sebagian
kecil yang dikelola secara teknis, tapi telah memproduksi puluhan ribu ton udang dan ikan
bandeng setiap tahunnya. Garis pantai Teluk Bone yang membentang sekitar 110 km,
memiliki potensi ikan laut yang tidak kecil. Termasuk budidaya rumput laut. Danau Tempe
yang luasnya 13.000 hektar, merupakan penghasil ikan air tawar terbesar di dunia.

5
Struktur perekonomian Kabupaten Wajo memang didominasi oleh sektor pertanian dengan
kontribusi lebih dari 45 persen. Menyusul sektor perdagangan, hotel dan restoran 19 persen,
dan sektor pertambangan penggalian 9 persen.

Pada tahun 1997 saat kondisi perekonomian nasional mulai mengalami krisis, pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Wajo juga terkena dampak sehingga terpuruk menjadi minus 6,66
persen. Namun setahun kemudian, terutama setelah penambangan gas bumi Gilireng mulai
berproduksi, pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Wajo kembali membaik dalam posisi
pertumbuhan 6,06 persen. Kondisi itu bertahan hingga tahun 1999.

Pendapatan perkapita masyarakat Wajo pun telah berada pada posisi Rp. 3,5 juta pertahun.
Bahkan dalam musim haji tahun 2000 terjadi peningkatan jumlah calon haji asal Kabupaten
Wajo lebih dari 100 persen. Tahun 1999 cuma 1.400 orang, pada musim haji tahun
berikutnya 2.700 orang. Mereka sebagian besar petani.

2.2 Jati Diri Anak Wajo


Hampir tak ada negeri yang tidak didatangi orang Wajo. Sampai ke ujung duniapun asalkan
ada peluang bisnis dan iklim yang menjamin kebebasan berusaha. Orang Wajo akan datang.
Perumpamaan itu tak lain untuk menunjukkan betapa sifat kewiraswastaan (interpreneurship)
telah mendarah daging pada setiap pribadi orang Wajo.Sifat ini dituntun pesan leluhur : aja
mumaelo natunai sekke, naburuki labo (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat
boros).

Berpegang pada Tellu Ampikalena To WajoE (tiga prinsip hidup), tau‟E ri DewataE, siri‟E ri
padatta rupatau, siri‟E ri watakkale (ketaqwaan kepada Allah SWT, rasa malu pad orang lain
dan pada diri sendiri), orang Wajo memiliki etos kerja, resopa natinulu natemmangingngi,
namalomo naletei pammase Dewata Seuwae (hanya dengan kerja keras, rajin, dan ulet,
mendapat keridhaan Allah SWT)

Orang Wajo senantiasa mendambakan terciptanya iklim kebebasan berdasarkan prinsip,


Maradeka To WajoE, najajiang alaena maradeka, napoada adanna, napobbicara bicaranna,
napogau gaunna, ade assemmaturesennami napopuang (Orang Wajo dilahirkan merdeka,
bebas berekspresi, bebas bicara, dan menyatakan pendapat, bebas berbuat, hanya hukum
berlandaskan permusyawaratan yang dipertuan).

Berpenduduk 400.000 jiwa, Wajo memiliki potensi SDM yang handal. Apabila potensi ini
berhasil dipadukan dan diberdayakan, bisa dipastikan, masyarakat Wajo meraih kehidupan
lebih baik di hari esok. Penggalangan potensi akbar ini (termasuk orang Wajo yang berdiam
di luar daerah) bukan mustahil diwujudkan mengingat orang Wajo memiliki semangat
riassiwajori yang terkandung dalam prinsip kebersamaan, mali siparappe, rebba sipatokkong,
malilu sipakainge (hanyut saling menolong, jatuh saling membantu untuk tegak kembali,
khilaf saling mengingatkan).

Nilai-nilai yang tak ternilai harganya itu patut dilestarikan dan dikembangkan. Atas prakarsa
H. Dachlan Maulana, SE, MS, Bupati Kepala Daerah Wajo periode 1993-1998 dicanangkan
„Gerakan Sejuta Wajo‟, salah satu wujud pengamalan nilai-nilai ini. Pada masa bakti Drs. H.
Naharuddin Tinulu (Bupati Wajo 1999-2004), organisasi Kesatuan Masyarakat Wajo
(KEMAWA) yang diketuai Prof.Dr. H.A Husni Tanra, PhD, mendidirikan Yayasan Wajo
Madani yang berkiprah pada pengembangan SDM dengan mengamalkan semangat
Riassiwajori.

