Anda di halaman 1dari 31

MENGENAL CORAK DAN MOTIF KAIN TRADISIONAL

DI INDONESIA

Diajukan guna memenuhi tugas sejarah busana yang diampu oleh

Dr. Marniati, S.E., M.M.

Disusun oleh :

Nabbillah Ayu Putri Reztanty ( 18050404035 )

S1 Pendidikan Tata Busana


Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga
Fakultas Teknik
Universitas Negeri Surabaya
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negera yang luas, membentang dari Sabang samapi


Merauke. Dengan berbagai wilayah dengan beragam suku bangsa yang satu sama
lain menjadi satu. Dengan keberagaman suku bangsa itulah, tercipta keragaman
budaya bangsa yang beragam diantaranya adat istiadat, pakaian, rumah, makanan
dan banyak lagi keragamanIndonesia termasuk keragaman kain tradisional yang
ada di negeri kaya ini.Jenis kain yang ada di Indonesia sangat banyak sekali
dengan ciri khas dan keunikan masingmasing yang mencerminkan budaya
bangsa. !rang awam mungkin hanya mengenal batik saja untuk jenis kain yang
ada di Indonesia. Ternyata apabila kita gali lagi keragaman kain di Indonesia,
batik hanya satu dari keanekaragaman kain yang ada di negeri ini.

Selain batik, terdapat pula jenis kain yang unik, indah bahkan lebih
bernilai estetika tinggi dari batik. Diantara jenisjenis kain di Indonesia selain
batik adalah kain "los, kain Songket, kain #urik, kain $ula dan banyak lagi yang
lainnya.Sealain dari jenis kain yang bermacammacam, untuk satu jenis kain
juga beraneka ragam moti% dan keunikan sesuai dengan daerah asalnya. Misalnya
untuk batik itu terdiri dari macammacam batik diantaranya batik cap $irebon,
batik #ampung, batik SoloJogja, batik Sogo &ipit, batik 'ali dan banyak lagi
batikbatik yang lainnya."ntuk lebih jelasnya mengenai keragaman kain
tradisional di Indonesia, di dalam makalah ini diulas tentang jenisjenis kain
tradisional di indonesia, sejarah, moti% sampai kepada tips cara perawatan kain
tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN

Mengenal corak dan motif kain tradisional di indonesia , berikut beberapa contoh
corak dan motif kain tradisional indonesia :

1. Ulos
Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang
melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya
atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat
batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” Ulos penghit ni halong,
yang ertinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih
sayang diantara sesama.
Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk menghangkan badan,
tetapi kini Ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dlam segala
aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, ertinya
mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda
tertentu.
Dalam pandangan suku kaum Batak, ada tiga unsur yang
mendasarkan dalam kehidupan manusia, iaitu darah, nafas, dan panas. Dua
unsur terdahulu adalah pemberian Tuhan, sedangkan unsur ketiga tidaklah
demikian. Panas yang diberikan matahari tidaklah cukup untuk menangkis
udara dingin dipemukiman suku bangsa batak, lebih-lebih lagi diwaktu
malam.Menurut pandangan suku bangsa batak, ada tiga sumber yang
memberi panas kepada manusia, iaitu matahari, api dan Ulos. Ulos
berfungsi memberi panas yang menyihatkan badan dan menyenangkan
fikiran sehingga kita gembira dibuatnya.
Motif/corak kain ulos diantaranya :
1 Ulos Ragidup
Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan.
Dinamakan demikian karena warna, lukisan serta coraknya memberi
kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah yang
tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas
tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah
yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa
ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di daerah-daerah yang
masih kental adat bataknya. Karena dalam upacara adat perkimpoian,
ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu
pengantin lelaki.
2 Ulos Ragihotang
Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi,
namun cara pembuatannya tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara
kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani jenazah atau untuk
membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya.
3 Ulos Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam
mabolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin perempuan
untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan adat
batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin perempuan
memberikan Ulos Bela yang berarti ulos menantu kepada pengantin
laki-laki.
Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-
hati dengan teman-teman satu marga, dan paham siapa yang harus
dihormati; memberi hormat kepada semua kerabat pihak istri dan
bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos ini juga
diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai tanda
penghormatan atas jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian
ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung, dan
dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa ia
telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang digunakan dalam upacara
adat adalah Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang
menggambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur. Motif ini
melambangkan harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul
kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis
dalam ulos tersebut.
2. Tapis
Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat
Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap
lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu
munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang
mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara
memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat. Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung
telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain
Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and
Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia
yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta
bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam
dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan
yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang
sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur
pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di
Indonesia. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga
memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru
tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya
komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat
memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim.
Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai
berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan
pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara
tahun 1500 1700.

Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi


seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-
ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan
seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan
alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain
kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya
keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam
perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan
Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang
umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku
Lampung yang beradat Pepadun.

Bahan kain tapis sendiri dibuat dari tenun benang kapas, kemudian
dihias dengan motif benang emas atau perak. Motif tapis juga cukup
beragam, diambil dari kekayaan alam seperti tumbuhan dan hewan. Motif
Arab, seperti ayat-ayat Al-Qur’an juga mulai memperkaya motif tapis
seiring berkembangnya agama Islam di Lampung.

Dalam upacara-upacara adat, kain tapis sering digunakan sebagai


identitas pemangku adat. Setiap pemangku adat memiliki motif atau corak
tapis tersendiri. Maka tidak heran jika motif kain tapis begitu beragam.
Namun dengan berjalannya waktu, penggunaan kain tapis bukan lagi
monopoli keluarga pemangku adat, namun sudah digunakan masyarakat
umum.
Kain tapis memiliki beragam jenis, diantaranya:

o Tapis pepadun, tapis peminggir, tapis liwa, tapis abung, dan lain-lain.

o Setiap jenis kain tapis tersebut memiliki motif yang berbeda-beda.


