merupakan salah satu pakaian adat yang memiliki keunikan dan ciri khas dari pakaian adat lainnya.
Pakaian adat memberikan kekayaan budaya bagi bangsa Indonesia yang memang memiliki beragam
suku dan agama. Dari sabang hingga merauke terdapat banyak pulau, suku, dan juga budaya. Masing-
masing suku dan budaya memiliki ciri khas masing-masing.
Berbagai jenis suku dan budaya memiliki keunggulan dan keunikan masing-masing dan memberikan
corak kepada bangsa Indonesia. Adanya perbedaan suku dan budaya menjadi salah satu sarana
pembelajaran yang baik. Untuk saling mengenal suku satu sama lain dan juga untuk memperkaya
pengetahuan.
Setiap kebudayaan yang lahir di Indonesia memiliki makna yang terkandung. Hal tersebut merupakan
salah satu nilai luhur bangsa yang akan tetap dipertahankan oleh generasi muda. Makna yang
terkandung dalam suatu kebudayaan dapat juga ditemukan pakaian adat tiap daerah. Pakaian adat
merupakan salah satu simbol identitas bagi suatu suku. Pakaian adat menjadi simbol yang paling
mudah untuk dikenali dalam membedakan antara satu suku dengan suku lainnya. Salah satu pakaian
adat Indonesia yang memiliki keistimewaan ialah pakaian adat suku Batak.
Batak Toba.
Batak Mandailing.
Batak Karo.
Batak Simalungun.
Suku batak toba merupakan salah satu dari sekian suku batak yang ada di Indonesia. Suku Batak Toba
mendiami Pulau Toba di Provinsi Sumatera Utara. Seiring dengan banyaknya suku di Sumatera Utara,
untuk memberikan identias tersendiri, maka suku Toba memiliki pakaian adat mereka. Pakaian adat
batak toba terbaru memiliki ciri khas yang berbeda dengan suku lainnya.
Warna yang cerah serta corak geometris yang indah membuat pakaian adat ini mudah dikenali. Tak
hanya corak, motif, dan warna, cara pemakaian baju adat toba ini juga sangat unik. Cara pemakaiannya
tidak sama dengan baju adat daerah lain yang berupa atasan dan bawahan. Baju adat suku batak toba ini
meupakan lilitan kain, baik untuk atasan dan bawahan. Kain terssebut juga sama baik pria atau wanita.
Yang membedakannnya ialah cara pemakaian.
Suku Batak Toba tidak hanya memiliki satu jenis pakaian adat, namun ada beberapa jenis pakaian.
Selain untuk pria dan wanita, ada pula baju adat batak toba anak. Mereka memakai baju adat yang
berbeda untuk setiap kegiatan / upacara adat yang dilakukan. Secara keseluruhan, pakaian adat sehari-
hari suku batak Toba ialah kain ulos. Tak hanya itu, kain ulos menjadi ikon pakaian adat Sumatera
Utara secara Nasional. Salah satu pakaian adat Toba ialah yang pernah dikenakan oleh Presiden RI
Joko Widodo.
Baju adat Batak Toba untuk wanita hanya kain ulos dengan ikat kepala. Sedangkan bagi kaum pria,
merek wajib menggunakan tutup kepala seperti topi dengan ujung lancip ke atas. Hanya pria yang
menggunakan tutup kepala. Penggunaan tutup kepala memiliki makna pakaian adat batak toba. Hal
tersebut menandakan bahwa pria sebagai pemimpin para wanita.
Pakaian adat suku Batak Toba merupakan kain tenun atau yang dikenal dengan nama Ulos. Kain ulos
sendiri merupakan kain yang sering sekali dijadikan ciri khas suku Batak. Bahkan, ulos sudah menjadi
identitas dari pakaian adat Sumatera Utara tingkat nasional.
Kain ulos dibuat dengan cara ditenun secara manual menggunakan alat tradisional dan benang sutra.
Warna benang yang digunakan biasanya hitam, putih, perak, merah dan emas.
