Anda di halaman 1dari 9

Kain Songket; Asal Mula, Jenis, dan Maknanya

Wilayah Palembang khususnya, memang tercatat memiliki sejarah yang cukup panjang;
dari Sriwijaya sampai dengan Kesultanan Palembang. Banyak peninggalan tak ternilai
yang berasal dari kerajaan-kerajaan terkenal itu, satu diantaranya adalah budaya wastra,
tenun songket.

Kain Songket memberikan nilai tersendiri yang dapat menujukan “kebesaran” bagi orang-
orang yang mengenakan dan membuatnya. Rangkaian benang yang tersusun dan
teranyam rapi dengan pola simetris itu, menunjukkan bahwa kain songket dibuat dengan
keterampilan masyarakat yang lebih dari sekedar memahami cara untuk membuat kain,
akan tetapi keahlian dan ketelitian itu telah mendarah daging.

Lestarinya kain Songket mutlak disebabkan karena adanya proses pembelajaran antar
generasi. Selain itu, Songket tidak hanya selembar kain benda pakai, songket adalah
simbol budaya yang telah merasuk dalam kehidupan, tradisi, sistem nilai, dan sosial
masyarakatnya. 

Gemerlap warna serta kilauan emas yang terpancar pada kain Songket, pada masa lalu
bahkan membuktikan kekayaan suatu daerah. Kain-kain semacam ini selain digunakan
oleh kalangan istana dan para pejabat, dalam sejarahnya, songket adalah komiditi
perdagangan berharga, bahkan hingga saat ini.

Tenun Songket dalam Sejarahnya

Sejak zaman prasejarah, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal teknik
menenun. Hal ini diperkuat dengan adanya penemuan tembikar dari periode neolitik yang
di dalamnya terdapat kain tenun kasar, juga beberapa temuan fragmen kain tenun lainnya.

Salah satu yang menjadi “gudang tenun” di Nusantara adalah Pulau Sumatra. Setiap
daerah di wilayah ini bahkan mempunyai ciri khas tenunan-nya masing-masing. Saling
pengaruh-memengaruhi antar tempat dan daerah di Pulau Sumatra tentu saja tidak dapat
dihindarkan.

Interaksi budaya tenun antar etnis di Sumatra dan sekitarnya dimungkinkan terjadi karena
letak geografis yang saling berdekatan satu sama lain; dapat dicapai dengan mudah.
Songket Palembang sepintas tampak pengaruhnya pada kain-kain di wilayah Jambi, Riau,
dan Sumatra Utara

Songket Palembang konon merupakan peninggalan dari kejayaan kerajaan Sriwijaya pada
abad ke-9 Masehi. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 ini pada perkembangannya
kemudian mampu menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka, hingga mempunyai
pengaruh cukup kuat di wilayah India dan Cina.

Songket Aesan Gede, Palembang”.

Sebagai wilayah yang dijuluki Swarnadwipa (Pulau emas), di bawah naungan kerajaan
yang berkuasa saat itu emas sebagai logam mulia, telah memainkan peranannya yang
penting. Bahkan saking kayanya dengan emas, Raja Sriwijaya tiap harinya membuang
sebungkal emas ke sebuah kolam dekat istananya, begitulah menurut kabar dari orang-
orang Cina yang waktu itu memang aktif melakukan perdagangan dengan Sriwijaya.

Jaringan perdagangan internasional ini membawa pengaruh besar dalam hal pengolahan
kain tradisional mereka. Pada perkembangannya dimungkinkan bahan yang digunakan
untuk membuat songket telah di kirim dari berbagai daerah.

Sebagian emas dan beberapa logam mulia lainnya dari Sumatra, dikirim ke negeri Siam
(Thailand) dan wilayah Vietnam —dua wilayah tersebut memang terkenal sebagai tempat
pengrajin logam di Asia Tenggara, dari masa perundagian—. Di sana, emas mereka
jadikan benang, tentunya di wilayah Sumatra juga tradisi membuat benang emas sudah
ada.

