Anda di halaman 1dari 11

KEARIFAN LOKAL DALAM USAHA PELESTARIAN HUTAN BAMBU (Studi Kasus : Hutan Bambu Desa Adat Penglipuran, Bangli

Bali) PENDAHULUAN

Hutan merupakan sumber daya alam hayati yang peranannya sangat vital dalam sendi-sendi kehidupan. Baik di Indonesia maupun dunia, semua mengakui jika vitalitas hutan betul-betul signifikan. Dimulai dari yang paling vital namun sederhana, ialah peranannya dalam menyuplai oksigen ke seluruh biosfer. Vitalnya peranan hutan membuat banyak kalangan dunia merasa perlu mempertahankan eksistensinya. Hingga terbentuklah badan dunia yang bertugas memproteksi hutan dan segala aspek yang terkandung di dalamnya dari segala ancaman faktor-faktor negatif, terutama yang berasal dari manusia. Kini badan dunia itu lebih lazim disebut WWF (World Wild Fund). Pentingnya konsistensi peranan hutan ternyata tidak membuat semua lapisan masyarakat dunia jera akan tindakan yang berpotensi mendegradasi kualitas hayati hutan. Fungsi hutan yang dulunya sebagai pelindung habitat alami hewan, proteksi terhadap bahaya banjir, hingga penyuplai oksigen nomor satu dunia itu, kini telah berubah menjadi sumber penghasilan masyarakat yang tanpa batas. Hal ini dibuktikan dengan maraknya penebangan hutan dan sumber daya hutan lainnya yang terkesan kontinuitas. Peran awig-awig atau hukum desa adat dirasakan sangat penting karena dapat memberikan petunjuk tentang tata-cara memanfaatkan sumber daya lingkungan khususnya dalam hal ini hutan, sehingga tetap terjaga kelestariannya. Desa Penglipuran, adalah desa di Kabupaten Bangli, Propinsi Bali yang memiliki hukum adat dalam mengatur sumber daya hutannya, khususnya hutan bambu. Masyarakat desa setempat betul-betul menyakralkan kondisi hutan bambu yang terdapat di desanya. Sebagai timbal baliknya, kelestarian hutan bambu di desa ini

betul-betul terjaga. Maka, tentu sangat menarik untuk dikaji mengenai upayaupaya yang dilakukan masyarakat Desa Penglipuran dalam menjaga eksistensi dari hutan bambu yang terdapat di lingkungan desanya. Termasuk juga keadaaan, potensi dan alasan-alasan masyarakat setempat dalam melestarikan hutan bambu tersebut. TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui keadaan hutan bambu di Desa Adat Penglipuran. 2. Untuk mengetahui latar belakang masyarakat Desa Adat Penglipuran mempertahankan kelestarian hutan bambu. 3. Untuk mengetahui cara-cara Desa Adat Penglipuran mempertahankan hutan bambu yang mereka miliki sehingga tetap eksis. METODE PENGUMPULAN DATA 1 Metode Pustaka

Adalah dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis yaitu buku-buku yang berhubungan dengan hutan bambu, hukum adat di Bali dan data-data tentang objek yang sedang kami teliti. 2 Metode Observasi Adalah dengan cara melakukan pengamatan langsung terhadap hutan bambu di Desa Penglipuran serta tata perilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan bambu yang mereka miliki. 3 Metode Wawancara Adalah dengan mewawancarai langsung pihak pemuka adat Desa Penglipuran mengenai adat istiadat yang berlaku di desa setempat, khususnya yang mengatur pemanfaatan hutan bambu. TEMPAT DAN WAKTU PENGUMPULAN DATA

Penulis melakukan penelitian maupun pengumpulan data untuk menyusun karya tulis ini pada tanggal 21 April hingga 5 Mei 2006 dari pukul 08.00 hingga 16.00 WITA, yang bertempat di Desa Adat Penglipuran, TEKNIK ANALISIS DATA Data yang diperoleh kemudian diolah secara deskriptif. Teknik deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan kondisi hutan bambu dan cara-cara pelestarian. Selain itu juga teknik deskriptif ini dilakukan untuk memaparkan kajian mengenai hukum adat yang berlaku di Desa Penglipuran. LANGKAH-LANGKAH PENULISAN Adapun langkah-langkah penulisan dari karya tulis ini sebagai berikut:
IDENTIFIKASI MASALAH PENGUMPULAN SUMBER TERTULIS WAWANCARA PIHAK TERKAIT