Pakaian adat ini tidak hanya digunakan di upacara adat saja melainkan juga dalam kehidupan sehari –
hari. Ulos yang digunakan oleh laki-laki disebut hande-hande untuk bagian atas. Dan singkot untuk
bagian bawahnya. Sedangkan untuk bagian kepala disebut bulang-bulang, detat atau tali-tali.
Macam-Macam Kain Ulos
Terdapat berbagai macam jenis kain ulos dengan corak dan motif yang menarik, antara lain : Kain ulos
antakantak, Kain ulos bintang maratur, Kain ulos bolean, Kain ulos mangiring, Kain ulos padang ursa,
Kain ulos pinan lobu-lobu dan Kain ulis pinuncaan.
Dari setiap jenis ulos memiliki filosofi yang berbeda. Pada acara adat, biasanya orang
Batak.menggunakan ulos dan menjadikannya selendang. Ulos yang digunakan biasanya ukia
ragihotang, sadum, jugjaragidup dan runjat.
Berbicara tentang Ulos dan Fungsinya dalam pakaian Adat, Ulos bisa merankan berbagai fungsi
sandang, sebagai selendang, sarung, penutup kepala, dan lain sebagainya. Hari ini, Ulos masih lestari di
lingkungan masyarakat Sumatera Utara. Ulos telah dengan mulus berakulturasi dengan berbagai jenis
sandang modern, seperti kemeja dan jas.
Ulos dianggap sebagai peninggalan leluhur orang Batak, yang merupakan bangsa yang hidup di
dataran-dataran tinggi pegunugan. Dengan maksud tetap menjaga tubuh tetap hangat, kain Ulos mereka
kenakan untuk menghalau dingin selama mereka berladang dan beraktivitas lainnya.
Konon, dari tradisi ini juga lahirnya uangkapan bahwa, bagi leluhur orang Batak, ada tiga sumber yang
memberi kehangatan pada manusia, yakni matahari, api dan Ulos. Jika sumber panas matahari dan api
terbatas oleh ruang dan waktu, maka tidak demikian dengan Ulos, yang bisa memberi kehangatan
kapanpun dan dimanapun.
Ulos penutup kepala pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan sebutanSorotali. Sortali itu sendiri
adalah ikat kepala yang fungsinya seperti mahkota. Biasanya dibuat dari bahan tembaga yang disepuh
dengan emas, lalu dibungkus dengan kani merah. Sortali ini digunakan pada pesta-pesta besar. Sortali
digunakan laki-laki dan perempuan. Akan tetapi sama seperti ulos, penggunaan sortali tidak
sembarangan dan memiliki aturan sendiri.
Masyarakat Batak Toba mengenal setidaknya 24 jenis Ulos, yakni: 1) Pinunsaan, 2) Ragi idup, 3) Ragi
hotang, 4) Ragi pakko, 5) Ragi uluan, 6) Ragi angkola, 7) Sibolang pamontari, 8) Sitolu tuho nagok, 9)
Sitolu tuho bolean, 10) Suri-suri na gok, 11) Sirara, 12) Bintang maratur punsa, 13) Ragi huting, 14)
Suri-suri parompa, 15) Sitolu tuho najempek, 16) Bintang maratur, 17) Ranta-ranta, 18) Sadun toba,
19) Simarpusoran, 20) Mangiring, 21) Ulutorus salendang, 22) Sibolang resta salendang, 23) Ulos
pinarsisi, dan 24) Ulos tutur pinggir.
Pakaian Tradisional Melayu
Dengan demikian, kelompok etnis Melayu di Indonesia mendiami kawasan yang terentang dari
Temiang di sebelah selatan Aceh, beberapa bagian Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan
Kalimantan Barat. Beberapa pakar bahkan membuat ke- luasan yang lebih dari itu. Apalagi jika dasar
ukurannya ialah bahasa, maka keluasan itu akan mencapai Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan
Maluku. Kawasan inilah yang dinyatakan oleh peneliti ilmu-ilmu sosial sebagai kawasan kebudayaan
pesisir yang ciri khas utamanya ialah kepercayaan dan lembaga Islam serta orientasi ke arah aktivitas
pasar. (Geertz, 1981:43).
Persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam lingkungan yang disebut daerah tempat tinggal orang
Melayu meliputi semua aspek kehidupan dari bahasa sampai ke gastronomi, juga pakaian. Seyogya-nya
setiap persamaan dipandang sebagai faktor dasar pengikat dan landasan identitas, sedangkan setiap
perbedaan sebagai variasi yang bersifat memperkaya. Persamaan membina sosok yang tunggal,
sedangkan kemajemukan semestinya dibiarkan terus berkembang.
2. Keindahan Melayu
Salah satu karya sastra Melayu lama ada menggambarkan tentang apa yang disebut cantik sebagai
berikut ini.
“Setelah Dewa Mandu mendengar kata Puteri Lela Ratna Kumala demikian itu maka baginda pun
tersenyum seraya membaca suatu isim Allah, lalu ditiupnya kepala Gajah putih itu tiga kali. Maka
dirasai oleh Tuan Puteri itu sejuklah segala anggotanya, seketika ia pun kembalilah seperti sediakala
menjadi manusia. Setelah dilihat oleh Dewa Mandu akan rupa Tuan Puteri itu maka ia pun pingsanlah
seketika. Lalu Tuan Puteri itu pun meniup kepala Dewa Mandu. Maka Dewa Mandu pun sadarlah akan
dirinya, lalu ia mengucap seraya memuji Tuhan seru sekalian alam katanya, ‘Salangkan hamba-Nya
yang dijadikan-Nya lagi sekian (cantiknya, AM), jikalau yang menjadikan berapa lagi. Makin
bertambah-tambahlah tauhid dan tasdiknya akan Tuhan Malik al-Manan. (Chambert-Loir, 1980:109)
Petikan di atas menggambarkan aspek ontologis, salah satu aspek terpenting dalam konsep estetika
Melayu yang senantiasa mengaitkan keindahan du-niawi atau lahiriyah dengan keindahan ilahiyah
sebagai pernyataan “rupa mahasempurna” sebagaimana diungkapkan dengan bagus oleh penyair Amir
Hamzah dalam salah satu sajaknya.
Kecantikan duniawi (lahiriyah) sebagai tertera dalam Hikayat Dewa Mandu yang dipetik di atas, baru
akan dapat mencapai derajat kesempurnaan apabila merupakan gabungan dari “seri gunung” dan “seri
pantai” yang juga diterangkan sebagai “beaut’e vue de loint et beaute vue de pres.” (Chambert-Loir,
1980:332).
Paduan antara seri gunung dan seri pantai atau kecantikan yang terlihat dari jauh dan kecantikan yang
terlihat dari dekat itulah yang dinamakan oleh pengarang Melayu Lama, Ahmad Rijaluddin, sebagai
“sadu perdana” dan bernilai “tujuh laksana,” (C. Skinner, 1982:96). Sosok idealnya menjelma dalam
diri bidadari Sakerba sebagaimana dikisahkan dalam salah satu karya sastra Melayu Lama yang piawai
Syair Ken Tambuhan sampai menghidupkan kembali pasangan pecinta yang sudah mati. Dalam
Hikayat Hang Tuah salah seorang tokoh yang terus memesona karena diabadikan penulis karya itu
ialah Tun Teja yang dalam sejarah Melayu dikisahkan sebagai ,Tun Teja Ratna Benggala, pandai
membelah lada sulah jikalau tuan kurang percaya mari bersumpah kalamullah (Shellebear, 1903:267).
Lalu apakah “cantik” itu? Kamus monolingual Melayu yang pertama Kitab Pengetahuan Bahasa (1858)
mengartikan kata itu sebagai ‘sesuatu sifat sama-ada pada manusia atau lainnya yang memberi indah
kepada mata yang tiada cacat pada pemandangan manusia’ (Raja Ali Haji, 1986:325).
