Anda di halaman 1dari 8

SUMATERA

Nanggroe Aceh Darussalam


Aceh merupakan salah satu daerah pertama yang menerima pengaruh Islam di Indonesia, yakni
sejak abad ketigabelas. Kebudayaan Aceh pun dengan sendirinya berlandaskan kepada hukumhukum Islam, termasuk dalam hal pakaian adat. Pakaian adat masyarakat Aceh tediri dari baju,
celana panjang, dan sarung, baik bagi kaum pria maupun para perempuannya.
Pakaian adat dibuat sendiri oleh masyarakat Aceh menggunakan alat tenun yang disebut teupeun.
Beberapa pakaian yang dibuat dengan teknik songket diantaranya kain samping (ija lam gugob),
kain sarung (ija krung), dan kain penutup kepala (destar) bagi kaum pria. Sedangkan bagi kaum
wanitanya menggunakan kain tenun berupa selendang yang disebut ija sawak, penutup kepala
(tengkulok), kain sarung (ija krung) dan yang paling menarik adalah selendang panjang
berukuran panjang 4 meter dan lebar 1 meter yang biasanya digunakan sebagai pelengkap
pakaian keluarga bangsawan yang juga digunakan oleh pengantin perempuan dalam upacara
perkawinan, yang disebut kain ija dua blah hah (kain yang panjangnya dua belas hasta). Kain ini
terbuat dar sutra berwarna hitam dengan motif kepala berupa motif pucuk rebung yang rumit,
dan dibagian badan kain dihiasi oleh taburan motif bunga tanjung.
Kain songket Aceh pada umumnya menggunakan bahan dasar benang sutra yang didominasi
oleh warna hitam, biru tua, ungu, dan merah tua, disamping warna-warna lain sebagai
pelengkapnya. Selain motif-motif floral, motif berbentuk kaligrafipun dapat dijumpai pada kainkain songket yang berasal dari Aceh.

Sumatera Barat
Seperti halnya pada daerah-daerah lain di Indonesia, songket di Sumatra Barat (Minangkabau)
merupakan pakaian seremonial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Seperti halnya tradisi
pemakaiannya, proses pembuatan songket pun merupakan sebuah tradisi yang diwariskan secara
turun temurun dari waktu ke waktu.
Berdasarkan beberapa penelitian, songket Minangkabau mencapai puncak kejayaannya pada
kurun 1875 hingga 1920. Songket ditenun di hampir semua bagian dalam wilayah Sumatra Barat
dengan material dan variasi teknik yang berbeda di setiap daerah. Secara umum variasi teknik
yang digunakan adalah balapak (ditenun penuh), bacatua/batabua (ditenun bertabur), sulam di
atas benang lungsi dan tenun ikat. Material yang digunakan pun bervariasi, dari sutra, katun,
wol, rami, benang makau, hingga emas dan pyrite. Sentra-sentra yang sangat berperan di
Sumatra Barat pada masa lalu diantaranya Batusangkar, Koto Gadang, Batipuh, Canduang,
Padang Magek, Silungkang, Muara Labuh, dan Koto Nan Gadang. Alat tenun yang digunakan
disebut palanta atau pantae, alat tenun berbentuk rangka kayu yang dilengkapi dengan tempat
duduk bagi penenun.
Songket di Minangkabau tidak hanya berfungsi sebagai pakaian adat semata, namun setiap
motifnya adalah penanda dari berbagai nilai, falsafah, dan aturan adat yang menaungi kehidupan
masyarakat. Salah satu contohnya adalah motif kaluak paku yang sering terdapat pada songket
dari daerah Koto Gadang, yang memiliki artian sangat luas, mulai dari pengaturan tentang fungsi
seorang pemangku adat dalam kaumnya, hingga pemahaman esensial dan ilahiah sebagai
makhluk ciptaan Yang Maha Esa, serta korelasinya dengan kehidupan bermasyarakat (korelasi
hubungan antar manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan).
Motif-motif yang sering dijumpai pada kain-kain dari Sumatra Barat di antaranya motif kaluak
paku (gelung pakis), balah kacang (belahan kacang), pucuak rabuang (pucuk rebung), sajamba
makan (makan sedulang bersama) dan saik galamai (potongan gelamai), disamping motif-motif
lainnya sesuai dengan daerah dan fungsi pemakaian songket tersebut.
Saat ini hanya ada beberapa sentra songket yang masih bertahan yakni Pandai Sikek, Silungkang,
Kubang, dan Sijunjung. Songket-songket yang dihasilkan pun telah mengalami penyesuaian
dengan kekinian, baik dari sisi material maupun desain. Namun kehidupan kembali songket di
Sumatra Barat adalah suatu hal yang patut diapresiasi.
Secara umum, songket digunakan sebagai pakaian adat bagi laki-laki dan perempuan
Minangkabau yang menurut fungsi pemakaiannya diantaranya tingkuluak sebagai penutup
kepala bagi perempuan, kodek (sarung), salempang (kain selempang penutup dada), sisampiang
(kain sarung berukuran pendek untuk laki-laki), cawek (ikat pinggang), selendang, dan uncang
(tas kecil).

