Anda di halaman 1dari 10

ARTIKEL

BUDAYA PERKAWINAN SUMENEP

BAHASA MADURA

DISUSUN OLEH :
NUR FADHILA (22)
NUR ICHA OKTAVIA RAMADHANI (23)
NURIL ISMA WAHIDIYYIN (24)

XII MIPA 5
SMAN 2 SUMENEP
2024/2025

Semua suku bangsa di Indonesia termasuk di Madura pasti mengenal adat budaya
dalam masyarakatnya, juga bagi masyarakat Sumenep sekalipun termasuk suku Madura,
namun setiap lokasi adat budayanya tidak akan sama persis dan ada perbedaan yang sangat
mencolok. Seperti halnya upacara adat seperti masa bayi, masa penyapihan (mèsa nyoso),
masa anak-anak, masa remaja, masa kematian.
perkawinan, masa kehamilan, masa tua, dan masa Pada masa peralihan dari satu phase
ke phase lain, biasanya diperingati dengan suatu upacara tertentu. Upacara tersebut
merupakan suatu pernyataan bahwa dirinya telah memasuki tahapan tertentu, dan alangkah
uniknya tahapan pada masa peralihan bagi seseorang di suatu daerah. Hal itu disebabkan
adanya kesadaran umum bahwa tiap tingkat bisa membawa individu ke dalam suatu tingkat
dan lingkungan sosial yang baru yang lebih luas.
Dalam uraian berikut khususnya akan dikemukakan daur hidup orang Madura di
Sumenep dalam hal adat budaya sekitar daur hidup berumah tangga, yang bernuansa adat
budaya keraton. Istilah keraton memang lebih ditonjolkan, karena hampir semua adat istiadat
berasal dari keraton, yang merupakan pusat aktivitas manusia yang berbudaya di masa lalu.
1. PERKAWINAN
Tujuan perkawinan bagi orang Madura terutama yang tinggal di Sumenep,
mempunyai anggapan bahwa perkawinan itu berusaha untuk mencapai suatu kebahagiaan
dhunnya ahèrat atau dari dunia sampai akhirat, yang mana untuk memasukinya dilakukan
dengan selektif dan penuh kehati-hatian, karena akan membawa dampak kurang baik bila
dilakukan dengan asal-asalan. Dahulu sebelum ada program Keluarga Berencana (KB),
perkawinan yang bertujuan mencapai kebahagiaan dhunnya ahèrat itu mempuNyė interpretasi
banyak anak, yang berarti banyak rejeki pula seperti dikatakan dalam ungkapan orang
Sumenep yakni soghi ana' soghi dhunnya atau banyak anak banyak rejeki.
Dalam pemilihan calon jodoh itu memahami pada beberapa syarat yang dibutuhkan
pada umumnya para bângaseppo atau orang tua lebih mendominasi, karena pada hakekatnya
hanya para orang tua itulah yang lebih paham dan lebih berpengalaman. Selanjutnya di
samping tiga syarat yang baku untuk memilih jodoh tersebut diatas, ada juga syarat-syarat
perkawinan dalam pemilihan jodoh yang ideal adalah sebagai berikut syarat-syarat
perkawinan:
a. Seiman dan seagama yakni pada umumnya beragama Islam,
b. Sehat, tidak mempuNyè penyakit yang berbahaya yang merupakan penyakit
keturunan (gila, ayan, TBC dan sebagainya),
c. Endogami atau ada hubungan famili dekat
d. Laki-laki sudah pernah mimpi 'basah' atau dewasa dan perempuan sudah akil baligh
tapi asal bukan paraban towa atau perawan tua
e. Laki-laki masih lancèng kapaceng atau jejaka muda, sedangkan yang perempuan
harus paraban sonţè atau asli perawan.
Pembatasan yang dihindari dalam mencari jodoh yakni:
a. Bila tidak seagama,
b. Keturunan orang yang mempunye penyakit gila ayan, TBC dan sebagainya
c. Sulit jodoh hingga tua atau nanggharu
d. Anak orang yang pernah melanggar adat
e. Wanita lebih tua dari pada laki-laki
f. Belum akil baliq
g. Bukan orang yang tak tahu adat.

