Anda di halaman 1dari 24

SADURAN BUKU ”PENGELOLAAN LINGKUNGAN SOSIAL”

Oleh :
Nama Penulis
Jabatan penulis/instansi penulis

BAB I
PENDAHULUAN/LATAR BELAKANG

Tidak dapat kita pungkiri bahwa aspek sosial dalam pengelolaan lingkungan
khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam kurang mendapat
perhatian. Kita hanya fokus melihat persoalan sosial yang terkait dengan
konflik atau friksi sosial yang berkaitan dengan benturan kepentingan,
kesenjangan akses pada pemanfaatan sumberdaya alam serta konflik yang
terkait dengan pencemaran dan perusakan lingkungan. Pengelolaan
sumberdaya alam masih belum memperhatikan secara sungguh-sungguh
aspek sosial.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


memberikan kewenangan pengelolaan lingkungan pada pemerintah daerah.
Undang-undang ini mengisyaratkan bahwa daerah diharapkan dapat bersikap
proaktif dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan aspek
sosial. Hal ini menuntut Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dalam
pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.

Kenyataan di lapangan, kelompok masyarakat/komunitas yang


mengembangkan potensi sumberdaya sosial banyak yang terbukti efektif bagi
pelestarian fungsi lingkungan hidup, perlu difasilitasi. Pemerintah pusat dan
daerah diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih mengem-
bangkan kapasitas dirinya untuk mengelola lingkungan demi terwujudnya
lingkungan yang lestari.

Untuk itu lebih memahami apa dan bagaimana pengelolaan lingkungan


sosial ini lebih mendalam, maka penyusun membuat resensi dari buku aslinya
yang berjudul ” Pengelolaan Lingkungan Sosial ” Hasil resensi ini akan

1
sangat bermanfaat apabila dapat dibaca karena merupakan ringkasan dari
buku aslinya.

BAB II
Hasil Saduran
( Sesuai dengan sistematika buku yang disadur)

1. Bab I. Pendahuluan.

a. Latar Belakang

Sebagai mahluk sosial manusia tidak pernah bisa hidup secara individu, ia
senantiasa memerlukan kerjasama dan berinteraksi dengan individu lain
bahkan dengan mahluk hidup yang lain. Manusia membentuk kelompok
sosial dalam upaya mempertahankan hidupnya, dan kemudian manusia
juga memerlukan adanya organisasi yaitu suatu jaringan interaksi sosial
antar sesama untuk menjaga ketertiban sosial. Interaksi sosial ini
kemudian melahirkan apa yang dinamakan : Lingkungan sosial ( seperti :
keluarga inti, keluarga luas, kelompok masyarakat)

Manusia memerlukan lingkungan sosial yang serasi demi kelangsungan


hidupnya, yang dapat dilakukan dengan kerjasama kolektif sesama
anggota. Kerjasama itu dimaksudkan untuk membuat dan melaksanakan
aturan-aturan dalam rangka mekanisme pengendalian perilaku sosial.
Aturan dapat berupa pranata atau norma-norma sosial yang harus
dipatuhi oleh setiap anggota kelompok.

Dari sudut pengendalaian perilaku, lingkungan sosial tercipta dari


pengelompokan sosial, yang pada akhirnya bersifat memaksa terhadap
anggota kelompok untuk menyesuaikan diri. Akibat pesatnya
perkembangan pembangunan, meningkatnya kebutuhan manusia maka
berbagai macam permasalahan sosial berkembang, Berkembangnya
konflik sosial dengan atau tanpa kekerasan yang disebabkan oleh
beberapa hal berikut :

a) Ketidakmerataan akses sosial ekonomi


b) Meningkatnya jumlah penduduk
c) Meningkatnya angka kematian

2
d) Meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi
e) Kesenjangan pengelolaan sumber daya alam
f) Meningkatnya gaya hidup
g) Kurangnya perlindungan pada hak-hak masyarakat tradisonal/lokal
h) Perubahan nilai hidup
i) Meningkatnya jumlah masyarakat yang rentan ( hunian kumuh, rawan
bencana, dll)
j) Pengrusakan dan pencemaran lingkungan hidup

Permasalah-permasalahan diatas baik secara langsung atau tidak


langsung mempengaruhi dan mengubah kondisi dan keadaan lingkungan
sosialnya. Semakin pesatnya perubahan lingkungan dan permasalahan
sosial yang berkembang saat ini, maka pelaksanaan pengelolaan
lingkungan sosial sangat dibutuhkan.

Pengelolaan lingkungan sosial harus terintegrasi dengan pengelolaan


alam dan lingkungan binaan/buatan. Pengelolaan lingkungan sosial
dirasa-kan belum memadai hal ini disebabkan karena : 1) kurangnya
pemahaman masyarakat luas terhadap lingkungan sosial dan 2) belum
terintegrasinya pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dan
daerah.

Tuntutan reformasi sistem pemerintahan yang baik dan bersih juga


mendesak diperlukannya dukungan kualitas sumberdaya manusia aparat
pemerintah maupun stakeholder dalam pengelolaan lingkungan hidup.

b. Permasalahan pengelolaan lingkungan sosial di Indonesia

Pengelolaan lingkungan sosial mutlak mendapat perhatian serius, karena


sebagain masalah sosial berdampak kepada lingkungan alam, seperti
kemiskinan yang mendorong pengurasan sumberdaya alam secara tidak
terkendali.