Sumatera Selatan
Wilayah Sumatra Selatan yang merupakan tempat berdirinya sebuah kerajaan yang sangat
berpengaruh di Asia, Sriwijaya hingga kini masih memperlihatkan sisa kejayaan masa lalunya.
Hal ini tercermin dari berbagai produk budaya yang masih bisa kita saksikan hingga hari ini
seperti rumah adat, motif-motif ukiran kayu dan logam mulia, dan tak terkecuali pakaian
adatnya.
Songket sebagai bagian terpenting dari pakaian adat Palembang secara teknis dapat dibedakan
atas empat jenis, yakni songket lepus yang ditenun penuh dan songket tawur yang ditenun
dengan teknik bertabur, limar yakni songket yang dihiasi dengan motif ikat berwarna-warni pada
bagian badan atau tengah kain, dan rumpak, yakni kain songket berbentuk sarung yang
digunakan oleh laki-laki dari keluarga bangsawan. Songket Palembang ditenun dengan
menggunakan alat tenun gedogan atau backstrap loom dimana penenun menenun di atas lantai
dan menggunakan penyangga pada bagian punggung untuk merentangkan benang lungsi.
Dalam adat Palembang, kain songket merupakan bagian dari mas kawin yang diberikan oleh
pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Beberapa motif yang khusus dalam songket
Palembang adalah Nago Besaung yang diperuntukkan bagi keluarga istana Kesultanan
Palembang Darussalam yang terdiri atas Nago Besak yang diperuntukkan bagi raja dan Nago
Kecik yang diperuntukkan bagi para pangeran. Motif lain yang diperuntukkan bagi keluarga
bangsawan diantaranya nampan emas, nampan perak, dan bungo jatuh. Motif bungo jatuh
misalnya, menggambarkan keanggunan sikap piyayi dalam kehidupan.
Beberapa motif dengan makna filsofi yang penting bagi masyarakat Palembang hingga saat ini
ditenun pada songket-songket Palembang di antaranya motif Pucuk Rebung, Bungo Mawar,
Bungo Melati, Bungo Tanjung, Bungo Teratai, Buah Serikaya, Buah Delima, dan Daun Bunga
Sepatu.
Tradisi menenun songket di kalangan masyarakat Sumatra Selatan terus memperlihatkan
perkembangan yang menggembirakan, Corak dan desain baru pun berhasil diciptakan oleh para

seniman tenun, 21 motif diantaranya telah didaftarkan hak ciptanya di kilinik HKI Republik
Indonesia.

