Anda di halaman 1dari 15

SUKU BADUI

Untuk mengetahui suku asli Banten ini lebih dalam, ada baiknya untuk
melakukan pengecekan terhadap sejarah mereka. Sejarah mengatakan, suku ini memang
sudah lama mendiami daerah Banten dan masih ada beberapa para peneliti yang hidup
bersama mereka. Hal ini dilakukan agar penulisan sejarah bisa lebih mendalam dan
sesuai. Nama Baduy diambil dari kata Baduwi, diberikan oleh peneliti Belanda yang
menganggap suku ini mirip dengan masyarakat nomaden di Arab.
Ada beberapa versi tentang asal-usul suku ini di kalangan para peneliti, yang
sampai saat ini masih diperdebatkan keabsahannya. Ada sejarah yang mengatakan
Banten merupakan daerah penting bagi Kerajaan Sunda yang berpusat di sekitar Bogor
pada abad ke-16. Namun upaya Kesultanan Banten untuk merebut tanah Banten dari
Kerajaan Sunda mengalami berbagai rintangan. Salah satunya pada saat perintah Raja
Kesultanan Banten yang memerintahkan bala tentara menyelamatkan sungai penting di
daerah Banten.
Sungai yang dulunya dikuasai oleh Kerajaan Sunda ini harus diambil alih dan
menuntut tentara berlindung di dalam Gunung Kendeng. Selanjutnya banyak sejarah
yang meyakini jika Suku Badui merupakan bala tentara yang dulu diperintahkan oleh
Raja Kesultanan Banten.
Sejarah lain ada juga yang mengatakan bahwa suku ini merupakan orang-orang
pelarian atau yang diasingkan dari Kerajaan Sunda. Mereka lebih senang dipanggil
dengan orang kanekes atau kanekes dibandingkan dengan nama Baduy.
Suku Badui  juga diperintahkan oleh Raja untuk melestarikan budaya nenek
moyang, oleh sebab itu mereka masih menyembah arwah nenek moyang. Keyakinan ini
disebut dengan Sunda Wiwitan atau menyembah nenek moyang yang dianggap suci atau
telah disucikan. Banyak yang masih menganggap suku ini beragama Hindu atau Budha,
namun kepercayaan yang mereka anut berbeda dari kedua agama tersebut.

BAHASA

Suku yang terdiri dari Suku Baduy Dalam dan Luar memiliki beberapa perbedaan dalam
bahasa yang digunakan. Meskipun keduanya menggunakan Bahasa Sunda dan tidak
begitu lancar menggunakan bahasa Indonesia, namun untuk budaya tulis masih kurang.
Suku Badui Dalam kurang lancar berinteraksi dengan orang asing, namun Suku Badui
Luar mulai terbiasa dengan hadirnya orang asing.
Dialek yang digunakan dalam berbahasa adalah dialek sunda-banten yang sangat kental.
Cerita rakyat juga diberikan turun temurun dari nenek moyang dan disampaikan secara
lisan dan tidak ada dalam tulisan. Untuk berinteraksi dengan Suku Baduy Luas
dianjurkan untuk perlahan-lahan apalagi jika orang asing tidak mengerti bahasa mereka.
Namun, hal ini tidak hanya menunjukkan keterbelakangan terhadap kemajuan jaman tapi
ada unsur positif.
Ini memaksa masyarakat asing untuk lebih menghargai bahasa mereka dan belajar untuk
memahami arti bahasa sunda-banten. Sehingga bahasa sunda-banten ini tidak akan
punah, dan bisa digunakan dengan maksimal. Bahasa ini adalah pemersatu atau alat
komunikasi di antara Suku Baduy agar memudahkan keseharian mereka, dan bahasa ini
harus dijaga.
 Bahasa Sunda.
 Sunda – Banten.