Misalnya, kalau kain tapis yang berasal dari daerah pesisir, seperti tapis
liwa memiliki motif yang cenderung lebih luwes dengan menonjolkan
motif flora.

o Sedangkan kain tapis pepadun dan tapis abung memiliki motif yang
lebih primitif dan cenderung lebih kaku.
Terdapat kemiripan kain tradisional antara satu daerah dengan daerah
lain di Sumatera. Perbedaannya dapat dilihat dari tekstur kain. Tekstur
terhalus dapat terlihat pada kain ulos. Kain songket sedikit lebih kasar.
Kemudian tekstur terkasar adalah kain tapis.

3. Poleng

Pohon-pohon yang berdiri kokoh di pinggir jalan, di sebuah


persimpangan, pura, atau di kuburan di Bali, banyak dihiasi lilitan kain
berwarna hitam putih berkotak-kotak seperti papan catur. Masyarakat Bali
menyebutnya sebagai saput poleng.

Poleng tersebut bermakna sama dengan dua warna atau lebih yang
dipadukan dalam satu benda. Namun ketika menyebutkan saput poleng,
maka secara otomatis pikiran masyarakat akan mengarah ke perpaduan
warna hitam dan putih.

Jika sudah terbalut kain poleng, maka secara otomatis masyarakat


Bali akan segan terhadap benda-benda tersebut. Misalnya pohon besar,
patung, atau palinggih tertentu. Sehingga pada umumnya ketika
diperhatikan secara seksama, secara umum akan ditemukan tumpukan
sesajen berupa canang pada pohon yang terbalut saput poleng. Apabila
sudah demikian, maka anggapan bahwa pohon tersebut angker, ada
penunggunya, dan anggapan lain yang dihubungkan dengan hal gaib akan
mengiringi. Sehingga tidak akan ada yang berani macam-macam terhadap
pohon tersebut. Jangankan untuk memotong dahannya, memetik daunnya
saja orang berpikir panjang.

Ketika ada orang asing yang bertanya tentang makna saput poleng
tersebut, bisa dipastikan bahwa akan timbul jawaban yang dihubungkan
dengan sesuatu yang mistis, sakral, atau niskala. Jika yang dibalut adalah
palinggih, arca atau patung di areal pura, maka jawaban yang berhubungan
dengan mistis, sakral, atau niskala tersebut tentu akan memuaskan.
Corak dan motif poleng ini hanya berupa kotak hitam putih .
Penyematan kain itu terhadap sesuatu itu adalah simbol. Jika sebuah
pohon atau patung dikenakan kain tersebut, kata Jero Mangku Widya, di
sana bersetana (bersemayam) zat yang menghitam-putihkan dunia ini.

"Kalau ada tugu pakai kain hitam putih kotak-kotak, berarti yang
bersetana di tugu itu adalah yang menghitam-putihkan areal pura tersebut,"
jelas dia. Namun sejatinya, Jero Mangku menambahkan, warna hitam
putih merupakan manifestasi keseimbangan alam jagat raya. "Rwa
Bhineda itu ada hitam ada putih, ada benar ada tidak benar, ada bersih ada
kotor. Intinya adalah keseimbangan alam," tutup Jero Mangku,
4. Jumputan
Seiring perkembangan jaman, teknik pembuatan batik jumputan
melahirkan istilah nama Tiedye. Dulu, banyak orang-orang mengira bahwa
Tiedye adalah teknik mewarnai yang diciptakan oleh kaum Hippies dari
Amerika, tepatnya sekitar tahun 1960an saat Amerika menentang perang
di Vietnam dan beberapa negara lainnya. Jika ditelusuri berdasarkan
sejarah negeri ini, teknik ini sudah berkembang sejak abad 10. Hal itu
dapat dibuktikan berdasar pada Prasasti Sima, dimana menunjukkan
perkembangan produk tekstil khas bermotif serupa Tiedye.
Teknik batik celup ikat semacam ini pada dasarnya dapat
diaplikasikan ke berbagai macam jenis bahan tekstil. Supaya hasil lebih
maksimal, digunakan Katun sebagai bahan dasar pembuatan. Seiring
perkembangan zaman, teknik celup ikat kian turut berkembang. Salah
satunya ialah perkembangan dari segi metode untuk menghasilkan efek-
efek lebih beragam. Misal dengan perbedaan cara melipat kain sebelum
mengikatnya. Semakin variatif cara melipat jumputan tentu akan
membuahkan pola hias hasil bermacam-macam.
Saat ini, sudah banyak desainer-desainer menjadikan Jumputan
sebagai objek percobaan mereka. Hasilnya, beragam model pakaian pun
tercipta mulai dari dress wanita, gamis muslimah, kaos, dan lain
sebagainya.
Motif, penggunaan, dan bahan pembuat batik jumputan
Proses pembuatan kerajinan ini tidak sesulit batik tulis atau kain
tenun yang memerlukan waktu lama. Pembuatan kain tersebut relatif
mudah. Cukup dengan mengikat kain kemudian mencelupkannya pada zat
warna. Selain itu, dapat pula ditampilkan tekstur motif berbagai material
seperti biji-bijian, batuan, hingga kayu.
Bahan yang digunakan biasanya berupa sutera dan katin.
Penggunaannya bisa sebagai selendang, angkin, atau pakaian daster, kaos
oblong, kebaya, sampai baju pesta. Motif yang tampak pada kain biasanya
memenuhi seluruh bahan. Biasanya dibuat sepasang, terdiri dari bagian
atas, bagian bawah, dan selendang. Umumnya pasangan tersebut memiliki
satu tema warna.

