Anda di halaman 1dari 24

Dalam buku Puspa Ragam Busana Pemilihan Bahan Tekstil, kain merupakan suatu

bahan, hasil dari pada tenunan benang. (Poespo, 2005) Adapun pengertian kain
tradisional dalam buku Ragam Kain Tradisional Nuasantara menjelaskan bahwa kain
yang berasal dari budaya daerah lokal yang dibuat secara tradisional dan
digunakan untuk kepentingan adat istiadat ialah kain tradisional. (Kamila, 2008)
Kamila, Mika. 2008. Ragam Kain Tradisional Nuasantara. Jakarta: Bee Media
Indonesia.
Poespo, Goet. 2005. Puspa Ragam Busana Pemilihan Ragam Bahan Tekstil. Kanisius:
Yogyakarta
Ardika, I wayan.1996. Dinamika kebudayaan Bali. Denpasar : Upada Sastra
Sika, Wayan. 1983. Ragam Hias. Denpasar : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Geliat Kreasi Baru Tenun Bali


Selasa, 19 April 2011 | 09:12 WIB

Berita Terkait

Cita Tenun Akan Diresmikan Ibu Negara

1
0
0
0

KOMPAS.com - Kain tenun bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi


masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di
luar lingkup tradisi masyarakat daerah tujuan wisata itu, kain tenun Bali pun tidak
sebatas cendera mata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas berbasis
budaya.
Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem dikenal sebagai salah satu sentra
produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir
semua rumah di desa khas Bali ini.
Kehijauan alami mendominasi pemandangan di Sidemen. Keindahan sawah
berundak membuat pelancong tidak terganggu dengan kecuraman tebing yang
membatasi jalan-jalan sempit menuju Sidemen, sekitar dua jam perjalanan dari

Denpasar.
Di Sidemen, Swastika merupakan salah satu toko dan usaha tenun yang
menonjol. Usaha ini dimiliki oleh I Gusti Ayu Oka (50). Tempat usaha ini berupa
bangunan tiga lantai yang kokoh, dengan suguhan pemandangan alam
memukau yang leluasa dinikmati dari balkon lantai atas.
Semua orang di desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua kami dulu, ujar
Oka. Namun, pada masa lalu sejumlah warga hanya menenun untuk keperluan
keluarga sendiri berupacara. Sebagian lagi menenun untuk memenuhi
permintaan warga Bali di bagian lain pulau indah ini, juga untuk keperluan
upacara.
Dalam penggolongan paling sederhana, terdapat dua jenis kain tenun di Bali.
Kain tenun ikat, biasa disebut endek, dipakai sehari-hari. Sementara kain tenun
songket digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan
masyarakat Bali, antara lain upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, dan
kremasi.
Di Swastika, endek bisa dibeli dengan harga dari Rp 200.000 hingga Rp 1 juta
per lembar. Sementara songket produksi Oka dijual dari Rp 1 juta hingga Rp 15
juta per lembar. Waktu pengerjaan setiap helai kain ini juga bervariasi, dari
beberapa pekan hingga empat bulanan.
Oka mengatakan, meski sejak kanak-kanak akrab dengan tenunan, ia baru mulai
menggeluti usaha ini sejak 1990. Sebelumnya saya jualan makanan jajan. Saya
usung di atas kepala keliling desa setiap hari, ujarnya.
Oka mulai dengan mengerjakan sendiri seluruh proses membuat kain tenun. Kini
ia mengupah sekitar 50 perajin di desanya. Sebagian besar pembuatan kain
tenun itu dikerjakan di masing-masing rumah perajin.
Di rumah para perajin ini, anggota keluarga yang lain juga dapat membantu. Putu
Wijaya (11), siswa kelas V SD di Sidemen, misalnya, sudah menguasai teknik