Pakaian Adat Suku Baduy


Dari berbagai sumber, termasuk Wikipedia, orang
Baduy atau yang juga sering disebut dengan urang
kanekes adalah kelompok etnis yang bermukim di
daerah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku
Baduy pun dapat terbagi menjadi dua, yaitu Baduy
Dalam dan Baduy Luar.
Perbedaan yang paling terlihat adalah dari ciri-ciri pakaian yang mereka kenakan.
Dimana anggota Suku Baduy Dalam menggunakan pakaian putih alami dan biru gelap
dengan ikat kepala berwarna putih. Sedangkan Suku Baduy Luar menggunakan pakaian
dan ikat kepala berwarna biru gelap. Di samping itu, orang-orang suku Baduy Dalam
lebih kuat dalam memegang adat istiadat nenek moyang mereka daripada suku Baduy
Luar.
Berikut pembahasan secara lengkap beserta contoh foto dan keterangannya.

a. Baduy Dalam Laki-Laki


ilustrasi pakaian adat banten baduy dalam
Sumber: http://misterbanten.blogspot.com
Pakaian adat suku Baduy Dalam namanya yaitu Jamang Sangsang yang mempunyai
makna digantung. Penamaan ini tidak lepas dari cara penggunaan pakaian yang cukup
digantungkan di badan. Secara fisik, baju yang masih dijahit secara tradisional dengan
ditenun ini terbuat dari pintalan kapas asli dan berwarna putih. Bentuk baju ini tanpa
kerah serta tidak memiliki kancing dan saku pada. Pakaian adat Baduy Dalam juga
dilengkapi dengan bawahan sarung berwarna biru tua dan hitam yang diikatkan pada
pinggang. Agar ikatan kuat, biasanya sarung tersebut diperkuat dengan selembar kain.
Suku Baduy Dalam tidak memakai celana karena mereka menganggap bahwa celana
adalah barang yang tabu. Di samping itu, orang Baduy Dalam juga akan menggunakan
ikat kepala yang terbuat dari kain putih yang berfungsi sebagai pembatas rambut serta
aksesoris berupa hasduk yang diletakkan melingkar di leher. Pakaian adat Suku Baduy
Dalam yang serba putih menyimbolkan bahwa mereka masih bersih dan suci dari budaya
luar yang cenderung merusak moral.

b. Baduy Luar Laki-Laki


Pakaian tradisional suku Baduy Luar namanya yaitu baju kampret atau baju kelelawar.
Pakaian adat ini secara fisik cukup berbeda dengan Jamang sangsang. Pembuatan baju
kampret tidak lagi manual atau menggunakan mesin jahit dan bahannya tidak harus dari
kapas. Tidak seperti baju adat Baduy Dalam, baju adat Baduy Luar dilengkapi dengan
saku dan kancing, serta modelnya berupa baju yang terbelah dua seperti baju “hem”.
Selain itu, orang Baduy Luar menggunakan ikat kepala berwarna hitam dan biru gelap
dengan motif batik. Warna dan model pakaian adat Suku Baduy Luar menyimbolkan
bahwa mereka sudah terpengaruh dengan budaya luar.
c. Baduy Dalam dan Luar Perempuan
Tidak seperti pakaian adat untuk laki-laki yang berbeda antara Baduy Dalam dengan
Baduy Luar, pakaian adat untuk perempuan Baduy Dalam dan Luar cukup mirip.
Khususnya dalam hal warna, model, dan potongan pakaian. Dalam kesehariannya,
perempuan Baduy memakai busana semacam sarung berwarna biru gelap yang menutupi
bagian tubuh dari dada hingga tumit. Selain itu, pakaian adat perempuan ini juga bisa
sebagai simbol status perempuan Baduy. Apabila seorang perempuan Baduy
menggunakan pakaian dengan dada terbuka berarti ia masih gadis. Sebaliknya, apabila
menggunakan pakaian dengan dada tertutup, hal ini menandakan bahwa perempuan
tersebut telah menikah. Di samping itu, perempuan Baduy biasanya memakai atasan
kebaya dan bawahan kain tenun sarung berwarna biru gelap dengan dasar hitam bergaris
putih yang dilengkapi dengan karembong, ikat pinggang, dan selendang berwarna putih-
biru dengan paduan warna merah. Selain itu, perempuan Baduy, khususnya Baduy
dalam, bertugas untuk memenuhi kebutuhan pakaian mereka, mulai dari menanam biji
kapas, memanen, menenun, hingga proses pewarnaan.

