Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian
tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang
yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-
budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

1.2 Suku Baduy


Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat
tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak. Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah
Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah
kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat,
desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa barat). Dari
desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk
kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro.

1.3 Pembagian Kelompok


Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,
panamping, dan dangka.

1.3.1 Kelompok tangtu (baduy dalam).


Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk
kebudayaan luar.selain itu orang baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh
1
ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Puun (Kepala Adat). Orang
Baduy dalam tinggal di 3 kampung yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang
Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat
kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak
beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah
membawa uang. Mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah Aksara
Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana
dari luar. Jadi bisa di bayangkan mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka
tidak mengenal sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari
peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa
menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk
menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.

1.3.2 Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar),


Mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang
mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur
dengan masyarakat Sunda lainnya. Selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar,
seperti bersekolah.

1.3.3 Kelompok Baduy Dangka,


Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang
tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka
tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

1.4 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
1. Memberikan wawasan lebih tentang kebudayaan suku Baduy kepada para pembaca.
2. Agar para pembaca dapat mengambil ilmu yang disampaikan dalam makalah ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mata Pencaharian


Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan
setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur
Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan
penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka
berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan
kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula
hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy
menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli
kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak
di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Hasil pertanian mereka berupa beras bisanya mereka simpan di
lumbung padinya yang ada di setiap desa. Selain beras meraka
juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya
terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah
terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah
bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain itu mereka juga
mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di
hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

2.2 Hukum di didalam Masyarakat Baduy


Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran
berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan
sipelanggar aturan oleh Puun untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis
pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.

3
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat.
Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika
hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau
akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Puun dan Jaro. Masyarakat
Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga
yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan
berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh
bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan
naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri
lebih dari satu. Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau
mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran
ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang
Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif
(negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman.
Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga
mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang
terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas
pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.

2.3 Segi Berpakaian


Dari segi berpakain, didalam suku baduy terdapat perbedaan dalam berbusana yang
didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan
Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut
jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak
memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya
hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus
terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman,
yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat
dengan selembar kain. Serta pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala
4
berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang,
kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk. Masyarakat Baduy yakin dengan
pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna
hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah
dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan
bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang
kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit
kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model ataupun
corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh
budaya luar.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun
Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan
warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung
warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan
untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya
membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus
tertutu. Dalam kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk
melindungi diri dan menunjukan citra diri terhadap orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan
pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum wanita.
Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup
menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya
menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama
coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih,
biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak
dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah
panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang
dan ikat kepala.
Dalam hal ini masyarakat Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah
memikirkan dalam hal berpakaian dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah
suku yang menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok
masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan baduy dalam
yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam pandangannya mereka yakin
berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita,
5
termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam
berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.Baduy
Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai
budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan
Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam
dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial,
tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis kelamin
dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu
membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi
dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.
Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy
memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru
kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan
selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih
dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang
ditenun sendiri.

2.4 Bahasa
Bahasa Baduy adalah bahasa yang digunakan suku Baduy. Penuturnya tersebar
di gunung Kendeng, Rangkasbitung, Lebak; Pandeglang; dan Sukabumi. Dari
segi linguistik, bahasa Baduy bukan dialek dari bahasa Sunda, tapi dimasukkan ke dalam
suatu rumpun bahasa Sunda, yang sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun bahasa
Melayu-Sumbawa di cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.
Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa
Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang
Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama,
dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

2.5 Kepercayaan
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan
Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun
semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan
Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang
6
mutlak dengan adanya pikukuh (kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit
mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Masyarakatnya mengunjungi lokasi
tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca
Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat
pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka
bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan
banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau
berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat
mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang
dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan
banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair
keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.

Lojor heunteu beunang dipotong, pndk heunteu beunang disambung.


(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di
bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi
ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan denganbajak,
tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambuyang
diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa
adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan
dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka
tidak melakukan tawar-menawar.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan
yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan
masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

7
2.6 Tarian
Tarian yang merupakan gambaran dari kebiasaan Suku Badui dalam menyambut
musim panen raya. Para penari menarikan tariannya dengan sangat menjiwai. Ditambah
dengan bau dupa yang menyengat, menambah aura mistik dan sakral tarian yang mereka
bawakan. Diawali dengan seorang penabuh bedug, datanglah seorang penari wanita
membawa sesaji, kemudian ditaruh pada sebuah nampan besar. Setelah itu didoakan dan
dibagikan secara simbolik. Di daerah Baduy, Banten setiap kali musim panen raya akan
diadakan upacara Serentanen, yang merupakan upacara adat sakral di daerah tersebut.
Macapada merupakan adaptasi dari upacara Serentanen suku Baduy,
Banten.Dalam upacara tersebut suku Baduy luar akan memberikan persembahan kepada
suku Baduy Dalam. Persembahan tersebut nantinya akan didoakan sesuai adat Baduy dan
oleh Baduy Dalam nantinya akan di bawa ke kota untuk diserahkan kepada pihak
pemerintah. Sebagai perwakilan biasanya diterima oleh Bupati setempat. Upacara
Serentanen ini berasal dari suku Baduy asli.

2.7 Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa
dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan
tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua
perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali
pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung)
dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain
membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang
terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat
kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung
oleh Puun untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang
Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk
menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia
melaksanakan hal tersebut.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Suku baduy merupakan suku asli ditanah sunda yang berlokasi didaerah Banten. Suku
baduy masih menjaga tradisi mereka dan menjaga amanat dari nenek moyang mereka untuk
selalu menjaga alam.
Mereka sudah tidak lagi nomaden atau berpindah seperti yang dikatakan oleh para ahli
sejarah. Mereka sudah menetap dan bercocok tanam bahkan masyarakat baduy luar tidak
lagi menutup diri, mereka sudah dapat berbaur dengan masyarakat luar.
Orang Baduy Dalam tidak mau di masuki budaya dari luar sedangkan Baduy Dalam
sudah mau mengikuti budaya dari luar meskipun sedikit.
Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan
untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Di dalam proses pernikahan suku baduy pasangan yang akan menikah selalu
dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi
kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Suku baduy merupakan bagian dari suku bangsa di Indonesia yang menjadi bukti
bahwa Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya yang harus dibanggakan dan
menghargai keberadaaan mereka karena bagaimanapun juga mereka adalah warga negara
Indonesia yang masih memegang teguh kepercayaan kabuyutan atau amanat dari nenek
moyang.

9
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Banten#Sejarah
http://bagaskorotrihatmojo.blogspot.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes#Kepercayaan
http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2012/06/suku-baduy-di-provinsi-
banten.html
http://sukubaduydalam2.blogspot.com/2012/11/sejarah-suku-baduy-dalam.html
http://www.explore-indo.com/budaya/166-menelusuri-kebudayaan-baduy-sebuah-
kepatuhan-mutlak.html

http://www.swaberita.com/2008/05/29/nusantara/suku-baduy-di-pedalaman-banten.html

10

Anda mungkin juga menyukai