Takrif (definisi) tentang molek, cantik, indah, dan elok sebagai lawan dari kata (b)odoh dapat dirujuk
sebagai ‘sifat yang indah pada pemandangan mata atau pada tilik hati yang memberi indah pada
pemandangan keduanya itu’ dan ‘memberi indah pada pemandangan mata atau kepada hati’.
Tarian baru mencapai derajat keindahan apabila sasaran takrifnya sampai, yaitu ‘pekerjaan seseorang
dengan kesukaan maka menggerakkan tangannya atau kakinya dengan bertimbang dan beratur yang
menjadi indah pada pemandangan adanya’. Tari yang sadu perdana dan bernilai tujuh laksana
sebagaimana disebut–sebut orang Melayu ialah yang “kakinya tak jejak di lantai”.
Demikian pula dengan takrif nyanyi yaitu ‘mengeluarkan suara serta huruf dan serta dengan lagunya
dengan had timbangannya’ (ibid.:292). Dan, nyanyian yang sadu perdana dan bernilai tujuh laksana
sebagaimana disebut orang Melayu ialah yang seperti “buluh perindu”.
Jadi, suatu karya seni menurut konsep keindahan Melayu yang sadu perdana dan tujuh laksana atau
yang kelas satu dan tujuh bintangnya hendaklah bersifat seri gunung dan seri pantai yaitu molek dilihat
dari jauh dan molek pula dilihat dari dekat serta elok pada pemandangan mata dan elok pula pada hati.
“Adapun pakaian orang Melayu daripada dahulu, sehelai seluar dipakai di dalam, kemudian barulah
memakai kain bugiskah atau sutera, labuhnya hingga lepas lutut kira-kira sepelempap. Kemudian,
baharulah memakai ikat pinggang, terkadang diluar kain terkadang di dalam kain. Kemudian barulah
memakai baju, ‘belah dada’ namanya atau ‘baju kurung’, kemudian disisipkan keris, sebelah keris
kepalanya keluar tiada meniarap, dan sapu tangan, bertanjak. Adapun seluarnya terkadang seluar ketat
berkancing kakinya. Syahdan pada penglihatan mataku sangatlah tampan orang-orang Melayu
memakai cara Melayu yang dahulu-dahulu, tiada bengis rupanya. Adapun sekarang ini, yakni masa aku
mengarang kitab ini, maka tiadalah aku lihat lagi pakaian orang Melayu seperti pakaian adat-istiadat
lama, bercampur baur dengan kaidah pakaian orang Inggris dan Holanda.”
Dengan bersebatinya lambang-lambang budaya dengan pakaian, kedudukan dan peran pakaian menjadi
sangat mustahak dalam kegidupan orang Melayu. Pelbagai ketentuan adat mengatur tentang bentuk,
corak (motif), warna, pemakaian, dan penggunaan pakaian. Ketentuan-ketentuan adat itu diberlakukan
untuk mendidik dan meningkatkan akhlak orang yang memakainya.
Di dalam ungkapan disebutkan bahwa “pakaian Melayu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut ada
makna dan gunanya. ”Semuanya dikaitkan dengan norma sosial, agama, dan adat-istiadat sehingga
pakaian berkembang dengan makna yang beraneka ragam.
Setiap lambang mengandung makna tertentu. “Ada benda ada maknanya, ada cara ada artinya, ada
letak ada sifatnya.”
Lambang yang diwujudkan dengan corak (motif) mewujudkan makna tertentu. Corak semut dikaitkan
dengan makna yang mengacu kepada sifat kerukunan dan kegotongroyongan. Coraknya disebut semut
beriring. Begitu pula corak itik pulang petang yang dikaitkan dengan kerukunan dan persatuan, tak
berpecah belah. Corak naga berjuang dihubungkan dengan legenda tentang naga sebagai penguasa
lautan, gagah berani, dan berani berjuang. Corak yang bersumber dari bunga-bungaan dihubungkan
dengan keindahan, kecantikan, dan kesucian.