OBSERVASI LAPANGAN

ANALISIS DATA

BAB IV

PENYUSUNAN KARYA TULIS

PEMBAHASAN Keadaan Hutan Bambu di Desa Adat Penglipuran Desa Adat Penglipuran terletak di Kelurahan Kubu, Kabupaten Bangli. Wilayahnya mencapai 112 hektar, dimana tidak saja mencakup lahan pertanian, pemukiman, tetapi juga hutan homogen dan heterogen. Hutan homogen berupa hutan bambu yang terpusat di ujung utara desa. Jalan raya yang melingkar sekaligus membagi kawasan hutan menjadi dua yakni bagian utara dan selatan. Hutan bambu seluas 45 hektar ini sebagian besar adalah milik perseorangan yang telah memiliki sertifikat hak milik. Ada sebanyak 45 kepala keluarga yang memiliki hutan bambu tersebut dan masing-masing kepala keluarga memiliki

lahan kurang lebih 1 hektar. Sisanya seluas kurang lebih 5 hektar yang letaknya tersebar adalah milik desa adat.

Hutan bambu milik masyarakat desa adat terletak mengumpul antara pemilik satu dengan yang lainnya. Agar batas kepemilikan jelas, biasanya mereka membuat pembatas dengan memakai pohon pandan. Pohon pandan disamping berfungsi sebagai pembatas, juga berfungsi untuk menghindari gangguan binatang liar. Di tengah hutan bambu terdapat pelinggih berupa bebatuan. Masyarakat lokal menyebutnya dengan Pura Puaji. Istilah Pura ini ternyata dipakai untuk memberi legalisasi terhadap kawasan yang hendak disucikan. Latar Belakang Mempertahankan Hutan Bambu oleh Desa Adat Penglipuran Latar belakang mempertahankan hutan bambu di Desa Adat Penglipuran tidak lepas dari sejarah hutan bambu itu sendiri. Awal mula dikenalnya bambu oleh masyarakat Bangli sering dihubungkan dengan upaya penyerangan Raja Buleleng, I Gusti Pandji Sakti ke kawasan Bangli sekitar abad ke-17. Ketika tiba di daerah tujuan, rombongan sangat terpukau melihat pemandangan alam yang demikian asri dan indah. Kebetulan waktu itu, rombongan membawa sanan yang terbuat dari bambu. Konon, Raja Pandji Sakti mengurungkan niatnya untuk menyerang Bangli dan memerintahkan prajuritnya untuk kembali ke Buleleng. Sanan yang terbuat dari bambu itu akhirnya ditinggal dan konon itulah awal mula masyarakat Bangli ( termasuk Penglipuran ) mulai mengenal tanaman bambu. Hutan bambu di Desa Adat Penglipuran tetap bertahan keasriannya dan tidak dialihfungsikan menjadi lahan pertanian atau perkebunan yang lebih memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti kopi, jeruk, cengkeh, dan sebagainya. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan hutan bambu ini masih dapat bertahan penulis tinjau dari 2 aspek yaitu : aspek sosial-kemasyarakatan dan aspek ekonomi. Adapun faktor yang menyebabkan hutan bambu ini masih dapat bertahan ditinjau dari aspek sosial-kemasyarakatan adalah :

