Disusun oleh :
UNIVERSITAS KUNINGAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini pada waktunya. Dimana
dalam makalah Budaya Nusantara ini yang berjudul ‘‘RAGAM BUDAYA NUSANTARA’’.
Saya menyadari jika makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Dan saya berharap apa
yang saya lakukan ini dapat memberikan wawasan lagi yang bermanfaat bagi para
pembaca.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan saya semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini.
Kepada dosen pembimbing kami, Bapa Jerry Daunald Rahajaan, M. Sn. dan juga kepada
teman-teman semua yang membantu saya dalam berbagai hal. Harapan saya, informasi
dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Demikian makalah ini saya buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang saya angkat pada makalah ini. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi saya penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I
1.2. Tujuan.................................................................................................
1.3. Manfaat...............................................................................................
BAB II
BAB III
3. Kesimpulan.............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Ragam budaya adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya
di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks
pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat
Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang
merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada
didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar
dipulau-pulau yang ada di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi
geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir pantai, dataran
rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban
kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda.
1
sekarang pun masih dilakukan dalam acara-acara tertentu dengan berbagai macam jenis
wayang di antaranya wayang kulit. Seni pertunjukan Wayang Kulit merupakan seni
tradisional yang sejak lama berkembang di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia, Malaysia
dan Thailand, selain kisah-kisah lokal, wayang kulit banyak menyajikan kisah-kisah India
Ramayana dan Mahabharata sebagai media pengajaran agama Hindu Buddha. Saat agama
Islam menyebar di kawasan ini, wayang kulit Jawa dan Melayu tetap berkembang bahkan
dipergunakan sebagai media dakwah. Dalam perkembangannya di masa Islam, wayang
kulit Jawa melibatkan peranan dan pengaruh para ulama Sufi dan para penguasa lokal.
Pembentukan, penggubahan dan penciptaan visual boneka wayang kulit berikut
kesusastraan dan karawitannya digagas langsung oleh Wali Sanga dan raja-raja Jawa
berikutnya. Tulisan ini mengangkat wayang kulit Cirebon yang berusia kuno dan membahas
kekhasan tiap atribut visualnya yang merupakan refleksi jejak-jejak akulturasi berbagai
budaya (Jawa, Cina) dan kepercayaan (animisme, Hindu-Buddha, Islam). Wayang kulit
Cirebon merupakan bukti pada masa awal berkembangnya agama Islam di Jawa, telah
terjadi diplomasi antarbudaya dan kepercayaan secara damai melalui media kesenian
sebagai jembatannya.
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita memahami ragam budaya di Indonesia, terlebih dahulu patut kiranya
kita memahami arti budaya itu sendiri, kata budaya dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti
budi atau akal. Dengan demikian budaya di artikan sebagai hal hal yang bersankutan
dengan budi dan akal. Kata budaya dalam bahasa inggris diterjemhkan dengan istilah
culture. Dengan demikian culture atau cultuur diartikan sebagai segala kegiatan manusia
untuk mengolah dan mengubah alam. Ada pula yang berpendapat bahwa kata budaya dari
budi daya yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa.
Sebelum islam masuk kebudyaan orang melayu adalah kebudayaan tempatan dan
Hindu (Ibrahim Khalid, 2008, hal: 5) saat itu budaya melayu masih berfikir secara mitos,
melayu pra Islam sebenarnya sudah disesaki oleh lantunan syair tradisional yang terendam
dalam bentuk mantra-mantra. Ciri yang paling menonjol adalah isinya yang masih animistik,
yakni berisi pemujaan atas kayu, laut, sungai, hutan, gunung, hewan dan lain-lain yang
dipercaya memberikan kekuatan tertentu bagi perapalnya (M. Dien Madjid, 2013, hal : 446).
