Anda di halaman 1dari 5

SUKU DAN BUDAYA INDONESIA

1. Suku Toraja

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah
Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial
Belandamenamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah
adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya
dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
A. Rumah Adat

Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran
berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut
serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja,
tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru
rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan
keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan
sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang
tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas
kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang
menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun
tongkonan yang besa
B. Makanan Khas
Makanan Khas suku Toraja, diantaranya adalah:
Deppa Tori’
Makanan khas Toraja yang satu ini banyak anda temui apabila anda sedang mengunjungi daerah Toraja. Termasuk
dalam kategori cemilan, makanan ini terbuat dari bahan tepung, gula merah, dan ditaburi oleh wijen.
Pantollo’ Lendong
Pantollo’ Lendong adalah satu makanan berat yang disukai oleh masyarakat Toraja. Lendong artinya belut, yang
kemudian dimasak dengan menggunakan bumbu hitam yang disebut “pamarrasan”. Biasanya, lendong yang
dimasak pamarrasan ini, juga dibumbui dengan pangi. Kalau sebutan orang Jawa ialah kluwek.

Pa’piong
Makanan khas Tana Toraja ini memang langsung dimasak menggunakan bambu dan biasa disajikan bersama
dengan sayur bulunangko, mayana, atau bisa juga bersama dengan burak atau pohon pisang yang masih muda.

C. Pakaian Adat
Baju adat Toraja merupakan pakaian dengan panjang sampai lutut. Bagi masyarakat, Seppa Tallung Buku hanya
dikenakan oleh kaum pria saja. Busana ini juga dilengkapi beberapa aksesoris tambahan seperti: Kandure; busana
dengan hiasan berupa manik-manik pada bagian dada, ikat kepala juga pada ikat pinggang.

2. Suku Badui

Urang Kanekes, Orang Kanekes atau Orang Baduy/Badui merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku
Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang, dan mereka merupakan salah
satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk
didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Baduy Dalam.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh
dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai
nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

A. Rumah Adat
Suku Baduy, suku asli masyarakat Banten yang memiliki rumah adat Sulah Nyanda. Terletak di dalam
pegunungan, Suku Baduy hidup di dalam rumah adat yang terbuat dari kayu dan bambu ini.
Pembuatan rumah adat Sulah Nyanda dilakukan dengan cara gotong royong menggunakan bahan baku yang
berasal dari alam. Bahan seperti kayu digunakan untuk membangun pondasi, sedangkan pada bagian dasar
pondasi menggunakan batu kali atau umpak sebagai landasannya.
Hal yang unik dari pembangunan rumah ini adalah dibangun dengan mengikuti kontur tanah. Hal ini berkaitan
dengan aturan adat yang mengharuskan setiap masyarakat yang ingin membangun rumah tidak merusak alam
sekitar demi membangun suatu bangunan. Karenanya, tiang-tiang rumah adat Suku Baduy tidak memiliki
ketinggian yang sama. Sedangkan anyaman bambu digunakan dalam pembuatan bilik dan lantai rumah. Untuk
atap, rumah adat Suku baduy menggunakan ijuk yang terbuat dari daun kelapa yang telah dikeringkan.
Rumah adat Sulah Nyanda dibagi dalam 3 ruangan yaitu bagian sosoro (depan), tepas (tengah) dan ipah
(belakang). Masing-masing ruangan berfungsi sesuai dengan rencana pembuatan.
Pada bagian depan rumah atau yang biasa disebut sosoro berfungsi sebagai ruang penerima tamu. Hal ini
dikarenakan tamu tidak diperkenankan masuk ke dalam rumah. Fungsi lainnya digunakan sebagai tempat
bersantai dan menenun bagi kaum perempuan. Bagian depan ini berbentuk melebar ke samping dengan lubang
di bagian lantainya.
Sedangkan bagian tengah atau biasa disebut tepas digunakan untuk aktivitas tidur d an pertemuan keluarga.
Sementara pada bagian belakang rumah atau biasa disebut imah digunakan sebagai tempat untuk memasak
serta menyimpan hasil ladang dan beras. Tiap ruangan ini dilengkapi dengan lubang pada bagian lantainya.
Lubang di lantai rumah Suku Baduy berfungsi sebagai sirkulasi udara. Ini dikarenakan rumah adat Suku Baduy
tidak dilengkapi dengan jendela. Tujuan tidak dibangunnya jendela agar para penghuni rumah yang ingin melihat
keluar diharuskan pergi untuk melihat sisi bagian luar rumah.

B. Makanan Khas
Makanan khas Suku Baduy, diantaranya adalah :

Pasung Merah
Kue pasung merah merupakan kue khas suku Baduy Banten yang kini banyak ditemui di kawasan Serang, Lebak,
Pandeglang dan Cilegon. Kue ini sering disajikan di acara-acara perayaan keagamaan, pernikahan, khitanan dan
perayaan lainnya. Kue pasung sudah ada sejak zaman dahulu dan merupakan hasil dari perpaduan antara makanan
khas Sunda dan makanan dari Jawa. Rasanya yang manis dengan tekstur yang kenyal membuatnya cocok disantap
sambil minum kopi atau teh di sore hari.
Kue pasung terbuat dari dua adonan yakni campuran santan dan tepung sagu dan campuran tepung beras dengan
gula merah. Untuk menambahkan aroma wangi dan tekstur, biasanya ditambahkan buah nangka atau potongan
kelapa. Kue pasung Banten dibungkus dengan menggunakan daun pisang yan gdibentuk layaknya sebuah corong
kemudian dikukus sampai matang.

