Anda di halaman 1dari 8

ATRADISI BHEN-GHIBEN PADA PERKAWINAN ADAT MADURA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat Kelas E

Disusun Oleh :

ARDANI RIZKY TRIANTO

220710101260

FAKULTAS HUKUM

ILMU HUKUM

UNIVERSITAS JEMBER

2022
TEMPLATE LEMBAR KERJA MAHASISWA
UNIVERSITAS JEMBER KODE
FAKULTAS HUKUM DOKUMEN
PRODI ILMU HUKUM
FORM PP-05
LEMBAR KERJA MAHASISWA
Dosen Pengampu Mata kuliah : 1. Prof. Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si
2. Edi Wahjuni, S.H., M.Hum
Pokok Bahasan : Kasus tentang Pengangkatan Anak atau Perkawinan
Menurut Hukum Adat
Model Pembelajaran : case methode

IDENTITAS MAHASISWA
Nama/NIM/Kelas ARDANI RIZKY TRIANTO/220710101260/E
Pertemuan Ke 7
Hari/Tanggal

BAHAN DISKUSI

1. Carilah kasus tentang Pengangkatan anak atau Perkawinan menurut


Hukum Adat!
2. Saudara pilih salah satu terkait kasus tersebut!
3. Tuliskan kasus posisinya!
4. Berikan analisa dan pendapat saudara terhadap kasus posisinya!
HASIL DISKUSI
Tuliskan Jawaban di bagian ini!

Tradisi merupakan sebuah norma yang mengatur hubungan interaksi manusia, dengan
manusia lainnya baik berupa individual maupun kelompok, manusia bertindak terhadap
lingkungannya, dan perilaku manusai terhadap alam yang lainnya. Kemudian ia berkembang
menjadi suatu system, memiliki pola dan norma yang sekaligus juga mengatur penggunaan
saksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan peyimpangan Perkawinan adalah ikatan lahir dan
batin antara pria dan wanita yang sah secara hokum agama dan Negara. Tujuan dari
perkawinan adalah membentuk keluarga kecil yang terdiri suami dan istri. Tradisi perkawinan
di Madura merupakan tradisi yang kental dengan system kekerabatan matrilokal dimana
pasangan suami istri tinggal dirumah istri. Ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan
oleh calon suami untuk melangsungkan perkawinan yakni dengan membawa perabotan rumah
tangga ke rumah istri yang disebut Bhen-gibhen. Dan calon istri menyiapkan rumah untuk
ditempati.
A. Kasus Poisisi
Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman suku, ras, agama,
bahasa, kebudayaan, tradisi, dan adat yang sejak dahulu telah melekat sebagai identitas
bangsa Indonesia itu sendiri. Keberagaman ini menandakan banyaknya faktor-faktor
pluralisme yang memengaruhi setiap etnis yang hidup dan tinggal di Indonesia.
Menjadikan bangsa negara Indonesia sebagai negara yang unik atas keanekaragaman
budaya yang dimilikinya.

Keunikan yang terlahir dari bentuk keberagaman budaya di Indonesia salah satunya adalah
perkawinan adat daerah. Perkawinan adat daerah ini memiliki cirikhasnya tersendiri di
setiap daerah yang ada di Indonesia. Ciri khas yang timbul dan menandakan sebuah
keunikan tertentu disetiap daerah dipengaruhi oleh nilai nilai religius, budaya,geografis
dan adat yang melekat dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat yang ada di daerah tertentu.

Ciri khas sebuah adat yang terbetuk dari nilai nilai tersebut kemudian di implementasikan
kedalam sebuah acara tradisi, dalam hal ini adalah tradisi adat perkawinan. Tradisi adat
perkawinan pada umumnya dilaksanakan dengan tujuan tertentu, yaitu tentang
pengharapan keselamatan dan keberkahan kepada arwah nenek moyang, ada juga yang
memiliki tujuan bahwasannya untuk pengharapan tertentu sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku di daerah tersebut.

Salah satu tradisi perkawinan adat yang ada di Indonesia salah satunya adalah tradisi
perkawian adat Madura, yang biasa disebut “Bhen-ghiben”. Tradisi perkawinan adat ini
berlaku dan ditaati oleh seluruh penduduk yang tinggal di daerah Madura karena nilai nilai
yang berada itu telah melekat di masyarakat Madura. Dalam perkembangannya ada
seorang gadis perempuan bernama Syifa yang tinggal di sebuah daerah di Madura. Syifa
dilahirkan dan dibesarkan bersama dengan kedua orang tuanya yang sama sama tinggal di
Madura. Secara otomatis latar belakang dari keluarga Syifa akan menaati tradisi tradisi
adat yang ada di daerahnya sebagai penghormatan terhadap nilai nilai yang telah ada
sebelumnya, karena jika melanggar maka keluarga tersebut dianggap tidak menghargai dan
tidak sopan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga, bisa timbul pengucilan terhadap
keluarga tertentu apa bila tidak menaati tradisi yang telah ada sebelumnya.
Ada seorang laki laki bernama Syaiful yang juga tinggal di Madura. Syaiful dirawat dan
dibesarkan di Madura karena mengikuti kedua orang tuanya yang merantau dari Bali ke
pulau Madura sebagai PNS. Sehingga bisa dibilang bahwasannya Syaiful bukan penduduk
madura asli. Syaiful pindah ke Madura dari usia 12 tahun sampai berumur 26 tahun. Di
umur Syaiful yang mendekati usia menikah, sehingga hal ini mendorong Syaiful untuk
mencari pendamping hidup dan memutuskan untuk menikahi salah satu wanita yang ia
kenal di sekitar daerahnya.