2. BENTUK PERKAWINAN
Sebagaimana halnya bentuk-bentuk perkawinan yang terdapat pada semua suku
bangsa di Indonesia, juga di Sumenep terdapat pula beberapa bentuk perkawinan 19.
- Endomagi
dalam kerabat. Bentuk perkawinan yang endogami dalam kerabat ini dianggap baik.
Mungkin preferensi ini mempuNye latar belakang sosial ekonomi. pertanian, solidaritas
kelompok dan pemurnian kelompok.
- Poligami
Bentuk perkawinan di Sumenep, keluarga inti yang berdasarkan pada poligami masih
banyak terdapat. Khususnya keluarga yang berpoligami (lebih dari satu istri) banyak
dilakukan oleh kalangan ningrat/ bangsawan, Kyai, orang mampu dan kalangan atas.
Mungkin perkawinan poligami mempuNye latar mempertahankan status dan gengsi.
belakang mempertahankan status dan Gengsi.
- Robbhu bhāta (batu bata roboh)
Yaitu bentuk perkawinan antara dua orang pemuda yang masih saudara sekandung
dengan dua gadis yang masih saudara sekandung pula. Dalam hal ini upacara perkawinan
dapat dilakukan sekaligus atau disatukan akan tetapi akad nikahnya dalam waktu yang
berbeda.
- Gântè Lama' (ganti tikar)
Di Jawa tengah disebut korang wolu. Dalam ilmu Antropologi disebut bentuk
perkawinan leverat. Perkawinan Ghantè lama' merupakan bentuk perkawinan dari seorang
duda atau janda dengan saudara istrinya/suaminya almarhum. Syarat-syarat perkawinan
Gântè lama ini seorang duda diperbolehkan kawin setelah 40 hari kematian istrinya, dan bagi
seorang janda harus menunggu 4 bulan 10 hari (sesuai dengan syariat Islam) untuk
mengawini saudara suaminya itu. Bila ternyata janda sedang mengandung sebagai akibat
hubungan dengan suaminya almarhum, maka perkawinan harus dilangsungkan 40 hari
setelah si jabang bayi itu lahir.
- Perkawinan Lari
Bentuk perkawinan lari ini bersifat pura-pura. Daerah di Madura yang masih
melakukan bentuk perkawinan lari adalah di pulau Kangean. Hal ini disebabkan karena
adanya maskabin atau mahar yang tinggi, sesuai dengan adat di pulau tersebut dan sangat
memberatkan bagi si laki-laki. Dengan dilakukannya kawin lari (pura-pura) maka berarti
gengsi gadis menjadi turun, dan ini akan membawa dampak kurang baik atau negatif bagi
keluarga si gadis. Karena dengan dilarikannya si gadis, akan berakhir dengan
diperbolehkannya si gadis untuk diperistri tanpa syarat karena sudah tadā' ajhina atau tidak
ada harganya. Tapi adat tersebut saat sekarang sepertinya sudah semakin memudar.
Sedangkan di Sumenep bentuk maskabin atau mahar bisa berupa uang, barang, berbentuk Al
Qur'an, mukenah, sajadah atau alat sholat dan lain sebagainya. Yang hampir sama seperti
budaya daerah lainnya di Indonesia.
3. SYARAT-SYARAT UNTUK KAWIN
Sebagian besar orang Sumenep beragama Islam, maka pelaksanaan perkawinan
berdasar pada Fikih Islami atau hukum Islam dan seharusnya melalui pertunangan lebih dulu.