ikat. Teknik ini adalah bagian penting dari produksi kain tenun Bali.
Proses menghasilkan sehelai kain tenun ikat akan dimulai dengan memintal
benang. Kemudian benang dibentangkan di alat perentang, dan helaiannya diikat
dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan.
Setelah pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang
yang sudah diwarnai kemudian di-gintir atau dipilah, lalu baru ditenun menjadi
kain.
Pada tenun songket, kain ditenun dengan menyisipkan benang perak, emas,
tembaga, atau benang warna di atas lungsin yang mendasari. Penempatan
tambahan benang ini membentuk corak yang diinginkan dan adakalanya dipadu
pula dengan teknik ikat.
Kreasi baru
Bagi kalangan yang ingin menggunakan kain tenun sebagai produk fashion,
bukan demi kepentingan upacara, persoalan klasik menyangkut kain ini adalah
ketebalan dan keka
kuannya. Akibatnya, pada waktu lalu, kain songket tidak mudah digunakan dalam
beragamModel busana.
Merespons persoalan itu, Cita Tenun Indonesia (CTI) bekerja sama dengan
Garuda Indonesia membentuk tim pembinaan perajin tenun di beberapa daerah,
termasuk di Bali. Dalam tim ini, antara lain terdapat desainer tekstil, Ratna
Panggabean, dan desainer fashion, Priyo Oktaviano.
Dulu penenun memakai benang rangkap dua. Kain jadi tebal dan kaku.
Sekarang kita perkenalkan tenunan dengan benang satu. Pengerjaannya makan
waktu dua kali lipat lebih lama. Harga juga jauh lebih mahal, tetapi hasilnya, kain
yang halus dan lembut, ujar Ratna.
Kreasi baru juga diterapkan dalam pengaturan motif, ragam hias ikat dan
songket, serta pewarnaan.

Untuk upacara ritual, corak menjadi sakral kalau sudah diberkati, itu tidak
diganggu. Namun, pada dasarnya orang Bali sangat terbuka dengan corak-corak
baru yang diambil dari alam di sekitarnya, misal corak bunga dan daun, ujar
Priyo.
Warna dasar tenun bali umumnya warna cerah. Oleh karena itu, dikembangkan
pula kreasi warna baru yang lebih natural, warna pastel, dengan bahan
pewarnaan alam.
Oka dan para perajin lain yang dibina CTI di Sidemen, antara lain Ni Nyoman
Suryasih dan I Wayan Suartana, merasakan bahwa kreasi baru tersebut
memperluas pasar kain tenun produksi mereka. Selama saya buat tenun,
penjualan pada 2010 lalu yang paling melonjak, ujar Suryasih.
Ridwan Edi, pengelola program tanggung jawab sosial perusahaan Garuda
Indonesia yang bekerja sama dengan CTI, menjelaskan, pelatihan dilakukan
antara lain dengan memberi PR bagi para perajin untuk membuat kain dengan
metode baru pewarnaan, motif, atau teknik penenunan. Bila dikerjakan dengan
baik, hasilnya dibeli oleh tim dengan harga tinggi. Sebaliknya, tidak akan dibeli
jika tak sesuai pesanan dengan kreasi baru itu.
Setelah teknik dan corak kreasi baru dikuasai, mitra binaan mendapat pinjaman
modal untuk mengembangkan usaha. Mitra ini digandeng pula untuk
berpameran, bahkan hingga ke luar negeri.
Berpameran tidak hanya dapat mempromosikan karya para perajin, tetapi juga
menyadarkan bahwa kreasi adalah proses yang tidak boleh berhenti.
(Nur Hidayati)
CONTOH Arifin, Mushallin. 2013. "Rahasia Sukses Menjadi IB Forex". KOMPAS, 2 Juni 2013.

Wajah Merona Tenun Bali


Selasa, 26 Agustus 2014

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGKepala Desa Tenganan, Karangasem, Bali, Putu Yudiana (kanan) dan istrinya Ni

Nyoman Sudewi, dengan bangga menunjukkan kain Geringsing warisan keluarganya. Kain geringsing
kerap digunakan untuk upacara adat di Tenganan. Proses pengerjaan tenun kain Geringsing yang rumit
dan lama membuat nilai jual kain tersebut tinggi.

