Kain Songket memberikan nilai tersendiri yang dapat menujukan kebesaran bagi
orang-orang yang mengenakan dan membuatnya. Rangkaian benang yang tersusun dan
teranyam rapi dengan pola simetris itu, menunjukkan bahwa kain songket dibuat dengan
keterampilan masyarakat yang lebih dari sekedar memahami cara untuk membuat kain, akan
tetapi keahlian dan ketelitian itu telah mendarah daging.
Gemerlap warna serta kilauan emas yang terpancar pada kain Songket, pada masa
lalu bahkan membuktikan kekayaan suatu daerah. Kain-kain semacam ini selain digunakan
oleh kalangan istana dan para pejabat, dalam sejarahnya, songket adalah komiditi
perdagangan berharga, bahkan hingga saat ini.
Salah satu yang menjadi gudang tenun di Nusantara adalah Pulau Sumatra. Setiap
daerah di wilayah ini bahkan mempunyai ciri khas tenunan-nya masing-masing. Saling
pengaruh-memengaruhi antar tempat dan daerah di Pulau Sumatra tentu saja tidak dapat
dihindarkan.
Interaksi budaya tenun antar etnis di Sumatra dan sekitarnya dimungkinkan terjadi
karena letak geografis yang saling berdekatan satu sama lain; dapat dicapai dengan mudah.
Songket Palembang sepintas tampak pengaruhnya pada kain-kain di wilayah Jambi, Riau,
dan Sumatra Utara
Sebagian emas dan beberapa logam mulia lainnya dari Sumatra, dikirim ke negeri
Siam (Thailand) dan wilayah Vietnam dua wilayah tersebut memang terkenal sebagai
tempat pengrajin logam di Asia Tenggara, dari masa perundagian. Di sana, emas mereka
jadikan benang, tentunya di wilayah Sumatra juga tradisi membuat benang emas sudah ada.
Emas yang telah menjadi benang kemudian dikirim kembali ke kerajaan Sriwijaya
untuk ditenun dengan menggunakan jalinan benang sutra berwarna yang sebagian mereka
dapatkan dari India dan juga Tiongkok (Cina), tetapi sebagian besar dihasilkan oleh
masyarakatnya. Palembang bahkan dikenal dengan pembudidayaan ternak ulat sutera untuk
diambil benangnya.
Selain sebagai bandar dagang, wilayah Sumatra masa Sriwijaya juga merupakan
pusat dari kegiatan agama Buddha terbesar di zamannya, bahkan tempat singgah para
pelancong dari berbagai tempat.
Kondisi ini dimungkinkan bahwa wilayah Sumatra kemudian sebagai wilayah yang
telah membuka diri terhadap kedatangan pihak asing. Adanya hubungan interaksi dengan
dunia luar secara tidak langsung memengaruhi kebudayaan setempat. Meskipun begitu,
Songket tetaplah ciri khas yang tidak ditemukan di wilayah lainnya dan mengisi khazanah
kekayaan budaya masyarakat setempat, yang masih bisa dirasakan sampai saat ini.
Selanjutnya kerajinan songket mulai banyak dikerjakan kembali oleh para pengrajin.
Banyaknya bahan baku yang hadir di pasaran baik yang berasal dari Cina, Taiwan, India,
Prancis, Jepang dan Jerman menandakan bahwa tenun songket mulai menapaki
kejayaannya kembali.
Keberadaan kain songket memang telah mengalami pasang surut dalam sejarahnya.
Seiring dengan usaha masyarakatnya untuk mempertahankan peninggalan kebudayaan
masa lampau itu, Songket kemudian dapat melewati tantang dari tiap zamannya.
Bertahannya kain songket ini, selain memiliki bentuk yang indah juga karena nilai
historis-nya, Songket dipertahankan terutama karena masih mendapatkan tempatnya dalam
budaya mereka. Keberadaan kain songket, merupakan salah satu kekayaan bangsa yang
harus dijaga keberadaannya agar tetap lestari.
B. Songket Tawur
Tawur kurang lebih artinya bertaburan atau menyebar. Songket Tawur ini memiliki
motif yang tidak menutupi seluruh permukaan kain tetapi berkelompok dan menyebar.
Benang pakan pembentuk motifnya juga tidak disisipkan dari pinggir ke pinggir kain.