Lampung
Penggunaan teknik dekorasi tenun yang tidak menggunakan benang emas atau perak sebagai
benang motifnya terutama dapat ditemukan di daerah Lampung dan Sumatra Utara. Di daerah
Lampung ada tiga jenis kain tenun yang terkenal, yakni kain Tampan, Peleppai, dan Inuh. Ketiga
jenis kain ini ditenun dengan menggunakan alat tenun yang disebut jangkrak.
Kain Tampan, Pelepai, dan Inuh memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Lampung pada masa lalu. Kain Peleppai merupakan kain berukuran panjang sekitar 2 3 m yang
digunakan sebagai hiasan dinding pada upacara adat dan biasanya hanya boleh digunakan oleh
keturunan tertua dari suku, desa, dan pendiri marga. Motif kain Pelepai pada umumnya
didominasi oleh motif kapal, binatang laut, dan manusia. Pada kedua ujung kain biasanya
ditenun motif pohon hayat (pohon kehidupan). Kain Pelepai dahulunya dibuat di daerah
Paminggir, di pinggir selatan Sumatra.
Kain Tampan adalah kain berukuran lebih kecil yakni sekitar 90 cm x 90 cm yang digunakan
sebagai alas hantaran pada upacara-upacara adat. Dahulunya kain ini dibuat di tiga daerah yakni
Paminggir, Liwa Kenali, dan daerah pantai Kroe. Selain itu kain Tampan juga sering digunakan
sebagi alas duduk bagi para mempelai pada upacara perkawinan pada beberapa daerah di
Lampung. Motif yang digunakan pada kain ini sama dengan lain Pelepai, yakni motif kapal,
binatang laut, dan manusia, hanya saja pada ujungnya dihiasi motif pucuk rebung berukuran
kecil.
Kain inuh banyak ditemukan di daerah pesisir Lampung seperti Kroe dan Liwa. Kain ini
merupakan hasil proses adaptasi kebudayaan setempat dengan budaya Tiongkok dan India
selama fase perdagangan laut di masa lalu. Teknik menenun yang menggunakan teknik ikat
seperti halnya patola dari Gujarat, India, dikombinasikan dengan teknik sulam Tiongkok
menghasilkan kain Inuh yang kemudian menjadi ciri khas kerajinan tenun masyarakat pesisiran
Lampung. Proses pewarnaan yang bisa berlangsung hingga 1 tahun membuat kain ini menjadi
lebih awet dan dapat bertahan hingga ratusan tahun menurut masyarakat Lampung.

Bengkulu
Masyarakat Bengkulu pada masa lalu memiliki berbagai kekayaan tenunan tradisi, terutama suku
Serawai di daerah Rejang Lebong, suku Kaur di Kabupaten Kaur dan suku Besemah/Pasemah di
wilayah perbatasan antara Bengkulu dengan Sumatra Selatan. Alat tenun yang digunakan para
penenun di masa lalu adalah alat tenun manual. Namun dalam perkembangan terkini, masyarakat
Bengkulu juga telah menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang bersifat semi mekanis.

