Anda di halaman 1dari 13

TRADISI DAERAH DALAM MENYAMBUT BULAN ISLAM

1. Padusan

Lain daerah pasti lain pula tradisinya, masyarakat di Klaten, Boyolali, Salatiga dan
Yogyakarta biasa melakukan upacara berendam atau mandi di sumur-sumur atau sumber
mata air ditempat-tempat kramat. Tradisi ini disebut “Padusa” yang bermakna agar jiwa dan
raga seseorang yang akan melakukan ibadah puasa bersih secara lahir dan batin.

Selain itu juga bermakna sebagai pembersihan diri atas segala kesalahan dan perbuatan dosa
yang telah dilakukan sebelumnya.

2. Dugderan
Tradisi “Dugderan” ini berasal dari kota Semarang, Jawa Tengah. Nama “Dugderan” sendiri
berasal dari kata “Dug” dan “Der”. Kata Dug diambil dari suara dari bedug masjid yang
ditabuh berkali-kali sebagai tanda datangnya awal bulan Ramadhan. Sedangkan kata “Der”
sendiri berasal dari suara dentuman meriam yang disulutkan bersamaan dengan tabuhan
bedug.

Tradisi yang sudah berumur ratusan tahun ini terus bertahan ditengah perkembangan jaman.
biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum puasa dimulai. Karena sudah berlangsung
lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat. Meski sudah jadi
semacam pesta rakyat –berupa tari japin, arak-arakan (karnaval) hingga tabuh bedug oleh
Walikota Semarang–, tetapi proses ritual (pengumuman awal puasa) tetap menjadi puncak
dugderan.

Untuk tetap mempertahankan suasana seperti pada jamannya, dentuman meriam kini
biasanya diganti dengan suara-suara petasan atau bleduran.

Bleduran terbuat dari bongkahan batang pohon yang dilubangi bagian tengahnya, untuk
menghasilkan suara seperti meriam biasanya diberi karbit yang kemudian disulut api.

3. Meugang

Berbeda dengan lainnya, di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) atau yang akrab disebut
dengan kota “Serambi Mekah”, warganya menyambut datangnya bulan suci Ramadhan
dengan menyembelih kambing atau kerbau. Tradisi ini disebut “Meugang”, konon kabarnya
tradisi “Meugang” sudah ada sejak tahun 1400 Masehi, atau sejak jaman raja-raja Aceh.

Tradisi makan daging kerbau atau kambing ini biasa dilakukan oleh seluruh warga Aceh.
Bahkan jika ada warga yang tidak mampu membeli daging untuk dimakan, semua warga
akan bergotong-royong membantu, agar semua warganya dapat menikmati daging kambing
atau kerbau sebelum datangnya bulan Ramadhan.

Tradisi “Meugang” biasanya juga dilakukan saat hari raya Lebaran dan Hari Raya Haji.
4. Jalur pacu

Di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, masyarakatnya memiliki tradisi yang mirip dengan
lomba dayung. Tradisi “Jalur Pacu” ini digelar di sungai-sungai di Riau dengan
menggunakan perahu tradisional, seluruh masyarakat akan tumpah ruah jadi satu menyambut
acara tersebut.

Tradisi yang hanya digelar setahun sekali ini akan ditutup dengan “Balimau Kasai” atau
bersuci menjelang matahari terbenam hingga malam.

5. Nyorog

Di Betawi, tradisi “Nyorog” atau membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota


keluarga yang lebih tua, seperti Bapak/Ibu, Mertua, Paman, Kakek/Nenek, menjadi sebuah
kebiasan yang sejak lama dilakukan sebelum datangnya bulan Ramadhan. Meski istilah
“Nyorog”nya sudah mulai menghilang, namun kebiasan mengirim bingkisan sampai sekarang
masih ada di dalam masyarakat Betawi. Bingkisan tersebut biasanya berisi bahan makanan
mentah, ada juga yang berisi daging kerbau, ikan bandeng, kopi, susu, gula, sirup, dan
lainnya.

Tradisi “Nyorog” di masyarakat Betawi memiliki makna sebagai tanda saling mengingatkan,
bahwa bulan suci Ramadhan akan segera datang, selain itu tradisi “Nyorog” juga sebagai
pengikat tali silahturahmi sesama sanak keluarga.

6. Mungguhan

Mungguhan adalah satu kegiatan berkumpul bagi anggota keluarga, sahabat dan bahkan juga
teman-teman kita saling bermaaf-maafan sambil menikmati sajian makanan khas untuk
kemudian mempersiapkan diri masing-masing dalam menghadapi bulan Ramadhan yang
akan datang. Tradisi ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang sunda dalam
menyambut datangnya bulan Ramadhan. Biasanya tradisi ini dilakukan oleh hampir semua
golongan masyarakat walaupun dengan cara yang berbeda-beda.