6
Pelestarian dan nilai-nilai positif itu membutuhkan wahana yang menjadi sumber motivasi.
Momentumnya dipilih bertepatan peringatan Hari Jadi Wajo. Waktu yang tepat tersebut
dikaitkan dengan Hari Jadi Wajo, yang hari „H‟-nya belum pernah disepakati. Di sinilah letak
pentingnya upaya penelusuran sejarah keberadaan Wajo yang digagaskan oleh Dachlan
Maulana. Penelusuran sejarah Wajo didukung tokoh masyarakat dan budayawan.

Pemerintah Kabupaten Wajo membentuk Panitia Seminar Penelurusan Hari Jadi Wajo per
SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Wajo No. Sos/562/XII/W/1994 tanggal 22 Desember
1994. Panitia kemudian menyelenggarakan Seminar Penelusuran Hari Jadi Wajo, 23 Januari
1995 di Ruang Kantor BKDH Tingkat II Wajo.

Dalam seminar terungkap kemajuan Wajo, terutama di bawah kepemimpinan Arung Matoa
(Presiden), yaitu

1. La Tadampare Puangrimaggalatung
2. Petta Latiringeng To Taba Arung Simettengpola
3. La Mungkace Toaddamang
4. La Sangkuru Patau
5. La Salewangeng To Tenriruwa
6. La Maddukelleng
7. La Pariusi To Maddualeng

Seminar menyimpulkan sejarah kelahiran Wajo dalam 6 (enam) versi, yaitu :


1. Puang Rilampulungeng
2. Puang Ritimpengeng
3. Cinnongtabi
4. Boli versi Kerajaan Cina
5. Masa ke-Batara-an
6. Masa ke-Arung Matoa-an

Peserta seminar sepakat untuk menetapkan momentum Hari Jadi Wajo pada masa pelantikan
Batara Wajo I La Tenri Bali, tahun 1399, dibawah sebuah pohon besar (Bajo). Tempat
pelantikan Batara Wajo I ini sampai sekarang masih ada, bernama Wajo – Wajo di daerah
Tosora Kecamatan Majauleng.

Tanggal 29 Maret dipilih sebagai hari „H‟ yakni peristiwa kemenangan pasukan Wajo
dibawah kepemimpinan La Maddukelleng di Lagosi terhadap pasukan Kompeni yang
membantu Bone. Perang tersebut merupakan simbol anti penjajahan. Keputusan seminar
dikukuhkan melalui Surat Keputusan DPRD Wajo No. 12/1995 tangal 7 Juli 1995.

Seminar hanyalah sebuaha kegiatan awal dari sebuah usaha besar Orang Wajo menemukan
jati dirinya. Pengembangan nilai-nilai itu diharapkan kelak bisa berhasil menjadi sumber
motivasi bagi orang Wajo untuk menemukan jati dirinya.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Peneletian yang bertujuan untuk mengetahui adat istiadat dan ritual pernikahan di Wajo
dilaksanakan di daerah kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo. Mulai tanggal 28 Februari 2011
sampai tanggal 7 Maret 2011.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

7
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku panduan, buku identifikasi,
daftar petanyaan, alat tulis menulis dan tanda pengenal penulis sebagai siswa SMA Negeri 2
Sengkang.

3.3 Metode
Dalam pembuatan Karya Ilmiah Remaja ini, metode yang di gunakan adalah metode kajian
pustaka dan metode wawancara.

Wawancara dilakukan dengan masyarakat setempat untuk menggali informasi-informasi yang


lebih mendalam lagi tentang ritual pernikahan di Wajo.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Adat Pernikahan di Wajo
Suku bugis yang mendiami daerah Wajo mayoritas beragama islam sehingga pernikahan
yang berlaku diatur oleh adat dan hukum islam. Oleh karena itu, pernikahan yang dianggap
sah oleh masyarakat Wajo adalah pernikahan yang sesuai dengan hukum pernikahan agama
islam, sedangkan tata cara pelaksanaannya harus berlandaskan pada adat yang berlaku, tapi
tidak menyalahi agama.