Banyak kalangan masih belum memiliki pedoman bagaimana mengelola


lingungan sosial, sehingga permasalahan pengelolaan sosial belum
menjadi perhatian serius dikalangan banyak pihak.

3
c. Dasar Hukum

Pengelolaan lingkungan hidup sosial dan konvensi internasional serta


peraturan yang memperhatikan aspek sosial adalah :

a. KTT Wanita dan pembangunan di Beijing 1995


b. KTT Kependudukan dan pembangunan di Kairo 1994
c. KTT Pembangunan sosial di Kopenhagen 1995
d. Konferensi HAM di Wina 1993
e. Konvensi ILO 169 ,1987
f. UU no 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup
g. UU no 10 tahun 1992 tentang Perkembangan kependudukan
dan pembangunan keluarga sejahtera
h. UU no 24 tahun 1992 tentang Penataan ruang
i. UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia
j. UU no 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United nation
convention on biological diversity
k. GBHN, 1999
l. PP no 25 tahun 2000 tentang Kewenangan pemerintah dan
kewenangan propinsi sbagai daerah otonom
m. PP no 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan hak dan kewajiban
serta bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan
ruang
n. Kep. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan no Kep-
299/11/1996 tentang Pedoman teknis kajian aspek sosial dalam
penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan.

2. Bab II. Diskursus Pengelolaan Lingkungan Sosial.


a. Pembangunan Sosial

Perhatian terhadap pembangunan sosial telah dituangkan dalam


ketentauan yang menetapkan perlunya dilakukan pengelolaan
lingkungan sosial, misalnya pada UU No 23 tahun 1997 dan UU No 1,
tahun 1992. Begitu pula dan hal pembahasan katerkaitan antara
pembangunan berkelanjutan dan lingkungan sosial Indonesia telah
mendukung beberapa kesepakatan internasional seperti kesepakatan
yang lahir dari United Nation Conference on Human Environment di
Stockholom tahun 1972, Pupolatio Conference tahun 1974, 1984 dan

4
1994, serta United Nations Conference on Enviroment and
Development (UNCED) di Rio de Jenairo.

Agenda 21 secara jelas menyatakan bahwa dunia telah menghadapi


keadaan yang paling buruk yang disebabkan oleh semakin melebarnya
kesenjangan kualitas hidup manusia.

 Asas kesatu Agenda 21 : dalam pembangunan berkelanjutan manusia


ditempatkan sebagai pusat perhatian berserta hak-haknya untuk
mendapatkan kehidupan shat dan produktif dan serasi dengan alam

 Asas ketiga Agenda 21 : hak membangun dan kewajiban memenuhi


kebutuhan akan pembangaunan dan lingkungan untuk generasi
mendatang secara seimbang

 Asas kelima Agenda 21 : menekankan keharusan menghapus


kemiskinan agar pembangunan dapat berkelanjutan

 Asas kesembilan Agenda 21 : meningkatkan kebijakan penduduk dan


mencegah pola konsumsi dan produktif yang tidak menjamin
keberlanjutan pembangunan

 Asas ke 20,21, 22 dan 21 Agenda 21 : mementingkan perempuan,


pemuda dan komunitas lokal.

Keserasian pengelolaan lingkungan hidup dengan pembangunan


merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

b. Aspek Sosial dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pembangunan berkelanjutan selalu menghendaki peningkatan kualitas


hidup manusia, berorientasi jangka panjang dengan prinsip berkelanjutan.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, mahluk yang mempengaruhi kelangsungan hidupnya (UU No
23/1997). Lingkungan sosial merupakan bagian dari lingkungan hidup
wila-yah tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial antara berbagai
kelom-pok berserta pranatanya dengan simbol, nilai dan moral yang
sudah mapan dan terkait dengan lingkungan alam dan lingkungan
binaan/buatan.

5
Pengelolaan lingkungan sosial artinya upaya/tindakan untuk perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi yang bersifat komunikatif dengan
mempertimbangkan hal-hal berikut :

a. Ketahanan sosial ( daya dukung dan daya tampung sosial setempat)


b. Keadaan ekosistem
c. Tata ruangnya
d. Kualitas sosial setempat
e. Potensi dan keterbatasan
f. Kesesuaian dengan azas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan
hidup
Pembentukan kesatuan sosial biasanya dilandasi hubungan kerabat atas
dasar kesamaan lingkungan pemukiman. Sehingga ada yang melihat
lingkungan sosial sebagai interaksi pada kelompok orang secara sukarela
menempati suatu kawasan, permanen dan terikat dengan pranata sosial
serta saling berinteraksi dan bekerjasama sesuai kedudukan dan posisi
masing-masing untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.

c. Paradigma pembangunan berkelanjutan

Ada 3 (tiga) pandangan/paradigma pembangunan yaitu : 1) pandangan


bahwa lingkungan adalah untuk pembangunan ekonomi ( eco-develop-
mentalism), 2) lingkungan untuk manusia ( eco-humanism) dan 3)
lingkungan untuk lingkungan ( eco-environmentalism). Yang terjadi selama
3 (tiga) dekade ini adalah pemanfaatan sumberdaya alam untuk
pembangunan/ ekonomi dan terjadilah pengrusakan dan pencemaran
lingkungan.

Paradigma pembangunan berkelanjutan merupakan perpaduan dari 3


(tiga) pandangan yaitu pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat
termasuk ekonomi dan kelestarian alam.