Emas yang telah menjadi benang kemudian dikirim kembali ke kerajaan Sriwijaya untuk
ditenun dengan menggunakan jalinan benang sutra berwarna yang sebagian mereka
dapatkan dari India dan juga Tiongkok (Cina), tetapi sebagian besar dihasilkan oleh
masyarakatnya. Palembang bahkan dikenal dengan pembudidayaan ternak ulat sutera
untuk diambil benangnya.

Selain sebagai bandar dagang, wilayah Sumatra masa Sriwijaya juga merupakan pusat
dari kegiatan agama Buddha terbesar di zamannya, bahkan tempat singgah para
pelancong dari berbagai tempat.

Kondisi ini dimungkinkan bahwa wilayah Sumatra kemudian sebagai wilayah yang telah
membuka diri terhadap kedatangan “pihak asing”. Adanya hubungan interaksi dengan
dunia luar secara tidak langsung memengaruhi kebudayaan setempat. Meskipun begitu,
Songket tetaplah ciri khas yang tidak ditemukan di wilayah lainnya dan mengisi khazanah
kekayaan budaya masyarakat setempat, yang masih bisa dirasakan sampai saat ini.
Mulai melemahnya kerajaan-kerajaan di Nusantara pada akhir abad ke-18–khususnya di
Pulau Sumatra dan munculnya kolonial Belanda–secara tidak langsung telah berdampak
pada kerajinan tenun songket ini.

Sampai menjelang Perang Dunia II, keberadaan songket bahkan mengalami kemunduran
karena kesulitan mendapat bahan baku. Berakhirnya pengaruh Belanda di Nusantara
karena meluasnya pengaruh Jepang di Asia Pasifik, hingga menjelang masa
kemerdekaan sampai dengan tahun 1950, tenunan kain Songket seolah mati suri.

Perempuan Minang menenun songket awal abad ke-20”.

Kesulitan mendapatkan bahan baku dan memasarkan hasil produksi adalah


permasalahan terbesar saat itu. Menjelang pertengahan abad ke-20, kerajinan kain
songket diperkirakan kembali mulai bergiat terutama karena muncul inisiatif
memanfaatkan kembali benang emas dan benang perak dari tenunan kain songket yang
lama—yang sudah tidak dipakai, atau benang dasarnya sudah lapuk—untuk dijadikan
tenunan kain songket yang baru.

Selanjutnya kerajinan songket mulai banyak dikerjakan kembali oleh para pengrajin.
Banyaknya bahan baku yang hadir di pasaran baik yang berasal dari Cina, Taiwan, India,
Prancis, Jepang dan Jerman menandakan bahwa tenun songket mulai menapaki
kejayaannya kembali.

Songket Tretes

Mulai kembali banyak permintaan Songket di masyarakat, mungkin menjadi faktor


pendukungnya. Pada akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, Songket bahkan telah
merambah dunia fashion sebagai salah satu bahan kain yang mengagumkan.
Keberadaan kain songket memang telah mengalami pasang surut dalam sejarahnya.
Seiring dengan usaha masyarakatnya untuk mempertahankan peninggalan kebudayaan
masa lampau itu, Songket kemudian dapat melewati tantang dari tiap zamannya.

Bertahannya kain songket ini, selain memiliki bentuk yang indah juga karena nilai historis-
nya, Songket dipertahankan terutama karena masih mendapatkan tempatnya dalam
budaya mereka. Keberadaan kain songket, merupakan salah satu kekayaan bangsa yang
harus dijaga keberadaannya agar tetap lestari.

Macam dan Jenis Kain Songket

A. Songket Lepus

“Songket Lepus”

Lepus kurang lebih artinya menutupi; Songket yang benang emasnya hampir menutupi
seluruh bagian kain. Sesuai motifnya, jenis Songket Lepus ini pun dikenal dengan
berbagai macam nama: Lepus Lintang, yang memiliki motif bergambar bintang, Songket
Lepus Berantai, Songket Ulir, dan lain-lain.