3
beragama Budha I-Tsing, yang berkunjung dan menulis tentang Sumatera tahun 671, 685,
dan 689 Masehi (Blagden dan Hall). Nyayu Soraya RAGAM SENI DAN BUDAYA MELAYU
NUSANTARA PRA ISLAM 93 Dalam tulisannya I Tsing membicarakan tentang suatu negeri
yang disebut dengan Mo-Lo-Yeou dalam tulisan ini dapat diidentifikasi sebagai Melayu yaitu
suatu kerajaan yang berada di Jambi, disekitar tepi sungai Batanghari (Hall, 1964) ( M.
Takari, 2005, hal.132). Dari segi arsitektur bangunan, unsur agaman Budha juga melekat
pada candi seperti halnya di agama Hindu, salah satunya candi yang cukup besar dan
terkenal di Sumatera adalah candi Muara Takus yang terletak di Propinsi Riau, tepatnya di
Desa Muara Takus, Kecamatam Tigabelas Koto, Kabupaten kampar. Keberadaan candi
diduga mempunyai kaitan erat dengan kerajaan Sriwijaya dan juga dapat dijadikan petunjuk
bahwa Muara Takus perna berfungsi sebagai pelabuhan kapal. Hal itu dimungkinkan
mengingat orang Sriwijaya adalah pelaut-pelaut yang tangguh yang mampu melayari Sungai
Kampar sampai jauh ke arah hulu. Berbagai unsur Budha, wujud pula dalam seni
pertunjukan melayu, misalya teather menhora yang diperkirakan berasal dari Thailand, pada
berbagai tarinya mengekspresikan budaya Budha. Di Timur Sumatera ada tari seperti
senandung cina atau Inang Cina juga mengadopsi unsur-unsur budaya Budha ini. Dalam
musik unnsur Budha (Asia Tenggara)ini dapat dilihat dari penggunaan alat musik ching
(simbal kecil dari Thailand). Begitu juga tangga nada anhemitonik pentatonik (lima nada
tanpa jarak setengah laras), atau lagu-lagu Melayu yang betangga nada pentatonik kreatif
seperti pada lagu senandung Cina, Inang cina, Tudung Periuk, dan lain-lainnya.
4
mengidentifikasikan pemujaan terhadap penguasa tanah (jembalang tanah). Begitu juga
dengan tari gebuk, yaitu tari pengobatan penyakit yang dianggap sebagai penyakit
keturunan di daerah Serdang. Pada masyarakat melayu pula dijumpai upaca memuja roh,
seperti yang dilakukan pada saat awal musim menagkap ikan, para nelayan mengadakan
ritual main pantai yang tujuannya untuk mendapat restu para makhluk halus di laut untuk
menjaga keselamatan mereka saat menangkap ikan dilaut. Begitu juga dengan para petani,
pada saat usai panen mereka mengadakan pertunjukan seperti wayang kulit, yang
tujuannya adalah berterima kasih kepada penguasa hutan. Pertunjukan wayang kulit juga
masih terjaga sampai sekarang, Terdapat dua perkembangan wayang kulit diantaranya
perkembangan wayang kulit di Asia Tenggara dan wayang kulit di pulau Jawa yaitu:
Seni pertunjukan wayang kulit adalah bukan hal yang baru lagi di kawasan Asia
Tenggara. Sudah semenjak lama tiap etnis dan bangsa di kawasan ini mempraktikkan jenis
kesenian kuna ini. Di wilayah Nusantara yang terdiri dari banyak pulau dan beraneka ragam
etnis, jenis gaya wayang kulit begitu melimpah ditemui, misalnya di Pulau Jawa, wayang
Narta di Bali, wayang Sasak di Lombok, wayang Banjarmasin, Palembang dan sebagainya.
