Anda di halaman 1dari 10

Suku Baduy

Letak Geografis
Wilayah Kanekes/Suku Baduy secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0”
LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki
pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang
merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas
permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan
kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara),
tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata
20 °C.
Sistem Kekerabatan
Dalam masyarakat Baduy ada pola atau sistem kekerabatan dalam lingkungan masyarakat
Baduy. sistem kekerabatan masyarakat Baduy menitikberatkan pada wilayah tempat tinggal.
Lokasi tempat tinggal masyarakat Baduy menandakan pada kedudukan mana terletak sebagai
seorang keturunan para Batara. Hubungan kekerabatan bisa dilihat dari tiga sisi yaitu
pertama, kampung Tangtu. Kedua, kampung Panamping. Ketiga,

Pajaroan. Dalam hal itu, seluruh masyarakat Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa
Baduy adalah “Tangtu Teulu Jaro Tujuh” yang memiliki arti seluruh penduduk di wilayah
Kanekes Baduy merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang. Adapun
perbedaan itu terletak pada sisi generasi antara tua dan muda. Dalam kekerabatan orang
Baduy, orang Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang
termuda.

Selain itu, dalam masyarakat Baduy sistem kekerabatan merujuk pada nama ibu (suku kata)
contoh seorang ibu bernama Sarimin maka nama anak laki-lakinya adalah bisa Saripin,
Sarpin¸ atau anak perempuannya Sartin. Cara panggilan masyarakat Baduy terbilang unik,
seseorang memanggil kepada seseorang dengan nama anak. Contoh, ayah Mursyid karena
nama anak laki-lakinya Mursyid jadi ia dipanggil ayah Mursyid padahal nama aslinya adalah
Alim.
Perkembangan selanjutnya masyarakat Baduy dalam sistem perkawinan adalah sistem
perkawinan Monogami. Seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan
perkawinan Poligami merupakan suatu hal yang tabu. Selain itu, perkawinan anak laki-laki
yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik)
dari garis keturunan yang lain. Hal penting dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy
adalah seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya
melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya, masyarakat Baduy tidak
terdapat perbedaan antara sepupu persamaan dan antarsepupu sehingga ada kecenderungan
dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dapat terjadi sampai dengan
sepupu tingkat keempat. istilah Orang Baduy menyebut dengan baraya.

Dalam sistem perkawinan masyarakat Baduy tidak ada tradisi berhubungan sebelum menikah
(pacaran). Pasangan akan langsung dijodohkan. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi
kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah ada kesepakatan, dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran yaitu:
1. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan
membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya.
2. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi
dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
3. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan
pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak
mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali
jika salah satu dari mereka telah meninggal.

Pelaksanaan akad nikah dan resepsi bagi pasangan mempelai dilaksanakan di Balai Adat
yang dipimpin oleh Pu’un untuk menyahkan pernikahan tersebut. Dalam ketentuan sistem
perkawinan masyarakat Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian.
Semua sistem yang ada di masyarakat Baduy termasuk sistem perkawinan berlandaskan
“Pikukuh”, sebuah aturan yang sudah ada sejak leluhur masyarakat Baduy. “pikukuh” adalah
aturan dan ajaran yang harus dijalankan oleh masyarakat Baduy. aturan tersebut mengatur
mengenai apa saja yang diperbolehkan da apa saja yang dilarang. Peraturan ini juga mengatur
tentang penyelenggaraan perkawinan yaitu pada bulan kelima, keenam dan ketujuh.
Selain itu, dalam urusan waris masyarakat Baduy menyatakan bahwa pembagian waris untuk
anak laki-laki dan perempuan saja. Pembagian waris pada masyarakat Baduy terbagi rata
antara anak perempuan dan anak laki-laki. Harta yang ditinggalkan berupa rumah, perhiasan,
uang dan alat-alat rumah tangga lainnya.
Kepercayaan
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan
Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin
berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu.
Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak
dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit
mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi
tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca
Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat
pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka
bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan
banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau
berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat
mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya
apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun
dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda
akan terjadi kegagalan pada panen.
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di
bidangpertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi
ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak,
tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang
diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya,
sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan
tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak
melakukan tawar-menawar.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan
yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat
Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Mata Penceharian
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun
sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan
penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka
berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan
kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula
hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy
menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli
kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di
luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Hasil pertanian mereka berupa beras bisanya mereka simpan di lumbung padinya
yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja
yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah terjadi selama
ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi
huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain itu mereka juga mendapatkan
penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan
seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Hukum di didalam Masyarakat Baduy


Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran
berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan
sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis
pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat.
Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika
hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau
akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat
Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga
yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian
ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh
bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik
kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih
dari satu. Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan
bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh
anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena
sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang
ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu
negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri
yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman
disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan
pelanggaran ringan.