Pada zaman dahulu, terdapat bermacam-macam upacara adat dan peralatan yang
digunakan sehingga dilihat begitu banyak adat yang harus dilaksanakan. Namun dewasa ini,
sudah banyak upacara adat yang ditinggalkan dengan alasan menggunakan banyak biaya ,
tenaga, alat, serta perlengkapan yang digunakan. Akhirnya banyak masyarakat yang
meninggalkan adat tersebut dengan alasan keefektivitasan dan keefisienan serta kemajuan
teknologi dalam segala bidang.

Upacara pernikahan secara adat adalah segala kebiasaan segala kegiatan-kegiatan yang telah
disajikan dalam melaksanakan upacara pernikahan sesuai dengan kesepakatan bersama yang
dianggap lebih baik dalam suku Bugis. Upacara tersebut meliputi segala upacara yang
terdapat pada upacara sebelum dan sesudah akad nikah. Dan setiap upacara memiliki nilai,
waktu, serta peralatan yang khas dan memiliki arti tersendiri.

Masyarakat di Wajo, memiliki kebudayaan sebagai dasar dalam mengatur tata cara
kehidupan. Perbedaan yang prinsipil terdapat pada pelaksanaan setiap upacara pernikahan
dari satu daerah ke daerah lain. Misalnya upacara ipadduppai pada daerah Sidrap dan
sekitarnya merupakan salah satu upacara ajad nikah. Acara ini dijalankan oleh orang yang
berpengalaman dalam pelaksanaan pernikahan. Upacara ini tidak akan ditemukan di daerah
Wajo dan sekitarnya karena upacara ini adalah upacara khas masyarakat Sidrap.
Dan di daerah Wajo juga memiliki upacara / ritual khas, seperti acara Jai Kamma yaitu salah
satu upacara dimana sepasang mempelai dipakaikan satu sarung yang kemudian dijahit
ujungnya.

Ritual pernikahan bagi masyarakat Wajo dipandang sangat sakral, religius dan sangat
dihargai. Oleh lembaga adat yang telah lama ada mengaturnya dengan cermat.

4.2 Ritual Dalam Pernikahan di Wajo


Acara pernikahan di Wajo, dapat dikatakan berbeda dari acara pernikahan di daerah-daerah
lain. Bagaimana tidak, tata cara pernikahan di Wajo kaya akan tradisi dan adat istiadat yang
sangat kental dengan hal-hal yang masih sangat tradisional. Dalam pernikahan di Wajo, ritual

8
yang dilaksanakan terdiri dari beberapa rangkaian acara yang meliputi ritual sebelum akad
nikah dan ritual setelah akad nikah.

1. Ritual Sebelum Akad Nikah

Ritual Manre Lebbe


Manre Lebbe atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Khatam Al-Quran adalah salah satu
ritual yang dilakukan pada saat malam Tudang Penni . Dalam ritual ini, di depan calon
pengantin diletakkan Sokko (panganan dari beras ketan) dan telur.
Kemudian calon pengantin melakukan prosesi Manre Lebbe. Dalam prosesi ini, calon
pengantin mengikuti lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh guru mengaji
calon pengantin semasa kecil. Hal yang sedikit berbeda pada ritual ini yaitu pada saat
mengaji, calon pengantin menggunakan batang Kayu Manis untuk menunjuk lafads Al-Quran
yang dibaca oleh sang guru.
Ritual Manre Lebbe ini, tidak terlalu umum bagi calon pengantin. Berbeda dengan
ritual Mappacci. Ritual Manre Lebbe ini hanya dilakukan bagi calon pengantin yang belum
melaksanakan ritual ini sebelumnya. Karena ritual Manre Lebbe ini bisa saja dilakukan di
luar acara pernikahan. Bahkan di Wajo, ritual Manre Lebbe dapat dirayakan secara
menkhusus.
Dan pada saat ritual Manre Lebbe telah selesai dilaksanakan, maka acara tudang
penni dilanjutkan dengan ritual Mappacci .