Tetapi intinya tetap satu, yaitu berkumpul bersama sambil menikmati sajian makanan yang
disuguhkan.
Inilah tradisi yang biasa dilakukan ditengah masyarakat sunda pada umumnya yang secara
turun temurun terus dipertahankan oleh setiap generasi berikutnya.
7. GREBEG BESAR

Grebeg merupakan upacara keagamaan kraton yang di adakan tiga kali dalam setahun
bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw ( Grebeg maulud ), Hari Raya Idul Fitri (
Grebeg Syawal ), Hari Raya Idul Adha ( Grebeg Besar ). Pada hari itu Sri Sultan berkenaan
memberi sedekah berupa gunung-gunungan berisi makanan dan lain0lain kepada rakyat.
Upacara semacam itu di sertai dengan upacara penembahan Tuhan Yang Maha Kuasa oleh
Sri Sultan sendiri di Sitihinggil-Utara dan kemudian pembacaan doa oleh kyai penghulu
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, kagungan agama dan kebahagiaan serta
keselamatan kraton, nusa dan bangsa pada umumnya
Dalam buku Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditulis
Soepanto dkk, dijelaskan bahwa Upacara Sekaten pada awalnya adalah suatu upacara yang
diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu, berwujud selamatan atau sesaji
untuk arwah para leluhur dan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama disebut
Aswameda . Sesaji itu diselenggarakan selama enam hari, yang dilakukan dengan doa-doa
dan nyanyian-nyanyian pujian disertai dengan tatabuhan yang mengandung arti memuja
arwah leluhur, untuk memohon berkat dan perlindungan. Kemudian tahap kedua disebut
Asmaradana , yang diselenggarakan pada hari ketujuh, merupakan penutup tahap yang
pertama. Dalam tahap ini diselenggarakan pembakaran dupa besar, disertai dengan
mengheningkan cipta atau semedi. Dengan masuknya agama Hindu ke Jawa, maka upacara
Asmaweda dan Asmaradana masuk pula ke dalam budaya Jawa. Dan pada jaman Hindu
Jawa, raja-raja Jawa juga melestarikan upacara yang diwarisi tersebut.
Hal itu ternyata berlanjut pada abad ke-14 ketika agama Islam mulai berkembang di tanah
Jawa. Pada saat itu para pemuka agama Islam disebut wali. Wali yang terkenal pada masa itu
berjumlah sembilan dan karena itu disebut Wali Songo. Oleh Wali Songo, upacara
Asmaweda dan Asmaradana itu digunakan sebagai sarana menyebarkan agama Islam dan
dilakukan dengan cara-cara yang Islami. Grebeg merupakan salah satu metode penyebaran
agama islam pada waktu itu dengan pendekatan budaya. Metode ini dipakai karena pada saat
itu budaya dan seni bekembang dengan baik. Melalui metode ini, islam disebarkan dengan
memasukan berbagai ajaran islam dengan asimilasi dan akulturasi. Gong Sekaten adalah
ciptaan Sunan Kalijaga yang mempunyai falsafah mengajak orang masuk Islam. Yaitu :
Keneng bunyinya nong nong nong., Kempul suaranya pung-pung-pung., Kendang bunyinya
nggum. Semua gamelan itu bila dibunyikan bersama akan membentuk suara kesatuan yang
unik yaitu: Nong-ning, nong kana nong kene, pumpung mumpung-mumpung, pul-pul-pul,
ndang-ndang-ndang endang-endang tak ndang ndang tandang nggur, jegum.
Artinya ialah: di sana di situ, di sini, mumpung masih ada waktu atau masih hidup,
berkumpullah dan cepat-cepat masuk agama Islam..
Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain yang mengandung makna dua kalimat
syahadat. Pertama, bersaksi bahwa tak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Kedua,
bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Karena susah mengucapkan,
akhirnya kata itu menjadi sekaten. Tradisi penyelenggaraan perayaan sekaten itu lantas
berlanjut pada masa Kerajaan Mataram pertama di bawah pemerintahan Panembahan
Senopati. Kini sekaten menjadi suatu tradisi di Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Hal tersebut sesuai dengan salah satu kewajiban seorang Sultan yaitu Sayidin
Panata Gama, yaitu pemimpin agama yang berkewajiban menyebarkan agama islam.
Dalam upacara sekaten banyak mengandung simbol-simbol yang mempunyai makna
untuk dakwah islam. Simbol – simbol yang disajikan mengandung pola-pola berpikir, dan
nilai-nilai yang ingin diwujudkan. Simbol-simbol yang disajikan di dalamnya terkandung
ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Sebelum diadakan sekaten biasanya diadakan malam sekaten yang di mulai dengan
pengambilan tanah dan air dari 7 sumber mata air diantaranya Pengging, Cokrotulung, Masjid
Demak, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Tarub guna pembuatan tungku yang akan digunakan untuk
ritual Hajaddalem Adhang Nasi dengan menggunakan dandang Kyai Dudo. Malam sekaten
biasanya diadakan di Pagelaran dan Alun – alun Utara Karaton.
Setelah proses persiapan acara grebeg Yogya selesai. Keesokan harinya adalah
dimulainya arak-arakan. Prosesi rebutan gunungan atau yang dikenal sebagai grebeg ini
diawali dengan arak-arakan prajurit kraton mengelilingi Kraton Yogyakarta. Setelah itu,
barulah gunungan dikeluarkan untuk dibawa ke Masjid Gede yang terletak di alun-alun utara.
Prosesi iring-iringan ini didahului oleh prajurit Bugis yang lantas disusul para abdi dalem
sipat bupati, dan baru Kagungan Dalem Pareden (gunungan) yang terdiri dari enam
gunungan. Keenam gunungan itu meliputi 2 buah gunungan lanang, 1 gunungan wadon, 1
gunungan gepak, 1 gunungan darat, serta 1 gunungan pawuhan. Semua gunungan itu
dipenuhi oleh hasil pertanian seperti kacang panjang dan jagung. Dalam prosesi arak-arakan,
salah satu gunungan lanang dibawa menuju Paku Alaman dan kemudian dibawa ke lapangan
Sewandanan untuk diperebutkan pula. Ketika dibawa ke Paku Alaman, gunungan lanang ini
dikawal lima ekor gajah.
Rebutan gunungan atau upacara grebeg diartikan merupakan simbol komunikasi
kultural antara raja dan rakyatnya. Bahwa raja bisa sangat dekat dan memperhatikan
rakyatnya (kawulo-nya). Ini ditandai dengan sang raja memberikan sejumlah hasil pertanian
untuk rakyatnya. Sebetulnya, dalam tradisi perayaan sekaten ini tak hanya gunungan dan
udhik-udhik yang sarat dengan berkah. Namun muncul pula ndok abang (telur yang diwarnai
merah) serta kinang. Telur merah ini dipercaya sebagai penolak bala, sedangkan kinang jika
dikunyah pas ketika gamelan berbunyi, dipercaya mampu membuat orang awet muda.
8. Mudik Lebaran