Ragam jenis kain jumputan berdasarkan coraknya

Kain batik ini dihasilkan dengan teknik ikat dan warnai (tie and
dye) untuk menghasilkan motif tertentu pada kain putih. Jumputan berasal
dari kata jumput; berkaitan dengan pembuatan kain yang ditarik atau
dijumput (bahasa Jawa). Motif kain tradisional ini terbatas hanya
digunakan pada upacara adat. Namun, saat ini jenis ini telah mengikuti
perkembangan zaman. Motifnya kini lebih bervariasi. Berikut beberapa di
antaranya:

 Jumputan. Dibuat dengan cara menarik kain putih kemudian diikat


tali. Tali yang digunakan tidak menyerap warna, seperti karet atau
rafia. Setelah bahan diikat, dicelupkan pada warna. Satu jam setelah
diikat, tali dilepas kemudian bahan dibilas dengan air.
 Pelangi. Jenis pelangi memiliki tata warna dan ragam hias bervariasi
seperti pelangi. Proses pembuatannya lebih rumit.
 Tritik. Tritik berasal dari kata tarik. Coraknya dibuat melalui
menjelujur kain, kemudian ditarik rapat hingga menjadi satu
gumpalan kain. Setelah diwarnai, benang dapat dicabut.
 Sasirangan. Corak bintang bahambur, awan bairing biasa digunakan
untuk bangsawan. Sementara itu, corak ombak sinapur karang dan
kangkung kaombakan digunakan untuk rakyat.
5. Tenun ulap doyo
Kain Ulap Doyo merupakan kain tenun asli suku Dayak Benuaq
yang terkenal sejak dahulu pada masa kerajaan kutai, kurang lebih
sebelum abad ke-17. Kain ini biasa digunakan dalam tari-tarian adat
ataupun digunakan dalam kehidupan sehari-hari Suku Dayak Benuaq.
Namun ada perbedaan warna kain, Kain Ulap Doyo yang digunakan
sehari-hari biasanya berwarna hitam, sedangkan Kain Ulap Doyo yang
digunakan dalam tarian adat bahkan upacara adat biasanya berwarna-
warni.

Pulau Kalimantan memiliki kekayaan budaya berupa berbagai jenis


tekstil tradisional yang menyimpan keunikan dan kekhasan tersendiri.
Salah satu produk tekstil tradisional tersebut adalah tenun ulap doyo. Kain
tenun ini menjadi semacam identitas bagi Suku Dayak Benuaq yang
mendiami sebagian wilayah Kalimantan Timur. Bahan baku, proses
pembuatan, dan motif yang spesifik dari tenun ini menjadi warisan budaya
tak ternilai dari masyarakat Dayak Benuaq.

Ulap doyo merupakan jenis tenun ikat berbahan serat daun doyo
(Curliglia latifolia). Daun ini berasal dari tanaman sejenis pandan yang
berserat kuat dan tumbuh secara liar di pedalaman Kalimantan, salah
satunya di wilayah Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat.
Agar dapat digunakan sebagai bahan baku tenun, daun ini harus
dikeringkan dan disayat mengikuti arah serat daun hingga menjadi serat
yang halus. Serat-serat ini kemudian dijalin dan dilinting hingga
membentuk benang kasar.

Benang daun doyo kemudian diberi warna menggunakan pewarna


alami dari tumbuhan. Warna yang umum ditemukan antara lain merah dan
cokelat. Warna merah berasal dari buah glinggam, kayu oter, dan buah
londo. Adapun warna cokelat diperoleh dari kayu uwar.

Tenun ulap doyo diduga telah ada sejak berabad-abad silam,


bahkan diduga usianya hampir sama dengan usia keberadaan Kerajaan
Hindu Kutai. Hal ini dikuatkan dengan temuan antropologi yang
menyebutkan ada korelasi antara motif pada tenun ulap doyo dengan strata
sosial dari kelompok masyarakat pemakainya.

Motif dalam kain ulap doyo terinspirasi flora dan fauna yang ada di
tepian Sungai Mahakam atau tema peperangan antara manusia dengan
naga. Motif yang terdapat pada kain pun menjadi identitas si pemakai.
Motif waniq ngelukng, misalnya, yang digunakan oleh masyarakat biasa,
sedangkan motif jaunt nguku digunakan kalangan bangsawan atau raja.
Pembedaan strata sosial ini mengindikasikan adanya sistem kasta yang
berlaku dalam masyarakat, seperti yang terdapat pada Hindu.