5 (lima) prinsip utama pembangunan berkelanjutan dan berwawasan ling-


kungan yakni :

a) Keadilan antar generasi, elemen kunci dari prinsip ini adalah ; 1)


masyarakat antara satu generasi dengan generasi berikutnya adalah
mitra, 2) generasi sekarang tidak memberi beban eksternalitas pada

6
generasi berikutnya, 3) setiap generasi mewarisi sumberdaya alam
serta kualitas habitat yang equivalen

b) Keadilan dalam satu generasi, erat kiatannya dengan fenomena : 1)


beban permasalahan lingkungan dipikul oleh masyarakat yang lemah
secara sosial, 2) kemiskinan menimbulkan degradasi lingkungan, 3)
upaya perlindungan lingkungan berakibat pada sektor tertentu tetapi
menguntungkan pada sektor lain, 4) tidak semua masyarakat
mempunyai akses yang sama dalam mempegaruhi proses peng-
ambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan

c) Pencegahan dini, mengandung pengertian apabila terdapat ancaman


kerusakan pada lingkungan yang tidak dapat pulih tidak ada alasan
untuk menunda upaya mencegah kerusakan tersebut. Dalam
menarpkan prinsip ini pengambilan keputusan harus dilandasi oleh : 1)
evaluasi yang sungguh-sungguh, 2) penilaian dengan melakukan
analisa resiko dengan berbagai opsi

d) Perlindungan keanekaragaman hayati, dan pengetahuan lokal perlu


dilindungi juga.

e) Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif

d. Komponen pokok lingkungan sosial dan Indikator kualitas lingkungan


sosial
Fungsi sosial lingkungan merupakan sumber makan/minum, wahana
pengembangan keturunan, wahana aktualisasi diri dan pengembangan
kreativitas , wahana pengembangan kesetiakawanan sosial dan sebagai
tempat berlindung. Terkait dengan kesinambungan lingkungan sosial
maka terdapat 6 (enam) komponen/ruang lingkup lingkungan sosial yang
perlu diperhatikan.

a) Adanya pengelompokan sosial ( social grouping)


b) Media sosial (social media)
c) Pranata sosial ( social institution)
d) Pengendalian sosial ( social control)
e) Penataan sosial (social alignment)
f) Kebutuhan sosial ( social needs)

7
Berbagai permasalahan sosial disebut sebagai “intangible” artinya sulit
diukur secara konkret, karena yang diukur adalah fenomena atau
gejalanya. Standar, kriteria atau baku mutu keserasian lingkungan sosial
sering ditentukan oleh kondisi sosial budaya dan lingkungan
masyarakatnya.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan


hidup indikator kualitas lingkungan sosial ditentukan berdasarkan
pemanfaatan sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan hidup yang
bertanggung jawab secara sosial dan dilakukan secara integral, holistik
dan adil dengan ciri-ciri :

a) Semua tingkat diikutsertakan dan masing-masing mempunyai peran


dan tanggung jawab, berdasarkan prinsip partisipatif dan bertanggung
jawab

b) Hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas guna meningkattkan


kesejahteraannya. Ditandai dengan meningkatnya ekonomi dan
pendapatan, pemukiman aman, kesempatan kerja dan berusaha ada,
distribusi penduduk sesuai dengan daya dukung lingkungan dan daya
tampung sosial, tingkat pendidikan dan kesehatan memadai

c) Penghormatan terhadap hak-hak masyarakat dan modal sosial yang


dikembangkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya perlindung-
an hukum atas hak intelektual waraga atau kelompok,

Kualitas objektif

Kualitas objektif merupakan kualitas suatu kelompok sosial/komunitas


yang dapat dirumuskan melalui pendekatan kualitatif, tampak, bisa
diukur dan dibandingkan, seperti indikator : demografi, pendidikan,
kesehatan, perumahan pola konsumsi, dll

Kualitas subjektif

Kualitas subjektif adalah kulaitas kelompok sosial yang cenderung


hanya dapat dirumuskan melalui pendekatan kualitatif seperti
kepuasan terhadap pelayanan publik, terhadap keamanan,

8
kesetiakawanan, rekreasi dan hiburan, penghormatan terhadap etika,
kerifan lingkungan, pengetahuan, dll.

d.Implementasi

Dasar yang dipakai dalam implementasi pelaksanaan pengelolaan


lingkungan sosial adalah : 1) kesediaan pelaksanaanya untuk belajar dan
melakukan inovasi, meninggalkan orientasi lama, 2) pihak pemerintah
dalam berinteraksi dan berhadapan dengan masyarakat hendaknya
berpikir dalam posisi setara. Tahapan tersebut tersusun sebagai berikut :

a. Penyampaian tawaran usulan program pengelolaan lingkungan untuk


dipelajari masyarakat setempat melalui iklan, leaflet dan pengumuman

b. Pengumpulan feedback dari usulan program dan hasil RRA/PRA


mengenai berbagai problem harus diselesaikan

c. Penentuan prioritas denganberbagai cara dan mempertimbangkan


kemampuan berbagai pihak

d. Pelaksanaan prioritas beserta pentahapannya dengan berbagai


metode manajemen

e. Setiap tahap dilakukan pelaporan dengan bentuk yang disepakati


untuk dievaluasi melalui koran, pertemuan rutin, majalah dinding, dll

f. Setiap akhir periode dilakukan koreksi jika diperlukan dan perencanaan


untuk implementasi berikutnya melalui worshop, konferensi, dll

Bab III. Keragaman Lingkungan Sosial di Indonesia

1. Lingkungan sosial pesisir atau nelayan

Konsepnya sama dengan konsep masyarakat pesisir atau komunitas pesisir.