Berita Terkait

Pulang Kantor Langsung Pelesir ke Karangasem


Melihat Bali Sesungguhnya di Desa Tenganan
Pembuatan Tenun Grinsing Perlu Empat Tahun
Menonton Perang Pandan di Desa Tenganan
Karnaval Endek Buleleng Promosikan Kain Tenun Tradisional

0
16
0
0

TENUN tradisi Bali seperti bangkit dari puing. Kaum muda tak takut dicap
kampungan gara-gara mengenakan busana dari endek. Endek kini menjadi
ekspresi kecintaan terhadap kebudayaan.
Dalam balutan tenun Bali, AA Istri Kusuma Sari (23) menatap mesra wajah calon
suaminya, I Made Suardana (26). Bersandar di tembok dan gapura dalam
kompleks Museum Bali, mereka berpose untuk foto pranikah. Sedang ngetren

songket sama endek. Sekarang makin baik kombinasinya, pilihannya makin


colorful, kata Kusuma Sari atau Riri.
Riri menyewa songket buatan perajin Bali dari bahan sutra. Selembar songket
dibanderol dengan harga sewa Rp 300.000, lebih murah dibandingkan dengan
harga beli, Rp 1 juta. Riri memakai songket sebagai kamen (bawahan). Adapun
Suardana memakai kamen dari prada dan udeng dari endek.
Pada pesta pernikahan yang akan digelar di Tabanan, awal September
mendatang, mereka juga menyewa kain songket untuk payas agung, busana
tradisional pernikahan Bali. Songket dan prada yang tergolong ke dalam wastra
kebesaran memang cocok dipakai pada gelaran pesta.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGSeniman gamelan Bali, I Made Bandem (kiri), dan istrinya, Suasthi Widjaja,

seorang penari dan koreografer, mengenakan tenun Bali.

Songket Bali memang tampil cantik dengan hiasan benang emas, benang katun,
ataupun benang sutra. Sementara prada tampil mewah dengan hiasan serbuk
emas atau irisan lembaran tipis di atas kain katun ataupun sutra.

Geliat endek
Kain tradisional Bali lain yang tergolong wastra kebesaran, tetapi cocok dipakai
sehari-hari, adalah endek. Endek yang dihiasi dengan teknik ikat pakan ini kian
populer di Bali. Dari awalnya hanya menjadi milik bangsawan, endek, songket,
dan prada kini bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
Geliat endek terjadi merata di seluruh Bali. Suatu pagi, di awal Juli lalu, los Pasar
Klungkung yang masih sepi pembeli justru menunjukkan pesonanya. Ke mana
pun mengayun muka, pastilah mata berserobok pada tumpukan kain, hampir
seluruhnya tenunan khas Bali.
Semua tenunan di sini khas Bali, ujar Putu Suaryani, pedagang kain tenun di
Pasar Klungkung. Endek, ya? Mau mencari endek motif apa? Sekarang endek
yang paling diminati pembeli adalah endek perajin Sidemen, bermotif khas
Karangasem. Harganya mulai dari Rp 300.000 per lembar, kata Suaryani sambil
menyodorkan beragam motif kain endek beraneka warna.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGPakar musik gamelan Bali, I Made Bandem, menunjukkan salah satu koleksi

kain tradisional Bali.

Sekarang endek yang paling diminati justru endek yang memakai motif kain
tenun lain, terutama endek yang memakai motif kain tenun gringsing, ujar Ayu,
pedagang yang lain, menunjukkan kain warna menyala, sama sekali berbeda
dari kecenderungan warna klasik endek Denpasar, Klungkung, ataupun
Singaraja. Ini bukan warna klasik tenun gringsing khas Desa Tenganan
Pegringsingan. Ini kreasi baru, kata Ayu.
Warna-warna yang cerah dan menyala lebih disukai pelanggan Ayu. Endek
bermotif gringsing jadi pilihan buat mereka yang tidak mampu membeli tenun
gringsing asli. Endek memunculkan beragam corak dari pewarnaan benang
pakan (benang yang disisipkan melintang di antara untai benang lungsin).
Kombinasi pewarnaan ikat dan colet pada benang pakannya membuat endek
klasik kaya warna ketimbang kain tenun ikat yang lain.
Merana
Berawal dari puri para bangsawan, tenun Bali mengalami pencanggihan dalam
segala lingkup tradisi puri. Hingga tibanya zaman industrialisasi tenun Bali yang
mengubah arah sejarah endek. Pemilik Pertenunan Berdikari di Singaraja, Bali,
Ni Nyoman Sujani, menyebutkan, para penenun endek meninggalkan alat tenun
tradisional Bali, cagcag, sejak tahun 1960-an.
Dengan teknik pewarnaan ikat dan colet benang pakannya, Pertenunan Berdikari
merekonstruksi berbagai motif klasik tenun endek koleksi Sujani. Sejak 1960-an,
penggunaan alat tenun bukan mesin (ATBM) dan pewarna kimia membuat
produksi endek melimpah, tetapi baru tahun 1980-an endek berjaya. Endek
memasyarakat antara lain berkat gagasan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra yang
melombakan desain motif tenun endek tahun 1980.
Berkat Gubernur Ida Bagus Mantra, endek dikenakan dalam berbagai busana
nasional. Presiden Soeharto pun pernah memakai kemeja berbahan tenun
endek, ujar Sujani.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGKoleksi kain Endek milik Ida Ayu Selly Fajarini.