Proses pembuatan tenun ulap doyo diwariskan secara turun


temurun melalui suatu proses yang unik. Kaum wanita Dayak Benuaq
mulai menguasai proses pembuatan tenun ini sejak usia belasan tahun
secara spontan, tanpa melalui proses latihan. Mereka menguasai tehnik ini
hanya dengan melihat proses kerja para wanita yang lebih tua seperti ibu
dan sesepuh mereka secara berulang-ulang. Karena transfer keterampilan
yang berlangsung secara unik ini, hampir dipastikan sulit menemukan
orang yang menguasai tehnik tenun ulap doyo di luar Suku Dayak Benuaq.
6. Sarung bugis
Orang Melayu Minangkabau yang Memperkenalkan Kain Sarung
pada Suku Makassar-Bugis pada abad ke-16. Menjadi pertanyaan, sejak
kapan tradisi bersarung dari Suku-suku Makassar dan Bugis di Sulawesi
Selatan itu bermula? Sebab aslinya jenis penutup badan yang satu ini
bukanlah tradisi asli kaum masyarakat Sulsel aslinya. Hal ini ternyata
merupakan pengaruh dari Kaum Melayu Minangkabau, saat mereka
berada di perantauan Kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-16 Masehi dulu.
Syahdan, dikisahkan bahwa Baginda Raja Gowa, Karaeng
Bontolangkasa Tunijallo ri Pasukki (1565-1590) menerima sekelompok
pendatang dari wilayah Barat Musantara, yaitu orang-orang Melayu.
Kedatangan mereka untuk berniaga, karena kebiasaan mereka selain
berdagang (saudagar) juga menyebarkan agama ke seluruh penjuru
Nusantara. Mereka diterima dengan baik di Makassar, dan diberikan hak
untuk mengatur adat istiadat mereka sendiri.
Pernah terjadi, ada suatu clash budaya antara kaum pendatang Melayu
dan kaum asli Makassar-Bugis dalam soal adat istiadat dan pernikahan
campuran – sehingga hampir saja kedua tradisi melakukan peperangan.
Untungnya, pimpinan kaum Melayu, yaitu Datuk Maharaja Bonang,
melakukan permintaan maaf di hadapan sang Raja. Mereka lalu
memperbaharui traktat perjanjian untuk saling memahami kekhasan
budaya dan istiadat kedua suku bangsa di kemudian hari.
Kaum Melayu diberikan keleluasaan mengatur perdagangan di pasar-
pasar dan pelabuhan sesuai dengan keahlian yang mereka miliki.
Sementara kepada kaum Makassar-Bugis, Maharaja Bonang lalu
menghadiahkan kain-kain sarung sebagai tanda bahwa kedua suku bangsa
sejak itu bersaudara dan sehidup semati dalam menghadapi musuh dari
luar. “Maka kiranya paduka mengetahui, itulah ciri bahwa kaum Melayu
di mana saja baik lelaki maupun perempuannya mengenakan kain sarung
sebagai tanda mereka menjunjung tinggi adat dan budaya kaumnya sejak
dulu kala – kiranya Paduka dan seluruh warga kerajaan Paduka juga mau
mengenakan kain sejenis ini pula,” ujar Maharaja Bonang menjelaskan
semua pasal-pasal yang diinginkannya mengikat kesetaraan antara kaum
Melayu dan Makassar-Bugis hingga saat ini.

Dalam Kota Makassar itu hingga sekarang ada terdapat daerah


Kampung Melayu, yang dulu memiliki kepalanya sendiri yang diberi gelar
Ammatowa Kampung Melayu. Orang Melayu di Bandar Makassar
kebanyakan mengurusi pelabuhan, bahkan ada yang menjadi syahbandar
dan masuk jajaran menteri di Istana Gowa-Tallo. Mereka khas masih
menggunakan titel Ince dalan nama mereka, yang mengartikan asal-usul
Melayu mereka. Misalnya Ince Noordin, Ince Abdullah dsb.
Demikianlah, mulai abad ke-16 kita mengenal bahwa kaum Suku
Makassar dan Bugis sudah mulai mengenakan kain sarung tersebut.
Bahkan diwajibkan oleh penguasa kepada semua warga Kerajaan Gowa
dan Tallo untuk bisa menenun kain sarung dengan bahan dari sutera,
sehingga membuat kerajinan dan dapat diperjual-belikan melintasi pulau.
Sejak saat itu di seluruh pedesaan di Jazirah Sulawaesi Selatan
berkembang tradisi menenun kain sarung dari sutera yang melegenda
hingga kini itu.

Motif sarung sutera Bugis ini terdiri dari bermacam-macam model


loh. Setiap model pun memiliki filosofi dan maknanya masing-masing.
Beberapa motif atau corak Sarung Sutera Bugis ini adalah Motif Balo
Lobang, Motif Tettong dan Motif Makkalu, Motif Bombang, Motif Cobo',
juga Motif Moppang. Perlu ditekankan ya kalau di sini kain sarungnya
tidak seperti kain sarung di pasaran yang sangat identik dengan pola
kotak-kotak dan warna dominasi cokelat.

Lalu apa filosofi dan makna setiap motif kain sarung ini? Pada sarung
dengan motif Balo Lobang, sarung dengan corak kombinasi garis berbeda
ketebalan ini dikhususkan penggunaannya untuk laki-laki yang belum
menikah. Jadi bisa dikatakan ini adalah identitas bagi pria lajang. Biasanya
warna yang digunakan seputar warna merah baik itu merah menyala atua
merah keemasan. Untuk sarung bermotif Tettong dan Makkalu, coraknya
berupa permainan kombinasi garis dan kombinasi peletakan garis (tegak
dan melintang, melintang dan melingkar).

Berbeda pada sarung dengan motif Bombang (ombak), kain ini


memiliki corak seperti bentuk ombak namun sebenarnya merupakan motif
segitiga sama sisi yang diletakkan bersebelahan dan saling menyambung.
Serupa dengan Motif Bombang, kain sarung dengan motif Cobo' memiliki
bentuk segitiga dengan bentuk segitiga yang lebih ramping. Dalam
keseharian masyarakat Bugis, kain sarung dengan motif Cobo' banyak
digunakan oleh mereka yang sedang masa pendekatan (pacaran) hingga
pada proses melamar.
Beralih ke motif yang paling tua bahkan bisa dikatakan sudah punah,
Motif Moppang adalah salah satu motif pada kain sarung khas Bugis yang
tidak bisa sembarangan digunakan. Sampai saat ini, motif satu ini paling
sulit ditemui. Kain sarung dengan motif ini dulunya merupakan sebuah
sarung yang diperuntukkan bagi suami-istri untuk melakukan hubungan
intim. Jadi, sarung bermotif Moppang ini memiliki filosofi tersendiri
sebagai selimut pasangan suami-istri yang melakukan persenggamaan.

