Anda di halaman 1dari 19

Kain Songket;

Asal Mula, Jenis, dan Maknanya


Wilayah Palembang khususnya, memang tercatat memiliki sejarah yang cukup
panjang; dari Sriwijaya sampai dengan Kesultanan Palembang. Banyak peninggalan tak
ternilai yang berasal dari kerajaan-kerajaan terkenal itu, satu diantaranya adalah budaya
wastra, tenun songket.

Kain Songket memberikan nilai tersendiri yang dapat menujukan kebesaran bagi
orang-orang yang mengenakan dan membuatnya. Rangkaian benang yang tersusun dan
teranyam rapi dengan pola simetris itu, menunjukkan bahwa kain songket dibuat dengan
keterampilan masyarakat yang lebih dari sekedar memahami cara untuk membuat kain, akan
tetapi keahlian dan ketelitian itu telah mendarah daging.

Lestarinya kain Songket mutlak disebabkan karena adanya proses pembelajaran


antar generasi. Selain itu, Songket tidak hanya selembar kain benda pakai, songket adalah
simbol budaya yang telah merasuk dalam kehidupan, tradisi, sistem nilai, dan sosial
masyarakatnya.

Gemerlap warna serta kilauan emas yang terpancar pada kain Songket, pada masa
lalu bahkan membuktikan kekayaan suatu daerah. Kain-kain semacam ini selain digunakan
oleh kalangan istana dan para pejabat, dalam sejarahnya, songket adalah komiditi
perdagangan berharga, bahkan hingga saat ini.

Tenun Songket dalam Sejarahnya


Sejak zaman prasejarah, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal teknik
menenun. Hal ini diperkuat dengan adanya penemuan tembikar dari periode neolitik yang di
dalamnya terdapat kain tenun kasar, juga beberapa temuan fragmen kain tenun lainnya.

Salah satu yang menjadi gudang tenun di Nusantara adalah Pulau Sumatra. Setiap
daerah di wilayah ini bahkan mempunyai ciri khas tenunan-nya masing-masing. Saling
pengaruh-memengaruhi antar tempat dan daerah di Pulau Sumatra tentu saja tidak dapat
dihindarkan.

Interaksi budaya tenun antar etnis di Sumatra dan sekitarnya dimungkinkan terjadi
karena letak geografis yang saling berdekatan satu sama lain; dapat dicapai dengan mudah.
Songket Palembang sepintas tampak pengaruhnya pada kain-kain di wilayah Jambi, Riau,
dan Sumatra Utara

Songket Palembang konon merupakan peninggalan dari kejayaan kerajaan Sriwijaya


pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 ini pada perkembangannya
kemudian mampu menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka, hingga mempunyai
pengaruh cukup kuat di wilayah India dan Cina.

Sebagai wilayah yang dijuluki Swarnadwipa (Pulau emas), di bawah naungan


kerajaan yang berkuasa saat itu emas sebagai logam mulia, telah memainkan peranannya
yang penting. Bahkan saking kayanya dengan emas, Raja Sriwijaya tiap harinya membuang
sebungkal emas ke sebuah kolam dekat istananya, begitulah menurut kabar dari orang-
orang Cina yang waktu itu memang aktif melakukan perdagangan dengan Sriwijaya.

Jaringan perdagangan internasional ini membawa pengaruh besar dalam hal


pengolahan kain tradisional mereka. Pada perkembangannya dimungkinkan bahan yang
digunakan untuk membuat songket telah di kirim dari berbagai daerah.

Sebagian emas dan beberapa logam mulia lainnya dari Sumatra, dikirim ke negeri
Siam (Thailand) dan wilayah Vietnam dua wilayah tersebut memang terkenal sebagai
tempat pengrajin logam di Asia Tenggara, dari masa perundagian. Di sana, emas mereka
jadikan benang, tentunya di wilayah Sumatra juga tradisi membuat benang emas sudah ada.