Selanjutnya pertunangan ini diadakan dengan maksud saling menelusuri perwatakan masing-
masing, dan mengadakan persiapan pesta perkawinan nanti (mengumpulkan uang dan
barang-barang kebutuhan acara perhelatan). Menelusuri perwatakan yang dimaksud dengan
tujuan menyesuaikan hari kelahiran yang dalam istilah orang Sumenep menyesuaikan watak
yang dilihat dari sasaton atau weton 2 (tanggal, hari dan pasaran kelahiran) yang umum
disebut dengan sasaton yang disesuaikan dengan kedua belah pihak calon pengantin dan dari
hal tersebut bisa ditentukan kapan hari tanggal pernikahan dan perhelatan perkawinannya
nanti yang akan dilaksanakan.
Seperti yang telah disinggung di depan mengenai maskabin atau mahar bahwa di
Sumenep diminta oleh calon istri dengan tidak memberatkan calon suami (berbeda dengan di
pulau Kangean) maka maskabin atau mahar dapat berupa uang, Al Qur'an, roko atau mukena,
sajadah (alat sholat) dan lain sebagainya. Disamping maskabin atau mahar, sebagai suatu
keharusan yang mengikat, calon suami harus memberikan pula pakaian seperangkat dan
perhiasan yang disebut dengan saserra'an dari bahan-bahan mentah untuk pesta perkawinan,
bahkan ada kalanya dijumlah dengan sejumlah uang yang disesuaikan dengan situasi serta
kondisi.
Adat pencurahan atau bantuan tenaga terdapat juga pada masyarakat Madura
khususnya di Sumenep, kebiasaan yang seperti tersebut bermaksud si calon menantu (laki-
laki) menyumbangkan tenaganya pada waktu calon mertuanya sedang sibuk misalnya
membantu peralatan rumah, menggarap sawah dan mendirikan rumah dan sebagainya. Jadi
tidak semata- mata adat ini untuk melamar gadis dengan cara bekerja. bagi keperluan
keluarga si gadis seperti halnya yang terdapat di daerah lain.
4. ADAT PEMILIHAN JODOH
Hampir di semua suku bangsa di Indonesia, peranan orang tua sangat dominan sekali
dalam hal menentukan pencarian serta pemilihan pasangan atau jodoh. Dalam kehidupan
masyarakat Madura, terutama yang tinggal di daerah Sumenep sejak masa lalu kehendak
orang tua dalam hal menentukan jodoh bagi anak-anaknya terkesan sangat dipaksakan. Tetapi
pada masa sekarang, karena adanya akulturasi budaya, dan disesuaikan dengan situasi serta
kondisi yang ada maka pemuda atau calon pengantin pria berhak mencari calon istrinya yang
dikehendaki. Bahkan hal itu juga berlaku untuk si gadis atau calon pengantin perempuan.
Namun demikian peranan orang tua (bångaseppo) masih dominan sekali dalam hal
memberikan pertimbangan, terutama dalam hal menilai bibit, bobot dan bebet. Hal mana
harus dilakukan untuk menjaga agar pilihan dari pihak calon (karena masih kurang
pengalaman/wawasan) akan membawa dampak kurang baik di kemudian hari.
Suatu tradisi yang berhubungan dengan masalah pemilihan jodoh yang masih berjalan
di Sumenep adalah pencalonan jodoh dari orang tua, nenek atau kakek dari kerabat para calon
mempelai. Hal ini masih berhubungan dengan suatu paham Testu dan pengalaman hingga
dalam hal ini peranan orang tua masih diperhitungkan. Misalnya kalau jodoh anaknya masih
keluarga atau kerabat sendiri (ada hubungan famili jadi bersifat eksogami keluarga
pertimbangan- pertimbangan keputusan tidak begitu menyulitkan. Tetapi kalau pilihannya
diluar famili atau orang luar/ jauh maka pertimbangan-pertimbangan sangat rumit, terutama
yang menyangkut tiga kriteria pilihan yakni : bibit, bobot dan bebet.
5. MASA PERKENALAN
Seperti halnya para kaum remaja di tempat lain, termasuk kaum remaja di Sumenep,
masa perkenalan untuk mempersiapkan perkawinan adalah masa yang sangat indah. Masa
inilah yang merupakan masa dimana kedua remaja (kaum muda) itu sering mengadakan
kontrol dan penilaian, terutama mengenai sépat tor babatek atau perwatakannya atau karakter
masing- masing pihak. Disamping itu masa ini juga merupakan masa adaptasi sejauh mana
hal itu dimungkinkan.