Berdasarkan banyaknya motif dengan filosofi dan manfaatnya


masing-masing, tidak heran jika kain ini digadang-gadang sebagai salah
satu kain sarung terbaik dibandingkan sarung tenun lainnya. Pembuatan
sarung tenun Bugis ini bukan sekadar soal memenuhi tuntutan tren atau
makna tersendiri dari setiap motifnya, tetapi juga memiliki makna
tersendiri terhadap penggunanya.

Inilah informasi yang bisa kami himpun dan sajikan kepada Anda
terkait Sarung Tenun Bugis sebagai salah satu budaya bangsa kita yang
memiliki filosofi dan makna dalam. Semoga informasi ini dapat
memberikan pengetahuan baru bagi Anda tentang hasil budaya Indonesia
khususnya Sarung Tenun Bugis.

7. Songket palembang (sumatera selatan)

Menurut sejarah, keberadaan tradisi kain songket awalnya muncul


pada masa Kerajaan Sriwijaya di Palembang pada abad ke-7 hingga abad
ke-13. Menurut hikayat rakyat Palembang yang juga dikisahkan secara
turun-temurun, awal mula kain songket berasal dari pedagang Cina yang
membawa sutra, pedagang India dan timur tengah membawa emas,
kemudian jadilah kain songket yang berlapis emas di tangan orang
Palembang. Keberadaan tradisi kain songket di Indonesia juga kerap
dikaitkan dengan kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di
Palembang.
Pembuatan songket Palembang menggunakan bahan baku benang
sutera asli, yang sebelum diberi lapisan emas masih berwarna putih.
Benang tersebut kemudian di masukkan dan didesain ke dalam alat
penenun yang biasa disebut dengan dayan. Semua bagian dayan, yaitu
cagak dan beliro mempunyai fungsinya masing-masing untuk menarik
benang, untuk kemudian diganti oleh benang yang lain. Begitu seterusnya
hingga benang-benang yang ada menjadi satu kesatuan membentuk motif
pada kain songket. Motif yang digunakn berupa, motif tumbuh tumbuhan,
motif binatang, motif alam atau benda, motif kuih.

Satu hal yang menarik, Zainal Songket kerap memproduksi kain


dengan menggunakan benang jantung, yaitu benang berbalut emas dari
kain songket berumur tua yang direproduksi. Selain indah tentunya, harga
kain songket berbahan baku daun jantung mempunyai harga jual hingga
ratusan juta rupiah.

8. Sasirangan

Sasirangan merupakan kain adat yang biasanya dipakai untuk acara


adat khas suku Banjar. Kata sasirangan sendiri berasal dari kata
“manyirang” yang memiliki arti menjelujur.

Mengapa diberi nama manyirang atau menjelujur? Karena proses


pengerjaan kain ini dilakukan dengan cara menjelujur yang kemudian
diikat dengan tali lalu dicelup ke dalam pewarna. Hingga sekarang, kain
sasirangan masih dikerjakan secara manual dan tradisional. Tercatat dalam
sejarah, kain sasirangan merupakan kain sakral yang diwariskan sejak
abad ke-12 ketika Raja Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa.

Pada mulanya, sasirangan masih masih dikenal untuk kain


“batatamba” atau proses penyembuhan orang yang mengidap suatu
penyakit sehingga saat itu kain sasirangan masih harus dipesan terlebih
dahulu (pamintaan) sesuai dengan kehendak pemesannya.

Oleh sebab itulah, orang-orang suku Banjar sering menyebut kain


sasirangan sebagai kain pamintaan atau permintaan. Selain untuk
penyembuhan orang sakit, kain sasirangan juga merupakan kain yang
dianggap sakral dan biasa dipakai dalam upacara adat Banjar.
Sasirangan adalah kain adat suku Banjar di Kalimantan Selatan, kain yang
didapat dari proses pewarnaan rintang dengan menggunakan bahan
perintang seperti tali, benang atau sejenisnya menurut corak-corak
tertentu..

Beberapa motif sasirangan sebagai berikut :


1. Motif lajur merupakan bentk motif yang dirangkai memanjang. Contoh
hiris pudak, kangkung kaumbakan,kulat karikitm gigi haruan, dll

2.Motif ceplok adalah bentuk motif yang biasanya tampil sendiri sendiri
contohnya hiris gagatas, tampuk manggis, pucuk rabung. kambang malati,
dsb.

3. Motif variasi adalah motif penghias untuk menambah suatu penampilan.


Contohnya pinggiran motif hiris gagatas yang diberi hiasan tambahan agar
lebih cantik.
Motif sasaringan tradisional :
a. Kulat karikit, Gigi Haruan, Iris Pudak, & Ular Lidi

Motif Batik Sasirangan Kulat Karikit


adalah tumbuhan jenis cendawan yang
hidup menempel pada batang atau dahan
pohon, jadi termasuk tumbuhan yang
menumpang, tetapi tidak merugikan
tumbuhan yang ditumpangi seperti
halnya parasit benalu.Kulat karikit hidup
mandiri, cari makan sendiri.Sehingga
dapat dimaknai hidup mandiri, tahan
menderita.Bentuk gambarnya mirip
dengan motif gigi haruan, tetapi lebih
kecil dan juga biasanya tersusun secara
vertical.