Ritual Mappacci
Mappacci merupakan salah satu ritual adat Bugis yang dilakukan sebelum acara akad nikah
dilaksanakan keesokan harinya. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia Mappacci itu artinya
membersihkan diri. Baik itu membersihkan diri secara jasmani maupun secara rohani.
Sejarah Mappacci dulunya dilaksanakan pertama kali oleh raja-raja Bone yang akan
melangsungkan pesta pernikahan untuk membersihkan diri dan melepas masa lajang mereka
dan kini sudah menjadi adat istiadat bagi masyarakat di Wajo. Bila kita mencari dasar hukum
dari Mappacci di dalam Al-Qur‟an maupun Hadist tidak ada terdapat didalamnya
sehingga Mappacci ini sifatnya bukan wajib juga bukan sunnah. Jika bukan sesuatu yang
wajib dan sunnah jadi mubah yah kayaknya tapi tidak sampai bersifat haram. Adapun
perlengkapan-perlengkapan yang disiapkan untuk ritual Mappacci memiliki makna tersendiri
namun yang paling utama itu ketersediaan daun pacci yang akan digunakan nanti baik yang
telah dihaluskan maupun yang masih dalam bentuk ranting-ranting kecil sebagai penghias.
Perlengkapan lainnya seperti :
 Tai bani, lilin yang disimbolkan sebagai penerang,
 Beras yang telah di sangrai yang memiliki makna berkembang dengan baik,
 Bantal yang memiliki simbol kehormatan,
 Diatas bantal diletakkan sarung sutera yang dilipat segitiga dan berjumlah 7, kadang
juga sampai 11 lembar. Menurut kepercayaan bugis Bone angka sebelas merupakan
angka keberuntungan.
 Di atas sarung diletakkan pucuk daun pisang sebagai simbol kehidupan. Tumbuhan
pisang merupakan tumbuhan yang selalu tumbuh dan berkembiang biak secara terus
menerus.
 Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar
sebagai simbol harapan.
 Kelapa yang memliki makna serba guna. Kelapa merupakan tumbuhan yang setiap
anggota tumbuhan dapat dimanfaatkan.
 Gula merah yang memiliki symbol harapan agar kelak pengantin dapat hidup harmonis

9
Dalam upacara Mappacci, tamu undangan yang biasanya melakukan pembersihan adalah
anggota keluarga terdekat calon pengantin dan tokoh masyarakat yang terkenal di daerah
tempat tinggal calon pengantin. Dan upacara Mappacci ini biasanya dilaksanakan pada
malam hari, atau yang lebih di kenal dengan istilah Malam Tudang Penni.
1. Prosesi Akad Nikah
Orang yang melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon mempelai wanita atau iman
kampung atau seseorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama, seorang saksi dari pihak
wanita dan pria.

Pada saat acara akad nikah, calon mempelai laki-laki duduk dengan ibu jari. Sedangkan untuk
kalangan bangsawan, calon mempelai laki-laki duduk bersila di atas pangkuan Ambo Botting.
1. Ritual Setelah Akad Nikah
Ritual Mappasikarawa

Ritual Mappasikarawa dilakukan pada saat akad nikah telah selesai dilaksanakan.
Ritual Mappasikarawa sebagai sentuhan yang pertama bagi sang laki-laki kepada istrinya.
Sentuhan ini diharuskan menyentuh bagian tubuh istrinya, bagian yang harus disentuh yaitu :
* Ubun-ubun, agar laki-laki tidak diperintah istrinya.

* Bagian atas dada, agar kehidupan rumah tangga mereka kelak dapat diberkahi dengan
rezky yang banyak.

* Jabat tangan atau ibu jari, artinya suami isri senangtiasa mengisi kekosongan satu sama
lain.

Setelah upacara ini, pengantin laki-laki duduk di samping istrinya untuk mengikuti
acara Maloange Lipa. Keluarga dari pihak perempuan melilitkan kain Widang kepada
pengantin sehingga kedua pengantin berada dalam satu sarung, kemudian pinggiran sarung
saling dipertemukan lalu dijahit tiga kali dengan benang emas atau dalam bahasa Bugis
dikenal dengan istilah Genggang atau benang biasa yang bagian ujungnya tidak disimpul
layaknya benang yang dipakai menjahit. Kemudian pengantin bersamaan berdiri dan melepas
jahitan sarung tersebut.
Ritual ini bermakna agar kedua mempelai dapat hidup seia-sekata, bersatu padu melawan
segala rintangan yang akan menjumpai mereka di masa depan nantinya.

Upacara berikutnya adalah acara memohon maaf kepada kedua orang tua pengantin dan
keluarga dekat. Selesaii memohon maaf, pengantin kemudian diantar ke pelaminan untuk
bersanding.