a. Hutan Bambu Sebagai Warisan Turun Temurun Hutan bambu di Desa Adat Penglipuran secara historis dikelola oleh 45 KK ( Kepala Keluarga ) dengan status sebagai tanah ayahan desa. Adapun riwayat dari kepemilikan oleh 45 KK tersebut bermula dari kisah pembangunan Kubu Bayung sebagai hadiah dari raja yang memerintah Bangli. Mereka memperoleh bagian tanah tegalan dari pekarangan. Status mereka adalah nyagra desa adat artinya mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab penuh terhadap kelangsungan desa adat. Maka segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan desa adat menjadi tanggung jawab ke 45 KK tersebut, termasuk dalam pemakaian bambu. Ke 45 KK tersebut memiliki kewajiban menyerahkan bambu dan kebun mereka untuk kepentingan pembangunan desa adat mereka. Meskipun desa adat telah memiliki kurang lebih 5 hektar hutan bambu sebagai kas desa adat, tetapi kebutuhan desa adat akan bambu tidak sedikit. Sehingga mereka wajib untuk memenuhi kebutuhan akan bambu tersebut. Ketentuan dan kewajiban yang terkait dengan pemenuhan keperluan desa adat akan bambu diteruskan oleh keturunan dari 45 KK tersebut. Mereka tidak berani melanggar ketentuan ini karena adanya ikatan moral yang kuat, baik terhadap leluhur mereka maupun terhadap desa adat. Mereka sangat sadar dengan kewajiban mereka dalam hal nyagra desa adat. b. Fungsi Bambu dalam Kegiatan Adat dan Agama Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu mengenal bebagai macam upacara adat dan keagamaan. Upacara ini memerlukan sarana yang disebut banten. Dalam pembuatan banten pada umumnya memerlukan bahan dasar bambu yang diolah menjadi berbagai macam keperluan. Salah satu contoh yang menonjol terutama dalam pelaksanaan upacara Dewa Yadnya ( upacara untuk Tuhan dan manifestasinya ) adalah keberadaan penjor sebagai perlambangan dari Tuhan Yang Maha Esa. Bahan utama dalam pembuatan penjor ini adalah bambu yang nantinya akan dihias dengan berbagai macam hasil bumi seperti daun-

daunan, janur, padi dan jajan olahan. Tujuan pembuatan penjor pada saat hari raya adalah sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan atas karunia yang telah dilimpahkan kepada umat manusia. Pada saat upacara kematian, bambu memegang peranan yang sangat penting. Bahkan bambu dianggap sebagai bekel mati yaitu bekal yang dibawa sampai ke kubur. Memang, bambu dipakai untuk membuat sejenis pagar yang dipasang di sekeliling nisan. Segala bahan yang terbuat dari bambu ikut terkubur bersamasama dengan jasad. Begitu pula halnya dalam pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ( upacara untuk Bhuta Kala atau makhluk halus ), bambu memiliki peranan yang sangat penting misalnya dalam pembuatan sanggah cucuk yang memakai bahan dasar bambu. Jadi bambu sangat berguna dalam berbagai upacara adat dan agama di Bali. Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan hutan bambu ini masih dapat bertahan ditinjau dari aspek ekonomi adalah : a. Nilai Ekonomis dan Komersial dari Tanaman Bambu Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tanaman bambu hanya dimanfaatkan untuk upacara adat dan agama. Hal ini disebabkan masyarakat belum mengenal manfaat lain dari tanaman bambu yang ternyata memiki nilai ekonomis yang cukup besar. Seiring dengan mulai berkembangnya pengetahuan masyarakat akan manfaat bambu terutama dari segi komersial, maka mulai tampak adanya upaya untuk mengolah bambu sebagai salah satu sumber pendapatan. Dalam perjalanan sejarah hutan bambu, pernah ada keinginan dari beberapa warga, untuk mengganti tanaman bambu dengan tanaman lain yang memilki nilai jual lebih tinggi. Namun karena adanya permasalahan lain, sepeti fluktuasi harga tanaman pengganti yang tidak menentu dan persoalan hama tanaman. Hal tersebut menyebabkan beberapa warga Desa Adat Penglipuran mengurungkan niat untuk mengganti tanaman bambu. Mereka semakin menyadari bahwa tanaman bambu bisa dikembangkan guna dijadikan sebagai sumber pendapatan. Beberapa produk