Rumah Adat Banten (Suku Baduy)


Seperti halnya rumah adat di daerah lain, rumah adat
Baduy juga dibuat bukan sekedar untuk rumah
hunian saja. Sebab, untuk masyarakat setempat,
bangunan ini adalah lambang jati diri dan
kepribadian masing-masing penghuninya. Oleh
sebab itu, pembuatannya juga harus mematuhi
aturan adat dan tidak bisa dibangun sembarangan.
Prinsip utama dalam pembangunan rumah ini adalah
harus memenuhi syarat ekologis, yang ramah
lingkungann, dan tidak merusak alam.
Misalkan saja untuk struktur tanah yang miring, adat
setempat melarang warganya untuk mengubah bentuk tanah ini, baik  dengan mengolah
atau mengubahnya untuk tujuan diratakan Untuk mengadopsi perbedaan ketinggian tanah
ini, Suku Baduy punya cara yang unik untuk memecahkannya, yakni dengan memasang
tiang penyangga yang berbeda pula ketinggiannya.
Penggunaan paku juga dilarang menurut peraturan adat setempat, dan sebagai
penggantinya dipakai metode tradisional coak dan purus atau memakai tali awi
temen yang ternyata hasilnya cukup maksimal.
Cara ini bisa dilihat pada konstruksi lantainya yang hanya diikat atau dijepit pada sebilah
bambu kerangkanya. Tak hanya itu, pembangunan rumah adat ini, juga hanya
diperbolehkan menghadap selatan atau utara saja, dengan pemukiman yang diatur saling
berhadap-hadapan. Sebab, menurut kepercayaan adat setempat, dua arah ini bisa
memberikan kebaikan, sementara arah timur dan barat bisa memberikan keburukan.
Peraturan adat ini membuktikan bahwa kondisi alam sekitar tetap terjaga alami meski
sudah dibangun puluhan pemukiman.
Setiap rumah adat selalu memiliki ciri tersendiri, baik kekhasan yang bisa dilihat dari
fisiknya maupun fungsinya.
Begitu halnya dengan rumah adat Baduy ini, yang punya kearifan lokal yang
membdedakannya dengan rumah adat yang lain.
Berikut adalah ciri khas rumah adat Baduy.
 Bangunan rumah dibuat dengan model panggung, sehingga lantainya tidak
menyentuh tanah.
 Setiap tiang penyangga rumah, selalu dilengkapi batu landasan yang terbuat dari
batu-batu kali alami.
 Dinding rumah dibuat dari anyaman bambu.
 Tidak memiliki jendela.
 Atap mempunyai dua bagian, di mana sisi kiri bentuknya lebih memanjang
dibandingkan dengan sisi kanan.
 Atap dibuat dari daun nipah, ijuk, ataupun daun kelapa.
 Lantai dibuat dari potongan bambu.

Senjata Khas Suku Badui


SUKU Baduy (Urang Kanekes), merupakan kelompok masyarakat ada dan sub-etnis asli
dari Suku Sunda di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Kehidupan mereka masih sangat tradisional, terutama mempertahankan senjata khasnya
yaitu bedog.
Bedog artinya golok merupakan senjata tradisional khas Suku Baduy, di mana mereka
kerap membawanya kemanapun.
Terlebih ketika akan pergi ke kebun, sebagai
alat untuk memotong atau memangkas
sesuatu.
Dilansir dari berbagai sumber, adanya bedog
ini menjadi salah satu bukti kesaktian dari
Suku Baduy. Sama seperti senjata lainnya,
bedog dari Suku Baduy ini tajam karena
terbuat dari baja yang diasah dan berubah menjadi senjata tajam (sajam) andalan
masyarakat Baduy.

Angklung buhun alat musik sakral suku Baduy

Angklung Buhun adalah alat musik angklung tradisional dari masyarakat adat Suku
Baduy yang mendiami sebagian wilayah Lebak, di Selatan Banten. Bagi masyarakat
Baduy, kesenian angklung buhun ini sakral dan memiliki nilai khusus di dalamnya.
Kesenian angklung buhun biasanya hanya ditampilkan pada acara tertentu saja, terutama
pada saat penanaman padi. Jadi, angklung buhun umumnya tidak dipentaskan sebagai
kesenian umum, tetapi lebih digunakan upacara sakral.
Tarian Daerah
Tarian daerah Suku Baduy adalah Tari
Topeng. Tarian ini dilakukan oleh satu
orang pria atau lebih sesuai dengan
kebutuhan.
Gerakkan tari ini tempak gemulai.
Tarian topeng mengisahkan tentang seorang
rasa yang balas dendam karena cintanya
yang ditolak.

Lagu Suku Baduy Cipt. Ade Juhro K.


