Kelas IX.2
1) Kepercayaan
Agama suku Baduy adalah Sunda Wiwitan, yaitu kepercayaan
pemujaan terhadap kekuatan alam dan leluhur yang sudah
bersatu dengan alam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam Kitab Sanghyang
Siksa Kandang Karesian, yang berasal dari zaman Kerajaan
Sunda, berisikan ajaran keagamaan dan tuntunan moral.
Dalam Sunda Wiwitan, ada tiga macam alam yang dipercaya
oleh suku Baduy, yaitu:
1. Buana Nyungcung: tempat bersemayamnya Sang Hyang
Kersa
2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam diri manusia
3. Buana Larang: neraka
Biasanya, doa yang dilakukan oleh para penganut Sunda
Wiwitan adalah lewat nyanyian pantun dan kidung yang
disertai gerak tarian.
Tradisi mereka dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi
yang dikenal dengan sebutan Perayaan Seren Taun.
Tempat sembahyang umat Sunda Wiwitan adalah
pamunjungan atau kabuyutan, yaitu tempat punden berundak
yang biasanya terletak di bukit
2) Bahasa
Bahasa Badui[3] atau bahasa Sunda dialek Badui[4][5] adalah
nama bagi sebuah bahasa dalam rumpun bahasa
Austronesia yang umumnya dituturkan oleh suku Badui di
sebagian wilayah Banten, Indonesia. Penuturnya tersebar di
wilayah Gunung Kendeng, Kota
Rangkasbitung dan Pandeglang. Bahasa Badui memiliki
sekitar 11.620 penutur jati pada tahun 2010.[1]
Sama seperti bahasa Sunda baku, bahasa Badui
berdasarkan tipologi linguistiknya merupakan bahasa yang
urutan unsur struktur kalimatnya
berjenis subjek-predikat-objek. Sebagai bahasa aglutinatif,
bahasa Badui memiliki beragam afiks yang masih
produktif. Verba dapat dibedakan menjadi
bentuk transitif dan intransitif, serta bentuk aktif dan pasif.
3) Teknologi
Masyarakat Baduy Dalam memegang kuat prinsip pikukuh,
aturan adat mengenai keapaadaan. Kesehariaan mereka
memiliki bermacam pantangan serta aturan yang mutlak untuk
dipatuhi. Mereka tidak diperkenankan menggunakan barang
elektronik, menggunakan kendaraan bermotor sehingga
mereka harus jalan kaki jika ingin berpergian, serta tidak ada
listrik di pemukiman Baduy Dalam. Penggunaan bahan kimia
juga tidak diizinkan, seperti sabun dan pasta gigi. Semua
pantangan tersebut merupakan bentuk kepedulian masyarakat
Baduy Dalam terhadap alam sebagai tempat tinggal mereka.
4) Mata Pencaharian
1. Petani
Mayoritas warga Baduy bermata pencaharian sebagai petani,
terutama warga Baduy Dalam.
Mereka berkebun atau menanam padi di ladang atau Huma
untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian.
Selain padi, mereka juga menanam jahe dan kencur untuk
kemudian dijual ke pasar.
Disamping berkebun, petani Baduy juga membuat gula dari
aren serta mencari sarang lebah hutan untuk diambil
madunya.
Komoditas utama dari sektor pertanian di Baduy antara lain,
kencur, jahe, gula aren, durian dan madu.
2. Pemandu wisata
Sejak wisatawan banyak datang ke Desa Adat Baduy,
pekerjaan sebagai pemandu wisata mulai dijalani oleh
mayoritas anak-anak muda di Baduy.
Tugas mereka mengantar wisatawan yang hendak berkunjung
ke Baduy Dalam.
Diketahui, wisatawan diwajibkan menggunakan pemandu dari
warga lokal untuk menghindari tersesat atau sebagai
penerjemah saja dalam berkomunikasi dengan warga Baduy
Dalam.
Jumlah warga asli Baduy yang bermata pencaharian sebagai
pemandu wisata kini mencapai sekitar 30 orang.
3. Pedagang
Ramainya kunjungan yang datang juga dimanfaatkan oleh
warga Baduy, terutama warga di jalur wisata untuk
menjajakan produk khas Baduy.
Produk yang dijual seperti kain tenun, pakaian adat baduy,
lomar atau ikat kepala dan tas khas Baduy bernama Koja serta
madu.
Saat sedang musim panen, mereka juga menjual hasil tani
seperti jahe, kencur dan durian.
Selain berjualan di tanah Baduy sendiri, sebagian warga
Baduy juga ada yang pergi ke kota seperti Rangkasbitung
hingga Jakarta untuk berjualan madu.
5) Kesenian
Kesenian Masyarakat Baduy
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka secara
mandiri bercocok tanam dan berladang. Selain itu mereka
menjaul hasil kerajinan Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari
kulit kayu) tenunan beruba selendang, baju, celana, ikat
kepala, sarung, golok, parang dan berburu.
