Untuk mengetahui suku asli Banten ini lebih dalam, ada baiknya untuk
melakukan pengecekan terhadap sejarah mereka. Sejarah mengatakan, suku ini memang
sudah lama mendiami daerah Banten dan masih ada beberapa para peneliti yang hidup
bersama mereka. Hal ini dilakukan agar penulisan sejarah bisa lebih mendalam dan
sesuai. Nama Baduy diambil dari kata Baduwi, diberikan oleh peneliti Belanda yang
menganggap suku ini mirip dengan masyarakat nomaden di Arab.
Ada beberapa versi tentang asal-usul suku ini di kalangan para peneliti, yang
sampai saat ini masih diperdebatkan keabsahannya. Ada sejarah yang mengatakan
Banten merupakan daerah penting bagi Kerajaan Sunda yang berpusat di sekitar Bogor
pada abad ke-16. Namun upaya Kesultanan Banten untuk merebut tanah Banten dari
Kerajaan Sunda mengalami berbagai rintangan. Salah satunya pada saat perintah Raja
Kesultanan Banten yang memerintahkan bala tentara menyelamatkan sungai penting di
daerah Banten.
Sungai yang dulunya dikuasai oleh Kerajaan Sunda ini harus diambil alih dan
menuntut tentara berlindung di dalam Gunung Kendeng. Selanjutnya banyak sejarah
yang meyakini jika Suku Badui merupakan bala tentara yang dulu diperintahkan oleh
Raja Kesultanan Banten.
Sejarah lain ada juga yang mengatakan bahwa suku ini merupakan orang-orang
pelarian atau yang diasingkan dari Kerajaan Sunda. Mereka lebih senang dipanggil
dengan orang kanekes atau kanekes dibandingkan dengan nama Baduy.
Suku Badui juga diperintahkan oleh Raja untuk melestarikan budaya nenek
moyang, oleh sebab itu mereka masih menyembah arwah nenek moyang. Keyakinan ini
disebut dengan Sunda Wiwitan atau menyembah nenek moyang yang dianggap suci atau
telah disucikan. Banyak yang masih menganggap suku ini beragama Hindu atau Budha,
namun kepercayaan yang mereka anut berbeda dari kedua agama tersebut.
BAHASA
Suku yang terdiri dari Suku Baduy Dalam dan Luar memiliki beberapa perbedaan dalam
bahasa yang digunakan. Meskipun keduanya menggunakan Bahasa Sunda dan tidak
begitu lancar menggunakan bahasa Indonesia, namun untuk budaya tulis masih kurang.
Suku Badui Dalam kurang lancar berinteraksi dengan orang asing, namun Suku Badui
Luar mulai terbiasa dengan hadirnya orang asing.
Dialek yang digunakan dalam berbahasa adalah dialek sunda-banten yang sangat kental.
Cerita rakyat juga diberikan turun temurun dari nenek moyang dan disampaikan secara
lisan dan tidak ada dalam tulisan. Untuk berinteraksi dengan Suku Baduy Luas
dianjurkan untuk perlahan-lahan apalagi jika orang asing tidak mengerti bahasa mereka.
Namun, hal ini tidak hanya menunjukkan keterbelakangan terhadap kemajuan jaman tapi
ada unsur positif.
Ini memaksa masyarakat asing untuk lebih menghargai bahasa mereka dan belajar untuk
memahami arti bahasa sunda-banten. Sehingga bahasa sunda-banten ini tidak akan
punah, dan bisa digunakan dengan maksimal. Bahasa ini adalah pemersatu atau alat
komunikasi di antara Suku Baduy agar memudahkan keseharian mereka, dan bahasa ini
harus dijaga.
Bahasa Sunda.
Sunda – Banten.
Angklung Buhun adalah alat musik angklung tradisional dari masyarakat adat Suku
Baduy yang mendiami sebagian wilayah Lebak, di Selatan Banten. Bagi masyarakat
Baduy, kesenian angklung buhun ini sakral dan memiliki nilai khusus di dalamnya.
Kesenian angklung buhun biasanya hanya ditampilkan pada acara tertentu saja, terutama
pada saat penanaman padi. Jadi, angklung buhun umumnya tidak dipentaskan sebagai
kesenian umum, tetapi lebih digunakan upacara sakral.