Yang termasuk kedalam kategori lingkungan sosial peisisr adalah masyarakat
yang berdiam di daratan dekat laut dan masyarakat yang secara khas
menghabiskan waktunya diatas perairan laut.

9
1.1. Tipe masyarakat pesisir di Indonesia :

a. Masyarakat peraiaran : kesataun sosial yang hidup dari sumberdaya


perairan (laut dan pantai), cenderung terasing, lebih banyak di
peraiaran, berpindah-pindah diwilayah perairan dan bersifat egaliter

b. Masyarakat nelayan : golongan masyarakat pesisir yang paling banyak


memanfaatkan hasl laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir
untuk kelangsungan hidupnya. Umumnya telah lama bermukim
didaerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat
lain.sistem ekonomi sudah masuk ke sistem perdagangan, karena
hasil yang diperoleh tidak hanya dimakan sendiri tetapi sudah ada
yang dijual. Ada desa nelayan yang terbentuk karena migrasi misalnya
desa nelayan keturunan Bugis, dll

c. Masyarakat pesisir tradisional : masyarakat yang bedian dekat perairan


laut akan tetapi sedikit sekali menggantungkan hidupnya dari
sumberdaya laut, tetapi dari sumberdaya daratan sebagai pemburu,
peramu, petani tanaman pangan atau jasa.

1.2. Pemanfaatan lingkungan

Pemanfaatan sumberdaya alam oleh ketiga tipe masyarakat pesisir


adalah bersifat subsisten yaitu sebagain besar apa yang diusahakannya
dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan/dimakan sendiri
tidak untuk diperjual belikan.

1.3. Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat pesisir

Persoalan yang umum terjadi pada lingkungan pesisir pada masa kini
adalah penurunan daya dukung lingkungan alam yang berbanding terbalik
dengan tekanan akiat peningkatan jumlah populasi manusia dan penggunaan
teknologi yang tidak ramah lingkungan.

Lingkungan pesisir zaman dulu dianggap sebagai tempat yang keras


dan sulit, akan tetapi masa kini hambatan tersebut tidak menjadi halangan,
hal ini akibat tuntutan hidup dan kemajuan teknologi sehingga manusia
mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan alam pesisir.

10
Peningkatan kemampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan
alam pesisir menimbulkan dampak posistf dan negatif terhadap kelestarian
lingkungan contohnya hilangnya komuniti nelayan di Bagan Siapi-api Suma-
tera bagian Timur.

2. Lingkungan sosial peramu, pemburu dan peladang

Lingkungan sosial peramu, pemburu dan peladang mencakup


kesatuan hidup masyarakat yang berdiam dan mengembangkan kehidupan
sosialnya di daerah pedalaman seperti : pedalaman pulau-pulau besar.
Secara geografis jumlah populasinya relatif sedikit dan hidup tersebar di
wilayah jelajah mereka yang amat luas.

Ciri-ciri kehidupan sosial budaya ditandai dengan ikatan kekerabatan,


kedaerahan dan kesejarahan yang kuat. Masyarakat pedalaman dianggap
masih memanfaatkan teknologi tradisional seperti menggunakan
pengetahuan lokal dan pemanfaatan sumberdaya alam dari lingkungan
sendiri. Kehidupan mereka statis dan terisolir jauh dari transportasi dan
komunikasi.

2.1. Tipe-tipe masyarakat peramu, pemburu dan peladang

a. Masyarakat peramu pemburu : umumnya hidup dari hasil hutan


setempat, terasing dan berpindah-pindah, bersifat egaliter dan hidup
dalam kelompok kekerabatan setingkat klen kecil. Misalnya Nak dalam
di pedalaman propinsi Jambi, orang Sakai di pedalaman Propinsi Riau,
orang Asmat di pedalaman Irian Jaya Selatan dan orang Nuaulu di
pedalaman Pulau Seram, Maluku.

b. Masyarakat peladang berotasi/berpindah/peladang tebang bakar :


umumnya memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi
lingkungan hutan relatif luas. Misalnya orang Talang Mamak di
pedalaman Riau, orang Dayak Kantu di pedalaman Kalteng, orang
Baduy di pedalaman Jawa Barat, orang Wana di pedalaman Sulawesi
Tengah, Orang Dani di pedalaman Irian Jaya.

c. Masyarakat peladang menatap : hidup dipedalaman daratan dan telah


mengembangkan kehidupan bertani secara menetap. Jenis

11
komoditinya komoditi eksport. Misalnya masyarakat Siladang
berladang gambir di pedalaman Sumbar, masyarakat Rejang Lebong
berladang kopi di pedalaman Bengkulu, masyarakat Talang mamak
berladang karet di Indragiri Hulu, masyarakat Pamona/Loinang yang
berkebun coklat di pedalaman Sarmi, Irian Jaya.

2.2.Pemanfaatan Lingkungan

Sistem pertanian berladang berpindah secara rotasi menyebabkan


komuniti itu harus menguasai tanah yang cukup luas berupa hutan
primer. Pola perpindahan dalam waktu 5-6 kali berladang dan kembali
ke posisi semula. Jadi peladang perlu waktu 4-5 tahun seluas 2 hektar
dan baru kembali ketempat semula. Peladang membuaka hutan
dengan menebangi pohon-pohon besar dan dibiarkan kering , lalu
dibakar pada siang hari agar tidak terjadi kebakaran. Dan lahan yang
terbuka akan dimanfaatkan untuk ladang mereka.