Motif Batik Sasirangan yang bernama


motif “Gigi Haruan” ini diambil dari nama ikan Haruan atau ikan gabus,
salah satu ikan makanan favorit orang banjar. Ikan ini yang biasanya
berwarna hitam dan memiliki gigi-gigi yang runcing dan tajam.Sehingga
gigi ikan haruan inilah diambil sebagai salah satu motif batik sasirangan
yang bermakna “ketajaman berpikir”..

Motif Batik Sasirangan Hiris Pudak adalah sebuah tanaman sebutan


orang banjar, yang biasa kita kenal dengan tanaman pandan.Tanaman
pandan ini sering ditanam di pekarangan rumah, karena sering digunakan
sebagai pengharum ketika memasak nasi.Akan tetapi tanaman pandan di
daerah Banjarmasin airnya banyak dimanfaatkan orang sebagai pewarna
kue. Juga sebagai campuran bunga rampai (bunga khas banjar) yang
biasanya digunakan ketika melakukan acara adat banjar seperti acara
perkawinan ataupun acara-acara lain.

Motif Batik Sasirangan Ular lidi dalam salah satu dongeng orang Banjar
dianggap sebagai simbol kecerdikan kerena ular lidi yang kecil itu gagah
dan cerdik namun berbisa.Bentuk gambarnya mirip hiris pudak, tetapi
berganda dua dan tidak patah-patah, tetapi melengkung dengan garis
vertikal dan bervariasi.

b. Daun Jaruju, & Tampuk Manggis

Motif Batik Sasirangan Motif Daun Jaruju bermakna sebagai penolak


bala.Karena jenis daun Jaruju ini berduri, sehingga sering dimanfaatkan
sebagai pengusir tikus. Biasanya orang –orang dahulu meletakkan daun
jaruju ini di sudut rumah agar tikus tidak bisa masuk ke rumah.

Motif Batik Sasirangan Tampuk Manggis diambil dari filosofi buah


manggis yaitu kejujuran, karena setiap jumlah isi buah manggis pasti
selalu sama dengan apa yang ditampilkan tampuk buah manggis tersebut.

c.Hiris Gagatas& Kambang Sasaki


Motif Batik Sasirangan Gagatas disebut juga rincung gagatas yang
artinya bungas (cantik), tidak akan bosan apabila dipandang. Pada
umumnya kue khas Banjar dipotong beberapa bagian dalam bentuk
Gagatas ini.
Motif Batik Sasirangan Kambang Sakaki yang bermakna sekuntum
bunga yang melambangkan keindahkan yang banyak dipergunakan
sebagai ornamen khas Banjar, seperti ukiran arsitektur rumah adat Banjar.

d. Bintang Sudut Ampat, Bintang Sudut Lima, Bintang Sudut Tujuh,


Gugusan bintang & Bintang Bahambur

Motif Batik Sasirangan Bintang bermakna bahwa bintang adalah salah


satu tanda kebesaran Yang Maha Kuasa, kita sebagai manusia tak akan
sanggup untuk dapat menghitung berapa sesungguhnyajumlah bintang
yang ada di alam semesta ini.

e. Kambang Kacang & Bayam Raja

Motif Batik Sasirangan Kambang Kacang mengartikan “simbol


keakraban”. Hal ini disebabkan karena kambang kacang ini sejenis
tanaman yang buahnya selalu digemari oleh semua orang banjar, biasanya
dicampur dengan sayuran lain seperti labu dan kacang hijau. Sehingga
sayuran ini sangat akrab dengan dapur.
Motif Batik Sasirangan Bayam Raja adalah atribut seseorang yang
dihormati dan bermatabat.Karenanya motif ini mengandung makna leluhur
yang bermartabat dan dihormati.
Bentuknya dengan garis-garis yang melengkung patah-patah, biasanya
tersusun secara vertikal menjadi garis pembatas dengan motif-motif lain,
sehingga bayam raja banyak dalam kain sasiranga.

f.  Ramak Sahang, Daun Katu, & Gelombang

Motif Batik Sasirangan Ramak Sahang adalah salah satu jenis rempah
rempah yang biasa kita kenal merica.Sedangkan ramak (bahasa Banjar)
artinya hancur, jadi ramak sahang artinya merica hancur.

Motif Batik Sasirangan Daun Katu memiliki manfaat selain digunakan


sebagai sayuran bisa juga di manfaatkan oleh ibu-ibu yang lagi menyusui
anak, karena manfaat apabila mengkonsumsi sayuran ini dapat
melancarkan air susu ibu (ASI). Sehingga daun katu juga dijadikan sebagai
salah satu motif sasirangan.

Motif Batik Sasirangan Galombang bermakna mengarungi gelombang


kehidupan manusia.Seperti filosofi “roda yang berputar” kadang keadaan
kehidupan seseorang berada pada posisi dibawah, atau bahkan
kebalikannya.

g. Kangkung kaumbakan & Ombak Sinampur Karang


Motif Batik Sasirangan Kangkung Kaumbakan artinya adalah
kangkung yang terkena ombak, maksudnya adalah tanaman kangkung
yang hidup menjalar di air apabila airnya bergelombang atau ombak air,
batang kangkung tidak putus.Sehingga bermakna tahan cobaan atau ujian.