Tarian Daerah
Tarian daerah Suku Baduy adalah Tari
Topeng. Tarian ini dilakukan oleh satu
orang pria atau lebih sesuai dengan
kebutuhan.
Gerakkan tari ini tempak gemulai.
Tarian topeng mengisahkan tentang seorang
rasa yang balas dendam karena cintanya
yang ditolak.
Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa
hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya
diturunkan melalui garis keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara
Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan maijer dicatat sudah terjadi
13 kali pergantian puun Sikeusik (1891: hlm. 13). Menurut catatan tahun 1988, jumlah
puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi (Garna 1988).
Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi
pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di
hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk
asalnya menengok para keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan
kampung.
Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan
wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi
para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-
mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau
penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi
tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang
paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah
terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa
yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak
di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk
menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung
tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan
sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut
Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek
moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada
Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang ----
Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut
Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik
mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau
Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau
Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan
tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah
bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah
seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di
dunia.
Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci).
Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting (peling tidak yang ditakuti dan
disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan
Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus
dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya mengurus
tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya,
Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut
namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang
menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan
melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur.
SISTEM KEKERABATAN
Baduy terdapat di Desa Kanekes, yang merupakan wilayah adat orang Baduy.
Secara administratif, Desa Kanekes masuk dalam wilayah Kemantren Cisimeut,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Jarak Desa Kanekes dari
ibu kota Jakarta sekitar 160 Km, sedangkan dari pusat pemerintahan Provinsi Banten di
kota Serang jaraknya sekitar 78 Km. Jarak dari pintu masuk Desa Kanekes ke pusat kota
Kecamatan Leuwidamar adalah 27 Km, dan jarak ke pusat kota Kabupaten Lebak di kota
Rangkasbitung sekitar 50 Km.
Letak Desa Kanekes berada di kawasan Pegunungan Kendeng, yang kondisi fisiknya
berbukit-bukit. Luas desa tersebut berdasarkan Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten
tingkat II Lebak Nomor 13 Tahun 1990 adalah 5.101,85 Ha. Wilayah Kanekes seluas itu
meliputi huma (ladang, kebun atau lahan pertanian), permukiman, serta hutan lindung.
Masyarakat Baduy tersebar di sekitar 59 kampung.
Permukiman di Desa Kanekes dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah
Baduy Tangtu/Kajeroan yang menempati daerah sebelah selatan; dan wilayah
Baduy Panamping yang berada di wilayah sebelah timur, barat, dan utara. Di wilayah
Baduy Tangtu terdapat Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik, sedangkan di
wilayah Baduy Panamping terdapat 56 kampung. Penambahan anak kampung hanya
dizinkan di wilayah Baduy Panamping. Selain itu, ada juga warga Dangka, yakni warga
Baduy yang tinggal di luar Desa Kanekes. Meskipun berada di luar Kanekes, mereka
merupakan pendukung budaya dan keturunan Baduy. Mereka tidak kehilangan statusnya
sebagai orang Baduy karena masih terlibat dalam kegiatan adat di Baduy. Para pemimpin
di dangka pun selalu dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan di Baduy.
Pola permukiman orang Baduy dibangun dalam bentuk kampung atau lembur.
Setiap kampung dibangun di lokasi yang ada sumber air, baik mata air, sungai, atau
selokan. Di dalam kampung terdapat sejumlah bangunan rumah panggung dalam tataran
mengelompok, dan diatur sedemikian rupa sehingga kumpulan rumah terletak di tengah.
Rumah-rumah umumnya, dibangun bersaf berhadap-hadapan dengan jarak antar rumah
kira-kira 2-3 meter. Walaupun rumahnya tanpa jendela, sinar matahari/ udara luar dapat
masuk melalui celah-celah dinding. Sementara itu di bagian pinggir luar didirikan saung
lisung (tempat menumbuk padi), tampian (tempat mandi), dan di bagian yang lebih ke
luar lagi adalah bangunan leuit (lumbung padi) milik keluarga-keluarga. Di tengah
permukiman biasanya terdapat lahan kosong, berupa lapangan atau halaman rumah. Area
itu berfungsi sebagai tempat bermain anak-anak atau menjemur benang, pakaian, dan
aktivitas lainnya.