Beberapa waktu setelahnya, akhirnya bertemulah Syaiful dengan Syifa yang juga
merupakan kedua orang yang sudah meniatkan dirinya untuk menikah. Karena keduanya
sama sama tinggal di daerah Madura, mereka berdua sepakat untuk memakai tradisi adat
Madura dalam pernikahannya. Walaupun ada pertentangan dari pihak keluarga laki laki
bahwasannya pernikahan tersebut diinginkan untuk memakai tradisi adat Bali. Karena
keduanya merasa tidak ingin melukai nilai nilai budaya yang ada di Madura, maka
keduanya melangsungkan pernikahan dengan menggunakan tradisi perkawinan adat
madura “Bhen-Ghiben”.

Karena keduanya tinggal di daerah yang sama, meskipun marga diantaranya ada yang
berbeda tetapi secara otomatis mereka menggunakan tradisi adat madura dalam
berinteraksi dan bergaul dengan sesama, maka dari itu rasa ikatan terhadap tradisi adat
Madura sangat melekat terhadap individu masing-masing.

B. Mengenal Perwakinan Adat Madura


1. Tradisi Perkawinan adat madura (Ben-Ghiben)
Tradisi ben-ghiben adalah tradisi membawa barang-barang yang dibawa oleh
pengantin pria kerumah pengantin wanita berupa alat-alat rumah tangga, yakni lemari,
kursi, tempat tidur, peralatan mandi, panci, dan peralatan rumahh tangga yang lainnya.
Di Madura sendiri masyarakatnya mayoritas menganut tradisi matrilineal, dimana
pasangan suami-istri setelah melangsungkan perkawinannya dituntut dan diarahkan
untuk tinggal dirumah sang istri. Sang suami membawa “Bhen-ghibben” (barang
bawaan berupa lemari, kursi, tempat tidur dan perabotan rumah tangga lainnya).
Sedangkan sang istri menyediakan tanah, dan rumah untuk ditempati. Rumah yang
disediakan oleh pengantin wanita sangat berdekatan dengan kerabat kerabat dari
pengantin wanita, biasanya disekitarnya ditinggali oleh keluarga besar dan kerabat
kerabatnya. Rumahnya yang akan ditempati oleh pengantin baru ditempatkan di
sepetak tanah dan sepetak tanah lain yang berdekatan dengan rumah tersebut didirikan
beberapa rumah yang akan ditinggali oleh keluarga besar dan kerabat dari pengantin
wanita. Hal ini memiliki filosofi yang mendalam bahwasannya dalam kebudayaan
matrilineal yang dianut oleh mayoritas penduduk Madura seorang perempuan yang
menikah dengan seorang pria tidak diperbolehkan untuk hidup jauh di luar kota
ataupun jauh dari saudara dan keluarga besarnya. Karena dalam tradisinya memiliki
sebuah makna, bahwasannya pengantin wanita itu dikhawatirkan perasaannya mudahh
labil dan kangen dengan keluarganya. Selain daripada itu juga keluarganya dapat
mengawasi kehidupan rumah tangganya, sehingga jika nanti terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan keluarganya dapat langsung membantu karena mengingat tempat tinggalnya
yang dekat dengan tempat tinggal keluarga besarnya. Tradisi ini sudah sangat melekat
oleh penduduk Madura, sehingga sulit untuk dihiraukan. Mengingat kasus posisi yang
dijabarkan tadi keduanya sama sama tumbuh dan besar di daerah yang sama, maka
secara otomatis mengikuti adat dan tradisi yang telah ada dan dianut oleh penduduk
sekitar yaitu masyarakat Madura.

Menurut system perkawinan adat di Indonesia tradisi perkawinan adat “Bhen-gibhen”


pada perkawinan ini masuk pada tradisi perkawinan semendo yang pada hakikatnya
bersifat matrilokal dan exogami. Matrilokal berarti bahwa isteri tidak berkewajiban
untuk bertempat tinggal di kediaman suami. Dalam perkawinan ini biasa dijumpai
dalam keadaan darurat, di mana perempuan sulit mendapatkan jodoh atau karena laki-
laki tidak mampu untuk memberikan jujur1. Adapun dengan diadakannya perwakinan
dengan adat ben-ghiben bertujuan menciptakan perkawinan bagi masyarakat adat yang
bersifat kekerabatan yaitu untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan keluarga
menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah
tangga keluarga/kerabat, untuk mendapatkan nilai-nilai adat budaya, kedamaian, dan
untuk mempertahankan kesadaran. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan
antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, maka tujuan
perkawinan adat bagi masyarakat juga berbeda diantara suku bangsa yang satu dan
daerah yang lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya.2