Teubih tina karamean…
Aya tempat anu neunggang…
Masyarakatna someah….
Kateulah polosna…
Hirup akur silih asih… silih asih…
Meuni pikareuseupeun
Urang sarera
Teu tiasa di pepelerkeun…
Moal tiasa….
Nutupan soca….
Suku Baduy…. Eta Namina….
Kabanggaan masyarakat Lebak Banten…
Tur Bangsa Indonesia…
Kahirupanana….
Sederhana….
Teu diaya-aya….
Saayana….
 
SISTEM RELIGI
Dasar religi orang Baduy ialah penghoramatan ruh nenek moyang dan
kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda
Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan
keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar supaya orang hidup menurut alur itu dalam
menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan
dunia ramai keturunan yang lebih muda). Mereka bertugas menyejahterakan dunia
melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu
terbelihara baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap inti
bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia. Konsep keagamaan
dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy tanpa perubahan apa pun, seperti
dikemukakan oleh peribahasa “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang
disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Konsep-konsep
itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya tergantung dari
tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan dari
adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan
keagamaan. Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa
tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan Batara
Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat agama Sunda Wiwitan.
Para puun itu bukan hanya pemimpin tertinggi tetapi keturunan karuhun, yang
langsung mewakili mereka di dunia. Ada beberapa konsep yang merupakan kewajiban
puun dalam rangka pikukuh, yaitu memelihara Sasaka Pusaka Buana; memelihara
Sasakan Domas atau Parahyang; mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat;
bertapa bagi kesejahteraan dunia; berbakti kepada dewi padi dengan berpuasa pada
upacara, memuja nenek-moyang, dan membuat laksa untuk bahan pokok seba (Garna
1988).
Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang
yang berasal dari masa para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan
dalam dua dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di
mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti,
Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di
kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Mereka
itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang
menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala,
Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana, Nini
Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak
Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara
yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip
menurunkan kerabat kampung Cibeo. Para batara tingkat ketiga lain masing-masing
menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya.
Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara
Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara
Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe
nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan
menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai
Cihaliwung (Garna 1988). Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy
keturunan yang lebih muda.

Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa
hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya
diturunkan melalui garis keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara
Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan maijer dicatat sudah terjadi
13 kali pergantian puun Sikeusik (1891: hlm. 13). Menurut catatan tahun 1988, jumlah
puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi (Garna 1988).
Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi
pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di
hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk
asalnya menengok para keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan
kampung.

Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan
wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi
para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-
mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau
penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi
tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang
paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah
terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa
yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak
di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk
menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung
tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan
sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut
Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek
moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada
Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang ----
Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut
Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik
mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau
Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau
Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan
tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah
bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah
seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di
dunia.
Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci).
Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting (peling tidak yang ditakuti dan
disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan
Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus
dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya mengurus
tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya,
Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut
namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang
menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan
melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur.
SISTEM KEKERABATAN
Baduy terdapat di Desa Kanekes, yang merupakan wilayah adat orang Baduy.
Secara administratif, Desa Kanekes masuk dalam wilayah Kemantren Cisimeut,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Jarak Desa Kanekes dari
ibu kota Jakarta sekitar 160 Km, sedangkan dari pusat pemerintahan Provinsi Banten di
kota Serang jaraknya sekitar 78 Km. Jarak dari pintu masuk Desa Kanekes ke pusat kota
Kecamatan Leuwidamar adalah 27 Km, dan jarak ke pusat kota Kabupaten Lebak di kota
Rangkasbitung sekitar 50 Km.
Letak Desa Kanekes berada di kawasan Pegunungan Kendeng, yang kondisi fisiknya
berbukit-bukit. Luas desa tersebut berdasarkan Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten
tingkat II Lebak Nomor 13 Tahun 1990 adalah 5.101,85 Ha. Wilayah Kanekes seluas itu
meliputi huma (ladang, kebun atau lahan pertanian), permukiman, serta hutan lindung.
Masyarakat Baduy tersebar di sekitar 59 kampung.
Permukiman di Desa Kanekes dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah
Baduy Tangtu/Kajeroan yang menempati daerah sebelah selatan; dan wilayah
Baduy Panamping yang berada di wilayah sebelah timur, barat, dan utara. Di wilayah
Baduy Tangtu terdapat Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik, sedangkan di
wilayah Baduy Panamping terdapat 56 kampung. Penambahan anak kampung hanya
dizinkan di wilayah Baduy Panamping. Selain itu, ada juga warga Dangka, yakni warga
Baduy yang tinggal di luar Desa Kanekes. Meskipun berada di luar Kanekes, mereka
merupakan pendukung budaya dan keturunan Baduy. Mereka tidak kehilangan statusnya
sebagai orang Baduy karena masih terlibat dalam kegiatan adat di Baduy. Para pemimpin
di dangka pun selalu dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan di Baduy.
Pola permukiman orang Baduy dibangun dalam bentuk kampung atau lembur.
Setiap kampung dibangun di lokasi yang ada sumber air, baik mata air, sungai, atau
selokan. Di dalam kampung terdapat sejumlah bangunan rumah panggung dalam tataran
mengelompok, dan diatur sedemikian rupa sehingga kumpulan rumah terletak di tengah.
Rumah-rumah umumnya, dibangun bersaf berhadap-hadapan dengan jarak antar rumah
kira-kira 2-3 meter. Walaupun rumahnya tanpa jendela, sinar matahari/ udara luar dapat
masuk melalui celah-celah dinding. Sementara itu di bagian pinggir luar didirikan saung
lisung (tempat menumbuk padi), tampian (tempat mandi), dan di bagian yang lebih ke
luar lagi adalah bangunan leuit (lumbung padi) milik keluarga-keluarga. Di tengah
permukiman biasanya terdapat lahan kosong, berupa lapangan atau halaman rumah. Area
itu berfungsi sebagai tempat bermain anak-anak atau menjemur benang, pakaian, dan
aktivitas lainnya.