Pembukaan lahan tersebut dilakukan dengan upacara ritual dan


digunakan sebagai mendium integrasi sosial. Penanaman di lahan
baru selalu melibatkan sejumlah warga. Masyarakat secara bergantian
bekerjasama melakukan penanaman sehingga moment ini digunakan
sebagai ajang komunikasi.

Masyarakat yang hidup dari berburu dan meramu hasl hutan


menciptakan perlatanan sederhana seperti tombak, sumpit, panah,
belantik dan perangkap.

Mereka membuat rumah di atas tiang-tiang/ rumah panggung


menggunakan bambu, palem , rumbia, jerami dan kayu-kayuan.

2.3. Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat pemburu, peramu dan


peladang

Komuniti-komuniti yang berdiam dipedalaman jarang mengalami


kontak dengan budaya dan dunia laur sehingga corak kebudayaan dan
sistem pengetahuan cenderung lambat berubah di banding kebudayaan
masyarakat pesisir yang lebih dinamis.

12
3. Lingkungan sosial pertanian menetap

Berdasarkan tingkat perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan


maupun sisitem sosialnya masyarakat pertanian menatap dapat digolongkan
kedalam 3 (tiga) golongan yaitu : 1) petani pedesaan yang masih hidup
dengan cara pertanian sangat sederhana sambil tetap mempertahankan
meramu dan berburu, 2) petani di negara-negara maju seperti Eropa, Amerika
dan Australia. Masyarakat petani ini disebut sdebagai Farmer. Mereka hidup
di desa-desa modern. Menjalankan alat pertanian dengan peralatan modern.
Dan 3) petani yang secara teknologi, ekonomi dan sistem sosialnya berada
diantara kedua golongan petani diatas. Masyarakat ini tinggal di desa yang
permanen, mereka menggarap sawah dengan sistem irigasi namun luas
sawah mereka sangat sempit bila dibandingkan petani golongan kedua
(farmer).

Masyarakat etani menatap mempunyai ciri-ciri kultural yang dominan,


seperti berikut :

 Kurang punya gairah untuk capital cummulative karena mempunyai


anggapan apa yang ada di dunia ini adalah terbatas jumlahnya
,didistribusikan merata sehingga yang mengambil lebih artinya telah
mengambil hak orang lain

 Kurang punya kemampuan untuk bekerjasama dalam sebuah


organisasi besar dengan pembagian kerja yang kompleks. Makanya
jarang ada koperasi di desa

 Kurang bersahabat, kurang tunduk, kurang menghargai


penguasa/pejabat pemerintah karena dalam pengalaman hidupnya
mereka selalu diperlakukan tidak adil dan dijadikan onjek pemerasan

 Kurang inovatif dan kreatif, karena apa yang dilakukan sesuai dengan
warisan nenek moyang, tidak banyak keperluan dan kebutuhan
sehingga cukup apa adanya

 Kurang mampu mengantisipasi dan merencanakan masa depan. Nasib


dan takdir ada ditangan alam dan Tuhan

13
 Kurang aspiratif, kurang banyak cita-cita tinggi, tidak punya bayangan
akan menjadi seorang yang berarti pada masa depan.

 Kurang dapat menahan diri dalam memenuhi nafsu khususnya nafsu


konsumtif

4. Lingkungan sosial perkotaan

4.1. Defenisi kota

Di indonesia kota ditentukan secara politico-administratif seperti kota


metroplolitan Jakarta. Di Kanada semua komunitas dengan penduduk lebih
dari 1.000 jiwa dinyatakan sebagai kota. Di negara Amerika Serikat disebut
kota jika berpenduduk sekitar 2.500 jiwa.

Defenisi kota adalah komunitas yang relatif luas dihuni secara padat
oleh penduduk beranekaragam dari segi pekerjaan, pendidikan dan gaya
hidup. Jaringan komunikasi sangat kompleks dan bangunan tinggi-tinggi,
besar dan terbuat dari bahan yang tahan lama. ( jumlah jiwa tidak seperti di
Kanada dan Amerika)

4.2. Pertumbuhan penduduk kota

Penduduk kota di Indonesia berkembang mulai tahun 1950, dan terlihat


pesat sejak zaman orde baru. Pertambahan penduduk kerana urbanisasi dari
desa ke kota. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi diseluruh dunia.

4.3. Kegiatan utama penduduk perkotaan

Munculnya kota karena adanya kegiatan sosial dan ekonomi tertentu yang
memerlukan penduduk, bangunan dan mesin-mesin. Jenis kegiatan oranglah
yang menentukan ciri utama sebuah kota.

Kegiatan yang berkaitan dengan pertukaran barang dan jasa adalah dasar
kegiatan penduduk kota. Ini terlihat dari pertukaran rute transportasi dari satu
tempat ke tempat lain dari mulai lancar akhirnya ruwet dan kompleks.