Secara adat, dalam masa ini pergaulan harus dibatasi berdasarkan atas sistem nilai,
terutama yang menyangkut masalah etika pergaulan kaum muda dan moral. Yang paling
ternoda di mata masyarakat bila sebelum nikah sudah terjadi kehamilan terlebih dahulu. Hal
ini akan menyeret seluruh kerabat ke dalam penilaian yang sangat buruk, terutama bagi
kerabat si gadis. Itulah sebabnya maka hal ini harus sangat dijaga dan diperhatikan secara
sungguh-sungguh. Pada masyarakat Sumenep terutama di pedesaan atau pedalaman, adat
pergaulan yang sangat etik ini masih sangat ketat, sehingga jarang sekali para remaja atau
kaum mudanya yang masih dalam taraf pacaran keluar malam bersama-sama.
Selama perkenaan dengan 'pacaran ini menurut penilaian masyarakat tidak boleh
terlalu lama (lebih dari 1 tahun) dan tidak boleh terlalu cepat (kurang dari 3 bulan). Lebih
setahun akan mendatangkan kesan kurang baik bagi si gadis dan keluarganya, selain juga
akan menambah biaya bagi kedua belah pihak. Kalau sudah ada penilaian yang baik dari
orang/masyarakat atau orang becoë kepada si pemuda seyogyanya perkawinan tersebut
jangan ditunda-tunda, dan persiapan perkawinan akan segera dimulai untuk dilaksanakan.
6. PERSIAPAN PERTUNANGAN
Bila laki-laki dan perempuan yang dimaksud tersebut sudah ada saling kecocokan,
maka tahap berikutnya adalah salah satu dari anggota kerabat si laki-laki atau pemuda untuk
mencari berita atau menjalankan ngangêné atau mencari angin (mencari berita secara tidak
langsung), nyulabhār atau membayangi, atau ngembhâng nyamplong maksudnya ré-saréyan
tentang situasi serta kondisi si gadis, apa memang benar-benar keturunan keluarga baik-baik
atau apakah belum ada yang punya. Agar informasi yang didapatkan lebih objektif maka
informasi tidak diminta dari sanak keluarga secara langsung, tetapi justru dari tetangga
sekitarnya yang mengenal banyak mengenai keadaan si gadis itu serta keluarga yang
dimaksud.Bilamana ternyata gadis itu kurang baik atau sudah ada yang punya, maka rencana
perkenalan dibatalkan atau tidak dilanjutkan, tetapi bilamana dari keluarga baik-baik dan
masih belum ada yang punya, maka tahap berikutnya atau tahap sesudah ngangené adalah
narabas paghar atau menerobos pagar. Tahap ini dengan dikirimkannya utusan dari pihak
keluarga si pemuda secara langsung untuk menanyakan sendiri kepada orang tua si gadis,
apakah anak gadisnya sudah. ada yang punya atau belum. Kalau belum ada yang punya atau
ghi ta abhābhākalan maka apakah anak gadisnya bersedia dicalonkan dengan pemuda yang
telah mengincar sebelumnya.
Jawaban dari keluarga si gadis tidak diberikan langsung pada saat itu juga, tetapi
menanti beberapa hari kemudian. Ada beberapa alasannya, yaitu pertama keluarga si gadis
harus minta pertimbangan dulu dari bängaseppo dan kerabatnya, kedua menghindarkan diri
dari kesan masyarakat akan ėjhuuwal modă atau dijual murah atas harga diri keluarga si
gadis. Ketiga menghindarkan diri dari kesan gila harta, gila pangkat. keempat takut kalau
anak gadisnya jadi paraban towa atau perawan tua, kalau ditolak dengan sembarangan, dan
akan sangkal atau tidak akan laku kawin untuk selamanya. Maka kalau perempuan atau gadis
sudah tidak laku kawin selamanya akan disebut paraban toura. Istilah paraban towa pada
umumnya di Sumenep disebut nanggharu, yang diibaratkan pada buah tal atau siwalan yang
sudah tua dan tidak bisa dimakan karena sudah sangat keras, dan hila demikian dikatakan
juga dengan istilah sangkal yang maksudnya sudah tidak akan laku lagi untuk bersuami,
makanya ada tarian yang diberi nama Tari Mowang Sangkal yang pada dasarnya tujuannya
adalah ke arah tersebut.