B. Songket Tawur

“Songket Tawur (Nampan):

Tawur kurang lebih artinya bertaburan atau menyebar. Songket Tawur ini memiliki motif
yang tidak menutupi seluruh permukaan kain tetapi berkelompok dan menyebar.
Benang pakan pembentuk motifnya juga tidak disisipkan dari pinggir ke pinggir kain. Yang
termasuk ke dalam jenis Songket Tawur yaitu songket tawur lintang, songket tawur
nampan perak, songket tawur tampak manggis, dan lain-lain.

C. Songket Tretes

“Songket Tretes”

Pada kain Songket jenis Tretes ini umumnya tidak dijumpai pola atau motif pada bagian
tengah kain. Misalnya motif-motif yang terdapat dalam Songket Tretes Mender yang
hanya terdapat pada kedua ujung pangkalnya dan pada pinggir-pinggir kain, bagian
tengah dibiarkan polos tanpa motif.

D. Songket Bungo Pacik

“Songket Bungo Pacik”

Pada kain songket jenis Bungo Pacik, sebagian besar dari motifnya dibuat dari benang
kapas putih, sehingga benang emasnya tidak banyak terlihat dan hanya mengisi sebagian
motif selingan.
E. Songket Limar

“Songket Limar”

Songket Limar atau kain limar berbeda dengan pengerjaan songket lainnya. Songket ini
ditenun dengan corak ikat pakan. Motifnya berasal dari  jalinan benang pakan (benang
lungsi) yang diikat dan dicelup pewarna pada bagian-bagian yang diinginkan sebelum
ditenun.

Kain Limar ini biasanya digunakan untuk kain sarung laki-laki atau perempuan yang
disebut sebagai sewet. Biasanya motif dari kain limar dikombinasikan dengan corak
songket untuk digunakan wanita. Corak Kain limar pada bagian badan kain dan corak
songket diletakan pada kepala kain.

F. Songket Kombinasi

Songket Kombinasi, sesuai namanya merupakan perpaduan dari jenis-jenis songket


lainnya, misalnya Songket Bungo Cino yang merupakan gabungan jenis motif songket
Bungo Pacik dengan jenis Songket Tawur. Sedangkan jenis Songket Bungo Intan adalah
gabungan antara Songket Bungo Pacik dengan jenis Songket Tretes .

Selain jenis songket-songket di atas, masih terdapat jenis songket lainnya yang umumnya
dinamakan berdasar pada motifnya, misalnya Songket Pucuk Rebung, Songket Bungo
Manggis, Bungo Tanjung, Bungo Melati, Songket Sorong dan lain sebagainya.
“Songket dari Singaraja, 1920 c”.

Motif kain yang sering menghiasi kain songket adalah motif bunga, ini menandakan bahwa
aktivitas menenun memiliki kedekatan dengan dan untuk wanita serta mencerminkan
wanita. Pada zaman dahulu songket itu mereka tenun sambil menunggu datangnya
lamaran dari laki-laki.

Walaupun sejarah telah mencatat bagaimana kain songket ini telah melewati berbagai
lintasan zaman, namun kain songket tidak terlalu banyak mengalami penambahan motif.
Motif bunga manggis dalam desain kain songket bahkan memperlihatkan persamaan
dengan motif bunga yang terdapat pada candi Prambanan.

Untuk membuat motif yang berbeda pada kain songket, biasanya ditenunkan dua atau tiga
motif kain songket lainnya, sehingga menghasilkan perpaduan yang indah dan menarik
tetapi, hal itu tidak keluar dari tata aturan yang mereka yakini.

Warna yang digunakan dalam kain songket pada masa lalu didapat dari pewarna-pewarna
alam; pohon dan buah kesumba misalnya dapat digunakan untuk campuran yang
menghasilkan warna ungu, merah anggur, dan hijau.Warna ungu juga dapat dihasilkan
dari kulit buah manggis. Warna kuning dari tanaman kunyit, sedangkan warna merah
terang berasal dari kulit kayu sepang yang sudah berumur.

