Anda di halaman 1dari 36

Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan

kegemilangan Sriwijaya, [8][9] kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang
bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat
kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain
mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian
ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak
di Sumatera Selatan dan di pedalaman dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas
ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah
delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti
bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an
masehi.[2] Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera.
Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi
kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain". Songket eksklusif memerlukan di antara satu
dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu
sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat
kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai
songket sarung dengan baju kurung.
Dokumentasi mengenai asal usul songket masih tidak jelas, kemungkinan tenun songket
mencapai semenanjung Malaya melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan
Melayu, karena songket yang berharga kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam
suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk
mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di kerajaan yang secara
politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal; benang emas sejatinya memang
terbuat dari lembaran emas murni asli.[10]
Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada
tahun 1849.[11]

Motif
Songket memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas budaya wilayah
penghasil kerajinan ini. Misalnya motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Barantai
Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak,
Silala Rabah, dan Simasam adalah khas songket Pandai Sikek, Minangkabau.[12] Beberapa
pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka. Dari 71 motif
songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif
songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis,
Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar, termasuk
motif Berante Berakam pada seragam resmi Sriwijaya Football Club. Selain motif Berante
Berakam, beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni motif Songket Lepus Bintang
Berakam, Nago Besaung, Limar Tigo Negeri Tabur Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis,
Lepus Bintang Penuh, Limar Penuh Mawar Berkandang, dan sejumlah motif lain.[9]

Songket kini[sunting | sunting sumber]


Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para
bangsawan yang menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini
songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata,
karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif
dengan harga yang sangat mahal. Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka
songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli.
Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang
anggun dan harganya cukup mahal.
Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan
Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin
laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan. Pada
masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang
dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan
untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan
dengan kebaya atau baju kurung.
Meskipun berasal dari kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus
hidup dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha menciptakan
motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang lebih lembut. Hal ini
sebagai upaya agar songket senantiasa mengikuti zaman dan digemari masyarakat.[9] Sebagai
benda seni, songket pun sering dibingkai dan dijadikan penghias ruangan. Penerapan kain
songket secara modern amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, bahkan
kantung ponsel.

Di Indonesia, pusat kerajinan tangan tenun songket dapat ditemukan


di Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Lombok dan Sumbawa. Di pulau Sumatera pusat
kerajinan songket yang termahsyur dan unggul adalah di daerah Pandai
Sikek dan Silungkang, Minangkabau, Sumatera Barat,[12] serta di Palembang, Sumatera
Selatan. Di Bali, desa pengrajin tenun songket dapat ditemukan di kabupaten Klungkung,
khususnya di desa Sidemen dan Gelgel. Sementara di Lombok, desa Sukarara di kecamatan
Jonggat, kabupaten Lombok Tengah, juga terkenal akan kerajinan songketnya.[13] Di luar
Indonesia, kawasan pengrajin songket didapati di Malaysia; antara lain di pesisir
timur Semenanjung Malaya[14] khususnya industri rumahan di pinggiran Kota
Bahru, Kelantan dan Terengganu; serta di Brunei.[10]
Apa Itu Songket?