Kegiatan lain adalah : 1) bidang keuangan, 2) biro hukum, konsultan, iklan


dan akuntan, 3) kegiatan pelayanan jasa kepada masyarakat seperti dokter,
pembantu rumah tangga, guru, pelayan restoran, dll, dan 4) pelayanan umum
seperti bis kota, air minum, administrasi pemerintahan, listrik, dll

14
4.4. Kota dan desa dalam perbandingan

Perbedaan kota dan desa bisa dilihat dari kriteria dasar yaitu aspek
pekerjaan. Menurut Sorokin dan Zimmerman (1929) dalam Jhony Purba
( 2003) 8 (delapan) ciri yang membedakan kota dan desa adalah : a) jenis
pekerjaan, b) lingkungan, c) ukuran komunitas, d) kepadatan penduduk, e)
heterogenitas dan homogenitas penduduk, f) diferensiasi dan stratifikasi
sosial, g) mobilitas sosial, dan h) sistem interaksi sosial.

Pekerjaan utama di pedesaan berkaitan dengan pertanian, peternakan dan


kehutanan sedangkan di kota non pertanian. Lingkungan alam di desa
didominasi oleh alam asli, terjadi hubungan yang langsung antara manusia
dengan alam, sedangkan di kota lingkungan di dominasi oleh buatan manusia
seperti bangunan dan miskin udara bersih.

Di pedesaan tidak mungkin hidup bagi ribuan penduduk dalam beberpa


hektas lahan pertanian, sebaliknya di kota karena orang tidak hidup dari
tanah bisa saja terjadi ribuan bahkan puluhan ribu tinggal dalam sebuah
dataran yang sempit.

Lingkungan pedesaan mobilitas sosial penduduk secara teritorial, pekerjaan


relatif intensif sedangkan dikota mobilitas sosial lebih intensif. Di kota
mobilitas semacam sungai yang mengalir deras, penduduk kota sering
pindah-pindah di dalam lingkungan kota.

Hubungan interaksi antara manusia kurang banyak, sistem interkasi sosial


adalah kontak pribadi, personal dan berlangsung lama, serta sederhana.
Kebalikannya adalah sistem interkasi sosial di kota yaitu bersifat kontak
sekunder. Didominasi oleh hubungan impersonal dan kasual dalam jangka
pendek, dangkal dan penuh standar formalitas.

Bab IV. Pengelolaan Lingkungan Sosial

1. Strategi perencanaan

1.1. Prinsip perencanaan

Prinsip perencanaan selalu berusaha menyertakan anggota dari berbagai


kelompok sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, kesediaan untuk

15
belajar. Tidak adanya titik temu antara rencana pemerintah dengan harapan
penduduk merupakan pertanda buruk, ini artinya bersifat Top-down. Asumsi
ini dikembangkan dengan alasan :

 Warga komunitas tidak dianggap memiliki kemampuan dan


pengetahuan untuk merencanakan pengelolaan lingkungan sosial

 Baik buruknya suatu kondisilingkungan hidup sosial komunitas


ditentukan oleh pihak luar

 Adanya asumsi bahwa waraga komunitas sosial dengan kebudayaan/


adat istiadatnya justru menghambat kelola lingkungan

Pengelolaan lingkungan sosial yang di lakukan oleh pihak luar tidak selalu
membawa warga komunitas mendapat manfaat yang sebaik-baiknya malahan
berbagai konflik sering terjadi. Hal ini dapat terjadi karena 4 (empat) hal
berikut :

a. sering pengelolaan lingkungan sosial yang diterapkan oleh pihak luar


dianggap bertentangan dengan kepentingan warga komunitas
setempat

b. munculnya masalah interaksi antara para agen perubahan dengan


warga komunitas, khususnya berkaitan dengan interpretasi masing-
masing pihak

c. masalah ynag muncul dari petugas sendiri, karena perbedaan


kedudukan, pengetahuan, fasilitas, dll menyebabkan petugas
membuat kebijakan sendiri sehingga menghambat jalannya
pengelolaan lingkungan sosial

d. para pelaksana lebih mengutamakan target dan pencapaian tujuan


program yang tolok ukurnya bersifat kuantitatif

Oleh sebab itu prinsip perencanaan haruslah mengutamakan pelibatan


masyarakat secara penuh atau dengan kata lain menggunakan pendekatan
partisipatif. PRA ( Participatory Rural Appraisal) atau PLA (Participatory
Learning and Action) merupakan pengkajian komunitas sosial secara parti-
sipatif tentang aspek-aspek kehidupan masyarakat tertentu yang dilakukan

16
oleh warga masyarakat sendiri didampingi/ difasilitai oleh petugas lembaga
program pengembangan. Dengan PRA atau PLA aspek-aspek yang akan
dikaji dapat disepakati antara pengembang program dengan warga
masyarakat bersangkutan. Berlandaskan pada kegiatan tersebut maka warga
masyarakat mendapat proses pembelajaran dan penyadaran mengenai
lingkungan hidup yang mereka hadapi. Bagi pihak pengembang program
kegiatan ini akan memberikan proses penyadaran dalam memahami
kehidupan sosial dan nilai-nilai budaya yang ada pada suatu komunitas
tertentu. Kegiatan ini akan mudah mendapat dukungan masyarakat karena
mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi dilakukan
bersama-sama.

