Anda di halaman 1dari 4

LEPO LORUN: SURGANYA TENUN IKAT SIKKA

Berbagai jenis suvenir dipajang berjejer pada sebuah pondok tradisional dari bahan
bambu. Di bagian depan pondok, terdapat kain-kain tenun ikat khas Sikka dengan berbagai
motif yang unik. Tidak jauh dari situ, seorang perempuan paruh baya sangat fokus meremas-
remas seonggok kapas dan memisahkan daging kapas dari bijinya menggunakan alat yang
disebut ngeung. Jari-jemarinya begitu telaten menggerakkan ngeung sehingga kapas terpisah
secara sempurna dari biji. “Kapas-kapas inilah yang akan dijadikan bahan membuat benang
yang dipakai untuk kain tenun ikat,” kata Elisabeth Pagan.

Elisabeth Pagan merupakan satu dari beberapa perempuan yang tergabung dalam
sentra industri Lepo Lorun yang terletak di Jln. Soverdi, Desa Nita, 10 km dari kota
Maumere. Keberadaan Lepo Lorun menambah jejeran kelompok tenun ikat di tanah Sikka.
Selain Lepo Lorun, ada Sanggar Budaya Blliran Sina di Watublapi, Kecamatan Hewokloang;
kelompok Doniorin di Tanah Ai dan kelompok tenun Buen Bluduk di Desa Nangatobong,
Kecamatan Watublama. Fakta ini menandakan masih eksisnya tenun ikat di tengah gempuran
budaya modern dengan berbagai mode pakaian yang kian fashionable.

Menjaga Warisan Leluhur

Lepo Lorun didirikan dua puluh tahun lalu tepatnya pada 12 Mei 2004 oleh seorang
perempuan bernama Alfonsa Horeng. Pendirian Lepo Lorun, ujar wanita kelahiran 1 Agustus
1974 itu, bertujuan untuk menjaga warisan tenun ikat yang sudah diturun-temurunkan dari
nenek moyang. Inisiatif itu semula hanya iseng-isengan. Namun, hal itu semakin serius
digeluti karena antusiasme dari ibu-ibu penenun. Adapun penenun itu merupakan ibu-ibu
yang ada di sekitar kompleks desa Nita. Mula-mula hanya beberapa orang ibu yang
bergabung di Lepo Lorun. Seiring waktu anggota bertambah banyak.

Keterlibatan mereka untuk bergabung bersama komunitas Lepo Lorun terjadi karena
dua alasan. Pertama, tidak ada wadah yang menyatukan mereka sebagai suatu kelompok
menenun. Kedua, keterbatasan tempat. Rumah pribadi yang terlalu sempit menjadi kendala
menenun. Lepo Lorun menyediakan tempat yang luas untuk menenun. Melalui Lepo Lorun
ibu-ibu itu dapat mengoptimalkan kemampuan menenun. “Ibu-ibu jadi leluasa menenun di
Lepo Lorun ini,” ungkap Alfonsa Horeng.

1
Semua penenun di Lepo Lorun adalah perempuan. Perempuan, tutur Alfonsa Horeng
paling tahu tentang tenun. Laki-laki tidak tahu soal tenun karena mereka memiliki pekerjaan
sendiri seperti beternak dan mencari kayu. Keuletan perempuan dalam menenun serentak
menandakan kekuatannya. Bahwasannya perempuan bukan pribadi lemah melainkan pribadi
tangguh yang dapat mengaktulisasikan diri secara baik sama seperti laki-laki. “Perempuan
tidak hanya tangguh dalam menenun. Merekalah yang terutama menjaga kelestarian tenun
ikat sebagai warisan leluhur,” pungkas penerima Indonesia Digital Women Award tahun 2013
tersebut.

Yang Alami

Ada yang menarik dari tenun ikat Lepo Lorun. Bahan-bahan pewarna kain berasal
dari alam yaitu kulit mengkudu, dadap serep, kunyit, kayu pohon hepang, dan kulit pohon
mangga. Penggunaan bahan alami ini lebih baik ketimbang bahan sintetis. “Kualitas
warnanya lebih cantik dibandingkan dengan pewarna toko (sintetis),” jelas Elisabeth Pagan
yang berdomisili di Tebuk.

Tak ayal, Lepo Lorun memiliki lahan khusus yang ditanami berbagai jenis pewarna
alam. Ada mengkudu, kesumba, pohon mangga, dadap serep dan indigo. Hampir semua
pewarna alami ada di sana. Selain itu, para pengunjung dapat melihat secara langsung
tanaman pewarna alami. “Ini membantu para wisatawan menambah wawasan tentang
pewarna alami,” ujar perempuan 63 tahun itu.