Lambang dalam bentuk warna mengatur hal-hal berikut. Kuning untuk raja-raja dan bangsawan sebagai
lambang kekuasaan. Merah untuk umum sebagai lambang rakyat sekaliannya. Hijau dan putih untuk
alim ulama sebagai lambang agama yang dipeluk masyarakat yaitu Islam. Biru untuk orang besar
kerajaan sebagai lambang orang patut-patut, hitam untuk pemangku dan pemuka adat sebagai lambang
“hidup dikandung adat, mati dikandung tanah”. Hitam biasa juga dipakai sebagai warna kebesaran
hulubalang atau panglima.
Lambang ada juga ditempatkan pada cara memakai pakaian. Untuk kaum perempuan, diatur cara
memakai berikut ini. Anak gadis harus memakai kepala kain di depan. Orang perempuan tua-tua kepala
kainnya di samping kanan. Perempuan yang bersuami, tetapi belum tua kepala kainnya di belakang.
Para janda kepala kainnya di sebelah kiri.
Pengaturan untuk kaum laki-laki berbeda pula. Bagi kaum bangsawan, kepala kainnya sebelah
belakang berat ke kanan. Bagi orang besar kerajaan, kepala kainnya sebelah belakang berat ke kiri.
Bagi putra mah- kota atau putra raja, kepala kainnya sebelah kanan berat ke depan. Bagi datuk-datuk,
kepala kainnya sebelah kiri berat ke depan. Bagi orang awam, kepala kainnya di belakang penuh.
Untuk raja, kepala kainnya boleh ditempatkan di sebelah mana saja (bebas), tetapi lazimnya sebelah
belakang berat ke depan atau sebelah kanan berat ke depan.
Ada pula pengaturan cara menempatkan kedalaman kain sampin. Bagi orang patut-patut kedalaman
kainnya sedikit di bawah lutut. Bagi orang muda-muda dan hulubalang kedalaman kainnya sedikit di
atas lutut. Bagi orang awam kedalaman kainnya labuh ke bawah. Jika pakaian dilengkapi selempang,
pemakaiannya juga haruslah benar. Dalam hal ini, selempang dipakai di sebelah kanan.
Makna lambang pakaian Melayu juga terdapat pada jumlah alat atau kelengkapan pakaian. Umumnya
hal itu diatur berdasarkan status sosial pemakainya. Serba satu dan serba dua untuk orang awam. Serba
tiga untuk golongan encik-encik dan orang patut-patut. Serba lima untuk kalangan bangsawan dan
orang besar kerajaan. Serba tujuh untuk keluarga dekat sultan. Dan, serba sembilan untuk sultan.
Makna pakaian Melayu juga dikaitkan dengan fungsinya. Pemaknaan itu disebutkan dengan ungkapan
berikut ini.
Pakaian menutup malu, yang berarti pakaian berfungsi sebagai alat menutup aurat, menutup aib dan
malu dalam arti yang luas. Kalau salah memakai, menimbulkan malu; kalau salah letak, menimbulkan
malu; kalau salah corak, juga menimbulkan malu, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pakaian harus
dibuat, ditata, dan dikenakan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di dalam masyarakat.
Pakaian menjemput budi, yang bermakna pakaian berfungsi untuk membentuk budi pekerti,
membentuk kepribadian, membentuk watak sehingga si pemakai tahu diri dan berakhlak mulia.
Pakaian menjunjung adat, yang berarti pakaian harus mencerminkan nilai-nilai terala (luhur) yang
terdapat di dalam adat dan tradisi yang hidup dalam masyarakat.
Pakaian menolak bala, yang bermakna berpakaian dengan cara yang benar dan patut akan
menghindarkan pemakainya dari mendapat mara bahaya atau mala petaka.
Pakaian menjunjung bangsa, yang berarti dengan bersepadunya lambang-lambang dan nilai-nilai terala
pada pakaian, terjelmalah kepribadian bangsa atau masyarakat pemakainya. Pakaian dalam budaya
Melayu harus mampu menunjukkan jatidiri pemakainya.