Songket adalah sebutan untuk kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang
pakan sebagai hiasan, yaitu dengan menyisipkan benang emas, perak atau warna di atas
benang lungsin. Songket merupakan kerajinan tradisional khas masyarakat di hampir seluruh
penjuru Sumatera, mulai dari Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, hingga Riau.
Pengrajin songket kebanyakan Wanita.
Untuk songket Palembang, pembuatannya dilakukan dengan dua tahap, yaitu pertama
menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos dan tahap selanjutnya
menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Orang
Eropa dan Amerika menyebut cara menenun ini sebagai inlay weaving system.
Motif Hias Songket
Motif Hias songket biasanya berbentuk geometris atau mengambil bentuk flora dan fauna,
yang masing-masing mempuyai arti perlambangan yang baik. Misalnya, bunga cengkih,
bunga tanjung, bunga melati dan bunga mawar yang melambangkan kesucian, keanggunan,
rezeki dan segala kebaikan.
Motif-motif itu antara lain lepus, jando beraes, bungan inten, tretes midar, pulir biru,
kembang suku hijau, bungo cino dan bunga pacik.
Dulu, Hanya Untuk Bangsawan
Dari segi sejarah, songket dulu hanya untuk dipakai oleh golongan bangsawan. Makin halus
tenunan, makin rumit corak songketnya dan makin berat songketnya (menandakan bahwa
songket tersebut dibuat dari benang emas asli) berarti makin tinggi pangkat dan kedudukan
orang yang mengenakannya.
Sejaran dari mana datangnya kain songket sebetulnya tidak dapat dipastikan dengan tepat.
Namun, asal-usul kata songket boleh dibilang berasal dari kata “menyungkit” dalam bahasa
Siam.
Akulturasi Dengan Budaya Cina
Berdasarkan kajian sejarah, motif kain songket Palembang dikenal pertama kali melalui
penemuan arca di Candi Bumiayu, Muara Enim, Sumatera Selatan. Temuan itu diperkirakan
berasal dari abad ke-11 hinggga ke-12.
Ketika ditemukan, ada dua macam motif kain songket yang digunakan di arca tersebut.
Hasil tinjauan sejarah juga menunjukkan bahwa keberadaan kain songket ini terpengaruh
oleh kebudayaan bangsa Cina. Kajian tersebut diperkuat melalui keberadaan warna dan motif
songket yang ada kemiripannya dengan kain-kain dari Cina.
Paten Untuk 25 Motif Songket
Demi mendapatkan perlindungan sekaligus menghargai kreativitas dan warisan budaya,
pemerintah Kota Palembang mendaftarkan 25 motif kain songket ke Direktorat Jendral Hak
Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Motif-motif itu antara lain
: nago besaung, lepus bintang berakit, tigo negeri betabur intanm, tigo negeri cantik manis
dan limar cempuk. Selain itu, ternyata masih ada sekitar 100 motif songket tradisional lagi
yang masih harus terus didata dan didaftar.

Cara Menyimpan Songket


Karena terbuat dari jalinan benang-benang yang disungkit, songket sebaiknya disimpan
tidak dengan cara dilipat, melainkan digulung dan diletakkan di atas permukaan yang datar.
Begitu juga dengan busana songket. Gantungkan pada gantungan baju dan jangan dilipat. *

Sejarah Kain Songket Asli Palembang


Posted on 4 Februari 2011by songketaslipalembang
Songket adalah jenis kain tenunan tradisional Melayu di Indonesia, Malaysia, dan Brunei.
Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan dengan
benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada acara-acara resmi. Benang logam
metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang.
Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang
berarti “mengait” atau “mencungkil”. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya;
mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas.
Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka,
peci khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang
emas dimulai. Isitilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’.
Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau
pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau
sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan kepala
yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran serta
bangsawan Kesultanan Melayu.Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak
dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket.Beberapa
kain songket tradisional sumatra memiliki pola yang mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun
secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-
motifnya pun dipolakan dengan flora dan fauna lokal. Motif ini juga dinamai dengan kue
lokal Melayu seperti seri kaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan favorit raja.

Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman
dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan
orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket
ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan
benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak
diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik tenun
seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam, yang kemudian berkembang
ke selatan di Pattani dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu. Akan tetapi menurut
penenun Terengganu, justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun
ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya.
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan
kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi
pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan
songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah
yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian
ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak
di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di
reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delimayang belum
diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal
telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi.Songket
mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang
merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk
“Ratu Segala Kain”. Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk
menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari.
Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala.
Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju
kurung.
Keberadaan kain songket Palembang merupakan salah satu bukti peninggalan kerajaan
Sriwijaya yang mampu penguasai perdagangan di Selat Malaka pada zamannya. Para ahli
sejarah mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya sekitar abad XI setelah runtuhnya kerajaan
Melayu memegang hegemoni perdagangan laut dengan luar negeri, diantara negara yang
mempunyai hubungan dagang dengan kerajaan Sriwijaya adalah India, Cina, Arab dll.
Keberadaan hegemoni perdagangan ini menunjukan sebuah kebesaran kerajaan maritim di
nusantara pada masa itu. Keadaan geografis yang berada di lalu lintas antara jalut
perdagangan Cina dan India membuat kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim dan
perdagangan internasional.