4.3 Perbedaan Ritual Pernikahan di kab. Wajo dengan kab. Selayar


Adat istiadat memang dapat dikatakan sebagai warisan leluhur yang tidak pernah ada
habisnya. Namu adat istiadat yang kita miliki tentu berbeda dengan adat istiadat di daerah
lain. Hal inilah yang menjadikan daerah kita kaya akan ciri khas masing-masing. Sama
halnya dengan adat pernikahan di Wajo, adat pernikahan di daerah ini memiliki banyak sekali
perbedaan di daerah lain walaupun berada dalam lingkup yang sama. Contoh kecil dapat kita
lihat orang-orang Bajo di Pulau Rajuni, dan pulau-pulau di kawasan Taka Bonerate,
Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, punya tradisi unik dalam melaksanakan pesta
perkawinan.

Ritual tersebut ketika serombongan lelaki yang memanggul miniatur rumah panggung yang
terbuat dari bambu sudah tampak di depan halaman rumah. Dengan diiringi gadis-gadis di

10
barisan belakang, mereka sedang mengantarkan erang-erang (secara harafiah bisa diartikan
sebagai barang bawaan) dari calon pengantin pria kepada pengantin wanitanya.
Orang Bajo yang melaksanakan pesta perkawinan atau pesta lainnya seperti sunatan dan
syukuran, senantiasa melaksanakan beberapa ritual adat. Jika seseorang mempunyai darah
Bajo, ritual-ritual itu malah menjadi keharusan dalam setiap pelaksanaan pesta.

Acara perkawinan ini didahului dengan a’bantang (ritual tolak bala dan
pembersihan/pemberkatan) bagi calon pengantin. Lalu diadakan pemasangan kelambu
dan campaniga (hiasan tempat tidur pengantin), pengibaran bendera Lolo Bajo dan Ula-Ula,
serta pemukulan gandah (gendang). Ritual appacci dan pemakaian lamming (hiasan rumah
pengantin) yang diadopsi dari tradisi Bugis-Makassar serta barasanji berupa lagu-lagu pujian
bagi Nabi Muhammad SAW juga melengkapi ritual hari itu. Tentu saja „budaya modern‟
seperti hiburan musik elekton tidak pula ketinggalan.
Khusus pengibaran bendera Lolo Bajo yang berwarna kuning, bergambar pedang dan
bertuliskan huruf Arab, dilakukan setelah pihak pengantin wanita menerima erang-
erang yang dibawa oleh pihak pengantin pria. Pengibaran Lolo Bajo ini diiringi oleh
lemparan beras putih oleh tetua adat (biasanya perempuan) dan alunan irama gendang
(gandah sanro, yang dalam tradisi Makassar disebut sebagai Tunrung Pa’bballe).
Ada bemacam-macam simbol ritual yang dipakai secara turun-temurun oleh masyarakat Bajo
yang tersebar di Rajuni, Latondu, Rajuni Besar, Tarupa, Pasitallu, Kayuadi, dan pulau
lainnya. Simbol-simbol ini menandakan „kelas‟ dari keturunan orang Bajo. Keturunan ningrat
(Lolo Bajo) selain mengibarkan bendera Lolo Bajo, juga akan menggerek ula-ula (sejenis
umbul-umbul) yang berbentuk menyerupai manusia (orang-orangan) dengan kepala atau
tanpa kepala.
Bersamaan dengan pengibaran bendera Lolo Bajo di pihak pengantin perempuan, di
kediaman pengantin pria dikibarkan pula bendera ula-ula dan pemasangan campaniga.
Biasanya pengibaran ula-ula dilakukan setelah rombongan kembali dari mengantar belanja,
karena pengibaran ini juga membutuhkan pelibatan pukulan gendang sanro.
Konon jika ada prosesi yang salah dalam pengibaran bendera Lolo Bajo dan ula-ula, maka
biasanya akan ada orang dari pihak keluarga atau pengunjung yang kesurupan. Kejadian ini
akan berakhir jika prosesi diulangi dan dibetulkan tata caranya. Bendera Lolo Bajo dan ula-
ula dikibarkan dengan seutas tali nilon pada setangkai bambu. Simbol ini akan terpasang
selama pesta dan prosesi pesta perkawinan berlangsung, biasanya hingga 10 hari.
Gendang sanro yang mengiringi pengibaran itu dibawakan oleh dua pemukul gendang,
seorang pemukul gong dan seorang lagi memukul sisi gong dengan setangkai kayu. Biasanya
iringan gendang ini juga disertai pukulan gong-gong kecil, namun alat ini sudah tidak
ditemukan lagi.
Campaniga yang dipasang pada kelambu ranjang pengantin juga harus dilengkapi dengan
beberapa peralatan, seperti lilin merah dan dupa. Hampir tak ada lagi tetua adat yang
berperan khusus untuk itu saat ini. Peran ini kemudian diambil alih oleh orang-orang tua yang
disepakati oleh keluarga pengantin, dan orang-orang dari pihak keluarga yang merupakan
keturunan Lolo Bajo.
Setiap harinya, mulai dari persiapan hingga akhir acara, pihak keluarga pengantin akan
menjamu makan setiap tamu yang datang. Makan pagi, siang dan malam hari, juga dengan
penganan kue serta minuman pada pagi dan sore hari. Tentunya prosesi ini mahal ongkosnya,
namun lebih menjadi simbol persatuan, kekeluargaan dan gotong-royong masyarakat Bajo
Taka Bonerate.