Yang termasuk ke dalam jenis Songket Tawur yaitu songket tawur lintang, songket tawur
nampan perak, songket tawur tampak manggis, dan lain-lain.
C. Songket Tretes
Pada kain Songket jenis Tretes ini umumnya tidak dijumpai pola atau motif pada
bagian tengah kain. Misalnya motif-motif yang terdapat dalam Songket Tretes Mender yang
hanya terdapat pada kedua ujung pangkalnya dan pada pinggir-pinggir kain, bagian tengah
dibiarkan polos tanpa motif.
Pada kain songket jenis Bungo Pacik, sebagian besar dari motifnya dibuat dari
benang kapas putih, sehingga benang emasnya tidak banyak terlihat dan hanya mengisi
sebagian motif selingan.
E. Songket Limar
Songket Limar atau kain limar berbeda dengan pengerjaan songket lainnya. Songket
ini ditenun dengan corak ikat pakan. Motifnya berasal dari jalinan benang pakan (benang
lungsi) yang diikat dan dicelup pewarna pada bagian-bagian yang diinginkan sebelum
ditenun.
Kain Limar ini biasanya digunakan untuk kain sarung laki-laki atau perempuan yang
disebut sebagai sewet. Biasanya motif dari kain limar dikombinasikan dengan corak songket
untuk digunakan wanita. Corak Kain limar pada bagian badan kain dan corak songket
diletakan pada kepala kain.
F. Songket Kombinasi
Selain jenis songket-songket di atas, masih terdapat jenis songket lainnya yang
umumnya dinamakan berdasar pada motifnya, misalnya Songket Pucuk Rebung, Songket
Bungo Manggis, Bungo Tanjung, Bungo Melati, Songket Sorong dan lain sebagainya.
Motif kain yang sering menghiasi kain songket adalah motif bunga, ini menandakan
bahwa aktivitas menenun memiliki kedekatan dengan dan untuk wanita serta mencerminkan
wanita. Pada zaman dahulu songket itu mereka tenun sambil menunggu datangnya lamaran
dari laki-laki.
Walaupun sejarah telah mencatat bagaimana kain songket ini telah melewati berbagai
lintasan zaman, namun kain songket tidak terlalu banyak mengalami penambahan motif.
Motif bunga manggis dalam desain kain songket bahkan memperlihatkan persamaan dengan
motif bunga yang terdapat pada candi Prambanan.
Untuk membuat motif yang berbeda pada kain songket, biasanya ditenunkan dua atau
tiga motif kain songket lainnya, sehingga menghasilkan perpaduan yang indah dan menarik
tetapi, hal itu tidak keluar dari tata aturan yang mereka yakini.
Warna yang digunakan dalam kain songket pada masa lalu didapat dari pewarna-
pewarna alam; pohon dan buah kesumba misalnya dapat digunakan untuk campuran yang
menghasilkan warna ungu, merah anggur, dan hijau.Warna ungu juga dapat dihasilkan dari
kulit buah manggis. Warna kuning dari tanaman kunyit, sedangkan warna merah terang
berasal dari kulit kayu sepang yang sudah berumur.
Untuk membuat warna dalam kain tenun jelas memerlukan pengetahuan yang tidak
sembarangan dan ketersediaan pewarna-pewarna tersebut yang berasal dari tanaman atau
jenis pohon tertentu harus dibudidayakan dekat dengan lingkungan mereka. Berkurangnya
lahan untuk membudidayakan atau tanaman tersebut tidak lagi dijumpai menjadi indikasi
bahwa bahan pewarna sudah berganti menjadi bahan pewarna tekstil yang umumnya
digunakan dengan campuran kimia.
Setiap warna dalam kain songket memiliki makna yang dapat menujukan status dan
keadaan dari si pemakainya, kuning sebagai lambang emas telah mewarnai kebesaran dan
keagungan yang bukan hanya sebagai status kekayaan namun juga status sosial. Sebagai
contoh, kain songket dengan warna hijau, kuning dan merah padam pernah diasosiakan
sebagai simbol kesendirian (;janda), sedangkan bila hendak menikah [lagi ] hendaklah
mengenakan warna-warna yang terang dan lebih cerah.
