Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KLIPING

KAIN CIRI KHAS DAERAH

DISUSUN OLEH
MUHAMMAD FAJAR ALAMSYAH
KELAS VIIF

SMPN NEGERI 1 KOTABARU


2016
Kain Sasirangan Banjar

Kain Sasirangan merupakan kain adat suku Banjar di Kalimantan Selatan yang diwariskan
secara turun temurun sejak abad XII, saat Lambung Mangkurat menjadi Patih Negara Dipa.
Cerita yang berkembang di masyarakat Kalimantan Selatan adalah bahwa kain Sasirangan
pertama kali dibuat oleh Patih Lambung Mangkurat setelah bertapa 40 hari 40 malam di atas
rakit Balarut Banyu.

Konon menjelang akhir tapanya, rakitnya tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Di tempat
ini, ia mendengar suara perempuan yang keluar dari segumpal buih. Perempuan itu adalah
Putri Junjung Buih, yang kelak menjadi Raja di daerah ini. Sang Putri hanya akan
menampakkan wujudnya jika permintaannya dikabulkan, yaitu sebuah istana Batung dan
selembar kain yang ditenun dan dicalap (diwarnai) oleh 40 putri dengan motif
wadi/padiwaringin. Kedua permintaan itu harus selesai dalam waktu satu hari. Kain yang
dicalap itu kemudian dikenal sebagai kain sasirangan yang pertama kali dibuat.

Kain sasirangan dipercaya memiliki kekuatan magis yang bermanfaat untuk pengobatan
(batatamba), khususnya untuk mengusir roh-roh jahat dan melindungi diri dari gangguan
makhluk halus. Agar bisa digunakan sebagai alat pengusir roh jahat atau pelindung badan,
kain sasirangan biasanya dibuat berdasarkan pesanan (pamintaan).

Di awal-awal kemunculannya, kain sasirangan mempunyai bentuk dan fungsi yang cukup
sederhana, seperti ikat kepala (laung), sabuk dan tapih bumin (kain sarung) untuk lelaki,
selendang, kerudung, udat (kemben), dan kekamban (kerudung) untuk perempuan.

Seturut perkembangannya, kain ini juga digunakan sebagai pakaian adat yang dipakai oleh
kalangan rakyat biasa ataupun keturunan bangsawan saat mengikuti upacara-upacara adat.
Namun perkembangan zaman juga yang mengubah fungsi kain sasirangan dalam masyarakat
Kalimantan Selatan. Nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya seolah-olah ikut
memudar tergerus arus globalisasi mode. Globalisasi menjadikan kain ini tidak hanya
mengalami proses desakralisasi sehingga kemudian berubah menjadi pakaian sehari-hari,
tetapi juga semakin dilupakan. Padahal bisa dikatakan kalau kain sasirangan merupakan
salah satu bentuk perwujudan dari pengetahuan lokal masyarakat Kalimantan Selatan.
Dengan mengenal sejarah kain sasirangan, kita bisa mengetahui beraneka macam nilai yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat setempat. Seperti nilai tentang keyakinan, budaya,
dan ekonomi.

Seperti kain pada umumnya, kain sasirangan memiliki banyak motif, diantaranya: sarigading,
ombak sinapur karang (ombak menerjang batu karang), hiris pudak (irisan daun pudak),
bayam raja (daun bayam), kambang kacang (bunga kacang panjang), naga balimbur (ular
naga), daun jeruju (daun tanaman jeruju), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit),
kulat karikit (jamur kecil), gigi haruan (gigi ikan gabus), turun dayang (garis-garis),
kangkung kaombakan (daun kangkung), jajumputan (jumputan), kambang tampuk manggis
(bunga buah manggis), dara manginang (remaja makan daun sirih), putri manangis (putri
menangis), kambang cengkeh (bunga cengkeh), awan beriring (awan sedang diterpa angin),
benawati (warna pelangi), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), turun dayang
(garis-garis), dan sisik tanggiling
Kain Batik Madura

Pulau Madura, yang mana orang pasti akan langsung teringat dan terkenal dengan karapan
sapi juga dengan sate atau jembatan yang terkenal dengan nama Suramadu. Sebenarnya, dari
pulau Madura, yakni pulau dengan penghasil garam ini juga memiliki kekayaanbudaya asli
Indonesia yang mana juga sudah terkenal sampai ke penjuru dunia. Pulau Madura dengan
batik tulis Maduranya meskipun sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan batik tulis asli
Indonesia dari daerah lainnya yakni, Solo, Yogyakarta, Pekalongan atau Cirebon, akan tetapi
juga tetap mempunyai ciri khas perbedaan yang mencolok jika dibandingkan dengan batik
tulis Madura.