Gemerlap warna dan kilauan emas yang terpancar pada kain tenun ini, memberikan nilai
tersendiri dan menunjukan sebuah kebesaran dari orang-orang yang membuat kain songket.
Apabila kita melihat rangkaian benang yang tersusun dan teranyam rapih lewat pola simetris,
menunjukan bahwa kain ini dibuat dengan keterampilan masyarakat yang memahami
berbagai cara untuk membuat kain bermutu, yang sekaligus mampu menghias kain dengan
beragam desain. Kemampuan ini tidak semua orang mampu mengerjakannya, keahlian dan
ketelitian mutlak diperlukan untuk membuat sebuah kain songket. Pengetahuan ini biasanya
diperoleh dengan cara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya.

Menurut para ahli sejarah, seperti dikutip oleh Agung S dari Team Peneliti ITT Bandung
dalam bukunya yang berjudul “Pengetahuan Barang Tekstil” ( 1977:209 ), mengatakan
bahwa sejak zaman Neolithikum, di Indonesia sudah mengenal cara membuat pakaian. Dari
alat-alat peninggalan zaman Neolithikum tersebut dapat diketahui bahwa kulit kayu
merupakan pakaian manusia pada zaman prasejarah di Indonesia. Alat yang digunakan adalah
alat pemukul kulit kayu yang dibuat dari batu,seperti yang terdapat pada koleksi Museum
Pusat Jakarta. Disamping pakaian dari kulit kayu, dikenal juga bahan pakaian dengan
mengunakan kulit binatang yang pada umumnya dipakai oleh laki–laki sebagai pakaian untuk
upacara ataupun pakaian untuk perang. Sejak zaman prasejarah nenek moyang bangsa
Indonesia juga sudah mengenal teknik menenun. Hal tersebut diperkuat dengan adanya
penemuan tembikar dari zaman prasejarah yang didalamnya terdapat bentuk hiasan yang
terbuat dari kain tenun kasar.

Kemakmuran dizaman itu terlihat dari adanya kerajaan Sriwijaya yang menghasilkan
berbagai kain songket, dimana pada masa itu diperkirakan gemerlap warna kain songket
untuk para pejabat kerajaan khususnya untuk raja di berikan sulaman berbahan emas. Sebagai
kerajaan yang kaya dengan emas dan berbagai logam mulai lainnya, sebagian emas-emas
tersebut dikirim kenegeri Siam (Thailand) untuk dijadikan benang emas yang kemudian
dikirim kembali kekerajaan Sriwijaya, oleh para perajin benang emas tersebut ditenun dengan
menggunakan benang sutra berwarna yang pada masa itu diimpor dari Siam (Thailand), India
dan Tiongkok (Cina). Perdagangan internasional membawa pengaruh besar dalam hal
pengolahan kain songket terutama dalam memadukan bahan yang akan digunakan sebagai
kain songket. Kain Songket untuk Raja dan kelurganya tentu memerlukan bahan dan
pengerjaan yang lebih, benang sutra yang dilapisi emas menjadi bahan yang menonjol dalam
pembuatanya, sehingga menghasilkan sebuah kain songket gemerlap, yang menunjukan
sebuah kebesaran dan kekayaan yang tidak terhingga.
Oleh: Soesandireja
JANUARI 20, 2015

Wilayah Palembang khususnya, memang tercatat memiliki sejarah yang


cukup panjang; dari Sriwijaya sampai dengan Kesultanan Palembang. Banyak
peninggalan tak ternilai yang berasal dari kerajaan-kerajaan terkenal itu, satu
diantaranya adalah budaya wastra, tenun songket.