Songket biasanya dipakai sebagai busana pakaian adat untuk menghadiri dan
menggelar upacara-upacara adat. Upacara perkawinan merupakan salah satunya. Songket
tidak hanya menjadi busana pengantin, tapi mas kawin dan tamu undangan pun kerap
menggunakan songket.
Songket umumnya tidak untuk dikenakan sehari-hari, ini menandakan bahwa kain
songket tidak untuk dipakai sembarangan, karena selain terlalu mewah jika dikenakan
sehari-hari, Songket juga mengandung makna-makna tertentu. Makna yang merupakan
perlambang dari si pemakainya. Sebagai contoh, songket yang dikenakan untuk upacara
perkawinan berbeda dengan Songket yang digunakan dalam upacara adat lainnya.
Seperti sudah menjadi kekhususan bahwa warna merah yang menyala harus
dikenakan oleh pengantin sedang untuk upacara adat lainnya ada kelonggaran untuk
memilih motif dan warna. Pada masa lalu pemakaian kain songket mungkin dibedakan
antara keluarga kerajaan, pegawai, bangsawan dan rakyat biasa. Perbedaan pemakaian
kain songket penting karena dalam kain songket tersebut mempunyai motif-motif yang
menyimbolkan sesuatu, makna yang coba direfleksikan oleh pemakainya.
Songket dengan motif pucuk rebung melambangkan sebuah harapan, sebuah doa
dan kebaikan. Motif pucuk rebung selalu mengambil tempatnya dalam setiap perayaan adat,
Motif tersebut hadir sebagai kepala kain atau tumpal. Mengenakan motif pucuk rebung
dimaksudkan agar si pemakai diberkati dengan keberuntungan dan kemudahan dalam setiap
langkah hidupnya.
Saat ini, perlambang dalam motif kain tidak sedikit yang mengabaikannya. Hal ini tidak
hanya terjadi pada tenun songket, tapi juga tenun-tenun lainnya. sungguh disayangkan jika
kita atau pembuatnya hanya tahu bentuk dan nama saja, sedangkan maknanya sudah jauh
entah ke mana. Sesungguhnya, belum terlambat untuk bertanya karena mereka yang
mengerti masih ada.
Ulos Batak:
Sejarah, Makna dan Jenisnya
Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini
merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak
yang berbunyi: Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong, yang artinya jika
ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang
antara sesama.
Secara harafiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya
dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang
memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber
kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian
sebutan yang disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka
tinggal dan berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti
mereka harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah
sejarah ulos bermula.
Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai
tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari
tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung
sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-
jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena
resikonya tinggi. Karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang
mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai
produk budaya asli suku Batak.
Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya.
Sesuai dengan hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang
memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak
seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah
dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka
gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat
artistik.
Setelah mulai dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari
yang terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa
menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi
kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-motif
yang menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika ia mulai dipakai oleh tetua-tetua
adat dan para pemimpin kampung dalam pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi
dengan kebiasaan para leluhur suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah
atau pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi.
Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa
seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada
di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi
orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat.
Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa,
dan dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.
Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang non Batak. Pemberian
ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya
pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan
semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih
sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.
Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan
teman-teman satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada
semua kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos
ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai tanda penghormatan
atas jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan
pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita
tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang digunakan dalam upacara
adat adalah Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang menggambarkan burung atau
banyak bintang tersusun teratur. Motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama
lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis
dalam ulos tersebut.
Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:
Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos jenis
kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai sehari-hari.
Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan
dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima.
Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang
kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon;
dililitkan dikepala atau di pinggang.
Berbicara soal harga, ulos dengan motif dan proses pembuatan sederhana relatif murah.
Ulos kelas ini bisa dibeli dengan harga berkisar antara Rp. 6000 sampai Rp.250.000 bahkan
lebih. Sementara untuk ulos kelas atas dengan kualitas bahan yang baik dan proses
pembuatan yang lebih rumit, bisa diperoleh dengan harga berkisar antara ratusan ribu rupiah
hingga jutaan. Misalnya songket khas Batak yang digunakan pengantin pria pada upacara
pernikahan adat Batak, dibandrol Rp. 7,5 juta.
MAKNA
Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan
orang Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku
Batak.
Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi
secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa,
karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian
restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Kain tenun ini merupakan pakaian khas suku Batak di Sumatera Utara, bentuknya
menyerupai selendang dengan panjang sekitar 1,8 meter dan lebar 1 meter, kedua ujungnya
berjuntai-juntai dengan panjang sekitar 15 cm dan pembuatan Ulos dilakukan oleh kaum
perempuan mereka menenun dari benang kapas atau rami.
Secara harafiah Ulos berarti selimut,budaya ini sama tuanya dengan kebudayaan
Batak yang telah mengenal 3 konsep kehangatan yaitu:
1. Matahari
2. Api
3. Ulos
Selain sebagai penghangat badan dikala dingin menerjang,ulos sering kali dianggap
sebagai jimat, yang mana kain ini diyakini mempunyai kekuatan yang mampu melindungi
raga, yang didalam adat Batak disebut dengan Tondi terhadap roh jahat.
Untuk pemakaiannya kain ulos tidak dapat dikenakan dengan sembarangan, dimana
pemakaiannya harus sesuai dengan acaranya diantaranya seperti pada acara:
** Perkawinan
Menggunakan Ulos Ragi Idup yang bercorak Cerah
** Pemakaman
Menggunakan Ulos Ragi Hotang yang bercorak Gelap
Orang Batak juga mengenal upacara Mangulosi ini merupakan ritual Pemberian
Kehangatan dan Kasih Sayang penerimanya, dan umumnya pemberi ulos itu adalah:
1. ULOS RAGIDUP
Ulos yang paling tinggi derajat dari semua Ulos menurut Batak adalah ULOS
RAGIDUP. Derajat Ulos ini sering dijadikan orang batak menjadi symbol di suatu Gedong
atau corak warna suatu Gedung atau rumah. Ulos ini kalau kita cermati, seolah-olah semua
coraknya/bentuknya terkesan hidup bersenyawa dalam kederajatannya. Dan inilah yang
menjadi penyebab mengapa disebut ULOS RAGIDUP. Aragi artinya Hidup.
Ulos Ragidup ini menjadi Simbol Kehidupan, dan cerminan hidup ini menjadi harapan
buat orang batak untuk hidup dalam waktu yang panjang atau lebih panjang umurnya
daripada orang yang lebih tua sebelumnya. Sehingga bagi orang batak, Tindakan Bunuh Diri
menjadi suatu tindakan yang paling bodoh dan perlu dihindarkan dalam kondisi apapun.
Inipula yang menjadi salah satu mengilhami orang Batak punya prinsip Biar Miskin yang
mendera sepanjang perjalanan hidup, namun tetap harus berjuang demi hidup.
Biasanya Ulos ini dipakaikan dengan cara dijadikan Selendang (Sitalihononton).
Agia pe lapalapa, asal di toru ni sobuan, agia pe malapalap, asal ma dihangoluan, ai sai na
boi do partalaga gabe parjujuon.
Ada dua sisi tepi sebagai batas, yang menjelaskan kalau semua yang ada didunia ini ada
batasnya.
Dua sisi tadi mengapit tiga bagian dan disebut badan . Bagian palingujung dimana
bentuknya kelihatan sama disebut ingananni pinarhalak . Ingananni pinarhalak terbagi dua
lagi , yakni ingananni pinarhalak baoa (laki-laki) dang inganan ni pinarhalak boru-boru.
Bagian badan tadi warnanya merah kehitamandan ditingkahi garis-garis putih yang disebut
honda . Ingananni pinarhalak tadi adalah simbol hagabeon, maranak dan marboru.
Di celah ketiga simbol ini, ada lagi macam bunga yang disebut ipon, dan dicelah
ipon-ipon tadi ada yang disebut dengan rasianna.
Motif ulos ini agak rumit dan menurut informasinya ulos ini menjadi Ulos yang tersulit dibuat.
Beginilah leluhur kita menyebut ulos ini, On ma ulos ni Siboru Habonaran, Siboru
Deak Parujar, mula ni panggantion dohot parsorhaon, pargantang pamonori, na so boi lobi
na so boi hurang. Artinya adalah kebijaksanaan. Ulos ini juga disebut sebagai siatur
maranak, siatur marboru, siatur hagabeon, siatur hamoraon.