hasil olahan bambu yang memiliki nilai komersial antara lain : daun bambu digunakan sebagai pupuk, bambu muda ( rebung ) digunakan untuk sayur, akar atau bongkol bambu digunakan untuk arang, batang bambu digunakan untuk tiang bangunan, gedeg atau bedeg, sokasi, keranjang, ngiru, semat, suvenir, kulkul, katik sate, dan kayu baker. Selain itu tanaman bambu juga memiliki nilai lebih lain yaitu tidak memerlukan pemeliharaan khusus serta tidak memerlukan pupuk yang harus dibeli di pasar karena daun bambu yang kering berfungsi sekaligus sebagai pupuk. Tanaman bambu juga tidak mengenal adanya hama sebagaimana tanaman lain. b. Potensi Pariwisata Hutan Bambu dan Desa Adat Penglipuran Desa Adat Penglipuran memiliki panorama dan kehidupan warga desa yang berciri khas bambu, hal ini merupakan sesuatu yang sangat unik, apalagi Desa Adat Penglipuran dengan bambunya pernah memperoleh penghargaan dari pemerintah pusat yakni penghargaan Kalpataru. Yang tidak kalah menarik adalah rumah-rumah tradisional yang memang sejak awal mengenalkan pemakaian bambu, dikembangkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan bambu yang dominan. Hal tersebut juga tercermin melalui awig-awig desa yang mewajibkan masyarakat membangun lingkungan rumah tanpa meninggalkan kesan bambu. Sehingga dapat dikatakan bahwa bambu telah menjadi maskot bagi warga masyarakat Desa Adat Penglipuran. Hal ini merupakan potensi pariwisata yang memilki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Karena sepeti diketahui bersama, bahwa para wisatawan terutama wisatawan asing sangat menyukai hal yang unik, seperti budaya Desa Adat Penglipuran ini. Hal ini akan menjadi magnet yang dapat menarik banyak wisatawan dan akan menjanjikan keuntungan ekonomis yang sangat besar. Sehingga karena merupakan maskot dan magnet utama, secara tidak langsung masyarakat akan melestarikan keberadaan hutan bambu yang ada di Desa Penglipuran ini. Semua faktor-faktor diatas saling menunjang antara satu dengan yang lainnya dalam menjaga kelestarian hutan bambu di Desa Adat Penglipuran.

Pola Tindakan dalam Mempertahankan Hutan Bambu

Masyarakat Penglipuran mengenal berbagai tindakan terpola yang dijalankan secara terus-menerus dan berkesinambungan dalam upaya mempertahankan hutan bambu. Sebagai contoh, mereka mengenal larangan-larangan dalam memanen bambu yakni tidak boleh menebang pohon bambu pada hari Minggu, Ingkel Buku dan Kajeng Umanis. Apabila hal ini dilanggar dapat berakibat matinya tanaman bambu.

Dari sana dapat dilihat bahwa masyarakat setempat percaya bahwa tanaman bambu bukan tanaman semabarangan, sehingga setiap larangan harus ditaati. Pada dasarnya hal ini merupakan cerminan adanya kearifan tradisional agar masyarakat tidak semena-mena merabas hutan bambu. Hal ini juga memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa kehidupan mereka tergantung pada bambu dan kelestarian bambu juga tergantung pada peran serta masyarakat. Selain atas dasar kepercayaan setempat, secara teknis atau logika ada pula pengaturan cara menebang bambu agar bambu tidak rusak dan mati yakni dengan menebang pohon bambu yang sudah tua dengan ciri kelopakan bambu lepas, harus segera dipanen. Bambu-bambu muda juga dilarang untuk ditebang karena akan berakibat kematian tunas bambu yang lain karena tidak ada yang menyusui. Selain itu, masyarakat berupaya untuk menghindari agar tanaman bambu tidak sampai berbunga karena dapat menyebabkan kematian. Kesalahan dalam menebang bambu juga dapat menimbulkan akibat lain yakni samah godegan yang berarti rimbun daunnya, kecil bambunya dan akan tumbuh parasit. Disamping pola tindakan yang bersifat sekala ( nyata ) dalam mempertahankan hutan bambu, warga setempat juga melakukan tindakan niskala ( gaib ) berupa ritual keagamaan terhadap tanaman bambu pada saat Tumpek Wariga. Pada hari raya ini mereka memohon berkat kepada dewa tumbuhan, Sang Hyang Sangkara, agar tanaman yang mereka budidayakan terutama bambu dapat memberikan hasil yang baik ( Arwati. 1995 ). Selain itu, filosofis Tumpek Wariga berpijak pada