Kain Songket memberikan nilai tersendiri yang dapat menujukan “kebesaran”


bagi orang-orang yang mengenakan dan membuatnya. Rangkaian benang
yang tersusun dan teranyam rapi dengan pola simetris itu, menunjukkan
bahwa kain songket dibuat dengan keterampilan masyarakat yang lebih dari
sekedar memahami cara untuk membuat kain, akan tetapi keahlian dan
ketelitian itu telah mendarah daging.

Lestarinya kain Songket mutlak disebabkan karena adanya proses


pembelajaran antar generasi. Selain itu, Songket tidak hanya selembar kain
benda pakai, songket adalah simbol budaya yang telah merasuk dalam
kehidupan, tradisi, sistem nilai, dan sosial masyarakatnya.

Gemerlap warna serta kilauan emas yang terpancar pada kain Songket, pada
masa lalu bahkan membuktikan kekayaan suatu daerah. Kain-kain semacam
ini selain digunakan oleh kalangan istana dan para pejabat, dalam sejarahnya,
songket adalah komiditi perdagangan berharga, bahkan hingga saat ini.

Tenun Songket dalam Sejarahnya

Sejak zaman prasejarah, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal


teknik menenun. Hal ini diperkuat dengan adanya penemuan tembikar dari
periode neolitik yang di dalamnya terdapat kain tenun kasar, juga beberapa
temuan fragmen kain tenun lainnya.

Salah satu yang menjadi “gudang tenun” di Nusantara adalah Pulau Sumatra.
Setiap daerah di wilayah ini bahkan mempunyai ciri khas tenunan-nya
masing-masing. Saling pengaruh-memengaruhi antar tempat dan daerah di
Pulau Sumatra tentu saja tidak dapat dihindarkan.
Interaksi budaya tenun antar etnis di Sumatra dan sekitarnya dimungkinkan
terjadi karena letak geografis yang saling berdekatan satu sama lain; dapat
dicapai dengan mudah. Songket Palembang sepintas tampak pengaruhnya
pada kain-kain di wilayah Jambi, Riau, dan Sumatra Utara

Songket Palembang konon merupakan peninggalan dari kejayaan kerajaan


Sriwijaya pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 ini
pada perkembangannya kemudian mampu menguasai lalu lintas perdagangan
di Selat Malaka, hingga mempunyai pengaruh cukup kuat di wilayah India
dan Cina.

“Songket Aesan Gede, Palembang”. Foto oleh


Gunkarta
Sebagai wilayah yang dijuluki Swarnadwipa (Pulau emas), di bawah naungan
kerajaan yang berkuasa saat itu emas sebagai logam mulia, telah memainkan
peranannya yang penting. Bahkan saking kayanya dengan emas, Raja
Sriwijaya tiap harinya membuang sebungkal emas ke sebuah kolam dekat
istananya, begitulah menurut kabar dari orang-orang Cina yang waktu itu
memang aktif melakukan perdagangan dengan Sriwijaya.

Jaringan perdagangan internasional ini membawa pengaruh besar dalam hal


pengolahan kain tradisional mereka. Pada perkembangannya dimungkinkan
bahan yang digunakan untuk membuat songket telah di kirim dari berbagai
daerah.

Sebagian emas dan beberapa logam mulia lainnya dari Sumatra, dikirim ke
negeri Siam (Thailand) dan wilayah Vietnam —dua wilayah tersebut memang
terkenal sebagai tempat pengrajin logam di Asia Tenggara, dari masa
perundagian—. Di sana, emas mereka jadikan benang, tentunya di wilayah
Sumatra juga tradisi membuat benang emas sudah ada.

Emas yang telah menjadi benang kemudian dikirim kembali ke kerajaan


Sriwijaya untuk ditenun dengan menggunakan jalinan benang sutra berwarna
yang sebagian mereka dapatkan dari India dan juga Tiongkok (Cina), tetapi
sebagian besar dihasilkan oleh masyarakatnya. Palembang bahkan dikenal
dengan pembudidayaan ternak ulat sutera untuk diambil benangnya.

Selain sebagai bandar dagang, wilayah Sumatra masa Sriwijaya juga


merupakan pusat dari kegiatan agama Buddha terbesar di zamannya, bahkan
tempat singgah para pelancong dari berbagai tempat.