1
Ibid., Hlm. 24
2
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Agama,
Bandung, Hlm. 23
2. Dasar dasar hukum yang mengatur perwakinan di Indonesia
Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan
demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung
dalam kata nikah atau tazwīj dan merupakan ucapan seremonial yang sakral. 3
Perkawinan yang dilaksanakan dan dianggap sah menuurut konstitusi negara Indonesia
merupakan segala bentuk pernikahan atau perkawian diatur dalam Undang undang
tentang perkawinan pada pasal (2) ayat (1), dan (2).

C. Pendapat Penulis Terkait Kasus Posisi


Bangsa Indonesia memiliki kekayaan dalam bidang sosio-culture yang menjadikan
bangsa Indonesia sebagai negara yang unik diantara negara negara lainnya di Asia,
bahkan diberbagai negara di belahan Dunia sekalipun. Keanekaragaman akan hal ini
tidak lantas menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang terpecah-belah, akan
tetapi justru akan memperkuat tali persaudaraan antar suku, ras, agama, dan bahasa
yang ada di Indonesia sebagai identitas nasional negara.

Ciri khas atau keunikan kebudayaan antar daerah itu lahir atas dasar nilai nilai yang
ada dan hidup di berbagai masyarakat Indonesia. Salah satu diantara keunikan tradisi
adat diberbagai daerah itu berasal dari daerah Madura. Yang terkenal dengan sosio-
culturenya yang kompleks dan nilai nilainya yang melekat dengan kebudayaan dan
diterima oleh penduduk asli Madura.

Keunikan atas keberagaman tradisi perkawinan adat di Indonesia memang berbeda


beda disetiap daerahnya, khususnya di daerah madura yang sedang penulis kaji, yaitu
terkait tradisi perkawinan adat Madura “Bhen-ghiben”.

Ditinjau dari peraturan dan hukum nasional yang berlaku di Indonesia, maka
pernikahan tersebut menurut konstitusi negara Indonesia tidak melenceng, dan bisa

3
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2014. Hlm. 8.
dikatakan sah. Selain dari pada hukum nasional, tradisi perkawinan adat sebagian besar
diatur juga dalam hukum adat daerah tertentu. Keberagaman tradisi perkawinan adat
tersebut menjadi salah satu faktor yang menandakan pluralisme kebudayaan yang ada
di Indonesia dan tentunya menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang memiliki
ciri khas tersendiri dan menandakan identitas sebuah bangsa.

Dalam penggunaan tradisi perkawinan adat tertentu dalam sebuah pernikahan, penulis
memiliki pendapat bahwasannya pelaksanaan perwakinan adat tidak harus
dilaksanakan berdasarkan tempat tinggal dan daerah seseorang. Karena, setiap manusia
berhak atas pilihan dan keputusannya sendiri dalam memilih jalan kehidupannya akan
seperti apa kedepannya, dan hal ini termasuk kedalam Hak Asasi Manusia (HAM).
Yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
maupun yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
telah menjamin Hak Kebebasan Pribadi di Indonesia, seperti hak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi, berkeyakinan politik, menyampaikan pendapat yang
merupakan berwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seseorang yang tinggal didaerah tertentu, misalnya di Madura berhak untuk mengikuti
tradisi perkawinan adat daerah daerah lainnya, dan tidak harus tunduk dan terpaku
mengikuti tradisi adat didaerah tertentu. Hal ini tentunya bukan merupakan bentuk
tidak menghargai tradisi adat local tertentu, melainkan menjadi sebuah penilaian yang
lebih bijaksana dan konteks luas yaitu menghormati dan mengakui keberagaman tradisi
adat yang dimiiki oleh berbagai daerah lain di Indonesia. Dengan demikian akan
meningkatkan rasa toleransi terhadap keberagaman kebudayaan yang dimiliki daerah
lain di Indonesia, dan meminimalisir rasa etnosentrisme diantara perbedaan budaya
tersebut, perasaan etnosentrisme bisa disebut adalah perasaan yang membanggakan
kelompok sendiri dan menjatuhkan bagian kelompok lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,


Hukum Adat, Agama, Bandung, Hlm. 23
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014. Hlm. 8.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Agama, Bandung, 1990.
Khallaf, Wahhab, Kaidah-Kaidah Hokum Islam, Bandung: Risalah, 1999. Ritzer, George
dan Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Predana Media, 2008.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.
Van.L.J. Apeldom, Pengantar limit Hukum, Jakarta: Pradya Paramita, 1978.
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Asas Hukum Adat, Bandung: 1989.
Wirawan,I.B., Teori-Teori Dalam Tiga Paradigma, Jakarta: Kencana PrenadaMedia
Group, 201

Anda mungkin juga menyukai