Otak-otak Labuan
Makanan khas ini dibuat dari olahan daging ikan tenggiri. Kawasan Banten yang dekat dengan daerah pesisir dikenal
kaya ikan sehingga wajar jika olahan ikan banyak ditemukan di sini. Otak-otak labuan dibuat dari daging ikan tenggiri
yang dihaluskan kemudian dicampur dengan santan, bawang putih, tepung tapioka, gula pasir, merica, dan garam.
Kemudian adonan tersebut dibungkus menggunakan daun pisang yang ditusuk lidi di ujung-ujungnya. Lalu otak-otak
dibakar di atas arang hingga mengeluarkan aroma harum. Otak-otak labuan disajikan dengan tambahan berupa
sambal kacang tanpa nasi.

Jojorong
Makanan khas suku Baduy Banten lainnya adalah jojorong. Jojorong sudah terkenal sebagai makanan khas Banten,
tapi jarang yang tahu kalau makanan ini merupakan makanan khas suku Baduy. Kue Jojorong kini bisa Anda temui
banyak dijual di kawasan Lebak dan Pandeglang. Kue ini terbuat dari tepung kanji, tepung beras dan gula merah.
Teksturnya terasa lembut dan sensasi rasa manis bisa Anda rasakan ketika menyendok bagian dalam kue jojorong
ini.

C. Pakaian Adat
Baju adat Suku Baduy terbuat dengan bahan yang didapat dari alam sekitar. Hal ini mudah saja karena
pegunungan yang kaya hasil alam telah menjadi tempat tinggal Suku Baduy sejak bertahun-tahun lamanya.
Proses dimulai dari menanam biji kapas hingga panen. Selanjutnya, proses memintal kapas hingga menjadi
benang. Kapas yang telah menjadi benang selanjutnya ditenun oleh kaum perempuan Suku Baduy hingga
menjadi bahan. Bahan inilah yang nantinya akan dibuat menjadi baju adat dan dipakai sehari -hari untuk
beraktivitas.
Pakaian untuk laki-laki Suku Baduy disebut dengan jamang sangsang. Baju ini berlengan panjang dengan cara
pakai hanya disangsangkan atau hanya dilekatkan pada tubuh. Desain baju sangsang berlubang pada bagian
leher sampai dada serta tidak menggunakan kerah, kancing, dan kantong.
Untuk kaum perempuan Suku Baduy, pakaian adatnya hanya berupa kain atau semacam sarung bewarna biru
kehitam-hitaman. Kain ini berupa kebaya dengan motif batik yang dipakai dari tumit hingga ke dada. Perbedaan
yang paling mencolok terlihat jika pakaian ini dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan belum . Jika yang
sudah menikah baju terlihat terbuka di bagian dada sedangkan untuk perempuan yang belum menikah maka
bagian dada akan tertutup
3. Suku Dayak
Suku Dayak (Dajak atau Dyak) adalah nama yang oleh penjajah diberi kepada penghuni pedalaman pulau Borneo
yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang
terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan).
Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung. Dahulu,
budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak
mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama
rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun
Iban, rumpun Apokayanyaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-
Ngaju dan rumpun Punan.

A. Rumah Adat
Rumah adat Suku Dayak bernama Rumah Betang. Rumah Betang berbentuk panggung dan memanjang.
Panjangnya bisa mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang
tingginya sekitar 3-5 meter. Setiap Rumah Betang dihuni oleh 100-150 jiwa, Betang dapat dikatakan sebagai rumah
suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh
seorang .
Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah Betang haruslah memenuhi beberapa persyaratan berikut di antaranya
pada hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam. Hal ini
dianggap sebagai simbol dari kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari terbit hingga terbenam.Semua
suku Dayak, terkecuali suku Dayak Punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam dalam kebersamaan
hidup secara komunal di rumah betang/rumah panjang, yang lazim disebut Lou, Lamin, Betang, dan Lewu Hante.