Idul Fitri, Lebaran, Eid Mubarak, dan sejumlah aneka nama lain disematkan berbagai bangsa
untuk menandai berakhirnya bulan suci Ramadan di dunia. Inilah hari dimana umat muslim
salat bersama di pagi hari dan kemudian bersilaturahmi saling bermaafan. Tradisi mudik
menjadi sangat fenomenal karena dilakukan oleh ribuan orang bahkan jutaan masyarakat
indonesia. Sehingga tradisi ini menjadi sebuah sorotan dan menjadi tradisi khas di Indonesia.

Pada umumnya masyarakat Indonesia menjelang Lebaran atau Idul Fitri, rutin pulang ke
kampung halaman alias mudik. Mereka tak peduli betapa pun kesulitan yang dihadapinya
untuk mudik lebaran. Seperti : berdesak-desakkan di kareta, berjubel di bis, dan kemacetan
panjang di perjalanan. Begitu juga kalau memakai sepeda motor dengan resiko kepanasan
dan kehujanan. Semua itu dilakukan dalam rangka merayakan hari Lebaran di kampung
halaman, sekaligus untuk ajang silaturahmi bersama sanak-keluarga.

Mudik sudah menjadi tradisi dikala lebaran. Jutaan masyarakat Indonesia yang merantau
berbondong-bondong pulang kampung. Mudik atau pulang kampung adalah hal yang
dinantikan dan sekaligus merupakan salah satu kebahagiaan tersendiri, karena mereka
senantiasa rindu untuk pulang ke asal muasal yaitu kampung halaman serta kangen akan
kasih sayang dan belaian kasih kedua orang tua tercinta.