Emas yang telah menjadi benang kemudian dikirim kembali ke kerajaan Sriwijaya
untuk ditenun dengan menggunakan jalinan benang sutra berwarna yang sebagian mereka
dapatkan dari India dan juga Tiongkok (Cina), tetapi sebagian besar dihasilkan oleh
masyarakatnya. Palembang bahkan dikenal dengan pembudidayaan ternak ulat sutera untuk
diambil benangnya.

Selain sebagai bandar dagang, wilayah Sumatra masa Sriwijaya juga merupakan
pusat dari kegiatan agama Buddha terbesar di zamannya, bahkan tempat singgah para
pelancong dari berbagai tempat.

Kondisi ini dimungkinkan bahwa wilayah Sumatra kemudian sebagai wilayah yang
telah membuka diri terhadap kedatangan pihak asing. Adanya hubungan interaksi dengan
dunia luar secara tidak langsung memengaruhi kebudayaan setempat. Meskipun begitu,
Songket tetaplah ciri khas yang tidak ditemukan di wilayah lainnya dan mengisi khazanah
kekayaan budaya masyarakat setempat, yang masih bisa dirasakan sampai saat ini.

Mulai melemahnya kerajaan-kerajaan di Nusantara pada akhir abad ke-18khususnya


di Pulau Sumatra dan munculnya kolonial Belandasecara tidak langsung telah berdampak
pada kerajinan tenun songket ini.
Sampai menjelang Perang Dunia II, keberadaan songket bahkan mengalami
kemunduran karena kesulitan mendapat bahan baku. Berakhirnya pengaruh Belanda di
Nusantara karena meluasnya pengaruh Jepang di Asia Pasifik, hingga menjelang masa
kemerdekaan sampai dengan tahun 1950, tenunan kain Songket seolah mati suri.

Kesulitan mendapatkan bahan baku dan memasarkan hasil produksi adalah


permasalahan terbesar saat itu. Menjelang pertengahan abad ke-20, kerajinan kain songket
diperkirakan kembali mulai bergiat terutama karena muncul inisiatif memanfaatkan kembali
benang emas dan benang perak dari tenunan kain songket yang lamayang sudah tidak
dipakai, atau benang dasarnya sudah lapukuntuk dijadikan tenunan kain songket yang
baru.

Selanjutnya kerajinan songket mulai banyak dikerjakan kembali oleh para pengrajin.
Banyaknya bahan baku yang hadir di pasaran baik yang berasal dari Cina, Taiwan, India,
Prancis, Jepang dan Jerman menandakan bahwa tenun songket mulai menapaki
kejayaannya kembali.

Mulai kembali banyak permintaan Songket di masyarakat, mungkin menjadi faktor


pendukungnya. Pada akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, Songket bahkan telah
merambah dunia fashion sebagai salah satu bahan kain yang mengagumkan.

Keberadaan kain songket memang telah mengalami pasang surut dalam sejarahnya.
Seiring dengan usaha masyarakatnya untuk mempertahankan peninggalan kebudayaan
masa lampau itu, Songket kemudian dapat melewati tantang dari tiap zamannya.

Bertahannya kain songket ini, selain memiliki bentuk yang indah juga karena nilai
historis-nya, Songket dipertahankan terutama karena masih mendapatkan tempatnya dalam
budaya mereka. Keberadaan kain songket, merupakan salah satu kekayaan bangsa yang
harus dijaga keberadaannya agar tetap lestari.

Macam dan Jenis Kain Songket


A. Songket Lepus
Lepus kurang lebih artinya menutupi; Songket yang benang emasnya hampir menutupi
seluruh bagian kain. Sesuai motifnya, jenis Songket Lepus ini pun dikenal dengan berbagai
macam nama: Lepus Lintang, yang memiliki motif bergambar bintang, Songket Lepus
Berantai, Songket Ulir, dan lain-lain.

B. Songket Tawur

Tawur kurang lebih artinya bertaburan atau menyebar. Songket Tawur ini memiliki
motif yang tidak menutupi seluruh permukaan kain tetapi berkelompok dan menyebar.