Setelah diadakan musyawarah keluarga untuk menilai si pemuda mengenai (bibit)
turunan orang atau keluarga baik-baik, (bobot) keadaan anak itu meliputi pendidikannya dan
pekerjaannya dan (bebet) apakah pemuda itu mengidap penyakit turunan, misalnya: elipepsi,
gila, syaraf dan sebagainya. Keputusan pihak kerabat keluarga si gadis merupakan keputusan
yang formal kalau ternyata si pemuda itu berasal dari luar keluarga si gadis. Tetapi kalau
berasal dari keluarga sendiri keputusan tidak bersifat formal, sebab segala hal ihwal
pribadinya sudah diketahui sehingga tata cara keputusan akan lebih cepat. Seandainya terjadi
suatu penolakan terhadap yang arabas paghar pada saat itu pula dikirimkan utusan resmi dari
pihak keluarga si gadis. Pengutaraan penolakan dikemukakan secara sopan santun agar tidak
menyinggung perasaan keluarga si pemuda. Bila ternyata keluarga si gadis berkenan
menerima lamaran, hubungan selanjutnya berupa acara nalè'è paghar atau mengikat pagar
yaitu ditandai dengan mengirimkan utusan resmi dari keluarga pemuda lewat surat. Usaha ini
terdiri dari satu orang wanita yang masih anggota kerabat dekat pihak pemuda. Isi surat
berkisar masalah pertunangan. Dan setelah kira-kira sepasar atau lima hari, utusan balasan
surat dari pihak keluarga si gadis dikirimkan kepada pihak keluarga ni pemuda, bahwa
permintaan pertunangan telah diterima.
7. LAMARAN PERTUNANGAN ATAU BHABHAKALAN
Pada masa bhābhākalan pada umumnya, untuk penyesuaian kedua belah pihak, yang
ada kalanya untuk mengetahui karakter masing-masing.
Sesuai dengan adat pertunangan orang Sumenep, acara selanjutnya adalah nalè'è
paghar atau pertunangan akan disebut secara resmi dan kuat menurut hukum adat, adalah bila
pihak keluarga si pemuda sudah bersedia mengirimkan panyèngset (menurut bahasa ningrat
atau bangsawan Sumenep, panyéngset berarti ikat pinggang) berupa beberapa sisir pisang
raja. Panyengset atau ikat pinggang menuru istilah Madura mempuNyë arti telah mengikat
dua orang remaja tersebut untuk melangsungkan perkawinan kelak. Bilamana pisang yang
dibawa bukan pisang raja tapi pisang susu maka mempuNye arti 'segera' (kasusu) untuk
dilaksakan perkawinan. Jumlah pisang susu melambangkan jumlah bulan, misalnya 3 buah
berarti perkawinan segera dilangsungkan 3 bulan lagi setelah saat pemberian panyèngset. Dan
kalau sudah menerima panyèngset berupa pisang dan perangkat lainnya, bilamana pihak si
gadis ditanyakan orang maka akan menjawab ella narèma geddhāng maksudnya telah
menerima pisang lamaran atau panyèngset.
Adat istiadat masyarakat keraton Sumenep, biasanya barang-barang panyèngset
tersebut diantar oleh keluarga pihak laki-laki semua perempuan setengah baya atau yang
sudah pernah kawin, yang dipandu oleh seorang perempuan tua sebagai Sang Bångaseppo
(biasanya nenek dari calon laki-laki) yang akan merangkap sebagai pemandu dan juru bicara.