Kejayaan endek juga dirasakan pemilik tenun ikat sekar jepun, Etmy Kustiyah
Sukarsa, yang memproduksi endek sejak 1985. Presiden Megawati
Soekarnoputri pernah memesan endek sekar jepun. Saya tidak berambisi
menerima pesanan ribuan meter. Saya jual seni, kata Etmy sambil menunjukkan
pesanan endek dari desainer Didiet Maulana.
Rona endek digenapi kreasi tenun patra desainer tekstil I Gusti Made Arsawan
yang dua tahun terakhir menggarap teknik ikat, colet, dan cat semprot (air brush)
dalam pewarnaan benang pakan. Dengan mempertahankan rancang bangun
tenun endek, I Gusti Made Arsawan mengadopsi berbagai pakem pepatra ukiran
arsitektur Bali sebagai motif. Setiap motifnya yang ditenun tunggal pun naik
catwalk.
Dengan air brush, kami bisa mewarnai benang pakan dengan belasan warna,
membuka kemungkinan untuk motif yang lebih rumit dan detail, kata I Gusti
Made Arsawan. Ia juga berkolaborasi dengan para desainer, seperti Edward
Hutabarat, Samuel Wattimena, dan Didiet Maulana.

Endek karya Ida Bagus Adnyana, pemilik perusahaan tenun Putri Ayu di Gianyar,
pun dipinang menjadi busana para pemimpin negara peserta KTT APEC. Ida
Ayu Selly Fajarini, istri Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra,
seperti seorang duta endek, getol mengenakan kain endek untuk berbagai
busana kasual rancangannya. Endek produksi massal kompetitif dalam harga
dan nyatanya cocok diolah menjadi beragam busana sehari-hari. Sementara
endek kualitas terbaik, seperti tenun patra, naik daun diburu para sosialita kita,
kata Selly.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGPara perempuan mengenakan kain tradisional saat melaksanakan upacara

keagamaan di Pura Geriya Tanah Kilap, Denpasar, Bali. Kain-kain tradisional Bali menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam berbagai upacara keagamaan.

Beberapa tahun terakhir, rona endek didera persaingan harga murah, cemerlang,
dan halusnya tenunan dari Troso, Jepara. Minat para penenun Troso menenun
motif endek membuktikan endek tengah merona dan terus naik daun. Namun,
tak terelakkan, harga kompetitif yang ditawarkan para penenun Troso membuat
para penenun endek di Bali merana kehilangan pasar.
Sujani bersaksi tentang kelesuan para penenun di tengah meronanya endek di

catwalk dan pasar kain di Bali. Para perajin saya masih menenun karena saya
tidak tega menutup pabrik. Omzet kami relatif impas dengan ongkos
menjalankan pabrik Berdikari, kata Sujani.
I Gusti Made Arsawan, pemain yang justru sedang menikmati naik daunnya
endek kualitas premium, juga mengkhawatirkan nasib tenun endek klasik. Jika
endek tenunan Bali diperlakukan sekadar tenun produksi massal, apa nilai
lebihnya dibandingkan dengan tenunan Troso? Tradisi endek hanya akan
selamat jika ia dikembalikan keberadaannya sebagai warisan budaya, ujar I
Gusti Made Arsawan.(Mawar Kusuma/Cokorda Yudistira/Aryo Wisanggeni)

Bank Indonesia Angkat Pamor Tenun


Ikat Bali
Jumat, 13 Maret 2015

KOMPAS.COM/SRI LESTARIAneka

tenun khas Pulau Nusa Penida, Bali.

