Anda di halaman 1dari 4

KEABSAHAN HUKUM PERKAWINAN ADAT SUKU NIAS

NOVA KRISNAYANTI

UKM DEBAT & PENALARAN

EMAIL : krisnayantinova0@gmail.com

Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan berbagai
suku bangsa, agama, budaya, bahasa dan adat-istiadat yang berbeda-beda.
Dengan beranekaragamnya adat istiadat tersebut juga merupakan kebanggaan
tersendiri bagi bangsa Indonesia, karena walaupun berbeda-beda akan tetapi tetap
satu sebagai warga negara Indonesia. Pengaruh dari beraneka ragamnya adat
istiadat dan agama yang ada di Indonesia, maka dalam pelaksanaan perkawinannya
juga berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat dan kepercayaan masyarakat itu
sendiri, sehingga di Indonesia dapat dikenal berbagai macam sistem, azas dan
bentuk perkawinan.1

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan


Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, maka peraturan sebelumnya tidak berlaku lagi. Hal ini
terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek S.1847 No.23), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk
Ordanantie Christen Indonesia S 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling Op Gemeng De Huwelijken S.1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku. Namun ketentuan hukum adat sebagai pelengkap.2

Dalam melaksanakan suatu perkawinan, masyarakat Nias tidak hanya


berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi juga
mempedomani hukum adat, karena bagi masyarakat adat Nias, sah suatu
perkawinan apabila sudah memenuhi aturan adat dan peraturan perundang-
undangan.3(1-3Christina Zalukhu, 16-10-2013 : 3)

Metode Penelitian

Metode penelitian Ini menggunakan penelitian normative empiris, yakni


penelitian yang dilakukan dengan pendekatan pada norma atau substansi hokum,
dan perbandingan hukum. Penelitian hukum yang memadukan antara penelitian
hukum normative dan penelitian hukum social atau empiris. Pada jenis penelitian
semacam ini peneliti melakukan penelitian dengan mengkombain kedua tipe
penelitian sebagai mana disebut diatas dalam sebuah penelituan. Pendekatan yang
digunakan yakni pedendekatan konseptual yang merupakan pendekatan yang
memberi sudut pandang analisa terhadap penyelesaian permasalahan dalam
penelitian hukum, yang diliat dari aspek dan konsep-konsep hokum yang melatar
belakanginya, bahkan bias juga dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam
penormaan sebuah peraturan yang sekaitan dengan konsep-konsep yang
diguunakan. Penelitian yang digunakan bersifat desktiptif analitis yang itu
menggambarkan, menganalisis, menyimpulkan masalah-masalah yang menjadi
objek penelitian.4 (Muhammad Akbar Fhad Syahril, 10-03-2021 : 4)

Analisis dan Pembahasan

Bowo Dalam Proses Perkawinan Suku Nias

Menurut hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja
berarti sebagai ‘perikatan Perdata’, tetapi juga merupakan ‘perikatan adat’ dan
sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Terjadinya suatu
ikatan perkawinan bukan semata- mata membawa akibat terhadap hubungan
keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami- istri, harta bersama, kedudukan
anak, hak dan kewajiban orangtua, tetapi juga menyangkut hubungan- hubungan
adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta
menyangkut upacara- upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut
kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan
Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masjarakat, Universitas Suamtera
Utara manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan- hubungan manusia
sesama manusia (mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan di
akhirat.5 (Hilman Hadikusuma,op.cit, hlm 8.)

Dalam Provinsi Sumatera Utara terdapat Kepulauan Nias, yang menyimpan


begitu banyak kebudayaan. Masyarakat Nias memberi nama pada daerah tempat
tinggal mereka dengan sebutan “Tano Niha” (Tanö tanah, dan Niha = manusia), dan
masyarakat yang hidup di dalamnya disebut “Ono Niha” (Ono = anak). Suku Nias
adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Masyarakat Nias kuno adalah masyarakat yang hidup dalam budaya megalitik
(batu besar) yag dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-
batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya Tentang Hukum
Adat, dan di tempat lain sampai pada zaman sekarang ini. Perkawinan dalam adat
Nias merupakan hal yang paling penting dan sangat bersifat sakral.Masyarakat suku
Nias menganggap bahwa perkawinan adalah kehidupan yang harus diteruskan di
atas bumi ini karena harus dijalankan dengan hukum adat atau Fondrakö. Di dalam
perkawinan adat Nias dikenal istilah Böwö (Mahar). Böwö atau Mahar merupakan
istilah yang merujuk kepada segala kebaikan (Budi Baik) yang dilakukan oleh
seseorang kepada orang lain tanpa pamrih. Sementara di dalam pengertian secara
adat, Böwö diartikan sebagai belis, jujuran adat.Ketika pengertian ini dipisahkan dari
pengertian di atas, maka ada suatu kecenderungan untuk melihat Böwö hanya
sebagai alat pembayaran.Dengan demikian kesan jualbeli tak dapat dihindarkan lagi.
Orang Nias yang mengenal secara mendalam makna yang sesungguhnya akan
tersinggung bila ia mendengar bahwa perkawinan dengan sejumlah Böwö sebagai
perdagangan/ penjualan perempuan. Secara Etimologi, pengertian Mahar/ Böwö
adalah hadiah, pemberian yang cuma- cuma. Secara umum, pengertian mahar/
böwö adalah keseluruhan prosedur penyerahan yang oleh adat telah ditetapkan oleh
pihak laki- laki kepada pihak perempuan sesuai dengan lapisan dan kedudukan
sosial masing- masing sebelum seorang laki- laki secara resmi mengambil seorang
perempuan; Hans Daeng,sedangkan menurut Ariyono, mas kawin merupakan
benda- benda berharga yang diberikan kepada orangtua mempelai perempuan oleh
22 Universitas Suamtera Utara mempelai laki- laki atau kerabatnya. Secara khusus,
menurut adat istiadat Nias, mahar/ böwö dalam arti yang sebenarnya adalah kasih
atau perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain. 6(Mendrofa, 2007:
72).