4. ULOS GODANG / ULOS SADUM ANGKOLA
Disebut juga Sadum atau Sadum Angkola. Ulos ini mungkin yang paling Bagus
coraknya dan Indah warnanya di antara semua ulos, sehingga Ulos ini sangat Mahal. Lebar
Ulos ini juga cukup lebar diantara Ulos batak lainnya.
Secara Tingkatan Derajat Ulos Sadum/Ulos Godang masih dibawah Ulos RAGIDUP,
tapi kalau masalah Harga, Ulos ini jauh lebih mahal dari Ulos Ragidup.
Ulos godang biasanya diberikan kepada anak kesayangan kita, yang membawa
sukacita dalam keluarga. Inilah yang diharapkan dengan adanya pemberian ulos ini, supaya
kelak si anak makin membawa hal-hal kebajikan yang banyak dan besar / godang (banyak),
mencapai apa yang dicita-citakannya dan mendapat berkat yang banyak dan besar dari
Oppu Debata (Tuhan).
Pengertian Oppu Debata disini adalah Tuhan Allah yang Maha Kuasa, termasuk buat
Orang Batak yang beragama Non Kristen, namun perkembangan jaman seringkali
pengertian Oppu Debata lebih ditujukan ke Orang Batak yang beragama Kristen.
Biasanya Ulos Godang ini sering dibuat baju dan selain itu cara memakainya bisa
dengan diabithon (dipakai) , dihadang (dililit di kepala atau bisa juga ditengteng atau
ditalitalihon (dililit di pinggang).
1. Pasupasu asa sai masihaholongan jala rap saur matua :Sidangka ni arirang na so
tupa sirang, di ginjang ia arirang, di toru iapanggongonanbadan mu na ma na so ra sirang,
tondi mu sai masigomgoman
2. Pasupasu hagabeon :Bintang na rumiris ombun na sumorop anak pe di hamu riris,
boru pe antongtorop
3. Pasupasu pansamotan :Bona ni aek puli, di dolok Sitapongan, sai ro ma tu hamu
angka na uli,songon i nang pansamotan.
Ulos Sibolang disebut juga sibulang yang diberikan untuk memberikan rasa hormat
karena jasanya.
Misalkan, Seorang Ulubalang yang mengalahkan musuh, atau yang bisa
membinasakan binatang pemangsa yang mengganggu ketentraman Manusia.
Jaman sekarang, ulos ini diberikan kepada Amang ni hela dan ulos ini disebut sebagai
ulos pansamot na sumintahon supaya Amang ni hela tadi bisa menjadi tempat bersandar
dan berlindung.
Perumpamaannya:
na gogo mansamot jala parpomparan sibulang bulangan.
Marasar sihosari, di tombak ni panggulangan sai halak na gogo ma hamu mansari, jala
parpomparan sibulangbulangan.
Ulos sibolang juga sering dipakai untuk menghadiri upacara kematian dan biasanya dililitkan
di Kepala yang sudah Janda (Namabalu) saat kondisi suami meninggal.
9. ULOS MANGIRING
Sering diberikan sebagai ulos parompa untuk menggendongan anak, dengan harapan
anak yang akan memakai parompa ini akan terus dalam iringan orang tuanya, kalau jaman
dulu katanya ulos ini sering dihadiahkan kepada dua kekasih ataupun pasangan muda.
Kepada pasangan pengantin, ulos ini diberikan sembari mengucapkan sebait umpasa,
Giringgiring gostagosta, sai tibu ma hamu mangiringiring, huhut mangompa-ompa
Biasanya Ulos ini dipakaikan dengan cara dijadikan Selendang (Sitalihononton).
Pemakaian Ulos Batak biasanya dilakukan sebagai berikut:
1. Siabithononton (dipakai dibadan) yaitu Ulos Ragidup, Ulos Sibolang, Ulos Ragi
Pangko, Runjat, Djobit, Simarindjamisi.
2. Sihadanghononton (dililit di kepala atau bisa juga ditengteng) yaitu Ulos Sirara, Ulos
Sadum, Ulos Sumbat, Ulos Bolean, Mangiring, Surisuri.
3. Sitalitalihononton (dililit di pinggang) Yaitu Ulos Tumtuman, Mangiring,Padangrusa.