Benang pakan pembentuk motifnya juga tidak disisipkan dari pinggir ke pinggir kain.
Yang termasuk ke dalam jenis Songket Tawur yaitu songket tawur lintang, songket tawur
nampan perak, songket tawur tampak manggis, dan lain-lain.

C. Songket Tretes
Pada kain Songket jenis Tretes ini umumnya tidak dijumpai pola atau motif pada
bagian tengah kain. Misalnya motif-motif yang terdapat dalam Songket Tretes Mender yang
hanya terdapat pada kedua ujung pangkalnya dan pada pinggir-pinggir kain, bagian tengah
dibiarkan polos tanpa motif.

D. Songket Bungo Pacik

Pada kain songket jenis Bungo Pacik, sebagian besar dari motifnya dibuat dari
benang kapas putih, sehingga benang emasnya tidak banyak terlihat dan hanya mengisi
sebagian motif selingan.

E. Songket Limar

Songket Limar atau kain limar berbeda dengan pengerjaan songket lainnya. Songket
ini ditenun dengan corak ikat pakan. Motifnya berasal dari jalinan benang pakan (benang
lungsi) yang diikat dan dicelup pewarna pada bagian-bagian yang diinginkan sebelum
ditenun.

Kain Limar ini biasanya digunakan untuk kain sarung laki-laki atau perempuan yang
disebut sebagai sewet. Biasanya motif dari kain limar dikombinasikan dengan corak songket
untuk digunakan wanita. Corak Kain limar pada bagian badan kain dan corak songket
diletakan pada kepala kain.

F. Songket Kombinasi

Songket Kombinasi, sesuai namanya merupakan perpaduan dari jenis-jenis songket


lainnya, misalnya Songket Bungo Cino yang merupakan gabungan jenis motif songket Bungo
Pacik dengan jenis Songket Tawur. Sedangkan jenis Songket Bungo Intan adalah gabungan
antara Songket Bungo Pacik dengan jenis Songket Tretes .

Selain jenis songket-songket di atas, masih terdapat jenis songket lainnya yang
umumnya dinamakan berdasar pada motifnya, misalnya Songket Pucuk Rebung, Songket
Bungo Manggis, Bungo Tanjung, Bungo Melati, Songket Sorong dan lain sebagainya.

Motif kain yang sering menghiasi kain songket adalah motif bunga, ini menandakan
bahwa aktivitas menenun memiliki kedekatan dengan dan untuk wanita serta mencerminkan
wanita. Pada zaman dahulu songket itu mereka tenun sambil menunggu datangnya lamaran
dari laki-laki.
Walaupun sejarah telah mencatat bagaimana kain songket ini telah melewati berbagai
lintasan zaman, namun kain songket tidak terlalu banyak mengalami penambahan motif.
Motif bunga manggis dalam desain kain songket bahkan memperlihatkan persamaan dengan
motif bunga yang terdapat pada candi Prambanan.

Untuk membuat motif yang berbeda pada kain songket, biasanya ditenunkan dua atau
tiga motif kain songket lainnya, sehingga menghasilkan perpaduan yang indah dan menarik
tetapi, hal itu tidak keluar dari tata aturan yang mereka yakini.

Warna yang digunakan dalam kain songket pada masa lalu didapat dari pewarna-
pewarna alam; pohon dan buah kesumba misalnya dapat digunakan untuk campuran yang
menghasilkan warna ungu, merah anggur, dan hijau.Warna ungu juga dapat dihasilkan dari
kulit buah manggis. Warna kuning dari tanaman kunyit, sedangkan warna merah terang
berasal dari kulit kayu sepang yang sudah berumur.