1.2. Prosedur perencanaan

Apabila PRA atau PLA telah dilakukan maka langkah selanjutnya adalah :

a. membuat daftar masalah yang ditemukan, dikaji ulang dan disepakati


mana masalah yang akan ditampilkan sebagai masalah yang akan di
pecahkan atau dicarikan solusi pemecahannya.

b. Masalah dikelompokkan dan dicarai sebab akibatnya

c. Analisis dan tentukan prioritas masalah

d. Pemilihan alternatif kegiatan

Pemilihan dan pengisian bagan rencana kegiatan ( no d) meliputi hal-hal


berikut :

a. Pemilihan alternatif kegiatan, yang dapat dilakukan oleh warga

b. Penentuan penanggung jawab kegiatan

c. Penetapan pendudukung kegiatan (pihak mana saja yang akan


mendukung termasuk pendanaan, informasi, perlatan, dll

d. Penentuan cara dan ukuran evaluasi pelaksanaan dan hasil kegiatan

e. Pembuatan jadwal pelaksanaan kegiatan agar terkontrol waktu mulai


dan selesainya.

17
2. Pelaksanaan kegiatan

2.1. Prinsip-prinsip pelaksanaanPelaksaan kegiatan harus berpegang


kepada penyampaian kebenaran, ketepatan, kejujuran/ketulusan,
transparansi dan kepercayaan. Prinsip-prinsip pelaksanaan PRA adalah
sebagai berikut :

 Mengutamakan yang terabaikan/keberpihakan dan melibatkan semua


pihak yang ada dalam komunitas tersebut

 Berkelanjutan, karena kegiatan ini bukanlah proyek pembangunan

 Saling belajar dan menghargai perbedaan

 Partisipatif semua pihak yang berkepantingan

 Warga komunitas sebagai pelaksana , pihak luar sebagai fasilitator.

 Belajar dari kesalahan

3. Pengendalian, Pengawasan dan Evaluasi

3.1. Umum

Pelaksanaan otda sebagai tindak lanjut diberlakukannya UU no 22 tahun


1999 dan UU no 25 tahun 1999 kendati pengelolaan lingkungan sebagai
tanggung jawab daerah namun kewenangan konservasi tetap ada pada
pemerintahan pusat.

Pendekatan pembangunan yang sentralistik dalam formulasi kebijakannya


dan dalam pelaksanaannya sering mengabaikan kearifan lokal masyarakat.
Saat ini pemerintah dituntut untuk lebih bijak sejalan dengan perkembangan
demokrasi sebagai ciri masyarakat madani.

Bidang pengawasan dan evaluasi kegiatan pembangunan dalam paradigama


pemerintahan di era madani, dilakukan oleh berbagai pihak yang merupakan
stakeholder pembangunan

3.2. Pengendalian

18
Pola pengendalian lingkungan sosial tidak hanya berbentuk pembatasan
untuk mencegah dan memberi sanksi atas kekliruan dan kesalahan, tetapi
pola pengendalian merupakan instrumen dengan berbagi bentuk atau teknik.

Cara pertama : sejumlah peraturan yang mewajibkan dan melarang dengan


sanksi-sanksinya, berasumsi bahwa suatu lingkungan sosial adalah bodoh,
dan tidak mampu

Cara kedua : dengan mengadakan perlengkapan aturan yang proteksif agar


suatu ancaman dalam lingkungan sosial tidak terjadi

Cara ketiga : yang bersifat pengadaan aturan yang bersifat prosedural dan
terus menerus meningkatkan kemampuan dari unsur-unsur lingkungan sosial

Cara keempat : dengan proses pembelajaran yang ada pemahaman akan


latar belakang dari cara prosedural, proteksif dan larangan serta keharusan.

3.3. Pengawasan/pemantauan

Pengawasa adalah kegiatan yang melihat konsekwensi kebijakan,


bagaimana dan seberapa jauh hasil yang terjadi. Kegiatan ini akan meng-
hasilkan sejumlah pemahaman dan penjelasan yang berkenaan dengan
proses penerapan program, lebih pada pemenuhan kebututuhan informasi
yang berguna bagi para perencana dan para pengambil keputusan.

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan melihat bagaimana policy input


dikembangkan dalam suatu program. Kegiatan pengawasan yang baik akan
memberikan 3 (tiga) keuntungan yaitu : 1) sebagai masukan untuk
mengantisipasi masalah yang bersifat umum, 2) sebagai input untuk
mengantisipasi masalah yang bersifat spesifik yang terjadi, dan 3) sebagai
alat untuk mengetahui efektivitas/dampak program dalam jangka pendek
ataupun jangka panjang agar economic- benefit dan social benefit dapat
dihitung.

Tujuan umum dari pemantauan adalah untuk mnegtahui, menggambarkan


dan mengevaluasi proses pelaksanaan sedangkan tujuan khususnya adalah :

1. mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan secara


menyeluruh

19
2. mengetahui dan mengukr pelaksanaan di lapangan dengan standar
yang ditetapkan

3. mengkaji kesesuaian tindakan pihak yang terlibat sesuai dengan fungsi


dan tingkatan

4. mengetahui gambaran indikasi adanya perubahan sosial ekonomi


masyarakat, positf atau negatif

5. memperolah rekomendasi kebijaksanaan

6. membangun sistem monitoring yang dapat diandalkan untuk program


pembagunan selanjutnya

Kegiatan pengawasan didaerah harus melibatkan berbagai stakeholder


seperti : pemerintah setemapat, pihak swasta, masyarakat, perguruan tinggi
dan lembaga swadaya masyarakat

Aspek-aspek yang harus dilihat agar dapat menentukan prosedur baku mutu
pelaksanaan pengawasan adalah : 1) proses perencanaan alokasi pemba-
ngunan, 2) proses sosialisai dan diseminasi program, 3) proses penyaluran
dan pencairan dana, 4) proses kegiatan pelaksanaan di lapangan, 5) proses
kegiatan pelestarian lingungan sebagai dampak pembangunan, 6) manfaat
yang diterima masyarakat dan 7) perubahan sosial ekonomi masyarakat.