sikap untuk memberi sebelum menikmati, dalam konteks pelestarian sumber daya hayati ( Dharmika. 1995 ). Warga masyarakat Desa Penglipuran juga memberikan kewajiban khusus kepada remaja untuk menjaga tempat-tempat suci. Hal ini berhubungan dengan cara-cara menempatkan status sebagai orang tua dan remaja yang belum menikah. Status sebagai orang tua adalah peningkatan dari status sebagai remaja dan ini berarti perluasan tanggung jawab. Artinya orang tua memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar dimana, tanggung jawab dalam kehidupan di dunia merupakan wujud dari pemenuhan nafsu duniawi. Hal ini dapat dikatakan akan menimbulkan ketidaksucian batin yang disebabkan oleh dorongan tanggung jawab. Berbeda halnya dengan anak remaja, diharapkan senantiasa memiliki pikiran yang bersih dari keinginan duniawi. Sehingga kepada remajalah tanggung jawab menjaga tempat suci diberikan oleh desa adat. Memanen hutan bambu secara teratur, minimal setahun sekali atau ngorodin adalah pola tindakan lain dalam mempertahankan hutan bambu. Hal ini dilakukan guna merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru untuk menggantikan tanaman bambu yang telah ditebang. Kemudian, akan dibuat glinjingan ( saluran air ) yang dilakukan menjelang musim hujan. Pembuatan glinjingan dimaksudkan agar tanaman bambu terendam air sesuai dengan takaran yang telah dilakukan. Pembudayaan dan sosialisasi tata kelakuan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan kelestarian hutan bambu pada masyarakat Penglipuran lebih banyak dilakukan melalui jalur pendidikan informal pada lingkungan keluarga dan masyarakat. Teknik yang mereka gunakan adalah secara persuasif melalui pemberian contoh-contoh ideal tentang bagaimana seharusnya orang memperlakukan hutan bambu sehingga tetap lestari misalnya mereka akan mensosialisasikan berbagai larangan yang jika dilanggar dapat berakibat tanaman bambu menjadi rusak bahkan mati. Selain itu orangtua di lingkungan keluarga, membiasakan pula anak anak mereka malu untuk melanggar kaedah yang digariskan desa adat yakni kehendak menjual tanah termasuk hutan bambu.

PENUTUP Kesimpulan 1. Keadaan hutan bambu di Desa Adat Penglipuran masih terjaga kelestariannya, dimana wilayahnya terbagi menjadi lahan milik pribadi dan lahan milik desa adat. 2. Masyarakat Desa Adat Penglipuran masih bisa mempertahankan kelestarian hutan bambu yang mereka miliki dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yakni hutan bambu dianggap sebagai warisan turun temurun, fungsi yang sangat besar dalam kegiatan adat dan agama, memiliki nilai ekonomis serta potensi pariwisata. 3. Masyarakat Desa Adat Penglipuran mempertahankan hutan bambu yang mereka miliki dengan melakukan pola tindakan berupa pemeliharaan secara rutin, menaati larangan-larangan, memanfaatkan bambu untuk kepentingan domestik dan pasar serta mensosialisasikan dan membudayakan kearifan tradisional pada generasi muda melalui pendidikan informal. Saran 1. 2. Kepada masyarakat agar lebih meningkatkan rasa memiliki terhadap hutan sehingga selalu berupaya melestarikannya. Kepada Pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan agar lebih memperhatikan sumber daya hayati yang memiliki potensi tinggi bagi kelangsungan hidup manusia. Hal ini tentunya dapat diwujudkan dengan memperhatikan peranan desa adat dalam menyelamatkan hutan. 3. Kepada pemerhati lingkungan agar melakukan penelitian lebih lanjut mengenai masalah kearifan tradisional yang terkait dengan masalah lingkungan hidup. DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi, Adi. 1990. Boikot Kayu Tropis di Amerika Serikat Seperti Hutan Terbakar. Berita buana Atmadja, Nengah Bawa. 1992. Pelestarian Hutan Wisata Kera di Desa Sangeh Bali. Denpasar : Tarukan Agung Buletin Peduli Edisi 4 Mei 2002 Darmika, Ida Bagus. 1995. Kerangka Konseptual Hindu Mengenai Hubungan Timbal Balik Antara Manusia dan Lingkungan Hidup. Denpasar : Upada Sastra Kartasapoetra, G. 1985. Teknologi Konservasi Tanah Dan Air. Jakarta : Bina Aksara Kusumaatmadja, Sarwono. 1995. Sumbangan Kearifan Tradisional Terhadap Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta : Serambi. Pilkinston, J. Maya. 1994. Misteri Pengobatan Tradisional. Jakarta : Aracana. Santoso , Budi. 2002. Pelestarian Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Hidup. Malang : IKIP Malang. Soemarwoto, Otto. 1990. Mereka Mengkambinghitamkan Kita. TEMPO. Ter Haar, Bzn . 1950. Beginselen Energi Stelsel Van Het Adatercht Groningen. Jakarta : J.B. Wolters.

Anda mungkin juga menyukai