Untuk membuat warna dalam kain tenun jelas memerlukan pengetahuan yang tidak
sembarangan dan ketersediaan pewarna-pewarna tersebut yang berasal dari tanaman atau
jenis pohon tertentu harus dibudidayakan dekat dengan lingkungan mereka. Berkurangnya
lahan untuk membudidayakan atau tanaman tersebut tidak lagi dijumpai menjadi indikasi
bahwa bahan pewarna sudah berganti menjadi bahan pewarna tekstil yang umumnya
digunakan dengan campuran kimia.

Simbol dan Perlambangan


Manusia sebagai makhluk simbolik atau Homo symbolicum. Simbol atau lambang
tersebut sering digunakan manusia sehingga merepresentasikan makna bagi orang lain.
Simbol-simbol itu tidak terkecuali juga hadir dan terdapat dalam warna serta motif kain
songket.

Setiap warna dalam kain songket memiliki makna yang dapat menujukan status dan
keadaan dari si pemakainya, kuning sebagai lambang emas telah mewarnai kebesaran dan
keagungan yang bukan hanya sebagai status kekayaan namun juga status sosial. Sebagai
contoh, kain songket dengan warna hijau, kuning dan merah padam pernah diasosiakan
sebagai simbol kesendirian (;janda), sedangkan bila hendak menikah [lagi ] hendaklah
mengenakan warna-warna yang terang dan lebih cerah.

Songket biasanya dipakai sebagai busana pakaian adat untuk menghadiri dan
menggelar upacara-upacara adat. Upacara perkawinan merupakan salah satunya. Songket
tidak hanya menjadi busana pengantin, tapi mas kawin dan tamu undangan pun kerap
menggunakan songket.

Songket umumnya tidak untuk dikenakan sehari-hari, ini menandakan bahwa kain
songket tidak untuk dipakai sembarangan, karena selain terlalu mewah jika dikenakan
sehari-hari, Songket juga mengandung makna-makna tertentu. Makna yang merupakan
perlambang dari si pemakainya. Sebagai contoh, songket yang dikenakan untuk upacara
perkawinan berbeda dengan Songket yang digunakan dalam upacara adat lainnya.

Seperti sudah menjadi kekhususan bahwa warna merah yang menyala harus
dikenakan oleh pengantin sedang untuk upacara adat lainnya ada kelonggaran untuk
memilih motif dan warna. Pada masa lalu pemakaian kain songket mungkin dibedakan
antara keluarga kerajaan, pegawai, bangsawan dan rakyat biasa. Perbedaan pemakaian
kain songket penting karena dalam kain songket tersebut mempunyai motif-motif yang
menyimbolkan sesuatu, makna yang coba direfleksikan oleh pemakainya.

Misalnya Songket dengan motif bunga tanjung yang melambangkan keramah-


tamahan, dipakai untuk menyambut tamu, khususnya dipakai tua rumah sebagai ungkapan
dari selamat datang.

Songket dengan motif bunga melati melambangkan keanggunan, kesucian, dan


sopan santun. Kain songket dengan motif bunga melati biasanya dikenakan oleh perempuan
yang belum menikah.

Songket dengan motif pucuk rebung melambangkan sebuah harapan, sebuah doa
dan kebaikan. Motif pucuk rebung selalu mengambil tempatnya dalam setiap perayaan adat,
Motif tersebut hadir sebagai kepala kain atau tumpal. Mengenakan motif pucuk rebung
dimaksudkan agar si pemakai diberkati dengan keberuntungan dan kemudahan dalam setiap
langkah hidupnya.

Saat ini, perlambang dalam motif kain tidak sedikit yang mengabaikannya. Hal ini tidak
hanya terjadi pada tenun songket, tapi juga tenun-tenun lainnya. sungguh disayangkan jika
kita atau pembuatnya hanya tahu bentuk dan nama saja, sedangkan maknanya sudah jauh
entah ke mana. Sesungguhnya, belum terlambat untuk bertanya karena mereka yang
mengerti masih ada.
Ulos Batak:
Sejarah, Makna dan Jenisnya

Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini
merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak
yang berbunyi: Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong, yang artinya jika
ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang
antara sesama.
Secara harafiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya
dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang
memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber
kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian
sebutan yang disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka
tinggal dan berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti
mereka harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah
sejarah ulos bermula.
Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai
tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari
tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung
sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-
jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena
resikonya tinggi. Karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang
mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai
produk budaya asli suku Batak.
Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya.
Sesuai dengan hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang
memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak
seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah
dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka
gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat
artistik.
Setelah mulai dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari
yang terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa
menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi
kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-motif
yang menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika ia mulai dipakai oleh tetua-tetua
adat dan para pemimpin kampung dalam pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi
dengan kebiasaan para leluhur suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah
atau pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi.
Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa
seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada
di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi
orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat.
Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa,
dan dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.
Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang non Batak. Pemberian
ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya
pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan
semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih
sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.
Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan
teman-teman satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada
semua kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos
ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai tanda penghormatan
atas jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan
pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita
tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang digunakan dalam upacara
adat adalah Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang menggambarkan burung atau
banyak bintang tersusun teratur. Motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama
lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis
dalam ulos tersebut.

Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:

Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos jenis
kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai sehari-hari.
Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan
dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima.

Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang
kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon;
dililitkan dikepala atau di pinggang.

Berbicara soal harga, ulos dengan motif dan proses pembuatan sederhana relatif murah.
Ulos kelas ini bisa dibeli dengan harga berkisar antara Rp. 6000 sampai Rp.250.000 bahkan
lebih. Sementara untuk ulos kelas atas dengan kualitas bahan yang baik dan proses
pembuatan yang lebih rumit, bisa diperoleh dengan harga berkisar antara ratusan ribu rupiah
hingga jutaan. Misalnya songket khas Batak yang digunakan pengantin pria pada upacara
pernikahan adat Batak, dibandrol Rp. 7,5 juta.

MAKNA

Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan
orang Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku
Batak.
Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi
secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa,
karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian
restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Kain tenun ini merupakan pakaian khas suku Batak di Sumatera Utara, bentuknya
menyerupai selendang dengan panjang sekitar 1,8 meter dan lebar 1 meter, kedua ujungnya
berjuntai-juntai dengan panjang sekitar 15 cm dan pembuatan Ulos dilakukan oleh kaum
perempuan mereka menenun dari benang kapas atau rami.

Alat tenunnya antara lain :

Tundalan (Pengikat Pinggang)


Turak Baliga (Pemisah Benang)
Langgiyang (Alat Penjaga Benang agar tidak kusut)
Patubobohon (Alat untuk mengukur panjangnya kain tenunan)

Secara harafiah Ulos berarti selimut,budaya ini sama tuanya dengan kebudayaan
Batak yang telah mengenal 3 konsep kehangatan yaitu:

1. Matahari
2. Api
3. Ulos

Selain sebagai penghangat badan dikala dingin menerjang,ulos sering kali dianggap
sebagai jimat, yang mana kain ini diyakini mempunyai kekuatan yang mampu melindungi
raga, yang didalam adat Batak disebut dengan Tondi terhadap roh jahat.

Warna kain juga mempunyai arti tersendiri seperti:

Putih (Melambangkan Kesucian dan kejujuran)


Merah (Melambangkan Kepahlawanan dan keberanian)
Kuning (Melambangkan Kaya/kesuburan)
Hitam (Melambangkan Duka)

Untuk pemakaiannya kain ulos tidak dapat dikenakan dengan sembarangan, dimana
pemakaiannya harus sesuai dengan acaranya diantaranya seperti pada acara:

** Perkawinan
Menggunakan Ulos Ragi Idup yang bercorak Cerah

** Pemakaman
Menggunakan Ulos Ragi Hotang yang bercorak Gelap

Orang Batak juga mengenal upacara Mangulosi ini merupakan ritual Pemberian
Kehangatan dan Kasih Sayang penerimanya, dan umumnya pemberi ulos itu adalah:

** Orang tua kepada anak-anaknya


** Adik kepada kakaknya
** Hula-hula (keluarga laki-laki dari pihak perempuan) kepada Boru.

Jenis Ulos Batak


Tidak tertutup kemungkinan jenis ulos masih ada selain dibawah ini, kalau ada jenis
Ulos selain dibawah ini mohon ditambahkan agar tidak bisa diketahui orang banyak,
khususnya Orang Batak yang sudah tidak mengetahuinya.
Jenis-Jenis Ulos Batak yang ada :

1. ULOS RAGIDUP

Ulos yang paling tinggi derajat dari semua Ulos menurut Batak adalah ULOS
RAGIDUP. Derajat Ulos ini sering dijadikan orang batak menjadi symbol di suatu Gedong
atau corak warna suatu Gedung atau rumah. Ulos ini kalau kita cermati, seolah-olah semua
coraknya/bentuknya terkesan hidup bersenyawa dalam kederajatannya. Dan inilah yang
menjadi penyebab mengapa disebut ULOS RAGIDUP. Aragi artinya Hidup.
Ulos Ragidup ini menjadi Simbol Kehidupan, dan cerminan hidup ini menjadi harapan
buat orang batak untuk hidup dalam waktu yang panjang atau lebih panjang umurnya
daripada orang yang lebih tua sebelumnya. Sehingga bagi orang batak, Tindakan Bunuh Diri
menjadi suatu tindakan yang paling bodoh dan perlu dihindarkan dalam kondisi apapun.
Inipula yang menjadi salah satu mengilhami orang Batak punya prinsip Biar Miskin yang
mendera sepanjang perjalanan hidup, namun tetap harus berjuang demi hidup.
Biasanya Ulos ini dipakaikan dengan cara dijadikan Selendang (Sitalihononton).

Itu sebabnya ada umpama berikut :

Agia pe lapalapa, asal di toru ni sobuan, agia pe malapalap, asal ma dihangoluan, ai sai na
boi do partalaga gabe parjujuon.

Bagian-bagian / nama dan arti dari ulos ragidup adalah sbb :

Ada dua sisi tepi sebagai batas, yang menjelaskan kalau semua yang ada didunia ini ada
batasnya.
Dua sisi tadi mengapit tiga bagian dan disebut badan . Bagian palingujung dimana
bentuknya kelihatan sama disebut ingananni pinarhalak . Ingananni pinarhalak terbagi dua
lagi , yakni ingananni pinarhalak baoa (laki-laki) dang inganan ni pinarhalak boru-boru.
Bagian badan tadi warnanya merah kehitamandan ditingkahi garis-garis putih yang disebut
honda . Ingananni pinarhalak tadi adalah simbol hagabeon, maranak dan marboru.

Masih terdapat tiga simbol lagi di sana, yakni :

1. Antinganting, adalahsimbol hamoraon, karena antinganting biasanyaterbuat dari


emas.
2. Sigumang = beruang, yakni simbol kemakmuran. Beruang adalah binatang
yangbekerja tepat dan efisien, tidak banyak aksi.
3. Batu ni ansimun, melambangkan hahipason (ansimun sipalambok, taoarsipangalumi).

Di celah ketiga simbol ini, ada lagi macam bunga yang disebut ipon, dan dicelah
ipon-ipon tadi ada yang disebut dengan rasianna.

Cara mangarasi = memeriksa Ragidup yang baik :

1. Ulos itu kelihatan jernih.


2. Tenunannya rapi dan ukurannya benar.
3. Honda harus berjumlah ganjil.
4. Jumlah ipon harus benar.

Motif ulos ini agak rumit dan menurut informasinya ulos ini menjadi Ulos yang tersulit dibuat.