3.4. Evaluasi

Evaluasi adalah suatu kajian terhadap program pembangunan dengan fokus


perhatian pada hasil dan dampaknya. Evaluasi dapat dilakukan melalui : a)
pemantauan terhadap pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
perencanaan b) audit lingkungan sosial, c) investigasi dan d) studi lapangan
yang dirancang untuk itu.

Pelaksanaan evaluasi antara lain dengan pelibatan stakeholder sedangkan


prosedur baku mutu dibuat bersama oleh stakehoder itu sendiri.

Bab V. Penutup

20
Sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan dan membangun
pemerintahan yang bersih dan baik menuntut persyaratan adanya keter-
bukaan, kesetaraan, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan
akuntabilitas, kesiapan dan profesionalisme dari semua pihak yang terkait.

Dengan dukungan kualitas SDM yang profesional, pengelolaan aspek sosial


senantiasa terakomodasi dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi. Berbagai tuntutan masyarakat atas hak adat, etika
lingkungan, kearifan lokal dan pranata sosial akan mendapat perhatian dan
penghargaan bagi setiap kegiatan pengelolaan lingkungan terutama
pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga konflik /friksi sosial akan dapat
diminimalkan serta tidak ada lagi hak kolektif maupun anggota masyarakat
yang terabaikan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

21
BAB III
KOMENTAR KRITIS PENYADUR DAN MANFAAT

Buku Pengelolaan Lingkungan Sosial yang di sunting oleh Jonny


Purba, tahun 2002, dengan jumlah 156 halaman merupakan buku yang
sangat bermanfaat untuk dipelajari dan dibaca oleh Widyaiswara yang
mengajar bidang sosial dan konservasi Dalam buku ini banyak dikupas
tentang apa dan bagaimana permasalahan pengelolaan lingkungan sosial di
Indonesia, keanekaragaman lingkungan sosial di Indonesia dan implentasi
pengelolaan lingkungan sosial.

Bagi pemula, akan sangat bermanfaat apabila juga mempelajari


dengan rinci Bab 2 buku ini karena pada bab ini dibahas tentang diskursus
pengelolaan lingkungan sosial, aspek sosial, paradigama pembangunan
berkelanjutan, komponen pokok lingkungan dan indikator kualitas lingkungan
sosial

Ada beberapa hal yang sebaiknya juga tidak usah dijelaskan secara
rinci dalam buku ini yaitu pada Bab III tentang Keragaman lingkungan sosial
di Indonesia. Pada setiap lingkungan sosial yang dibahas, selalu dirinci terlalu
dalam sehingga terkesan buku ini betul-betul untuk membicarakan teori
keragaman lingkungan sosial, padahal seharusnya ini dapat diberikan contoh-
contohnya saja,

Hal sangat menarik dari pembahasan buku ini adalah pada Bab IV,
disini secara jelas di bahas bagaimana prinsip dan prosedur tahap
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pada pengelolaan lingkungan
social, sehinga bagi kita yang akan melakukan kegiatan pengelolaan
lingkungan social dapat menggunakan ini sebagai panduan dalam
kegiatannya.

Setelah membaca dan menyadur buku ini ada beberapa manfaat yang dapat
diambil yaitu : Buku ini dapat dijadikan pedoman dalam memberikan mata
ajaran pengelolaan lingkungan hidup secara umum dan sosial masyarakat
secara khusus.

22
BAB V
PENUTUP

Saduran buku dengan judul Pengelolaaan Lingkungan Sosial


merupakan bahan bacaan yang sebaiknya dibaca oleh setiap widyaiswara
dan setiap insan yang ingin mempelajari bagaimana Pengelolaan lingkungan
sosial yang baik dan sukses. Di zaman madani ini pengelolaan lingkungan
secara partisipatif sangat disarankan karena dengan menggunakan metode
PRA/PLA kesempatan bagi masyarakat setempat untuk memahami dan
menyadari kondisi lingkungannya sendiri lebih terbuka dan bagi pihak luar
dapat pula memahami kearifan lokal yang ada.

Keterbatasan berbagai pihak dalam memahami tentang lingkungan


sosial dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup disebabkan beberapa
hal antara lain belum tersedianya panduan akademis tentang lingkungan
sosial atau aspek sosial dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sehingga
lingkungan sosial sering diartikan secara sempit atau kurang tepat misalnya
masyarakat adat dan kependudukan.

Saduran ini, merupakan salah satu jawaban dalam mengurangi


keterbatasan dalam memahami lingkungan sosial dimaksud. Secara ringkas
saduran ini memberikan informasi penting bagi siapapun yang ingin dengan
cepat dapat memahami tentang Pengelolaan lingkungan sosial.

Saduran ini sangat praktis, penjelasannya sederhana dan memandu


pembaca dalam memahami pengelolaan lingkungan sosial.

23
JUDUL BUKU YANG DISADUR :

Judul buku : Pengelolaan Lingkungan Sosial (cetakan ke 2)


Pengarang : Jonny Purba
Penyunting : Jonny Purba
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Tahun Terbit : 2007
Tebal buku : 156 halaman

24

Anda mungkin juga menyukai