Kemudian di wilayah Malaya, ada wayang Siam di Kelantan, wayang Gedek di Kedah dan
Perlis, wayang Melayu (Jawa) di Trengganu, Johor dan Selangor (kini sudah punah). Di
Thailand ada jenis wayang Nang Yai dan Nang Thalung, belum lagi di Kamboja, Vietnam
dan sebagainya. Pengaruh Agama Hindu dan Buddha dari India sangatlah kuat di kawasan
Asia Tenggara. Kebanyakan seni wayang kulit, khususnya di wilayah Nusantara, Malaya
dan Thailand, mempertunjukkan kisah-kisah dari agama tersebut, seperti epik Ramayana
dan Mahabharata, selain masih juga mempertunjukkan kisah-kisah asli lokal. Dengan
perantaraan media wayang inilah, agama Hindu dan Buddha dapat melakukan pengajaran
kepada penduduk asli di Asia Tenggara, karena media ini sendiri sudah tidak asing bagi
mereka. Mungkin bisa dikatakan bahwa dalam sejarah tercatat, inilah peranan pertama
wayang sebagai media diplomasi antara pertemuan budaya dan kepercayaan lokal Asia
Tenggara dengan India. Dalam perjalanannya, kisah Ramayana menjadi sangat populer di
Thailand dan Malaya, sementara kisah Mahabharata kurang dikenal. Wayang Siam di
Kelantan banyak mempertunjukkan adaptasi Melayu dari kisah-kisah Ramayana yang
disebut Hikayat Seri Rama. Justru sebaliknya di Jawa, pementasan epik Mahabharata jauh
lebih dominan dilihat dari berbagai lakon carangan atau anggitan lokalnya yang begitu
banyak ketimbang epik Ramayana. Kisah-kisah India tersebut sedikit banyaknya mengalami
pelokalan atau proses adaptasi dengan unsur-unsur lokal sebagai bagian dari tahapan
5
akulturasi budaya. Selain masalah bahasa sastra dan musik, terjadi penambahan tokoh-
tokoh asli lokal sebagai penyambung kisah India dengan kondisi lokal daerahnya. Misalnya
pada wayang Siam di Kelantan, tampilnya Pak Dogol dan Wak Long sebagai pelayan
“pribumi” dari tokoh utama Rama yang asli India. Lalu pada pewayangan Jawa ada para
Panakawan dengan tokoh-tokoh seperti Ki Semar dan yang lainnya. Tokoh-tokoh asli
pribumi ini selain menonjolkan kalangan rakyat jelata yang tidak terjadi pada kisah aslinya
yang bernuansa feodal, diam-diam juga meninggikan peran dan keluhuran derajat pihak
pribumi. Lebih jauh lagi dalam pewayangan Jawa, seting India telah berubah menjadi setting
lokal, bercampur dengan mitos dan sejarah lokal. Kedua epik tersebut sudah begitu melekat
dan identik dengan dunia pewayangan dan pandangan kejawaan itu sendiri.
Di Jawa, media wayang kulit ini dimanfaatkan dan dipergunakan untuk dakwah
agama Islam. Ia berkembang pesat, mengalami berbagai transformasi dalam aspek visual,
dan aspek pendukung lainnya seperti karawitan, sastra, dan sebagainya. Perkembangan ini
melibatkan peranan dan pengaruh para ulama Sufi dan pihak penguasa lokal yang telah
memeluk Islam. Bahkan Wali Sanga sendiri terlibat secara intensif di sini, terutama
Susuhunan Kalijaga dan putranya Susuhunan Panggung. Mereka berusaha keras untuk
mendiplomasikan antara seni wayang yang berbau non-Islam dengan ajaran Islam. Berkat
peranan mereka, seni wayang kulit oleh sebagian pihak dimaknai mengandung ajaran Islam
(Tarekat) dalam tiap aspeknya, meskipun masih berkisah tentang epikepik India Hindu-
Buddha. Para ulama Sufi seolah memang telah siap untuk menjaga kesinambungan dengan
masa lalu, dan menggunakan pemahaman (istilah) dan unsur-unsur budaya pra-Islam ke
dalam konteks Islam. Nampaknya diplomasi ini memang merupakan suatu bagian dari
strategi kebudayaan untuk jangka panjang ke depan.
6
7