Kondisi ini dimungkinkan bahwa wilayah Sumatra kemudian sebagai wilayah


yang telah membuka diri terhadap kedatangan “pihak asing”. Adanya
hubungan interaksi dengan dunia luar secara tidak langsung memengaruhi
kebudayaan setempat. Meskipun begitu, Songket tetaplah ciri khas yang tidak
ditemukan di wilayah lainnya dan mengisi khazanah kekayaan budaya
masyarakat setempat, yang masih bisa dirasakan sampai saat ini.
Mulai melemahnya kerajaan-kerajaan di Nusantara pada akhir abad ke-18–
khususnya di Pulau Sumatra dan munculnya kolonial Belanda–secara tidak
langsung telah berdampak pada kerajinan tenun songket ini.

Sampai menjelang Perang Dunia II, keberadaan songket bahkan mengalami


kemunduran karena kesulitan mendapat bahan baku. Berakhirnya pengaruh
Belanda di Nusantara karena meluasnya pengaruh Jepang di Asia Pasifik,
hingga menjelang masa kemerdekaan sampai dengan tahun 1950, tenunan
kain Songket seolah mati suri.

Perempuan Minang menenun songket awal abad ke-20”. Foto dari Tropenmuseum

Kesulitan mendapatkan bahan baku dan memasarkan hasil produksi adalah


permasalahan terbesar saat itu. Menjelang pertengahan abad ke-20, kerajinan
kain songket diperkirakan kembali mulai bergiat terutama karena muncul
inisiatif memanfaatkan kembali benang emas dan benang perak dari tenunan
kain songket yang lama—yang sudah tidak dipakai, atau benang dasarnya
sudah lapuk—untuk dijadikan tenunan kain songket yang baru.
Selanjutnya kerajinan songket mulai banyak dikerjakan kembali oleh para
pengrajin. Banyaknya bahan baku yang hadir di pasaran baik yang berasal
dari Cina, Taiwan, India, Prancis, Jepang dan Jerman menandakan bahwa
tenun songket mulai menapaki kejayaannya kembali.

Songket Tretes

Mulai kembali banyak permintaan Songket di masyarakat, mungkin menjadi


faktor pendukungnya. Pada akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke-21,
Songket bahkan telah merambah dunia fashion sebagai salah satu bahan kain
yang mengagumkan.

Keberadaan kain songket memang telah mengalami pasang surut dalam


sejarahnya. Seiring dengan usaha masyarakatnya untuk mempertahankan
peninggalan kebudayaan masa lampau itu, Songket kemudian dapat melewati
tantang dari tiap zamannya.

Bertahannya kain songket ini, selain memiliki bentuk yang indah juga karena
nilai historis-nya, Songket dipertahankan terutama karena masih mendapatkan
tempatnya dalam budaya mereka. Keberadaan kain songket, merupakan salah
satu kekayaan bangsa yang harus dijaga keberadaannya agar tetap lestari.
Macam dan Jenis Kain Songket

A. Songket Lepus

“Songket Lepus” Foto dari jualsongketpalembang.com

Lepus kurang lebih artinya menutupi; Songket yang benang emasnya


hampir menutupi seluruh bagian kain. Sesuai motifnya, jenis
Songket Lepus ini pun dikenal dengan berbagai macam nama: Lepus
Lintang, yang memiliki motif bergambar bintang, Songket Lepus
Berantai, Songket Ulir, dan lain-lain.
B. Songket Tawur

“Songket Tawur (Nampan): Foto dari museumsongketdigital.com

Tawur kurang lebih artinya bertaburan atau menyebar. Songket


Tawur ini memiliki motif yang tidak menutupi seluruh permukaan
kain tetapi berkelompok dan menyebar.