Kesenian di Suku Baduy dalam melaksanakan upacara
tertentu, msyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk
memeriahkannya. Adapun kesenian yang terdapat di Suku
Baduy :
1. Seni Musik (lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung /
pantun, yang di gunakan dalam acara pernikahan)
2. Alat Musik ( Angklung Buhun dalam menanam padi dan
alat Musik kecapi)
3. Seni Ukir Batik.
Angklung Buhun salah satu kesenian masyarakat Baduy yang
pertaman kali lahir, kesenian Tradisonal ini berbau magis dan
mempunyai unsure saklar. Angklung Buhun bukannya
kesenian pagelaran yang setiap saat bisa ditonton, tetapi
Angklung Buhun dipentaskan pada satu tahun sekali, dengan
gaya dan versi yang sama. Semua ungkapan bertumpu pada
pakem, yang dijadikan keharusan, disamping tembang, tari,
dan tabuhannya harus bisa menyatu dengan seniman yang
memainkannya. Kesenian Angklung Buhun hadir bersama
dengan orang Baduy, dan punya arti penting sebagai
penyambung amanat, kepada para ahli waris untuk
mempertahankan kelangsungan anak-keturunan Baduy.
Unsure seninya sebagai daya tarik yang mampu menyentuh
rasa, pementasan merupakan jembatan sebagai alat
komunikasi dalam menyampaikan, ajakan, peringatan,
laranagn, dan penerangan. Rendo Pengiring
Pantung merupakan salah satu alat kesenian Tradisional
masyarakat Baduy memberikan warna kehdupan budaya
bervariasi, sebagai pembangkit rasa ingat para warga kepada
amanat leluhurnya. Rendo hadir pada setahun sekali secara
pasti, setelah selesai musim ngored, menjelang pohon padi
mulai berbunga. Peristiwa ini merupakan waktu senggang
yang digunakan untuk kesibukan membaca pantun,dalam
membuka tabir sejarah perjalanan hidup leluhurnya.
Kegiatan mantun biasanya dipimpin oleh tokoh masyarakat,
yang lebih mengetahui, serta bertanggung jawab untuk
menyampaikan amanat. Mantun merupakan upacar kecil yang
dilakukan dari rumah ke rumah, pada malam hari untuk
lek-lekan sampai larut malam.
1. Golog/Bedog
Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari kaum laki-laki
Bady. Ada dua macam golok yang dibuat dan digunakan oleh
Masyarakat Baduy, yaitu golok polos dan golok yang
berpamor. Golok polos dibuat dengan proses biasa,
menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor
yang ditempa berulang-ulang. Golok ini biasanya di gunakan
untuk menebang phon, mengambil bambu, dan keperluan
lainnya, sedangkan golok yang berpamor adalah golok yang
telah dipercayaai kekuatannya memili urat-urat atau motif
gambar yang meneyerupai urat kayu dari pangkal hingga
ujung golok pada kedua permukaannya. Proses embuatannya
lebih lama dan memerlukan percampuran besi dan baja yang
khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi golok
polos biasa, di samping itu memiliki charisma tersendiri bagi
yang menyandangnya.
6) Ilmu Pengetahuan
Dalam dongeng yang muncul di kalangan masyarakat Banten
sendiri, nama Baduy dipercaya berasal dari sungai yang
mengalir di sana bernama Cibaduy. Ada juga yang
mengatakan kalau Baduy berasal dari kata Baduyut karena
pemukiman tempat mereka tinggal banyak tumbuh Pohon
Baduyut, sejenis pohon beringin.
Orang Baduy menyebut diri mereka Urang Kanekes atau
Orang Kanekes. Kata 'baduy' merupakan sebutan dari peneliti
Belanda, mengacu pada kesamaan mereka dengan kelompok
Arab Badawi yang gemar berpindah-pindah. Suku Baduy
bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Pemukiman mereka berjarak sekitar 40 km dari
Rangkasbitung, pusat kota di Lebak, Banten.
Orang Baduy berbicara menggunakan bahasa Sunda dan
bahasa Indonesia. Mereka memang punya hubungan dengan
orang Sunda, meski berbeda kepercayaan.
Ada tiga lapisan di Suku Baduy, yakni Baduy Dangka, Baduy
Luar, dan Baduy Dalam.
Warga Baduy Dangka sudah tinggal di luar tanah adat.
Mereka tak lagi terikat oleh aturan atau kepercayaan
animisme Sunda Wiwitan yang dijunjung Suku Baduy.
Mereka juga sudah mengenyam pendidikan dan paham
teknologi.
Lalu warga Baduy Luar merupakan yang tinggal di dalam
tanah adat. Mereka masih menjunjung kepercayaan Sunda
Wiwitan.
Di tengah kehidupan yang masih tradisional, mereka sudah
melek pendidikan dan teknologi.
Ciri khas mereka terlihat dari pakaian serba hitam dan ikat
kepala biru.
Yang terakhir merupakan warga Baduy Dalam atau Baduy
Jero. Mereka bermukim di pelosok tanah adat. Pakaian
mereka serba putih.
7) Sistem Organisasi
Mengutip tulisan di situs resmi Pemprov Banten, Suku Baduy
mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional,
yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang
mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian
rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, warga
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro
pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat
tunduk pada pimpinan adat tertinggi, yaitu pu'un.
Jabatan pu'un berlangsung turun-temurun, namun tidak
otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat
lainnya. Jangka waktu jabatan pu'un tidak ditentukan, hanya
berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan
tersebut. Sebagai tanda kepatuhan kepada penguasa, Suku
Baduy secara rutin melaksanakan tradisi Seba ke Kesultanan
Banten.
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan
setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke
Gubernur Jawa Barat), melalui Bupati Kabupaten Lebak.