SISTEM MATA PENCAHARIAAN


Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan   menjual buah-buahan
yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin
diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat
yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan
penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy
biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya
mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu
dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang
semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang
baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga
membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang
Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan
Ciboleger.
Hasil pertanian mereka berupa beras biasanya mereka simpan di lumbung
padinya yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat kerajinan tangan
seperti tas koja  yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Sebagaimana yang
telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes
adalah bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain itu mereka
juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka
dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

SISTEM PERALATAN HIDUP

 Golok/Bedog
Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy. Ada dua macam Golok yang
dibuat dan digunakan oleh orang Baduy, yaitu golok polos dan golok pamor. Golok polos
dibuat dengan proses yang biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan
bermotor yang ditempa berulang-ulang. Golok ini digunakan oleh orang Baduy untuk
menebang pohon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya. Golok pamor memiliki
urat-urat atau motif gambar yang menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok
pada kedua permukaannya. Proses pembuatannya lebih lama dan memerlukan
pencampuran besi dan baja yang khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi
golok polos biasa, di samping memiliki kharisma tersendiri bagi yang menyandangnya.
Golok buatan orang Baduy-Dalam berbeda dengan buatan orang Baduy-Luar. Secara
jelas perbedaannya terletak pada sarangka dan perah-nya, baik yang berpamor maupun
tidak.

Kujang
Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma, misalnya untuk nyacar,
ngored, dan dibuat. Benda seperti ini di daerah Sunda yang lain sering dinamakan arit.
Kujang dibuat dari bahan besi dan baja yang ditempa. Alat ini disebut kujang karena
berbentuk mirip kujang sebagai senjata khas Pajajaran dan kini menjadi simbol daerah
Jawa Barat. Istilah kujang ditujukan untuk bentuk seperti kujang dengan bagian bawah
(tangkai)nya seperti golok , dan alat ini banyak digunakan oleh orang Baduy Dalam.
Sedangkan bagi orang Baduy Luar biasanya menggunakan istilah kored (alat untuk
pekerjaan ngored/membersihkan rerumputan di huma).

Kapak Beliung
Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai salah satu perkakas untuk
membangun rumah. Di daerah lain disebut juga kapak. Gagangnya terbuat dari kayu
yang agak panjang (30-35 cm). Tenaga dan daya tekan Baliung harus lebih besar
daripada golok, dan karena itu dibuat dari besi baja yang lebih besar dan tebal pada
bagian pangkal (yang tumpulnya).