Kain tenun merupakan bagian dari kelengkapan tradisi yang sangat berperan dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat Bengkulu. Beberapa kain yang digunakan dalam upacar adat
diantaranya Delamak (tutup hantaran adat) dari daerah Bengkulu Selatan yang menggunakan
pakan tambahan berwarna warni ataupun coklat dengan bahan dasar katun berwarna putih. Motif
yang digunakan dalam pembuatan Delamak diantaranya motif kapal, manusia dan fauna dengan
stilisasi geometris. Bahan yang digunakan untuk pembuatan songket biasanya berupa katun,
sutra, dan benang emas.
Sebagai pakaian seremonial bagi masyarakat adat, terdapat berbagai jenis songket Bengkulu
sesuai fungsi pemakaiannya, diantaranya kain Sempet (kain penutup dada) yang dibuat oleh suku
Serawai di Bengkulu Selatan, kain Ikat Badan, Tengkuluk Dugan, Selendang dan kain Curak.
Berbagai variasi teknik digunakan sesuai dengan peruntukan kain, misalnya kain sempet yang
menggunakan kombinasi teknik bertabur dengan teknik pilih, dan kain selendang Bidak dari
Rejang Lebong yang menggunakan kombinasi teknik songket dengan tenun ikat. Khusus untuk
selendang dan kain sempet, biasanya dihiasi dengan rumbai (fringes) yang terbuat dari untaian
foil timah.
Songket dari daerah Pasemah juga menunjukkan kekayaan tradisi tenun Indonesia di daerah
Bengkulu yang kini telah mengalami kepunahan. Sejak tahun 1930-an songket Pasemah telah
diburu oleh para kolektor kain di seluruh dunia. Minimnya regenerasi tradisi tenun dalam
masyarakat Pasemah sejak masa pendudukan Jepang akhirnya berujung pada kepunahan kain
Perelung, sebutan bagi songket Pasemah. Teknik menenun songket Pasemah sesungguhnya tak
jauh berbeda dengan songket lainnya, hanya saja pada bagian tertentu, benang emas digunakan
sebagai pakannya, sehingga bahan dasar selendang menjadi lebih berkilau dan mewah. Pada
beberapa kain dari Pasemah juga digunakan teknik ikat pada bagian badan kain.

Bangka Belitung
Daerah Bangka Belitung menyimpan kekayaan tradisi tenun yang telah berlangsung sejak
berabad lampau, yakni tenun Cual. Kain Cual Bangka Belitung ini pada awalnya dikenal sebagai
Limar Muntok yang artinya kain tenun ikat (limar) yang berasal dari Muntok. Di kota Muntok
seorang bangsawan dari Siantan mengembangkan keterampilan menenun untuk pertama kalinya.
Sebelum memulai proses menenun, benang pakan yang akan digunakan dipolakan, diikat, lalu
dicelup terlebih dahulu untuk membentuk motif ikatnya. Inilah yang dimaksud dengan cual,
yakni pencelupan benang pada proses awal.
Sedikit berbeda dengan Limar pada umumnya, pada kain Cual, motif tenun ikatnya memegang
peran yang dominan, tidak sekedar menjadi ornamen latar untuk bagian badan kain, sehingga
terkadang terkesan timbul. Budaya masyarakat setempat yang merupakan rumpun Melayu, yakni
suku Sekak banyak memberikan pengaruh kepada motif songket cual yang bernuansa Melayu.
Arus perdagangan internasional yang aktif di masa lalu memungkinkan masyarakat Muntok

mendapatkan material berupa sutra dan benang emas terutama dari Cina dan India. Karena itu
kain-kain yang dihasilkan pada pertengahan abad ke-19 terlihat sangat menonjol dari sisi
pemilihan material maupun desainnya seperti yang bisa kita lihat pada songket koleksi museum
ataupun songket pusaka yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam perjalanannya, Perang
Dunia I menyebabkan pasokan material semakin langka bagi para penenun, sehingga tradisi
menenun cual pun mengalami ketersendatan. Namun kini para tokoh tenun Bangka Belitung
kembali menghidupkan geliat tradisi tenun songket dan mengembalikan kejayaan kain Cual
sebagai salah satu kain terbaik nusantara.
Gambar Songket Bangka Belitung