Para pengantar sebanyak jumlah bawaan ditambah satu orang Sang Bångaseppo yang
membawa cemmong pamenangan atau baskom atau pasu dari kuningan tempat bahan
menginang berjalan paling depan yang maksudnya entara menang akan meminang atau
melamar.
Adapun aneka macam kue, sebagai pelengkap lamaran yakni: pisang, gula, kopi,
ketupat, dupa, bedak, wajik, leppet, tettel, dodol, dan lemper. Aneka kue tersebut hampir di
semua acara selalu diikutkan, karena mengandung kèrata bhāsa atau filosofi yakni sebagai
berikut:
- Pamenangan 1 unit, maksudnya akan meminang
- Selo panyengset (pengikat) 1 buah cincin pertunangan
- Dulbân atau kalembin atau kue Tart yang besar,
- Geddhang (Pisang) sebanyak 4 sisir
- Gula (gula) biasanya 7 kg
- Kobhi (kopi) biasanya 3 kg
- Dhupa (dupa) sebungkus
- Beddha’ (pupur atau wedak) sebungkus
(Saat sekarang Dhupa dan Beddha diganti dengan make up 1 unit lengkap, tapi kalau
"panyèngset" tidak dipakai, bilamana tidak ada kain baju yang merupakan pasangan dari
make up)
- Topa’ (ketupat) sebanyak 100 biji
- Bajhik (wajik) sebanyak 100 biji
- Leppet (lepat) seratus biji
- Tettel (tetal), sebanyak 100 biji
- Dhudhul (dodol) sebanyak 100 biji
- Lemper, sebanyak 100 biji,
(Jumlah seratus biji tersebut merupakan strata bagi pihak calon mempelai pria, bila tidak
mampu cukup 50 biji, pisangnya 2 sisir dan gula 5 kg kopinya 1 kg)
Hampir semua makanan dibuat dari beras ketan kecuali topa', karena ketan yang
sifatnya perekat, jadi dimaksudkan akan tetap merekat yang berkeluarga. Dan semua
komponen tersebut mengandung arti. Dan semua setiap kue ditempatkan pada tenong yakni
sebuah wadah terbuat dari anyaman bambu yang diraut halus berbentuk bundar yang lebarnya
bergaris tengah sekitar 80 cm tinggi sekitar 30 cm, ada tutupnya juga dengan bahan sejenis.
Setelah semua bingkisan panyèngset diterima oleh orang sebanyak yang sama dengan
pengantar, lalu diletakkan di tengah arena yakni ruang duduk melingkar di lantai yang diberi
tikar. Setelah tenang dan disuguhi wedang kopi serta camilan yang telah disediakan, lalu
Sang Bangaseppo menyampaikan sambutan sebagai pesan yang akan melamar si gadis, dan
dibalas pula dengan sambutan keluarga atau Bângaseppo si gadis. Dan semua barang-barang
tersebut dimasukkan ke dalam kamar tuan rumah, dan selanjutnya si gadis dikeluarkan
dengan memakai baju kebaya berkain panjang bersanggul, tidak memakai alas kaki dan
ajhalan nëngkong atau berjalan jongkok menuju Sang Bångaseppo pihak laki-laki
menghaturkan songkeman. dengan menyembah lalu menutup lutut Sang Bångaseppo
dengantanganna sendiri yang dirapatkan kemudian mencium punggung tangannya sendiri
yang sedang ditelungkupkan pada lutut Sang Bangaseppo, dan kemudian kepalanya diusap
lalu didoakan dan diberi dhupa beddä. Selesai sungkem pada Sang Bângaseppo maka si gadis
melangkah dengan tetap berjalan jongkok menuju calon ibu mertua yang memang sengaja
duduk dekat Sang Bângaseppo dan melakukan songkeman juga kemudian kepalanya diusap
dan tangan kanan diambil pada jari manisnya dimasukkannya sebuah cincin emas, yang
berarti telah sah menjadi tunangan anak laki- lakinya. Cincin itulah yang dinamakan sello'
panyèngset atau cincin pengikat. Dan selanjutnya terus berjalan jongkok melakukan sungkem
pada semua tamu yang dari pihak laki-laki, dan setiap songkeman diberi uang sekadarnya
oleh semua yang disungkemi.