Senjata
Ada dua kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan perkakas tajam, yaitu
kampung Batu Beulah dan Cisadane. Kedua kampung ini letaknya tidak berjauhan, dan
berada di sebelah Selatan Baduy (Kanekes). Tukang membuat perkakas tajam ini
dinamakan Panday Beusi. Yang dibuatnya antara lain Golok, Kujang, dan Baliung.
Kampung yang sangat populer goloknya yaitu dari panday beusi Batu Beulah dan
Cisadane. Sejak dahulu kedua kampung yang berdekatan ini sudah terkenal buatan
goloknya yang sangat hebat (karena kekuatan, ketajaman, dan pamornya).

Lodong
Salah satu kegiatan wanita suku Baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula aren.
Setiap pagi mereka membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk
menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan
hutan.
Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dicetak
menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia
dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua
keping tempurung dijualnya Rp 4.000.

SISTEM PENGETAHUAN
Sistem pengetahuan masyarakat Baduy adalah Pikukuh yang artinya memegang teguh
segala perangkat peraturan yang telah di turunkan oleh leluhur. Kelompok masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari tidak mengenal tulisan segala yang berhubungan dengan
peraturan hokum, adat istiadat, kiasah-kiasah nene moyang dan kepercayaan mereka
diturunkan dan diwariskan kepada anak cucu mereka. Dalam hal pengetahuan
masyarakat Suku Baduy memiliki sifat toleransi, tata karma, jiwa sosisal, dan teknik
bertani yang diwariskan oleh para leluhurnya. Dalam pendidikan modern masyarakat
Baduy masih tertinggal jauh, namaun mereka belajar secara otodidak, jadi masyarakat
Baduy sebetulnya sangat informasional dan mengetahu informasi. Hal ini ditunjang
kegemaran sebagai orang warayan atau disebut dengan pengembara. Ada beberapa
kemungkinan bahwa masyarakat Baduy telah lama banyak di gantikan dengan budaya
baru, hal itu menandakan sebetulnya budaya sangat relative dan adatif di kalangan
masyarakat Suku Baduy.

Keseharian Masyarakat Baduy


Karateristik keseharian yang biasa dilakukan oleh masyarakat Baduy (khususnya bagi
komunitas Baduy Dalam) adalah keengganan tidur atau duduk diatas kasur, walaupun
banyak tanaman kapuk disana, tidak menerima tanaman dari luar seperti cengkih, tidak
mau brsekolah, tidak mau memelihara hewan berkaki empat selain anjing untuk menjaga
lingkungan, tidak menggunakan perabotan rumah tangga selain dandang, kukusan, golok
dan pisau , serta tidak menggunakan cangkul sebagai alat bertani, tidak bersawah, dan
masyarkat Baduy tidak mengkonsumsi gula atau aren, serta tidak menggunakan sabun
dan menggunakan kendaraan bila pergi kesuatu tempat.
Salah satu upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Baduy yang dilaksanakan pada
satutahun sekali selama tiga bulan bagi masyarakat Baduy adalah upacara Kawalu yaitu
uapacara puasa sehari selama 3 bulan, pada bulan-bulan kasa (kesatu), karo (kedua), dan
katilu (ketiga), adalah bulan-bulan akhir dari perhitungan bulan menurut Suku Baduy,
yang setelah usai uapacar ini masyarakat mengadakan pesta bersama, seperti hari besar
Idul Fitri bagi umat isalam. Selama pelaksanaan upacara kawalu mereka (terutama Baduy
Dalam) tidak diperkenan kan menjalankan banyak aktifitas selain pergi keladang, menjag
mata air penduduk atau kegiatan sehari-hari lainnya.
Pola Pertanian radisional Masyarakat Baduy
Sitem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Baduy adalah tanaman pangan dalam
waktu dekat (2-3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera
yang lebih lama (20-20 tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat sederhana,
dilakukan secara tradisional dan menggunakan cara tebang bakar. Pada waktu hutan
dibuka maka tumbuhan alam yang berguna biasanya dibiarkan atau sedikit diasingi dan
dimanfaatkan hasilnya. Lama waktu perladangan dan masa lahan diistirahatkan sangat
bervariasi, dan lama masa bera merupakan factor kritis bagi generasi kesuburan tanah,
keberlanjutan dan hasil pertanian yang didapat.
Regenerasi kesuburan tanah tersebut melibatkan tumbuh kembalinya tanaman tahunan
atau tumbuhan asli.

Anda mungkin juga menyukai