Benang pakan pembentuk motifnya juga tidak disisipkan dari


pinggir ke pinggir kain. Yang termasuk ke dalam jenis Songket
Tawur yaitu songket tawur lintang, songket tawur nampan perak,
songket tawur tampak manggis, dan lain-lain.
C. Songket Tretes

“Songket Tretes”

Pada kain Songket jenis Tretes ini umumnya tidak dijumpai pola
atau motif pada bagian tengah kain. Misalnya motif-motif yang
terdapat dalam Songket Tretes Mender yang hanya terdapat pada
kedua ujung pangkalnya dan pada pinggir-pinggir kain, bagian
tengah dibiarkan polos tanpa motif.
D. Songket Bungo Pacik

“Songket Bungo Pacik”

Pada kain songket jenis Bungo Pacik, sebagian besar dari motifnya
dibuat dari benang kapas putih, sehingga benang emasnya tidak
banyak terlihat dan hanya mengisi sebagian motif selingan.

E. Songket Limar

“Songket Limar”
Songket Limar atau kain limar berbeda dengan pengerjaan songket
lainnya. Songket ini ditenun dengan corak ikat pakan. Motifnya
berasal dari jalinan benang pakan (benang lungsi) yang diikat dan
dicelup pewarna pada bagian-bagian yang diinginkan sebelum
ditenun.

Kain Limar ini biasanya digunakan untuk kain sarung laki-laki atau
perempuan yang disebut sebagai sewet.Biasanya motif dari kain
limar dikombinasikan dengan corak songket untuk digunakan
wanita. Corak Kain limar pada bagian badan kain dan corak songket
diletakan pada kepala kain.

F. Songket Kombinasi

Songket Kombinasi, sesuai namanya merupakan perpaduan dari


jenis-jenis songket lainnya, misalnya Songket Bungo Cino yang
merupakan gabungan jenis motif songket Bungo Pacik dengan jenis
Songket Tawur. Sedangkan jenis Songket Bungo Intan adalah
gabungan antara Songket Bungo Pacik dengan jenis Songket Tretes .
Selain jenis songket-songket di atas, masih terdapat jenis songket
lainnya yang umumnya dinamakan berdasar pada motifnya,
misalnya Songket Pucuk Rebung, Songket Bungo Manggis, Bungo
Tanjung, Bungo Melati, Songket Sorong dan lain sebagainya.

“Songket dari Singaraja, 1920 c”. Foto oleh Chris Hazzard

Motif kain yang sering menghiasi kain songket adalah motif bunga,
ini menandakan bahwa aktivitas menenun memiliki kedekatan
dengan dan untuk wanita serta mencerminkan wanita. Pada zaman
dahulu songket itu mereka tenun sambil menunggu datangnya
lamaran dari laki-laki.

Walaupun sejarah telah mencatat bagaimana kain songket ini telah


melewati berbagai lintasan zaman, namun kain songket tidak terlalu
banyak mengalami penambahan motif. Motif bunga manggis dalam
desain kain songket bahkan memperlihatkan persamaan dengan
motif bunga yang terdapat pada candi Prambanan.

Untuk membuat motif yang berbeda pada kain songket, biasanya


ditenunkan dua atau tiga motif kain songket lainnya, sehingga
menghasilkan perpaduan yang indah dan menarik tetapi, hal itu tidak
keluar dari tata aturan yang mereka yakini.

Warna yang digunakan dalam kain songket pada masa lalu didapat
dari pewarna-pewarna alam; pohon dan buah kesumba misalnya
dapat digunakan untuk campuran yang menghasilkan warna ungu,
merah anggur, dan hijau.Warna ungu juga dapat dihasilkan dari kulit
buah manggis. Warna kuning dari tanaman kunyit, sedangkan warna
merah terang berasal dari kulit kayu sepang yang sudah berumur.

Untuk membuat warna dalam kain tenun jelas memerlukan


pengetahuan yang tidak sembarangan dan ketersediaan pewarna-
pewarna tersebut yang berasal dari tanaman atau jenis pohon tertentu
harus dibudidayakan dekat dengan lingkungan mereka.
Berkurangnya lahan untuk membudidayakan atau tanaman tersebut
tidak lagi dijumpai menjadi indikasi bahwa bahan pewarna sudah
berganti menjadi bahan pewarna tekstil yang umumnya digunakan
dengan campuran kimia.