Berita Terkait

Pemasaran Tenun Ikat Rote Ndao Tersendat


Hendar Suhendar, dari Dangdut hingga Tenun Ikat Garut
Mengenal Rupa-rupa Tenun Ikat NTT
Karnaval Endek Buleleng Promosikan Kain Tenun Tradisional
Kehangatan Mesra Sehelai Tenun

0
34
0
0

DENPASAR, KOMPAS.com - Dalam rangka menggali potensi


dan melestarikan budaya adat istiadat daerah Bali khususnya
Tenun Bali untuk menjadi suatu ciri khas daerah yang tidak
pernah luntur dan hilang ditelan zaman, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia (KPw BI) Provinsi Bali berinisiatif untuk mengadakan
Eksebisi dan Lomba Desain Tenun Bali.
Eksebisi dan lomba desain tenun Bali untuk menggali potensi
dan melestarikan budaya, adat istiadat agar tidak hilang ditelan
zaman, kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI)
Provinsi Bali, Dewi Setyowati, di Denpasar, Jumat (13/3/2015).
Menurut Dewi, penyelenggaraan lomba ini memiliki tujuan
menghadirkan kembali tenun klasik dan tradisional Bali dengan
corak yang lebih sesuai dengan perkembangan selera
masyarakat modern dan tidak meninggalkan kaedah dan tatanan
tenun sesuai kearifan lokal Bali.
Dalam acara nantinya akan menghadirkan tenun klasik dan

tradisional Bali. Tapi tetap mengikuti selera modern yang disukai


masyarakat, tetap menonjolkan kearifan lokal, katanya.
Melalui eksebisi dan lomba desain tenun, Bank Indonesia ingin
mengangkat pamor kain tenun ikat khas Bali di mata dunia.
Diharapkan eksistensi dan inovasi desain tenun yang dihasilkan
dapat membuat kain tenun semakin dikenal dan nantinya dapat
meningkatkan perekonomian daerah dan kesejahteraan perajin
lokal. Untuk penyelenggaraannya masih akan dijadwalkan.
Penulis

: Kontributor Denpasar, Sri Lestari

Editor

: I Made Asdhiana

Pembuatan Tenun Grinsing Perlu Empat


Tahun
Kamis, 27 Februari 2014

KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.Tenun Grinsing di Desa Tenganan, Karangasem, Bali

Berita Terkait

Tips Wisata ke Karangasem


Inilah 10 Aktivitas Wisata di Karangasem
Pulang Kantor Langsung Pelesir ke Karangasem
Meski Hujan, Wisatawan tetap Ramai ke Karangasem
Melihat Bali Sesungguhnya di Desa Tenganan

0
0
+0
0

KOMPAS.com - Seperti mencerminkan nenek moyang nusantara yang biasa


hidup mengakrabi waktu. Itulah gambaran para penenun di Desa Tenganan,
Karangasem, Bali. Di desa ini, beberapa wanita terbiasa membuat kain tenun
yang disebut tenun grinsing.
Tenun ini sangat terkenal, bukan saja karena kecantikannya tetapi juga
pembuatannya yang rumit. Proses pembuatannya memakan waktu yang lama.
Seakan waktu begitu akrab dengan mereka. Untuk menenun selembar kain

diperlukan waktu sekitar tiga minggu sampai tiga bulan.


Terdengar cepat? Jangan lupa, proses pembuatan tenun bukan sekadar
menenun saja. Apalagi jika benang yang digunakan bukan benang sintetis.
Pewarna benang yang digunakan untuk tenun grinsing di Desa Tenganan
menggunakan bahan alami.

KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.Seorang warga Desa

Tenganan, Karangasem, Bali, tengah menenun Tenun Grinsing.