Kain dapat dipakai sebagai sampan dengan ukuran sedikit di bawah lutut. Orang yang sudah berumur
dapat mengenakan kain tanpa celana panjang, kemudian memakai baju di luar kain.
Jenis pakaian ini selalu digunakan dalam pertemuan setengah resmi atau acara keluarga seperti kenduri.
Warna sesuai dengan pilihan pemakai asal tak ber- bunga-bunga atau berwarna yang mencolok bagi
orang tua-tua. Warna dan jenis kain untuk baju dan celana harus sama.
Baju juga berkocek tiga buah. Sebuah kocek ditempatkan di sebelah kiri atas dan dua buah kocek lagi
ditempatkan di kiri-kanan bawah baju. Kocek atas lebih kecil daripada kocek bawah.
Lengan baju panjang agak menutup pergelangan tangan. Leher baju berkerah dan agak longgar.
Sampin juga bervariasi dari kain songket, kain bertabur, dan lain-lain. Pemasangan samping juga
bervariasi ada seperti pe makaian kain biasa, ada yang dipunjut ke samping, ada pula yang ditarik
selapis ke samping kiri pinggang. Tinggi atau ke dalaman ukuran pelipatan kain sampin juga
bervariasi:ada yang agak di bawah lutut, ada yang di atas lutut, dan ada pula yang diserongkan, sesuai
dengan adat memakai kain sampin yang sudah diperikan di atas.
Penutup kepala juga bervariasi seperti songkok, ikatan kepala, atau tanjak. Tanjak dibuat sesuai dengan
kain baju (sama dengan pasangannya). Ikat kepala dipakai oleh pesilat, nelayan, petani yang sedang
bekerja di kebun, dan lain-lain. Songkok dikenakan untuk sehari-hari.
Bahan pakaian dan kelengkapannya bergantung kepada kemampuan ekonomi si pemakai. Oleh sebab
itu, baju Melayu dapat dikenakan oleh setiap orang dari pelbagai tingkat sosial-ekonomi.
a. Baju Kurung
Kelengkapan baju kurung terdiri atas kain, baju, dan selendang. Panjang atau kedalaman baju agak di
atas lutut. Ada juga baju kurung untuk sehari-hari di rumah yang kedalamannya sepinggang atau
sedikit di bawah pinggang.
Bentuk baju berlengan panjang dan ukuran badan longgar, tak boleh ketat (tak boleh menampakkan
lekuk-lekuk tubuh pemakai). Bahannya bervariasi: polos, berbunga-bunga, dan sebagainya, tetapi tak
boleh tembus pandang.
Warna baju dan kain disesuaikan dengan selera pemakai. Orang perempuan yang sudah berumur tak
boleh memakai baju yang berwarna mencolok.
Selendang dipakai dengan lepas di bahu dan biasanya tak melingkar di leher pemakai.
Bentuk baju agak longgar, tetapi tak boleh diraut (dikecilkan) di bagian yang dapat menunjukkan
ukuran dan bentuk pinggang serta gaya pinggul.
Bahan baju dan kain disesuaikan dengan kemampuan dan peringkat keperluan. Bahan bagi baju kebaya
panjang sepasang warna, jenis kain, dan coraknya sama untuk baju dan kain.
Kelengkapan lainnya berupa selendang, aksesori, dan hiasan kepala disesuaikan menurut peringkat
keperluan dan kemampuan. Biasa pula pakaian perempuan ini dilengkapi dengan cincin, gelang ta-
ngan, dan atau gelang kaki.
(2) Tudung
Tudung atau penutup kepala dipakai dengan dua cara sebagai berikut ini. Pertama, tudung dikenakan
untuk menutupi kepala dengan bagian yang agak terjurai dan terjuntai ke samping pipi kiri dan kanan.
Kedua, tudung dikenakan dengan menutupi wajah yang biasanya disebut “tudung lingkup”. Pemakaian
ini mirip dengan cadar pada wanita Arab, yakni yang kelihatan hanyalah mata atau sekurang-kurangnya
hanyalah wajah seperti pemkaian tudung mantur pada kaum perempuan di Daik, Lingga.