Menurut Sorayana Zebua (Tokoh Adat Nias), peranan Böwö dalam perkawinan adat
Nias antara lain :

1. Menentukan Derajat Status Social Masyarakat Nias


Derajat status sosial masyarakat Nias ditentukan dengan mahar (böwö),
dimana derajat status sosial warga diperhitungkan dalam bentuk nilai “emas dan
babi” yang kemudian sebagai pemberian secara rela yang penuh dengan rasa
kasih sayang.7
2. Pengakuan, Penghormatan, Dan Penghargaan Terhadap Martabat Wanita
Pengakuan dan penghormatan terhadap martabat wanita itu juga dinampakkan
dan ditentukandalam bentu böwö/ mahar.Wanita adalah seorang pribadi yang
mempunyai martabat tinggi dan karenanya wanita perlu dihargai, dijunjung tinggi
dan dihormati. Seorang pria yang hendak melamar seorang gadis harus
menunjukkan bahwa ia mampu memperlakukan wanita itu dengan baik,
menghormati dan melindunginya.8
3. Sebagai Simbol Penghargaan Dan Penghormatan Dalam Budaya Nias
Dalam pernikahan adat Nias, böwö juga diartikan sebagai seserahan yang
berupa uang, emas, babi, beras, dan lain- lain yang digunakan untukmenjamu
para tamu, juga dipersembahkan kembali kepada pihak lakilaki dalam bentuk
suguhan yang memiliki nilai penghargaan serta penghormatan pada setiap
jenjang acara adat pernikahan. 9
4. Mencegah terjadinya perceraian
Perceraian sangat jarang terjadi di Nias, selain karena mahar (böwö) yang
sangat mahal, besar dan tinggi, juga menyulitkan seseorang untuk kawin kembali.
Dan, apabila terjadi perceraian maka laki- laki akan dikecam sebagai orang yang
tak mampu bertanggungjawab sedangkan si wanita akan dituduh sebagai istri
yang tidak becus. Baik si laki- laki maupun si wanita yang telah bercerai sama-
sama menghadapi kesukaran untuk mendapatkan jodoh kembali. Sehingga
peranan böwö dalam hubungan rumah tangga yang telah terjalin antara suami
dan istri ini memiliki nilai yang sangat penting. 10 (7-10Wawancara dengan Ibu
Sorayana Zebua, Tokoh adat dan budaya Nias , di Kota Gunungsitoli, tanggal 8
Mei 2019.)

Kesimpulan

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Perkawinan dalam adat Nias merupakan hal yang
paling penting dan sangat bersifat sakral. Masyarakat suku Nias menganggap
bahwa perkawinan adalah kehidupan yang harus diteruskan di atas bumi ini karena
harus dijalankan dengan hukum adat atau Fondrakö. Di dalam perkawinan adat Nias
dikenal istilah Böwö (Mahar). Mahar/ böwö adalah keseluruhan prosedur
penyerahan yang oleh adat telah ditetapkan oleh pihak laki- laki kepada pihak
perempuan sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosial masing- masing sebelum
seorang laki- laki secara resmi mengambil seorang perempuan. Perceraian sangat
jarang terjadi di Nias, selain karena mahar (böwö) yang sangat mahal, besar dan
tinggi, juga menyulitkan seseorang untuk kawin kembali. Dan, apabila terjadi
perceraian maka laki- laki akan dikecam sebagai orang yang tak mampu
bertanggungjawab sedangkan si wanita akan dituduh sebagai istri yang tidak becus.
Baik si laki- laki maupun si wanita yang telah bercerai sama- sama menghadapi
kesukaran untuk mendapatkan jodoh kembali. Sehingga 65 Universitas Suamtera
Utara peranan böwö dalam hubungan rumah tangga yang telah terjalin antara suami
dan istri ini memiliki nilai yang sangat penting.

Referensi

FRANSISKUS ANDI LUANTA GOWASA,” PERKAWINAN SEMARGA MENURUT


HUKUM ADAT NIAS (Studi di Kabupaten Nias
Selatan dan Kota Gunungsitoli) 2019”

Anda mungkin juga menyukai