Anda di halaman 1dari 4

NAMA:NURYATI

KELAS: PENDIDIKAN GEOGRAFI


NPM :41182170200011
MATKUL:PENGANTAR ILMU SOSIAL (PIS)

SUKU BADUY

SUKU BADUY Sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya, Indonesia dihuni berbagai
macam suku yang menetap di segala pelosok nusantara. Kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga
kelestarian alam Indonesia hingga mampu terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. Nama
Baduy terlesip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup
bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Banten.

Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan
adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat
dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar.

Masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang
elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar
Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy
Luar.

Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam
keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya ba gian
celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua.

Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy
Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas.

Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan
semua masyarakat Suku Baduy. Tugas ini dipimpin oleh Pu'un selaku ketua adat tertinggi dibantu
dengan Jaro sebagai wakilnya. Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo adalah tiga kampung
tempat Suku Baduy tinggal, sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung
lainnya yang berada di bukit-bukit Gunung Kendeng.

Sebutan Baduy merupakan pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini
dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab. Kemiripan ini karena dahulu, masyarakat di sini
sering berpindah-pindah mencari tempat yang sempurna untuk mereka tinggali. Namun ada versi lain
yang menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian uta ra Desa
Kanekes.

Mata pencaharian mayarakat Suku Baduy umumnya berladang dan bertani. Alamnya yang subur dan
berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa kopi, padi,
dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy.
Namun dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak menggunakan kerbau atau sapi dalam
mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat selain anjing sangat dilarang masuk ke Desa Kanekes
demi menjaga kelestarian alam.
Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu
dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi menjaga alam yang
sudah memberi mereka kehidupan.
Rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang-tiang
penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya.
Terdapat 3 ruangan dalam rumah adat Baduy dengan fungsinya yang masing-masing berbeda. Bagian
depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah
berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur, dan ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang
digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil ladang dan padi. Semua ruangan dilapisi
dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, serat ijuk atau
daun pohon kelapa. Rumah suku Baduy dibangun saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara
atau selatan. Faktor sinar matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan menjadi pemilihan
mengapa rumah di sini dibangun hanya pada dua arah saja.
Layaknya suku kebanyakan di nusantara, tradisi kesenian di Suku Baduy juga mengenal budaya
menenun yang telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya dilakukan oleh kaum
perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos yang berlaku bila pihak laki -laki tersentuh
alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai
tingkah laku perempuan.
Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku Baduy. Kain
ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar
biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.
Selain digunakan dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang
berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang
menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni. Tas yang bernama koja atau jarog ini
digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat
beraktivitas atau perjalanan.
Suku Baduy percaya, mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang
diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang
pertama. Menurut kepercayaan mereka, warga Kanekes mempunyai tugas untuk menjaga harmoni
dunia. Kepercayaan ini disebut juga dengan Sunda Wiwitan. Kepercayaan yang memuja nenek moyang
sebagai bentuk penghormatan.
Wilayah Suku Baduy telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah Lebak pada tahun
1990. Kawasan yang melintas dari Desa Ciboleger hingga Rangkasbitung ini telah menjadi tempat
bermukimnya Suku Baduy yang menjadi suku asli Provinsi Banten. Wisatawan juga bisa mengunjungi
suku ini melalui Terminal Ciboleger sebagai pemberhentian terakhir kendaraan bermotor.
Dari sini pemandu akan mengajak wisatawan melintasi bukit masuk ke dalam hutan hingga
menemukan kampung terluar Desa Baduy Luar. Waktu yang ditempuh mencapai 1 jam dengan jalan
mendaki dan menurun. Namun bagi wisatawan yang ingin mengunjungi wilayah Baduy Dalam bisa
berjalan hingga waktu 7 jam sebelum tiba di Kampung Cibeo, salah satu kampung dari 3 kampung
Baduy Dalam.
Ada 4 macam penelitian komparatif dalam suku baduy yaitu :
1. Penelitian komparatif dengan tujuan menyusun sejarah kebudayaan manusia secara
inferensial dalam suku baduy :
Sebutan Baduy merupakan pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan
masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab. Kemiripan ini karena
dahulu, masyarakat di sini sering berpindah-pindah mencari tempat yang sempurna untuk
mereka tinggali. Namun ada versi lain yang menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai
Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes.
2. Penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu kebudayaan dalam suku baduy :
Sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya, Indonesia dihuni berbagai macam suku yang
menetap di segala pelosok nusantara. Kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga kelestarian
alam Indonesia hingga mampu terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. Nama Baduy
terlesip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup
bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten.

Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau
aturan adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan
menjalankan aturan adat dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar.

Masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan
barang elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang
aktivitas dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu
yang berasal dari luar Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di
salah satu rumah warga Baduy Luar.

Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam
keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya
bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua.

Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda
dengan Baduy Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan
aktivitas
3. Penelitian komparatif untuk taksonomi kebudayaan dalam suku baduy :

Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat
dari kayu dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi
menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan.
Rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang-
tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya.
Terdapat 3 ruangan dalam rumah adat Baduy dengan fungsinya yang masing-masing berbeda.
Bagian depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun untuk kaum
perempuan. Bagian tengah berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur, dan ruangan ketiga yang
terletak di bagian belakang digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil
ladang dan padi. Semua ruangan dilapisi dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu.
Sedangkan pada bagian atap rumah, serat ijuk atau daun pohon kelapa. Rumah suku Baduy
dibangun saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara atau selatan. Faktor sinar
matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan menjadi pemilihan mengapa rumah di
sini dibangun hanya pada dua arah saja.
Layaknya suku kebanyakan di nusantara, tradisi kesenian di Suku Baduy juga mengenal
budaya menenun yang telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya
dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos yang
berlaku bila pihak laki-laki tersentuh alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki
tersebut akan berubah perilakunya menyerupai tingkah laku perempuan.
Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku
Baduy. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain
yang agak kasar biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.

4. Penelitian komparatif untuk menguji korelasi antar unsur ,antar pranata dan antar gejala
kebudayaan untuk membuat generalisasi – generalisasi mengenai tingkah laku manusia pada
umumnya dalam suku baduy :
 Karena medsos dan laju teknologi , suku baduy terancam generasi
Komunitas adat suku baduy kini menghadapi ancaman serius , yakni hilangnya satu
generasi . hal ini terungkap dalam keterengan tertulis para pemerintah budaya dan
tetua baduy yang diterima . tugas hidup suku baduy itu adalah bertani , melestarikan
adat istiadat bukan main medsos .
 Hidup suku baduy yang terpenting adalah ia bisa makan hasil tani nya atau bisa
mendapatkan makanan sendiri dengan cara bertani

Anda mungkin juga menyukai