Untuk membuat warna dalam kain tenun jelas memerlukan pengetahuan yang tidak
sembarangan dan ketersediaan pewarna-pewarna tersebut yang berasal dari tanaman
atau jenis pohon tertentu harus dibudidayakan dekat dengan lingkungan mereka.
Berkurangnya lahan untuk membudidayakan atau tanaman tersebut tidak lagi dijumpai
menjadi indikasi bahwa bahan pewarna sudah berganti menjadi bahan pewarna tekstil
yang umumnya digunakan dengan campuran kimia.

Simbol dan Perlambangan

Manusia sebagai makhluk simbolik atau Homo symbolicum. Simbol atau lambang tersebut
sering digunakan manusia sehingga merepresentasikan makna bagi orang lain. Simbol-
simbol itu tidak terkecuali juga hadir dan terdapat dalam warna serta motif kain songket.
Songket dan Fashion

Setiap warna dalam kain songket memiliki makna yang dapat menujukan status dan
keadaan dari si pemakainya, kuning sebagai lambang emas telah mewarnai kebesaran
dan keagungan yang bukan hanya sebagai status kekayaan namun juga status sosial.
Sebagai contoh, kain songket dengan warna hijau, kuning dan merah padam pernah
diasosiakan sebagai simbol kesendirian (;”janda”), sedangkan bila hendak menikah [lagi ]
hendaklah mengenakan warna-warna yang terang dan lebih cerah.

Songket biasanya dipakai sebagai busana pakaian adat untuk menghadiri dan menggelar
upacara-upacara adat. Upacara perkawinan merupakan salah satunya. Songket tidak
hanya menjadi busana pengantin, tapi mas kawin dan tamu undangan pun kerap
menggunakan songket.

Songket umumnya tidak untuk dikenakan sehari-hari, ini menandakan bahwa kain songket
tidak untuk dipakai sembarangan, karena selain “terlalu mewah” jika dikenakan sehari-
hari, Songket juga mengandung makna-makna tertentu. Makna yang merupakan
perlambang dari si pemakainya. Sebagai contoh, songket yang dikenakan untuk upacara
perkawinan berbeda dengan Songket yang digunakan dalam upacara adat lainnya.

Seperti sudah menjadi kekhususan bahwa warna merah yang menyala harus dikenakan
oleh pengantin sedang untuk upacara adat lainnya ada kelonggaran untuk memilih motif
dan warna. Pada masa lalu pemakaian kain songket mungkin  dibedakan antara keluarga
kerajaan, pegawai, bangsawan dan rakyat biasa. Perbedaan pemakaian kain songket
penting karena dalam kain songket tersebut mempunyai motif-motif yang menyimbolkan
“sesuatu”, makna yang coba direfleksikan oleh pemakainya.

“Songket Pucuk Rebung”.


Misalnya Songket dengan motif bunga tanjung yang melambangkan keramah-tamahan,
dipakai untuk menyambut tamu, khususnya dipakai tua rumah sebagai ungkapan dari
selamat datang.

Songket dengan motif bunga melati melambangkan keanggunan, kesucian, dan sopan
santun. Kain songket dengan motif bunga melati biasanya dikenakan oleh perempuan
yang belum menikah.

Songket dengan motif pucuk rebung melambangkan sebuah harapan, sebuah doa dan
kebaikan. Motif pucuk rebung selalu mengambil tempatnya dalam setiap perayaan adat,
Motif tersebut hadir sebagai kepala kain atau tumpal. Mengenakan motif pucuk rebung
dimaksudkan agar si pemakai diberkati dengan keberuntungan dan kemudahan dalam
setiap langkah hidupnya.

Saat ini, perlambang dalam motif kain tidak sedikit yang mengabaikannya. Hal ini tidak
hanya terjadi pada tenun songket, tapi juga tenun-tenun lainnya. sungguh disayangkan
jika kita atau pembuatnya hanya tahu bentuk dan nama saja, sedangkan maknanya sudah
jauh entah ke mana. Sesungguhnya, belum terlambat untuk bertanya karena mereka yang
mengerti masih ada.

Anda mungkin juga menyukai