Jambi
Songket Jambi merupakan salah satu kain tenun kekayaan budaya nusantara yang patut
dilestarikan. Teknik menenun songket Jambi memiliki kemiripan dengan songket Palembang
dengan berbagai variasi teknik: ditenun penuh, ditenun bertabur, ataupun kombinasi antara
teknik songket dengan tenun ikat. Motif-motif songket yang berasal dari daerah Jambi di
antaranya motif Kapal, Angso Duo, Durian Pecah, Keluk Paku, dan Kembang Sulur.
Alat tenun yang digunakan oleh para penenun di Jambi hingga saat ini adalah alat tenun gedogan
(backstrap loom). Hingga saat ini sentra tenun songket di daerah Jambi yang aktif berproduksi
antara lain Muaro Jambi (Kabupaten Berangin), Tanjung Gadang (Muaro Bungo), Jelutung, dan
Sukakarya (Kota Jambi).
Gambar Songket Jambi
Riau
Tradisi menenun songket merupakan salah satu tradisi masyarakat yang berbasis budaya Melayu,
seperti halnya masyarakat di Bukit Batu, Bengkalis, Kepulauan Riau. Tradisi menenun songket
diwariskan dari generasi ke generasi di kalangan bangsawan kerajaan Siak. Kepandaian menenun
pun pada akhirnya semakin berkembang hingga pembuatan dan pemakaian songket tak lagi
terbatas pada kalangan bangsawan saja. Songket ini kemudian lebih dikenal dengan songket
Siak.
Pengaruh tradisi menenun di daerah Riau tidak hanya berasal dari Kerajaan Siak. Ini terlihat dari
adanya satu jenis songket lain yakni songket Indragiri. Songket Indragiri diperkenalkan untuk
pertama kalinya oleh orang-orang perehu (para pedagang yang datang dengan perahu) yang
datang ke Rengat (pusat kerajaan Indragiri) dan diberikan daerah pemukiman oleh Kerajaan
Indragiri, sebuah kawasan yang kemudian dikenal dengan Kampung Dagang. Alat tenun yang
digunakan untuk menenun songket Indragiri pada mulanya menggunakan sistem gedogan,
namun dalam perkembangannya, kini para penenun telah menggunakan alat tenun bukan mesin
(ATBM).
Seperti halnya songket lain pada umumnya, proses menenun songket dilakukan dengan
memasukkan benang pakan tambahan (supplementary weft) di antara benang-benang pakan yang
dianyamkan ke benang lungsi. Pada awalnya, benang dasar yang digunakan untuk menenun
songket Siak dan Indragiri adalah benang sutra, namun karena keterbatasan material yang ada
saat ini, masyarakat lebih banyak menggunakan benang katun dan benang sintetis, sementara

benang motifnya hingga kini masih menggunakan benang logam berwarna emas ataupun perak.
Pada masa-masa awal, tenun siak dibuat dengan menggunakan alat tenun tumpu, dan kemudian
disempurnakan menjadi alat yang disebut kik, yang berbentuk rangka kayu berukuran 1x2x1 m3.
Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian besar penenun beralih menggunakan alat tenun
bukan mesin (ATBM) untuk mempercepat proses produksi songket.
Beberapa ragam motif yang digunakan pada kain songket Siak diantaranya Motif Pucuk Rebung
Keluk Pakis, Siku Keluang, Kuntum Bunga, Daun Tunggal dan Tabir Bintang.
Gambar Songket Riau