Asal Usul Suku Baduy


Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari
Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut
sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut
kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas
bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli
sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat
mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan
denganKerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran(sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung
barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu,
dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan
demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun
menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah
sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan
dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes
yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng
tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa
pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah
untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut
yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang
Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian
dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5)
orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara
resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan
leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini
dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

Bahasa Suku Baduy


Bahasa Baduy adalah bahasa yang digunakan suku Baduy. Penuturnya
tersebar di gunung Kendeng, Rangkasbitung, Lebak; Pandeglang; dan Sukabumi. Dari
segilinguistik, bahasa Baduy bukan dialek dari bahasa Sunda, tapi dimasukkan ke dalam
suatu rumpun bahasa Sunda, yang sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun bahasa
Melayu-Sumbawa di cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.Mereka
juga dapat berbahasa Indonesia untuk komunkasi dengan masyarakat luar.

Pengetahuan Suku Baduy


Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan
dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas
sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah
telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun
fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah
tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala
perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang
Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa sosial, dan teknik bertani yang diwariskan
oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun
mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali
sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang
rawayan (pengembara).
Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama
berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan
subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada
umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera yang
lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat
sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan cara tebang bakar.
Masyarakat Baduy masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan Sunda
(Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak kurang lebih
600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1 sampai 2
tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan meninggalkan huma tersebut dan
membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi
kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan
periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.
Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat Baduy mempunyai
jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan kepada letak benda astronomi
tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan letak matahari. Adapun patokan bintang
yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan bintang Kartika atau
bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih banyak dipakai karena lebih jelas
terlihat. Kemunculan bintang kidang tersebut menandai dimulainya proses berladang karena
masyarakat mulai bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan pertanian. Dalam
ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek ngaler, lantaran jagad urang geus
mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal kidang
mah laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke utara, ketika bumi kita
telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati penanggalan dengan munculnya
bintang kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai menggunakan alat pertanian
(kujang)”
Adapun alat pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip
pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin mengganggu tanah. Mereka membuka
huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang (parang pendek atau pisau), dan
menanam benih padi dengan cara menugal atau melubangi tanah dengan sepotong kayu.
Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah terlarang.
Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang
berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun dibagi menjadi 12 bulan. Menurut
Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut:
Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit
Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan dalam proses
perladangan. Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa
berladang dan masa panen disebut pula masa Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara
adat dan berbagai bentuk larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar
biasanya tidak diterima.
Masyarakat Baduy menerapkan cara pertanian ladang berpindah yang merupakan cara
bercocok tanam tahap awal evolusi cara bertani. Sistem perladangan berpindah tersebut
sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan di wilayah tersebut. Dengan
demikian hutan memegang peran penting dalam hubungan antara masyarakat Baduy dengan
lingkungan alamnya. Keberadaan mereka menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam
rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman
Kerajaan Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy diperintahkan untuk mengelola Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciujung yang berperan sangat penting dalam bidang transportasi dan
pertanian, beserta hutan yang melindungi mata airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai
atau kepala air.
Kebiasaan masyarakat kanekes dalam membangun rumah pada hakekatnya
merupakan pencerminan keteguhan masyarakat dalam melaksanaan peraturan peraturan adat
sebagai tradisi turun temurun dari nenek moyangnya. Membongkar tanah adalah buyut.
Apabila permukaan tanah tempat mendirikan rumah ternyata tidak rata, maka bukan
permukaan tanahnya yang diratakan, melainkan tiang tiang panggung rumah yang
disesuaikan tinggi atau rendahnya menurut kelerengan permukaan rumah. Rumah tradisional
baduy berupa panggung dengan lantai pelepah bambu dan berdinding bilik anyaman bambu.
Atapnya terbuat dari daun rumbia dan ijuk. Konstruksi rumah tidak menggunakan paku dan
cat, umumnya terdiri dari lima bagian; SOSORO atau Serambi, TEPAS atau Ruang Tamu,
IMAH atau Ruang Utama yang juga berfungsi sebagai kamar, MUSUNG atau Tempat
Penyimpanan Barang dan PARAKO atau Tempat Penyimpanan Barang diatas Tungku.
OLEH :
Nama : 1. Ajeng’s Isyabella
2. Regi Hartono
3. Heru Zam Zami
4. Yopie
5. Pebi Aspani
Kelas : XI TGP 2

Anda mungkin juga menyukai