Golok/Bedog
Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy. Ada dua macam Golok yang
dibuat dan digunakan oleh orang Baduy, yaitu golok polos dan golok pamor. Golok polos
dibuat dengan proses yang biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan
bermotor yang ditempa berulang-ulang. Golok ini digunakan oleh orang Baduy untuk
menebang pohon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya. Golok pamor memiliki
urat-urat atau motif gambar yang menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok
pada kedua permukaannya. Proses pembuatannya lebih lama dan memerlukan
pencampuran besi dan baja yang khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi
golok polos biasa, di samping memiliki kharisma tersendiri bagi yang menyandangnya.
Golok buatan orang Baduy-Dalam berbeda dengan buatan orang Baduy-Luar. Secara
jelas perbedaannya terletak pada sarangka dan perah-nya, baik yang berpamor maupun
tidak.
Kujang
Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma, misalnya untuk nyacar,
ngored, dan dibuat. Benda seperti ini di daerah Sunda yang lain sering dinamakan arit.
Kujang dibuat dari bahan besi dan baja yang ditempa. Alat ini disebut kujang karena
berbentuk mirip kujang sebagai senjata khas Pajajaran dan kini menjadi simbol daerah
Jawa Barat. Istilah kujang ditujukan untuk bentuk seperti kujang dengan bagian bawah
(tangkai)nya seperti golok , dan alat ini banyak digunakan oleh orang Baduy Dalam.
Sedangkan bagi orang Baduy Luar biasanya menggunakan istilah kored (alat untuk
pekerjaan ngored/membersihkan rerumputan di huma).
Kapak Beliung
Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai salah satu perkakas untuk
membangun rumah. Di daerah lain disebut juga kapak. Gagangnya terbuat dari kayu
yang agak panjang (30-35 cm). Tenaga dan daya tekan Baliung harus lebih besar
daripada golok, dan karena itu dibuat dari besi baja yang lebih besar dan tebal pada
bagian pangkal (yang tumpulnya).
Senjata
Ada dua kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan perkakas tajam, yaitu
kampung Batu Beulah dan Cisadane. Kedua kampung ini letaknya tidak berjauhan, dan
berada di sebelah Selatan Baduy (Kanekes). Tukang membuat perkakas tajam ini
dinamakan Panday Beusi. Yang dibuatnya antara lain Golok, Kujang, dan Baliung.
Kampung yang sangat populer goloknya yaitu dari panday beusi Batu Beulah dan
Cisadane. Sejak dahulu kedua kampung yang berdekatan ini sudah terkenal buatan
goloknya yang sangat hebat (karena kekuatan, ketajaman, dan pamornya).
Lodong
Salah satu kegiatan wanita suku Baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula aren.
Setiap pagi mereka membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk
menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan
hutan.
Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dicetak
menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia
dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua
keping tempurung dijualnya Rp 4.000.
SISTEM PENGETAHUAN
Sistem pengetahuan masyarakat Baduy adalah Pikukuh yang artinya memegang teguh
segala perangkat peraturan yang telah di turunkan oleh leluhur. Kelompok masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari tidak mengenal tulisan segala yang berhubungan dengan
peraturan hokum, adat istiadat, kiasah-kiasah nene moyang dan kepercayaan mereka
diturunkan dan diwariskan kepada anak cucu mereka. Dalam hal pengetahuan
masyarakat Suku Baduy memiliki sifat toleransi, tata karma, jiwa sosisal, dan teknik
bertani yang diwariskan oleh para leluhurnya. Dalam pendidikan modern masyarakat
Baduy masih tertinggal jauh, namaun mereka belajar secara otodidak, jadi masyarakat
Baduy sebetulnya sangat informasional dan mengetahu informasi. Hal ini ditunjang
kegemaran sebagai orang warayan atau disebut dengan pengembara. Ada beberapa
kemungkinan bahwa masyarakat Baduy telah lama banyak di gantikan dengan budaya
baru, hal itu menandakan sebetulnya budaya sangat relative dan adatif di kalangan
masyarakat Suku Baduy.