Motif Batik Sasirangan Sinampur Karang artinya ombak yang


menerjang karang, ombak ini bisa dikiaskan sebagai gelombang
perjuangan dalam hidup mmanusia.

h.Turun Dayang

Motif Batik Sasirangan Turun Dayang tidak jauh berbeda dengan dara
manginang, maka motif turun dayang ini juga sering berkomposisi yang
abstrak atau tidak jelas.Tetapi turun dayang bisa dengan tata tiga warna
utama, yaitu merah, kuning dan hijau.

i.Mayang Maurai & Naga Balimbur


Motif Batik Sasirangan Mayang Maurai artinya mayang terurai,
mayang ini biasanya dipakai ketika melakukan acara mandi-mandi (tradisi
adat Banjar) yang biasanya dilakukan sehari sebelum pengantin
disandingkan.Atau juga bisa dilakukan acara mandi 7 bulanan pada saat
seorang wanita yang hamil 7 bulan.

j. Dara Manginang

Motif Batik Sasirangan Dara manginang atau dengan istilah Banjar


“Galuh Manginang” adalah seorang gadis Banjar dahulu yang baru makan
sirih, sehingga air liurnya yang merah karena gambir sampai meleleh
keluar bibir. Motif ini biasanya lebih dominan berwarna merah menyala.

9. Lurik

Kain lurik merupakan kain tenun yang memiliki motif garis-garis


searah panjang kain. Kata lurik diambil dari bahasa jawa “lorek” yang
berarti lajur atau garis dan dapat pula berarti corak. Kain lurik sendiri
memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi terutama di wilayah Yogyakarta
dan Jawa tengah Kain tradisional ini diperkirakan ada sejak jaman
kerajaan Mataram yang dibuktikan dengan adanya prasasti yang
mengenakan kain lurik.
Pada dasarnya lurik memiliki 3 motif dasar, yaitu:
1. motif lajuran dengan corak garis-garis panjang searah sehelai kain
2. motif pakan malang yang memiliki garis-garis searah lebar kain,
3. motif cacahan adalah lurik dengan corak kecil-kecil.

Kain lurik adalah kain dengan motif bergaris-garis kecil yang secara


tradisional menjadi pakaian khas warga pria pedesaan di kalangan suku
bangsa Jawa. Lurik berbahan dasar katun kasar sehingga menjadi kain
bahan baju yang relatif murah dan terjangkau untuk masyarakat miskin.
Lurik adalah bahan dasar untuk pembuatan surjan.
Dalam perkembangan modern, lurik sekarang mendapat sentuhan
warna-warna baru sehingga dapat pula dipakai sebagai bahan kemeja atau
sebagai komponen estetika pada rompi atau jas.
Motif dan Corak Kain Lurik :
Corak Kluwung
Corak kluwung adalah pelangi. Pelangi merupakan keajaiban
alam serta tanda kebesaran Tuhan Sang Pencipta. Oleh sebab itu lurik
Kluwung dianggap sakral serta mempunyai tuah untuk tolak bala.
Secara simbolis corak Kluwung dilukiskan dengan garis-garis lebar
beraneka warna bagaikan pelangi. Corak ini digunakan untuk berbagai
upacara sakral dalam daur kehidupan manusia, antara lain:
         Mitoni
Digunakan dalam upacara dengan harapan anak yang dikandung
terlahir selamat dan terhindar dari bala maut
         Upacara labuhan
Upacara labuhan dilakukan kerabat keraton yang mempunyai harapan
untuk memperoleh keselamatan
         Upacara pernikahan
Lurik biasanya diletakan dibawah bantal penganten dengan harapan
kedua mempelai mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam
berumah tangga seperti pesona warna pelangi.
Corak Tuluh Watu
Tuluh Watu berarti batu yang bersinar dan dianggap bertuah
sebagai penolak bala. Corak ini dapat dipergunakan pada upacara
ruwatan sukerta dan sebagai pelengkap sesajen upacara labuhan.
Tuluh dapat berarti pula kuat atau perkasa. Corak Tuluh Watu
termasuk sakral yang dahulu hanya boleh dipakai oleh orang tertentu
yang berkepribadian kuat dan berbudi luhur. Di pedesaan kaum wanita
pedagang memakai corak ini sebagai selendang untuk membawa
barang dalam tugas sehari-hari karena dipercaya mempunyai kekuatan
selain kekuatan tenunnya yang kuat
Corak Tumbar Pecah
Corak Tumbar Pecah diibaratkan orang memecah ketumbar dan
seharum aroma ketumbar. Corak ini digunakan untuk upacara
tingkeban atau mitoni dengan maksud agar kelahiran berjalan dengan
lancar semudah orang memecah ketumbar, ibu dan anak dalam
keadaan selamat serta anak menjadi anak yang berguna dan harum
namanya. Untuk upacara mitoni biasanya dililitkan stagen bangun
tolak sebagai pengikat kain panjang dan kemben pada perut ibu yang
hamil sebagai penolak bala.
Corak Telupat
Corak Telupat  berasal dari bahasa Jawa, telu artinya 3 dan papat
artinya 4 adalah corak lajuran yang berjumlah 7 terdiri dari satu satuan
kelompok dengan empat lajur dan satu lagi dengan jumlah tiga lajur.
Angka 7 merupakan angka keramat yang dalam kepercayaan Jawa
melambangkan kehidupan dan kemakmuran yang artinya merupakan
Pitulung (pertolongan) dari Yang Maha Kuasa
Corak Sapit Urang
Corak Sapit Urang yang berarti jepit udang adalah ungkapan
simbolis suatu siasat perang, yaitu musuh dikelilingi atau dikepung
dari samping dan kekuatan, komando menyerang berada ditengah-
tengah. Corak ini dipakai sebagai busana Prajurit Kraton.
Corak Udan Liris
Corak Udan Liris artinya hujan gerimis. Hujan mengandung
konootasi mendatangkan kesuburan, maka coak ini melambangkan
kesuburan dan kesejahteraanSelain corak tersebut masih ada beberapa
corak yaitu, corak Mantri Anom, corak Prajurit Ketanggung, corak
prajurit Mantri Jeron. Semua corak ini yang biasa dipakai untuk
pakaian Surjan para prajurit Kraton Yogyakarta dalam tugas sehari-
hari di Kraton.