2. ULOS RAGIDUP SILINGGOM


Perbedaan ulos ini dengan Ragidup biasa adalah bagian badan . Ulos inipunya
badan yang kelihatan lebih linggom = gelap. Ulos inilah yang palingtepat diberikan kepada
anak yang punya pangkat dan punya kuasa, denganmaksud, kita bisa marlinggom =
berlindung di bawah kebijaksanaannya. Inibisa juga kita berikan kepada petinggi yang
mendatangi kampung kita.Ragidup Silinggom tidak diperjual belikan. Tapi entahlah ada pihak
tertentuyang melakukannya. Sebenarnya, ulos jenis ini hanya akan ditenun bila ada
pemesannya.Cara memakainya : sinampesampehon.

3. ULOS BINTANG MAROTUR / ULOS MARATUR.

Beginilah leluhur kita menyebut ulos ini, On ma ulos ni Siboru Habonaran, Siboru
Deak Parujar, mula ni panggantion dohot parsorhaon, pargantang pamonori, na so boi lobi
na so boi hurang. Artinya adalah kebijaksanaan. Ulos ini juga disebut sebagai siatur
maranak, siatur marboru, siatur hagabeon, siatur hamoraon.
4. ULOS GODANG / ULOS SADUM ANGKOLA

Disebut juga Sadum atau Sadum Angkola. Ulos ini mungkin yang paling Bagus
coraknya dan Indah warnanya di antara semua ulos, sehingga Ulos ini sangat Mahal. Lebar
Ulos ini juga cukup lebar diantara Ulos batak lainnya.
Secara Tingkatan Derajat Ulos Sadum/Ulos Godang masih dibawah Ulos RAGIDUP,
tapi kalau masalah Harga, Ulos ini jauh lebih mahal dari Ulos Ragidup.
Ulos godang biasanya diberikan kepada anak kesayangan kita, yang membawa
sukacita dalam keluarga. Inilah yang diharapkan dengan adanya pemberian ulos ini, supaya
kelak si anak makin membawa hal-hal kebajikan yang banyak dan besar / godang (banyak),
mencapai apa yang dicita-citakannya dan mendapat berkat yang banyak dan besar dari
Oppu Debata (Tuhan).
Pengertian Oppu Debata disini adalah Tuhan Allah yang Maha Kuasa, termasuk buat
Orang Batak yang beragama Non Kristen, namun perkembangan jaman seringkali
pengertian Oppu Debata lebih ditujukan ke Orang Batak yang beragama Kristen.
Biasanya Ulos Godang ini sering dibuat baju dan selain itu cara memakainya bisa
dengan diabithon (dipakai) , dihadang (dililit di kepala atau bisa juga ditengteng atau
ditalitalihon (dililit di pinggang).

5. ULOS RAGI HOTANG / ULOS RAGI HOTANG (Hotang = Rotan).


Ulos inilah yang umumnya lebih banyak diuloshon/dipakaikan/digunakan dalam pesta
adapt saat ini. Sangat Anggun saat ulos ini diuloshon / dipakaikan / disandangkan, terlebih
kalau jenisnya dari motif yang paling bagus. POTIR SI NAGOK menjadi Julukan Ulos
Ragihotang yang paling terbaik dan terindah. Ulos ini termasuk Berkelas Tinggi dan Mahal.
Cara pembuatannya tidak serumit pembuatan ulos lainnya seperti Ulos Ragidup.
Ada beberapa umpasa yang bisa digunakan ketika manguloshon Ulos Ragihotang,
yakni Hotang do ragian, hadang-hadangan pansalongan, Sihahaan gabe sianggian,
molohurang sinaloan.
Hotang binebebe, hotang pinulospulos unang iba mandele, ai godang do tudos-tudos.
Tumburni pangkat, tu tumbur ni hotang, tu si hamu mangalangka, sai di si mahamu dapotan.
Hotang hotari, hotang pulogos, gogo ma hamu mansari, asa dao napogos.
Hotang do bahen hirang, laho mandurung porapora, sai dao ma nian hamu nasirang, alai
lam balga ma holong ni roha
Hotang diparapara, ijuk di parlabian, sai dao ma na sa mara, jala sai ro ma parsaulian.
Ulos ini sering dijadikan menjadi baju, dipake juga untuk Mengafani Jenazah yang meninggal
dan juga membungkus tulang belulang dalam acara penguburan ke dua kalinya (mangungkal
holi).