Makna Mudik

Mudik bermakna pergi ke “udik” atau pulang ke kampung halaman. Setidaknya begitulah
seperti yang disebutkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sedangkan
menurut pengertian Wikipedia berbahasa Indonesia, mudik adalah kegiatan perantau/pekerja
migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik berasal dari bahasa jawa “Mulih
Dhisik” yang artinya pulang dulu (Wikipedia). Istilah mudik mengalami sinkronisasi dengan
istilah Idul Fitri. Ia lebih ditekankan pemaknaannya pada waktu menjelang idul fitri. Padahal
selain idul fitri pun orang yang kembali ke kampung halaman tetap saja disebut mudik juga.

Tradisi mudik yang selalu dikaitkan dengan lebaran, terjadi awal pertengahan dasawarsa
1970-an, ketika Jakarta tampil sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang mengalami
kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sodikin (1966-
1977), berhasil disulap menjadi kota Metropolitan. Bagi penduduk kota-kota lain, terutama
orang-orang udik, Jakarta menjelma menjadi kota impian, Jakarta menjadi tempat
penampungan orang-orang udik yang di kampung tidak beruntung dan di Jakarta seolah-olah
akan kaya. Lebih dari 80% para urbans ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan.
Di Jakarta eksistensi mereka tenggelam, sementara legitimasi sosial atas keberadaan mereka
juga tak kunjung datang. Itulah sebabnya kehadiran mereka di Jakarta akan dapat memenuhi
harapan hidupnya.

Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu, sebab pada hari lebaran ada dimensi
keagamaan, ada legitimasi seolah-olah lebaran adalah waktu yang tepat untuk berziarah.
Mudik ke kampung halaman adalah kamuflase dari semangat memperoleh legitimasi sosial
dan menunjukkan eksistensinya.

Itulah awal mula pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai
akar budaya. Jadi sesungguhnya, tradisi mudik lebih disebabkan oleh problem sosial dan
sama sekali tidak didasarkan oleh akar budaya. Sebagian besar para pemudik itu adalah
kelompok masyarakat menengah ke bawah yang ingin menunjukkan kepada masyarakat
udiknya seolah-olah di Jakarta mereka telah mencapai sukses.
TRADISI UPACARA KEMATIAN

BALI

Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia. Upacara
adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada
kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi seperti orang
tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun akan beranggapan bahwa orang yang meninggal
tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak ada air mata karena mereka menganggap
bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan
menemukan peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas
dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk
menyucikan roh orang yang telah meninggal.

Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan
kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta.
Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa
(ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh.
Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya
tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk
memisahkan roh dengan jasad kasarnya.

Tentang asal usul kata Ngaben sendiri ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa
Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Ada yang berpendapat dari kata ngabu
yang berarti menjadi abu. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari
kata Ngapen yakni penyucian dengan api. Dalam kepercayaan Hindu, dewa Brahwa atau dwa
pencipta dikenal sebagai dewa api. Oleh karena itu, upacara ini juga bisa dianggap sebagai
upaya untuk membakar kotoran yang berupa jasad kasar yang masih melekat pada roh dan
mengembalikan roh pada Sang Pencipta

Bagi masyrakat di Bali, Ngaben adalah momen bahagia karena dengan melaksanakan upacara
ini, orang tua atau anak-anak telah melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga. Oleh
sebab itu, upacara ini selalu disambut dengan suka cita tanpa isak tangis. Mereka percaya
bahwa isak tangis justru hanya menghambat perjalanan roh mencapai nirwana.Hari yang
sesuai untuk melakukan upacara Ngaben biasanya didiskusikan dengan para tetua atau orang
uang paham. Tubuh jenasah akan diletakkan di dalam sebuah peti. Peti ini diletakkan di
dalam sebuah sarcophagus yang berbentuk lembu atau diletakkan di sebuah wadah berbentuk
vihara. Wadah ini terbuat darI kertas dan kayu. Bentuk vihara atau lembu ini dibawa menuju
ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi tersebut tidak berjalan pada satu jalan lurus
karena bertujuan untuk menjauhkan roh jahat dari jenasah.

Puncak Upacara adat Ngaben adalah prosesi pembakaran keseluruhan struktur yaknik Lembu
atau vihara tadi berserta dengan jenasah. Prosesi Ngaben biasanya memerlukan waktu yang
cukup lama. Bagi jenasah yang masih memiliki kasta tinggi, ritual ini bisa dilakukan selama 3
hari. Namun, untuk keluarga yang kastanya rendah, jenasah harus dikubur terlebih dahulu
baru kemudian dilakukan Ngaben.