Untuk mendapatkan warna yang diinginkan perlu waktu yang lama. Misalnya
warna kuning, perlu waktu tiga bulan untuk mendapatkan warna kuning yang
pekat. Warna-warna lain bisa memerlukan waktu hingga tahunan.
Warna merah didapat dari kulit kayu sunti. Sementara warna biru berasal dari
daun taum. Sedangkan kuning dari buah kemiri. Kemiri yang digunakan pun
harus kemiri lawas berumur 1 tahun. Warna cokelat dari warna biru yang
dicampur dengan warna merah.
Warna merah yang benar-benar matang alias warna merah pekat baru bisa

didapatkan setelah dua sampai tiga tahun. Namun untuk warna yang lebih
sempurna, proses pembuatan warna dibutuhkan hingga empat tahun. Hal sama
juga berlaku pada warna biru.
Benang dari kapuk yang sudah dipintal, siap dicelupkan ke bahan pewarna.
Pencelupan terjadi berulang-ulang kali. Lalu didiamkan sampai beberapa bulan
dan kembali dicelupkan. Begitu seterusnya hingga berbulan-bulan.
Harga selembar kain tenun grinsing berkisa Rp 700.000 hingga jutaan. Umumya,
perempuan di Desa Tenganan sudah terampil menenun sejak remaja. Penduduk
Desa Tenganan menguasai pembuatan tenun secara turun temurun.
Penulis

: Ni Luh Made Pertiwi F

Editor

: I Made Asdhiana

Menemukan Kembali Tenun yang Hilang


Rabu, 7 Mei 2014

KOMPAS/RINI KUSTIASIH Tim Cita Tenun Indonesia (CTI) yang dipimpin

Dhanny Dahlan memberikan pelatihan tenun dengan menggunakan


pewarnaan alami kepada 35 perajin tenun di Kabupaten Jembrana, Bali,
beberapa waktu lalu. CTI mengupayakan kebangkitan kembali tenun
jembrana yang sempat meredup.
Berita Terkait

Desa Wisata Gamplong Makin Dikenal Wisatawan

Pembuatan Tenun Grinsing Perlu Empat Tahun

Film Dokumenter Tenun Batak Diputar di Maroko

Catat, Empat Festival Wisata di NTT Tahun Ini


Keindahan Mandar dalam Sehelai Tenun
0

18

0
BELUM banyak orang yang mengenal tenun asal Jembrana dari Bali barat.
Perang melawan kolonialisme dan pertentangan antar-kerajaan di Bali sekitar
abad ke-18 membuat tradisi menenun di Jembrana luntur. Motif tenun khas
daerah itu pun langka. Kendati demikian, harapan menemukan kembali tenun
yang sempat tenggelam itu tidak pernah pudar.
Gairah membangkitkan kembali keelokan tenun jembrana itu menjelma dalam
butir-butir keringat Komang Suliasih (40), seorang peserta pelatihan perajin
tenun yang diadakan Cita Tenun Indonesia (CTI) bersama Hivos dan Uni
Eropa, beberapa saat lalu. Bersama 34 peserta lain, yang semuanya
perempuan, Suliasih duduk menghadap meja yang disusun memanjang di
Balai Pertemuan Kelurahan Dauhwaru, Kecamatan Jembrana. Setiap peserta

diminta membuat pola di kertas sesuai dengan motif tenun yang dihamparkan
di meja itu.
Motif yang mesti dibuat oleh mereka ialah padma atau bunga teratai.
Bentuknya seperti bintang dengan empat hingga delapan sisi lancip, yang
membuatnya disebut babintangan oleh perajin Jembrana.
Susah membuat pola ini. Saya bingung dengan titik-titik yang harus dibuat
pada kotak kecil ini. Jika disuruh membuat tenun, saya bisa lebih mudah
mengerjakannya. Kalau diminta membikin polanya, saya masih kesulitan, ujar
Suliasih.
Siang itu, kaum ibu perajin tenun mengenakan baju adat perempuan Bali
berupa kebaya yang dipadu dengan kain tenun atau sarung di bagian
bawahnya. Mereka datang dari enam sentra tenun di Jembrana, mengikuti
pelatihan yang ditujukan untuk membekali perajin kemampuan pewarnaan
alami, yakni dengan bahan dari tetumbuhan.
Pembuatan pola di kertas itu adalah acara terakhir dari pelatihan itu. Namun,
kegiatan itu agaknya merupakan salah satu yang terpenting. Nining
Koestedjo, desainer tekstil dari Jakarta, mendampingi ibu-ibu itu membuat
pola.
Banyak motif tenun jembrana yang hilang. Memori akan motif itu masih
dimiliki perajin tenun karena pengetahuan itu diwariskan turun-temurun.
Hanya, motif itu tak banyak diproduksi karena perajin lebih memilih motif yang
mudah, diminta pasar, dan cepat laku, kata Nining. Pembuatan pola di atas
kertas itu dimaksudkan agar motif khas Jembrana terdokumentasikan.
Pengetahuan itu perlu dikenalkan kepada semua peserta pelatihan kendati
tak semua perajin bisa membuat pola.
Menyelamatkan memori