Selain bahan baku pewarnaan kain yang sumbernya dari alam, bahan dasar kain yakni
benang pun berasal dari alam. Benang dibentuk dari pohon kapas. Kapas yang telah siap
dipanen kemudian dikumpulkan dan diolah menjadi benang. Pertama-tama daging kapas
dipisahkan dari biji dengan alat bernama ngueng. Selanjutnya, daging kapas dipintal menjadi
benang menggunakan alat yang dinamakan jata. Sementara itu, dibuat pemidang pertama
untuk desain motif.

Ketika pemidang pertama telah siap, proses selanjutnya ialah pewarnaan. Proses ini
memakan waktu cukup lama karena bahan baku beserta benangnya yang sudah diikat mesti
difermentasi dan direndam selama beberapa hari. Benang yang sudah diwarnai dan dibuka
ikatannya kemudian dipisahkan lagi untuk dipindahkan ke pemidang kedua. Setelah itu,
dilakukan penyusunan motif di pemidang kedua. Lalu dilanjutkan proses penenunan hingga
menjadi sebuah kain yang utuh.

2
Motif Kaya Filosofi

Motif-motif kain tenun ikat Sikka bukan sekadar dibuat melainkan sarat akan makna.
Beberapa motif itu antara lain: bintang kejora, naga lalan dan kobar. Motif bintang kejora
menggambarkan seorang ibu yang mendidik anaknya untuk menjadi mandiri dan percaya
diri. Kelak sang anak dapat menjadi bintang yang menerangi dunia. Di sisi lain, motif naga
lalan berkisah tentang seekor hewan mitologi yaitu naga yang dipercaya pernah ada di Sikka.
Naga itu memiliki jejak. Jejak itulah yang dijadikan sebagai motif kain tenun ikat.
Selanjutnya, motif kobar. Kobar merupakan sebuah wadah yang terbuat dari anyaman daun
pandan berduri. Kobar digunakan untuk menaruh kain-kain tenun ikat zaman dulu.

Setiap kain tenun ikat memiliki motif yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan
pembuatan motif bergantung kepada penenun. “Penenun memiliki selera masing-masing.
Sehingga motifnya beragam,” kata Elisabeth Pagan. Bagi orang awam, motif-motif yang ada
cukup rumit. Namun, bagi para penenun, semua motif bisa dibuat dengan mudah. Adapun
motif-motif tenun ikat Sikka sudah diturun-temurunkan dari generasi ke generasi. Oleh
karena itu, para penenun tidak membuat motif yang baru sama sekali tetapi meneruskan motif
dari nenek moyang mereka. Menurut pendiri Lepo Lorun, Alfonsa Horeng, motif tenun ikat
Sikka sudah memiliki hak paten sehingga dilindungi oleh hukum. “Sudah ada 54 motif kain
tenun ikat Sikka yang masuk dalam Hak Hukum Indikasi Geografis. Itu artinya, orang tidak
bisa seenaknya mencuri motif kita,” imbuh perempuan yang pernah belajar tekstil dan
pewarnaan di Yogyakarta.

Lepo Lorun Mendunia

Keindahan Lepo Lorun telah menarik banyak wisatawan lokal maupun internasional
untuk berkunjung. Mereka ingin melihat secara dekat keindahan tenun ikat dan proses
penenunannya di Lepo Lorun. Makanya, hampir setiap hari Lepo Lorun selalu ramai
dikunjungi oleh para wisatawan. Selain melihat tenun ikat dan proses penenunannya, mereka
juga bisa melihat bahan baku dan pewarna alami untuk tenun ikat. Para wisatawan juga
dimanjakan dengan alunan musik tradisional gong waning serta tarian hegong yang
dipentaskan oleh anggota komunitas Lepo Lorun. Suguhan atraksi budaya ini sangat
menghibur.

Pesona Lepo Lorun tidak hanya dikenal di Indonesia. Berkat usaha Alfonsa Horeng,
Lepo Lorun dikenal di negara lain. Kurang lebih ada 35 negara yang sudah dikunjunginya.
Misinya ialah memperkenalkan tenun ikat sebagai kekayaan budaya Indonesia di mata dunia.

3
“Indonesia punya kekayaan budaya tenun ikat yang luar biasa dan tidak dimiliki oleh negara
lain. Makanya kita harus menjaganya,” tegas alumnus Fakultas Teknologi Pangan Pertanian
Universitas Katolik Widya Mandala itu.

BIODATA

Emilianus K. Jehamun atau biasa disapa Wawan lahir di Ruteng, Manggarai, NTT, 30
Juni 1998. Kini ia tengah melanjutkan studi Pasca Sarjana di IFTK Ledalero dan menjadi
calon imam Keuskupan Ruteng. Ia bergabung bersama Komunitas Sastra Teater Tanya
Ritapiret. FB dan IG: Wawan Jehamun. No. HP: 081224092230.

Anda mungkin juga menyukai