Upacara Ngaben di Bali biasanya dilakukan secara besar-besaran seperti sebuah pesta dan
memakan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melakukan upacara
Ngaben dalam selang waktu yang lama setelah kematian. Saat ini, masyarakat Hindu di Bali
banyak yang melakukan upacara Ngaben secara massal untuk mengemat biaya. Jadi, jasad
orang yang sudah meninggal dimakamkan untuk sementara waktu sambil menunggu
biayanya mencukupi. Namun, bagi keluarga yang mampu, Upacara adat Ngaben bisa
dilakukan secepatnya

Tradisi Upacara Kematian


Suku Batak
Kematian. Satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya dihindari
manusia untuk diperbincangkan. Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu manusia
yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi.

Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi
paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga
masa kini (Sumardjo,2002:107). Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia.
Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti,
karena cepat atau lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia.
Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan
selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian
itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.

Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan
sangat khas. Ya, adat budaya kematian suku Batak memang beda dari kebanyakan suku yang
ada di Indonesia.

Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam
sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia
dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam
kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa
peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate
dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah
(mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi
selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup
mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan
mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal.

Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati: 1.
Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate
punu), 2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate
mangkar), 3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin,
namun belum bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah memiliki cucu, namun masih ada
anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah bercucu tapi tidak harus dari
semua anak-anaknya (mate saur matua).

Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki keturunan, akan
mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah
sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi dari banyaknya temuan kubur-kubur
megalitik dengan patung-patung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono,1984:24).

Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat Batak
(terkhusus Batak Toba), karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang
masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika
semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan
cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun
keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki
tanggungan anak lagi).

Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk orang yang
meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal tersebut
memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan ini disambut dengan rasa
bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat meninggalnya memang dikarenakan
proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang
meninggal dalam status saur matua, hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/LUNAS.
Dalam masyarakat Batak, hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika
hutang seseorang itu LUNAS, maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.

Masyarakat Batak biasanya mengadakan acara seperti acara pernikahan, dengan


menampilkan alat musik berupa organ untuk bernyanyi, makan makan seperti menyembelih
hewan, minum minuman tradisional seperti tuak. Alat musik organ digunakan di daerah
perantauan umumnya, namun di daerah aslinya, Sumatera Utara, gondang sebagai alat musik
khas Bataklah yang digunakan. Ini semata-mata karena alat musik gondag yang sulit
ditemukan di daerah perantauan. Untuk peyembelihan hewan, juga ada kekhasannya.
Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya simbol tentang hewan yang disembelih pada
upacara adat orang yang meninggal dalam status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi
akan disembelih oleh keluarga Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang
meninggal terbilang sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang disembelih,
maka anggapan orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih positif, yang berarti
anak-anak yang ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan sana.

Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat
sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan
pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu.
Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok
unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri),
pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak
boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan
kita, keluarga perempuan pihak ayah). Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di
halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan
sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam
penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi
pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan
pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan
upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat
makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara, dsb.

Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan


ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki
dari pihak isteri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering
terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu
kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja
dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur
matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat
dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat
non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang
hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka).

Jenazah yang telah dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di tengah-tengah seluruh anak
dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Di sebelah kanan
peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan di
sebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Di
sinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dari kalangan
masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan
merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para
pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan
oleh para parhobas (orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta).
Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan
dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa : juhut (daging), hepeng (uang),
tor-tor (tari), dan hata (berbicara) (Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak
dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar
hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng.
Namun bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.

Selepas ritus pembagian jambar juhut, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa
kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang
yang meninggal saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula,
dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha.
Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor
(menarikan tarian tor-tor). Tor-tor adalah tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor
biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat musik tradisional khas Batak).
Gondang sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak, terdiri dari seperangkat
instrumen yakni : 4 ogung, 1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1 gondang, 1 sarune.

Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan
sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar
hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata
balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain,
diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak
yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa
restu.

Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan menyerahkan
ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat). Ibadah bisa dilakukan di tempat itu
juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun
prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan ke dalam lobang tanah (yang sudah
digali sebelumnya), ibadah singkat dilaksanakan (berdoa), barulah jenazah yang sudah di
dalam peti yang tertutup dikuburkan.

Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung
adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta
warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung
ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak
hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang
akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong
saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.

Ini adalah bagian dari ritual kematian adat Batak, khususnya Batak Toba. Memang unik,
tetapi itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti prosesi ini sendiri. Kematian yang
seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda tawa dan riuhnya pesta pakai musik,
layaknya pesta pernikahan, hanya jika mendiang meninggal dalam status SAUR MATUA
tadi. Ya, ini memang adatnya, kita tidak mungkin menolak ataupun menentangnya. Tetapi
saya bangga memiliki budaya seperti ini, penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di
dunia ini.

Anda mungkin juga menyukai