Dalam enam kali pelatihan, tim CTI mendapati perajin tenun jembrana
kesulitan menamai motif lama yang sebenarnya bentuknya masih tersimpan
dalam memori mereka. Muncullah motif unik yang dinamai dengan bahasa ibu
mereka, misalnya pale gunung yang berbentuk seperti gunung. Motif ini biasa
di tepian kain tenun.
Desainer Didi Budiardjo, yang mendampingi peserta dalam pelatihan, senang
karena menemukan kain widiadari. Kain itu tersusun dari motif padma dalam
aneka warna dan bentukan. Pada tenun jembrana, Didi mencatat, warna yang
kerap kali dipakai ialah warna teduh, seperti coklat, biru, dan krem, berbeda
dengan warna tenun dari Bali timur, seperti dari Klungkung dan Karang Asem,
yang motif dan warnanya lebih meriah.
Widia asal kata dari vidya yang artinya ilmu pengetahuan. Dari artinya
pemilik. Kain ini representasi pengetahuan atau kebajikan yang diturunkan
dari ibu sebagai sang pemilik kepada anaknya yang selanjutnya menjadi
penerus kebajikan tersebut, ujarnya. Kain widiadari melambangkan suatu
memori kolektif masyarakat Jembrana akan perikehidupan yang berusaha
dilestarikan dari generasi ke generasi.
Namun, perikehidupan yang senantiasa berproses, beradu, dan berpadu juga
tergambarkan dalam kreasi perajin tenun jembrana. Mereka, antara lain,
membuat tenun prembon sebagai perpaduan dari tenun ikat atau endek
dengan songket.
Untuk menghasilkan prembon, perajin menerapkan dua teknik. Pertama,
mereka membuat endek terlebih dulu, yakni dengan mencelupkan benang
yang diikat pada pewarna. Saat benang yang sudah diwarnai itu ditenun dan
membentuk motif tertentu, perajin menyelipkan benang-benang warna emas
untuk membuat songket.
Tak mudah membuat prembon seperti ini, tetapi nyatanya mereka bisa
membuat perpaduan mulus antara motif padma yang ditenun dan teknik

pewarnaan ikat dengan songket, ungkap Didi, yang juga mendesain tiga baju
menggunakan bahan kain endek dan prembon.
Upaya menemukan kembali motif asli dan khas Jembrana, menurut pempinan
proyek CTI, Dhanny Dahlan, tidak sekadar membangkitkan motif lama dan
tua. Namun, lebih dari itu, upaya ini adalah perjalanan menemukan jati diri
Jembrana.
Apa tenun jembrana itu? Bagaimana motifnya? Orang sulit menemukannya
sekarang. Perajin tenun jembrana banyak terpengaruh dengan motif dari Bali
timur, tetapi bukan berarti Jembrana tak memiliki kekhasan dan kekuatan
sendiri yang membedakan dengan tenun dari daerah lain. Ini yang berusaha
kami gali supaya tenun jembrana bangkit, kata Dhanny.
Perjalanan menuju kebangkitan kembali tenun jembrana itu banyak
bergantung pada pelaku tradisi itu sendiri. Di Jembrana, saat ini sedikitnya
ada enam sentra tenun yang penggeraknya sebagian besar perempuan. Bagi
mereka, menenun adalah kegiatan sehari-hari yang tidak bisa dianggap
sepele sebagai sampingan, tetapi menjadi penghidupan pula.
Ketut Karneni (49) dan Luh Swasti (40), misalnya, rata-rata mendapatkan Rp
45.000 per hari dari industri tenun rumahan Mekarsari yang mempekerjakan
mereka dengan sistem borongan. Perajin bisa bekerja di rumah sembari
mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka menjadi
penopang kehidupan keluarga.
Suami saya kerja serabutan. Uang dari menenun cukup untuk menutupi
kebutuhan sehari-hari. Kalau ada keperluan untuk upacara atau hari raya,
saya bisa minta kas bon, ujar Luh Swasti.
Pemerintah daerah
Peran pemerintah daerah masih minim untuk mendorong tenun jembrana.