10. Kain gringsing


Kain gringsing adalah kain tenun tradisional Indonesia yang
berasal dari desa Tenganan Kabupaten Karangasem Bali menggunakan
teknik ikat ganda (dobel ikat) dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Teknik
ini memiliki kerumitan lebih dibanding tenun ikat tunggal biasa, dimana
motif kain sudah direncanakan sejak pembuatan warna pada benangnya.
Dalam teknik ikat ganda dikenal 2 macam benang, benang vertikal disebut
Lusi dan horizontal disebut Pakan. Kedua benang tersebut, vertikal dan
horizontal, warna seutas benangnya berbeda-beda, dan harus ditenun agar
dapat terbentuk motif yang sudah direncanakan.
Kain Gringsing aslinya berasal dari Desa Tenganan Kabupaten
Karangasem Bali dekat dengan objek wisata Candi Dasa. Desa Tenganan
sendiri merupakan desa kuno di bali dan terkenal dengan tradisi perang
pandannya. Umumnya, masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing
berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara khusus. Kata
gringsing berasal dari gring yang berarti ‘sakit’ dan sing yang berarti
‘tidak’, sehingga bila digabungkan menjadi ‘tidak sakit’. Maksud yang
terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali,
berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara
keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain
gringsing.
Kain Gringsing telah menjadi incaran para kolektor kain di seluruh
dunia. Yang unik dari kain ini, semakin tua kain tersebut, warna-warnanya
semakin keluar dan bagus.Tidak seperti kain pada umumnya yang semakin
memudar warnanya. Untuk menghasilkan warna yang lebih bagus lagi,
pencuciannya pun unik, cukup dikasih air hujan, lebih lama lebih baik.
Kandungan dalam air hujan dapat mengeluarkan warna pada kain
Gringsing dibanding air tawar biasa.
Motif dan corak :

Kain gringsing umumnya memiliki motif yang terinspirasi dari


flora dan fauna. Sementara untuk warna hanya ada tiga warna yang disebut
tridatu, yaitu warna merah, kuning dan hitam. Ketiga warna tersebut
berasal dari campuran bahan-bahan alami.

Seperti campuran kelopak pohon Kepundung putih (Baccaurea


racemosa) yang dicampur dengan kulit akar mengkudu (Morinda
citrifolia) sebagai warna merah. Sedangkan warna merah berasal dari
minyak buah kemiri berusia tua yang dicampur dengan air serbuk/abu
kayu. Untuk warna hitam, diambil dari pohon Taum.

11. Kain basurek


Batik Besurek adalah batik khas Bengkulu yang bermotif kaligrafi
Arab. Pada umumnya, batik ini berciri khas kaligrafi dengan
perpaduan rafflesia sebagai motifnya yang merupakan simbol khas
Bengkulu.

Motif dan Corak Batik Besurek:

 Motif kaligrafi merupakan motif yang diambil dari huruf-huruf


kaligrafi. Batik Besurek untuk upacara adat bertuliskan huruf Arab
yang bisa dibaca dan memiliki makna, namun sebagian besar hanya
berupa hiasan mirip huruf Arab yang tidak memiliki makna yang
jelas.
 Motif rafflesia merupakan motif bergambar padma raksasa khas
bengkulu. Motif ini sebagai motif utama kain besurek setelah
kaligrafi.
 Motif burung kuau merupakan kain besurek
bergambar burung kuau yang berupa rangkaian huruf-huruf
kaligrafi.
 Motif relung kaku adalah motif Batik Besurek dengan bentuk
meliuk-liuk seperti tumbuhan paku.
 Motif rembulan adalah motif yang dibuat perpaduan antara
gambar bulan dengan motif kaligrafi.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dapat saya simpulkan bahwa indonesia mempunyai banyak ragam seperti


hal nya kain yang mempunyai jenis dan ciri khas sendiri sendiri . Juga corak dan
motif banyak sekali jenis dan macam macamnya yang tentunya indah dan
mempunyai filosofi atau makna masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

http://library.binus.ac.id/eColls/eArticle/Content/Kajian%20Visual
%20Keragaman%20Corak%20Pada%20Kain%20Ulos.pdf

https://sudar4news.wordpress.com/2008/02/19/sejarah-kain-tapis-lampung/
https://ekspresiandi.wordpress.com/2013/07/26/kain-tapis-lampung/

https://www.liputan6.com/regional/read/2441370/makna-kain-kotak-kotak-hitam-
putih-bali

https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/08/06/5927/poleng-motif-sakral-dan
estetika-yang-kini-jadi-tren
https://qlapa.com/blog/informasi-lengkap-seputar-batik-jumputan

https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/ulap-doyo-nilai-kearifan-
lokal-dalam-tenun-warisan-dayak-benuaq
https://www.sarungbhs.co.id/post/article/filosofi-sarung-tenun-khas-bugis

https://www.kompasiana.com/suryadinlaoddang/5500ba86813311dd17fa7c5d/sar
ung-sutera-bugis-bagian-i

https://www.scribd.com/doc/282055761/Makalah-Kain-Tradisional-Isi

Anda mungkin juga menyukai