B. Makanan Khas
Makanan khas suku Dayak , diantaranya adalah:
JuhuSingkah/UmbutRotan
Umbut Rotan (rotan muda) adalah salah satu makanan khas yang dimiliki oleh Suku Dayak, terutama dari
Kalimantan Tengah. Dalam bahasa Dayak Maanyan, umbut rotan dikenal dengan uwut nang'e. Sedangkan dalam
bahasa Dayak Ngaju dikenal dengan juhu singkah. Umbut rotan ini dikenal masyarakat dayak karena mudah
diperoleh didalam hutan tanpa perlu menanamnya terlebih dahulu.
Kalumpe/Karuang
Kalumpe / karuang adalah sayuran yang dibuat dari daun singkong yang ditumbuk halus. Kalumpe merupakan
bahasa Dayak Maanyan dan karuang sebutan sayur ini dalam bahasa Dayak Ngaju. Dalam pembuatannya,
biasanya daun singkong ditumbuk halus dan dicampur dengan terong kecil atau terong pipit. bumbu untuk masakan
ini adalah bawang merah, bawang putih, serai dan lengkuas yang dihaluskan. Apabila ingin bisa ditambahkan cabe.
Kalumpe terasa sangat enak apabila sedang panas. Masakan ini biasa disajikan bersama dengan sambal terasi
yang pedas dan ikan asin.
Wadi
Wadi adalah makanan berbahan dasar ikan atau menggunakan daging babi. Wadi bisa dibilang adalah makanan
yang "dibusukan". Namun pembusukan ini tidak dibiarkan begitu saja, sebelum disimpan, ikan atau daging akan
dilmuri dengan bumbu yang terbuat dari beras ketan putih atau bisa juga biji jagung yang di-sangrai sampai
kecoklatan kemudian di tumbuk manual atau di blender. Dalam bahasa Dayak Maanyan bumbu ini disebut dengan
Sa'mu dan dalam bahasa Dayak Ngaju disebut dengan Kenta.
C. Pakaian Adat
Busana tradisional Adat Dayak adalah pakaian khas yang digunakan oleh Suku Dayak disaat mengadakan upacara
adat, acara perkawinan dan acara lainnya. Busana tradisional Dayak juga memiliki fungsi sebagai pemberian kasta
dimana desain corak yang berbeda atau lebih menonjol dari corak yang dikenakan pada umumnya menandakan
orang tersebut adalah keturunan bangsawan, contohnya adalah corak bergambar harimau.

4. Suku Aceh

Suku Aceh (bahasa Aceh: Ureuëng Acèh) adalah nama sebuah suku penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir
dan sebagian pedalaman Provinsi Aceh, Indonesia. Suku Aceh mayoritas beragama Islam. Suku Aceh mempunyai
beberapa nama lain yaitu Lam Muri, Lambri, Akhir, Achin, Asji, A-tse dan Atse.

Suku Aceh pada masa pra-modern hidup secara matrilokal dan komunal. Mereka tinggal di permukiman yang
disebut gampong. Persekutuan dari gampong-gampong membentuk mukim. Masa keemasan budaya Aceh dimulai
pada abad ke-16, seiring kejayaan kerajaan Islam Aceh Darussalam, dan kemudian mencapai puncaknya pada abad
ke-17. Suku Aceh pada umumnya dikenal sebagai pemegang teguh ajaran agama Islam, dan juga sebagai pejuang
militan dalam melawan penaklukan kolonial Portugis dan Belanda.

Bukti-bukti arkeologis terawal penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen, di mana mereka tinggal di
pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-ciri Australomelanesid. Mereka
terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai jenis kerang, serta hewan-hewan darat seperti babi dan
badak. Mereka sudah memakai api dan menguburkan mayat dengan upacara tertentu.

A. Rumah Adat
Rumah adat Aceh (bahasa Aceh: Rumoh Aceh) adalah rumah adat dari suku Aceh. Rumah ini bertipe rumah
panggung dengan 3 bagan utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë
(serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang).

B. Makanan Khas
Masakan Aceh terkenal banyak menggunakan kombinasi rempah-rempah sebagaimana yang biasa terdapat
pada masakan India dan Arab, yaitu jahe, merica, ketumbar, jintan, cengkeh, kayu manis, kapulaga,
dan adas. Berbagai macam makanan Aceh dimasak dengan bumbu gulai atau bumbu kari serta santan, yang
umumnya dikombinasikan dengan daging, seperti daging kerbau, sapi, kambing, ikan, dan ayam. Beberapa resep
tertentu secara tradisional ada yang memakai ganja sebagai bumbu racikan penyedap; hal mana juga ditemui pada
beberapa masakan Asia Tenggara lainnya seperti misalnya di Laos, namun kini bahan tersebut sudah tidak lagi
dipakai. Beberapa jenis makanan aceh adalah Ayam Tangkap, Nasi Guri, Mie Aceh dan Sate Matang.

C. Pakaian Adat
Pakaian adat Suku Aceh untuk pria Linta Baro sedangkan untuk wanita adalah Daro Baro. Baik pada pakaian pria
dan wanita memiliki cirri khas disetiap bagiannya. Pada pakaian Linat baro yang dikenakan oleh pria biasanya akan
dikenakan pada acara kepemerintahan. Pada bagian atas pakain Linta baro disebut meukasah sedangkan pada
bawahannya yaitu celana panjang hitam disebut Siluweu. Sedangkan pada pakaian yang dikenakan oleh wanita
warnanya lebih cerah.
Warna yang digunakan dibeberapa pakaian yang dikenakan adalah merah, kuning, hijau ataupun ungu. Pakaian
untuk wanita ini sangat islami, karena tertutup dari bagian bawah hingga atas.

5. Suku Bali
Suku Bali (bahasa Bali: Anak Bali, Wong Bali, atau Krama Bali) adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali,
yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali.

Anda mungkin juga menyukai