Namun, bukan berarti tidak ada upaya sama sekali. Kepala Seksi Wisata
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jembrana Mahendra
mengatakan, saat ini ada sekitar 300 perajin tenun yang tersebar di enam
sentra di daerah itu. Namun, jumlah kain tenun yang diproduksi masih
terbatas.
Ari Sugianti Artha, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Jembrana, yang
juga istri Bupati Jembrana I Putu Artha, mengatakan, daerahnya memang
agak tertinggal dalam bidang pariwisata dan kesenian dibandingkan dengan
daerah lain di Bali. Kabupaten di ujung barat Bali itu sedang menggali potensi
seni dan wisata untuk menjadi penanda daerah. (Rini Kustiasih)
Editor

: I Made Asdhiana

Sumber

: KOMPAS CETAK

Wujud Kreasi Baru dalam Sentuhan


Kain Tradisional
Kamis, 14 Mei 2015 | 07:00 WIB

DNA Fashion PRKoleksi

Musa Widyatmodjo Menswear yang akan ditampilkan di ajang


Jakarta Fashion & Food Festival 2015 nanti.

10
8
0
0

KOMPAS.com Jakarta Fashion & Food Festival yang


merupakan acara tahunan, digelar kembali tahun ini untuk
keduabelas kalinya. Acara yang mengedepankan
insan fashion dengan inovasi terbaru mereka juga dijadikan
kesempatan oleh salah satu desainer senior, Musa Widyatmodjo,
untuk memperkenalkan lini terbarunya lewat sebuahfashion show.
Kalau sebelumnya sang desainer cukup dikenal dengan label "M
by Musa" yang ditujukan khusus untuk para wanita, kali ini Musa
menyuguhkan ragam koleksi terbaru untuk pria modern. Di bawah

naungan nama label yang sama, Musa Widyatmodjo Menswear


akan menghadirkan ragam busana formal hingga semi kasual
seperti kemeja hingga setelan jas.
Beberapa kreasi kemeja terwujud lewat nuansa kain tradisional
Indonesia yang sangat identik. Kain tenun asal Bali dan NTT
serta lurik dan batik didesain dan dipadukan sedemikian rupa
hingga menyatu dalam suguhan warna yang serasi. Tak lupa,
aksen berupa detail kerah yang dilapis serta sulaman pada tepi
atau ujung lengan menjadi sebuah sentuhan menarik.
Pengolahan material bahan yang digunakan memang menjadi
kekuatan sang desainer, hingga terciptalah sebuah kreasi apik
yang dapat digunakan pria modern tanpa menghilangkan garis
maskulin pada setiap desainnya.
"Musa Widyatmodjo Menswear merupakan dedikasi saya untuk
memajukan industri fashion di Indonesia. Jika ingin menjadi
kiblatfashion di kawasan Asia Tenggara, kita harus
mewujudkannnya menjadi sebuah karya, sehingga bila
ditanyakan oleh industri kreatif tentang karya saya, brand ini kelak
menjadi jawabannya. Saya tahu bahwa saya harus memulainya,
dan momen ini merupakan saat yang tepat untuk
memperkenalkan kepada masyarakat," jelas Musa.
Jika Anda berminat untuk menyarankannya pada pasangan Anda,
koleksi Musa Widyatmodjo yang ditujukan untuk pria mapan
berusia 25 hingga 50 tahun ini dibanderol mulai kisaran harga 2,5
juta hingga 7,5 juta rupiah.
Penulis

: Alvin Dwipayana

Editor

: Alvin Dwipayana

Anda mungkin juga menyukai