KALIMANTAN
Pada masa lalu, masyarakat Kalimantan membuat berbagai jenis tenunan dengan berbagai variasi
teknik desain, diantaranya cara ikat lungsi, penempelan manik-manik atau kaca-kaca, songket
atau pakan tambahan, pembuatan pakaian dari kulit kayu, pembuatan dekorasi topi dengan bulu
burung enggang dan berbagai teknik lainnya.
Kalimantan Barat
Corak songket yang dihasilkan di Kalimantan Barat, terutama Sambas memiliki nuansa melayu
yang kental, ini disebabkan karena tradisi melayu yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat di Kalimantan Barat.
Beberapa jenis songket yang ditenun di Sambas diantaranya, songket Bertabur (sarung untuk
laki-laki) berupa sarung kotak-kotak berbahan katun dan benang emas dengan motif untaian
bunga/tali, dan bunga male bertabur kecil-kecil. Selain itu yang mendominasi desain songket dari
Kalimantan Barat ini adalah songket lunggi. Songket lunggi dibuat dengan mengangkat benang
lungsi dalam pola tertentu untuk mendukung terbentuknya motif-motif yang terkesan bold di
sepanjang benang lungsi dalam proses menenun. Beberapa jenis songket dari sambas ini
diantaranya, songket Lunggi Tanjak, Padang Terbakar, Petak, Daging, Padang Terbakar Daging,
dan sebagainya. Selain itu ada juga jenis songket lain yakni songket Cual, yang dibuat dengan
kombinasi teknik ikat pada bagian badan kain. Biasanya songket cual digunakan sebagai sarung
untuk kaum lelaki.
Penduduk asli Kalimantan pada masa lalu pernah membuat kain-kain songket yang luar biasa,
yang disebut kain sungkit. Berbeda dengan kain songket pada umumnya, sungkit dibuat dengan
menyulamkan benang pakan tambahan (benang motif) ke diantara benang lungsi. Benang motif
dimasukkan ke dalam lubang jarum yang terbuat dari tulang, kemudian disulamkan ke benang
lungsi. Motifnya biasanya rumit dan sangat halus. Motif-motif pada kain sungkit secara detail
tampak berjalin dengan pakannya, selain itu desain motif pada bagian depan kain terlihat sama
dengan bagian belakang kain. Kain ini hampir tidak bisa ditemukan lagi pada saat ini sebagian
besar koleksi terdapat di berbagai museum di luar negeri, salah satunya Textile Museum,
Washington D.C, Amerika Serikat.
Selain itu satu jenis desain kain tenun yang khas lainnya dari Kalimantan adalah pilih, dimana
benang pakan tambahan yang diselipkan secara terpilih ke benang pakan biasa akan menjadi
latar belakang kainnya, berbeda dengan kain songket biasa yang benang pakan tambahannya
menjadi benang motif atau membentuk motifnya. Pada pilih, motif-motif yang tampak menonjol
di permukaan kain yang megah, dibentuk oleh benang pakan yang ditambahkan sebagai latar

belakangnya. Teknik pilih ini dihasilkan terutama oleh suku Dayak Iban.
Beberapa suku Dayak yang terkenal dengan hasil tenunannya selain Dayak Iban di Kalimantan
Barat diantaranya, Ot Danum, Bahau, Apo Kayan, dan suku Dayak lainnya sebelah barat dan dan
timur Kalimantan. Menenun bagi masyarakat Dayak dahulunya adalah pekerjaan sakral yang
hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Karena itu pemakaian motifnya pun sangat
sarat dengan unsur-unsur kepercayaan dan budaya asli masyarakat. Beberapa motif yang sering
digunakan dalam, kain tenunan mereka diantaranya motif Burung Enggang perlambang Dunia
Atas, motif tumpal sebagai gambaran alam, berbagai jenis reptilia sebagai penggambaran Dunia
Bawah, dan manusia sebagai perwujudan leluhur.

Kalimantan Timur
Salah satu corak yang memberikan pengaruh pada songket Kalimantan, terutama Samarinda
adalah desain Bugis. Ini dimungkinkan karena adanya proses interaksi dan difusi kebudayaan
selama berabad-abad yang terjadi antara penduduk asli Kalimantan dengan berbagai daerah
tersebut. Kain tenun Samarinda, dalam sejarahnya berasal dari Sengkang, Sulawesi Selatan yang
dibawa dan dikembangkan oleh para bangsawan dari kerajaan Wajo Sengkang yang datang dan
berasimilasi dengan kerajaan Kutai setelah tahun 1665.
Saat ini di daerah Berau Kalimantan Selatan telah berkembang pula songket dengan motif yang
bervariasi, dan material dasar dari katun, benang sintetis, dengan benang motif dari benang mas
dan benang berwarna-warni. Perlu dicermati bahwa menghidupkan kembali tradisi tenun tangan
sangat penting. Menghidupkan kembali budaya tenun tangan berarti menghidupkan kembali
warisan budaya yang nyaris punah di tengah era modernisasi saat ini.
Gambar Songket Kalimantan Timur

Anda mungkin juga menyukai