Kemudian ciri yang khas dari batik tulis Madura ini yakni menekankan pada penggunaan
warna dasarnya yang menggunakan warna cerah yang bisa berarti cenderung berani dengan
beragam motif yang juga menggambarkan karakter masyarakat lokal atau Maduranya.
Memang untuk warna yang dipakai dalam kain batik Madura dipilih warna cerah seperti
dengan warna merah kuning atau bahkan juga hijau. Pemilihan warna yang cerah tersebut
juga ada maknanya tersendiri semisal saja sering dipilih warna merah karena warna tersebut
memang memiliki karakter warna yang keras dan kuat. Sehingga, bisa berarti sama seperti
menggambarkan karakter penduduknya.

Selain kegemarannya dalam menggunakan warna-warna yang terang, untuk corak batik
Madura ini juga mempunyai jenis yang terhitung cukup banyak. Diantaranya adalah pucuk
tumbak, belah ketupat, rajut, maupun jenis lain. Kemudian terdapat pula suatu corak yang
menggambarkan kekayaan flora maupun faunanya yang hidup dan bertempat tinggal di sana.

Selanjutnya, ciri lain yang menunjukkan kekhasan dari corak batik Madura adalah terdapat
banyak garis yang telah terpampang dalam satu desain khas batiknya. Kekhasan lainnya juga
ada pada setiap bagian desain batiknya yang ternyata juga memiliki kisah atau cerita masing-
masing yang kesemuanya itu telah menggambarkan keseharian rakyat Madura. Kalau soal
pencampuran pada warna biasanya akan sering terlihat kasar karena memang suka saling
bertabrakan. Akan tetapi, malah keadaan yang seperti inilah akan nampak letak daya
tariknya. Maka dari itu, banyak orang lebih sering menyebutnya dengan barabin untuk
pengombinasian warna-warna yang norak akan tetapi hasilnya malah akan terlihat sangat
unik.

Kemudian, untuk masalah waktu yang diperlukan dalam membuat satu buah batik yang khas
dari motif batik Madura ini juga berbeda-beda. Ada yang memakan waktu mulai dari enam
bulan bahkan hingga satu tahun lamanya. Karena lama dalam pembuatan batik ini juga kan
berpengaruh pada hasilnya. Sehingga semakin lama waktu yang diperlukan untuk membuat
batik khas Madura, juga berbanding lurus dengan harganya yang juga semakin mahal. Hal
tersebut dikarenakan semakin lama proses produksinya maka akan berefek pada warna yang
dihasilkan juga akan semakin pekat. Dan kekhasan dari batik Madura, yakni untuk setiap
motif batik Madura yang dihasilkan itu telah melewati beberapa tahapan yang juga cukup
lama. Sebagai proses awal yaitu dengan perendaman kain di dalam air yang bercampur
dengan minyak, selanjutnya, proses pencucian dengan diberi kanji, dan proses yang terakhir
baru pewarnaan dan dijemur di bawah panas matahari
KAIN BATIK SOGAN

Batik Sogan Jogja adalah salah satu jenis batik klasik di Indonesia yang masih terasa kental
unsur tradisional-nya dengan dominasi warna gelap seperti hitam dan coklat. Dinamakan
batik sogan karena pada awal mulanya, proses pewarnaan kain batik ini menggunakan
pewarna alami yang diambil dari batang kayu pohon soga (Peltophorum pterocarpum). Sogan
batik Yogyakarta memang jenis batik yang identik dengan daerah keraton Jawa yaitu
Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogya) dan Surakarta Hadiningrat (Solo), motifnya pun
biasanya mengikuti aturan baku / pakem motif batik klasik keraton. Kain batik sogan yang
klasik dan eksotis ini memang selalu banyak peminatnya dan langgeng tanpa mengenal
musim. Selalu ada pecinta jenis batik ini walaupun ada batik pesisiran yang lebih dinamis dan
kontemporer baik dari warna ataupun motifnya.
KAIN TENUN SONGKET

Songket adalah jenis kain tenunan tradisional Melayu dan Minangkabau di Indonesia,
Malaysia, dan Brunei. Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun
dengan tangan dengan benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada acara-
acara resmi. Benang logam metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau
cemerlang.

Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang
berarti "mengait" atau "mencungkil". Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya;
mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang
emas.[1] Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata
songka, songkok khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun
dengan benang emas dimulai.[2] Istilah menyongket berarti menenun dengan benang emas
dan perak. Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri,
perayaan atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di
bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan
kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran serta
bangsawan Kesultanan Melayu.[3] Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh
anak dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket.[2]
Beberapa kain songket tradisional Sumatra memiliki pola yang mengandung makna tertentu.

Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun
secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-
motifnya pun dipolakan dengan hewan dan tumbuhan setempat. Motif ini seringkali juga
dinamai dengan nama kue khas Melayu seperti serikaya, wajik, dan tepung talam, yang
diduga merupakan penganan kegemaran raja.

songket memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas budaya wilayah
penghasil kerajinan ini. Misalnya motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Barantai
Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak,
Silala Rabah, dan Simasam adalah khas songket Pandai Sikek, Minangkabau Beberapa
pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka. Dari 71 motif
songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif
songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis,
Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar
KAIN TENUN BIMA

Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, yang memiliki kain tenun tradisional yang sudah turun
temurun. Kain tersebut dinamai dengan kain Mbojo atau kain orang Bima. Kain tenun ini
sudah ada sejak zaman Kerajaan Bima dulu dan sering digunakan oleh kaum perempuan di
sana.

Kain Mbojo memiliki beragam motif dan warna. Model kain tenun Mbojo yang cukup tenar
kini adalah yang memadukan lebih dari tiga warna dan ditenun membentuk gambar zig-zag.
Kain ini disebut oleh orang asli Bima sebagai kain yang cocok dipakai di segala cuaca, baik
cuaca panas maupun dingin.

Kain Mbojo sebenarnya bisa dipakai untuk banyak hal selain jadi syal, seperti bahan untuk
baju, selendang, motif untuk topi, sarung, ikat kepala, dan ikat pinggang.

Ada kebiasaan bagi para perempuan yang menenun untuk menggunakan kain di kepalanya
membentuk balutan semacam hijab dengan kain tenun Mbojo yang dinamakan rimpu.

Rimpu untuk perempuan yang belum menikah dengan yang sudah menikah juga dibedakan.
Jika perempuan yang menenun kain belum menikah, maka rimpu dipasang hingga menutupi
semua wajah, hanya memperlihatkan kedua mata. Tetapi untuk perempuan yang sudah
menikah, sudah boleh memperlihatkan wajahnya dengan rimpu tersebut.
KAIN TENUN FLORES, NTT

Flores memiliki banyak sentra penghasil kain tenun, yang antara lain: Maumere, Sikka,
Ende, Manggarai, Ngada, dan lain sebagainya. Setiap daerah atau etnis memiliki ragam
motif, corak dan preferensi warna yang berbeda-beda dalam membuat kain tenun.

Kain tenun khas daerah Sikka misalnya, biasanya selalu menggunakan warna gelap seperti
hitam, coklat, biru, dan biru-hitam. Untuk motifnya, cenderung menggunakan benda dan
mahluk hidup yang berkaitan dengan laut. Seperti misalnya, figur nelayan, sampan, penyu,
udang, atau kepiting. Wajar, karena nenek moyang mereka dahulu termasuk pelaut ulung dan
tangguh.

Sementara, di Ende lebih banyak menggunakan warna cokelat dan merah serta
memadukannya dengan ragam hias motif bergaya Eropa. Hal ini karena letak strategis Ende
di pesisir selatan Flores yang memungkinkan orang-orang Ende zaman dahulu mudah
berhubungan dengan bangsa pendatang, seperti orang Eropa. Ciri khas lain motif kain tenun
Ende adalah penggunaan hanya satu jenis motif pada bidang di tengah-tengah kain

Anda mungkin juga menyukai