6. ULOS SITOLU TUHO (Ulos tiga cabang, Tuho = cabang pohon)


Keistimewaan dari ulos ini terlihat dalam motif gorganya terdapat TOLU (tiga) TUHO
(Cabang/Bidang Arsiran). Ulos ini menggambarkan Simbol kekeraban Orang Batak yaitu
Dalihan Na Tolu (di Ulos sering ditulis Paratur ni Parhundulon ).

Setelah wejangan Dalihan Na Tolu diberikan, harus menyebutkan/ mengucapkan


sitolu saihot yakni :

1. Pasupasu asa sai masihaholongan jala rap saur matua :Sidangka ni arirang na so
tupa sirang, di ginjang ia arirang, di toru iapanggongonanbadan mu na ma na so ra sirang,
tondi mu sai masigomgoman
2. Pasupasu hagabeon :Bintang na rumiris ombun na sumorop anak pe di hamu riris,
boru pe antongtorop
3. Pasupasu pansamotan :Bona ni aek puli, di dolok Sitapongan, sai ro ma tu hamu
angka na uli,songon i nang pansamotan.

7. ULOS BOLEAN (Bolean = membelai-belai)


Ulos ini diberikan kepada anak yang kehilangan orangtua nya. Membelai-belai,
dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sedih (Mangapuli) agar hati anak yang sudah
kehilangan Orang Tua tabah menghadapinya.

8. ULOS SIBOLANG (Ulos karena Jasa)

Ulos Sibolang disebut juga sibulang yang diberikan untuk memberikan rasa hormat
karena jasanya.
Misalkan, Seorang Ulubalang yang mengalahkan musuh, atau yang bisa
membinasakan binatang pemangsa yang mengganggu ketentraman Manusia.
Jaman sekarang, ulos ini diberikan kepada Amang ni hela dan ulos ini disebut sebagai
ulos pansamot na sumintahon supaya Amang ni hela tadi bisa menjadi tempat bersandar
dan berlindung.
Perumpamaannya:
na gogo mansamot jala parpomparan sibulang bulangan.
Marasar sihosari, di tombak ni panggulangan sai halak na gogo ma hamu mansari, jala
parpomparan sibulangbulangan.
Ulos sibolang juga sering dipakai untuk menghadiri upacara kematian dan biasanya dililitkan
di Kepala yang sudah Janda (Namabalu) saat kondisi suami meninggal.

9. ULOS MANGIRING

Sering diberikan sebagai ulos parompa untuk menggendongan anak, dengan harapan
anak yang akan memakai parompa ini akan terus dalam iringan orang tuanya, kalau jaman
dulu katanya ulos ini sering dihadiahkan kepada dua kekasih ataupun pasangan muda.
Kepada pasangan pengantin, ulos ini diberikan sembari mengucapkan sebait umpasa,
Giringgiring gostagosta, sai tibu ma hamu mangiringiring, huhut mangompa-ompa
Biasanya Ulos ini dipakaikan dengan cara dijadikan Selendang (Sitalihononton).
Pemakaian Ulos Batak biasanya dilakukan sebagai berikut:
1. Siabithononton (dipakai dibadan) yaitu Ulos Ragidup, Ulos Sibolang, Ulos Ragi
Pangko, Runjat, Djobit, Simarindjamisi.
2. Sihadanghononton (dililit di kepala atau bisa juga ditengteng) yaitu Ulos Sirara, Ulos
Sadum, Ulos Sumbat, Ulos Bolean, Mangiring, Surisuri.
3. Sitalitalihononton (dililit di pinggang) Yaitu Ulos Tumtuman, Mangiring,Padangrusa.

Anda mungkin juga menyukai