Setelah acara songkeman selesai maka calon pengantin perempuan masuk lagi ke
kamarnya, lalu para tamu disuguhi makan, kemudian pulang semua secara bersamaan menuju
ke rumah calon pengantin laki-laki. Di Sumenep tidak mengenal acara tukar cincin, karena
itu budaya dari luar Sumenep yang diadopsi oleh yang berkenan melakukannya. Sepulangnya
rombongan pihak besan laki-laki, maka para sesepuh dan keluarga pihak perempuan
berkumpul di ruang perjamuan tadi dan semua bingkisan "panyèngseť" dikeluarkan serta
dibuka dilihat isinya. Kemudian dibungkus dengan diisi setiap macam kue yang ada kecuali
gula, kopi, bedak dan dupa. Bungkusan kue yang berisi tujuh macam dibagikan kepada
segenap keluarga handai taulan dan tetangga, sebagai pemberitahuan bahwa anak gadisnya
telah dilamar orang, dan bagi yang menerima kue lamaran tersebut nanti setelah sepekan
mengembalikan uang sebagai pengganti pada pihak perempuan dengan nominal sesuai
jumlah kue yang diterima.
8. BALASAN ATAU BÂBÂLESSÂN
Selanjutnya sesuai dengan budaya yang berlaku Sumenep, setelah sepekan kemudian
atau tujuh hari dari yang mengantarkan panyengset, maka pihak besan perempuan melakukan
båbålessän atau balasan. Sedangkan balasan tersebut berupa makanan masak seperti:
- Pisang raja sebanyak 2 sisir
- Nasi putih sebanyak 1 idāng atau piring yang besar berbentuk oval
- Gulai kepala kambing sebanyak 2 totop
- Sate kambing sebanyak 2 piring (10 tusuk)
- Daging sapi dimasak hitam (karang binaci) sebanyak 2 piring
- Daging sapi dimasak merah (semur) sebanyak 2 piring
- Daging sapi dimasak putih (opor) sebanyak 2 piring
- Begedel sebanyak 2 piring (10 biji)
- Telur asin sebanyak 2 piring (10 biji)
- Acar (asinan/manisan) sebanyak 2 piring.
Jumlah piranti bâlessân tersebut pada umumnya disesuaikan dengan jumlah lamaran
yang dibawa oleh pihak besan wanita. Bila waktu mengantarkan panyengset sepekan yang
lalu berjumlah 100 bijian maka dalam acara bâlessän makanan atau ikan sebanyak nasi 2
idăng, ikan 4 piring, gulai kepala kambing 2 totop, dan pisang 4 sisir. Tapi bilamana hanya
berjumlah 50 bijian maka bälessän makanan adalah: nasi 1 idâng, gulai kepala kambing 2
totop, ikan 1 piring dan pisang 2 sisir. Jadi tergantung pada jumlah yang dibawa pada waktu
mengantarkan panyèngset. Dan juga wadahnya dari tènong.
Hanya di acara bālessân ini tidak ada acara songkeman bagi calon laki-laki. Dan
jumlah pengantar yang berbeda, bila yang mengantarkan panyèngset sebanyak 11 orang,
maka waktu mengantarkan bâlessân bertambah 2 orang lagi menjadi 13 orang. Bahkan calon
pengantin laki-laki pada waktu itu diperkenankan bermain ke rumah calon pengantin
perempuan, yang juga disana telah disediakan makanan atau masakan yang sama cukup
untuk dimakan 2 orang. yakni calon pria dan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
R, Tadjul Arisen. (2023). Sumenep Dalam Bingkai Adat Keraton. Sumenep: Uniba Madura
Press.

Anda mungkin juga menyukai