Dalam pesta-pesta orang Bajo, biasanya ada menu khusus, yaitu daging ikan lumba-lumba.
Beberapa warga setempat mengaku masih bisa menangkap lumba-lumba dengan tombak.

11
Juga ada daging kima yang dijadikan sayur santan atau kari bersama nangka muda dan kol.
Namun saat ini sudah kurang dilakukan, mengingat status biota laut tersebut yang dilindungi
(endangered species).
Salah satu rangkaian acara perkawinan yang kini sudah sangat jarang dilakukan adalah
pertunjukan pencak silat (manca‟) dengan tangan kosong atau dengan badik dan keris.
Namun menurut pengakuan salah seorang pesilat, pemuda Bajo sekarang ini sudah kurang
berminat terhadap manca‟, lebih sibuk mencari uang dengan berlayar dan menangkap hasil
laut. Sampai sekitar tahun 1980-an, acara petunjukan manca’ masih biasa dilakukan. Dengan
iringan gendang pamanca’, para pesilat konon sering pula menampilkan pertunjukan mistis,
seperti unjuk kekebalan terhadap senjata tajam.
Namun demikian, orang Bajo di Pulau Rajuni yang umumnya memeluk agama Islam dan
mengikuti tasawuf yang diajarkan mendiang Imam Rajuni KH Muhammad Said (wafat tahun
1945), memang belum melupakan tradisi leluhurnya. Setidaknya, hal itu tergambar dalam
penyelenggaraan tata-cara pesta perkawinan

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pemaparan dari makalah di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan :

1. Adat pernikahan di Wajo kaya akan tradisi dan adat istiadat yang sangat kental.
Namun dari semua tradisi yang ada, itu semua tidak lepas dari hukum dan ketentuan
dalam ajaran agama islam.
2. Ritual pernikahan di Wajo terbagi atas beberapa tahap, yaitu ritual sebelum akad nikah
dan ritual setelah akad nikah.
3. Setiap daerah yang memiliki adat dan tradisi yang khas yang mencerminkan jati diri
masing-masing daerah tersebut meskipun daerah tersebut berada dalam lingkup yang
sama.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil pemaparan yang ada di atas, penulis menyarankan :

1. Pemerintah setempat hendaknya lebih memperhatikan dan menjaga adat istiadat yang
ada di daerah Wajo.
2. Para generasi Wajo hendaknya lebih menggali dan menjunjung tinggi adat istiadat di
Wajo dengan cara melestarikan dan tidak meninggalkan upacara-upacara kedaerahan
yang menjadi adat di Wajo.
3. Untuk perbaikan makalah selanjutnya, hendaknya penulis yang baru lebih memperluas
bidang pengkajiannya agar budaya asli kita tidak terkubur oleh perkembangan zaman
yang semakin lama semakin membuat generasi muda melupakan adat dan tradisi daerah
yang telah membesarkan mereka.

12
DAFTAR PUSTAKA:
SUMBER
https://www.bing.com/search?q=contoh+makalah+adat+istiadat+masyarakat+wajo&qs=n&form=QBRE
&msbsrank=0_1&sp=-1&pq=contoh+makalah+adat+istiadat+masyarakat+sulawesi+selatan&sc=0-
56&sk=&cvid=CBB0A75B9DFB46EB9F36E9BCD03FB4D4

13

Anda mungkin juga menyukai