Simbol dan Perlambangan

Manusia sebagai makhluk simbolik atau Homo symbolicum. Simbol


atau lambang tersebut sering digunakan manusia sehingga
merepresentasikan makna bagi orang lain. Simbol-simbol itu tidak
terkecuali juga hadir dan terdapat dalam warna serta motif kain
songket.

Songket dan Fashion

Setiap warna dalam kain songket memiliki makna yang dapat


menujukan status dan keadaan dari si pemakainya, kuning sebagai
lambang emas telah mewarnai kebesaran dan keagungan yang bukan
hanya sebagai status kekayaan namun juga status sosial. Sebagai
contoh, kain songket dengan warna hijau, kuning dan merah padam
pernah diasosiakan sebagai simbol kesendirian (;”janda”),
sedangkan bila hendak menikah [lagi ] hendaklah mengenakan
warna-warna yang terang dan lebih cerah.

Songket biasanya dipakai sebagai busana pakaian adat untuk


menghadiri dan menggelar upacara-upacara adat. Upacara
perkawinan merupakan salah satunya. Songket tidak hanya menjadi
busana pengantin, tapi mas kawin dan tamu undangan pun kerap
menggunakan songket.
Songket umumnya tidak untuk dikenakan sehari-hari, ini
menandakan bahwa kain songket tidak untuk dipakai sembarangan,
karena selain “terlalu mewah” jika dikenakan sehari-hari, Songket
juga mengandung makna-makna tertentu. Makna yang merupakan
perlambang dari si pemakainya. Sebagai contoh, songket yang
dikenakan untuk upacara perkawinan berbeda dengan Songket yang
digunakan dalam upacara adat lainnya.

Seperti sudah menjadi kekhususan bahwa warna merah yang


menyala harus dikenakan oleh pengantin sedang untuk upacara adat
lainnya ada kelonggaran untuk memilih motif dan warna. Pada masa
lalu pemakaian kain songket mungkin dibedakan antara keluarga
kerajaan, pegawai, bangsawan dan rakyat biasa. Perbedaan
pemakaian kain songket penting karena dalam kain songket tersebut
mempunyai motif-motif yang menyimbolkan “sesuatu”, makna yang
coba direfleksikan oleh pemakainya.

Misalnya Songket dengan motif bunga tanjung yang melambangkan


keramah-tamahan, dipakai untuk menyambut tamu, khususnya
dipakai tua rumah sebagai ungkapan dari selamat datang.

Songket dengan motif bunga melati melambangkan keanggunan,


kesucian, dan sopan santun. Kain songket dengan motif bunga
melati biasanya dikenakan oleh perempuan yang belum menikah.

Songket dengan motif pucuk rebung melambangkan sebuah harapan,


sebuah doa dan kebaikan. Motif pucuk rebung selalu mengambil
tempatnya dalam setiap perayaan adat, Motif tersebut hadir sebagai
kepala kain atau tumpal. Mengenakan motif pucuk rebung
dimaksudkan agar si pemakai diberkati dengan keberuntungan dan
kemudahan dalam setiap langkah hidupnya.

Saat ini, perlambang dalam motif kain tidak sedikit yang


mengabaikannya. Hal ini tidak hanya terjadi pada tenun songket,
tapi juga tenun-tenun lainnya. sungguh disayangkan jika kita atau
pembuatnya hanya tahu bentuk dan nama saja, sedangkan maknanya
sudah jauh entah ke mana. Sesungguhnya, belum terlambat untuk
bertanya karena mereka yang mengerti masih ada.

Sejarah Kain Songket Asli Palembang


Posted on 4 Februari 2011by songketaslipalembang
Songket adalah jenis kain tenunan tradisional Melayu di Indonesia, Malaysia, dan Brunei.
Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan dengan
benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada acara-acara resmi. Benang logam
metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang.
Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang
berarti “mengait” atau “mencungkil”. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya;
mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas.
Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka,
peci khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang
emas dimulai. Isitilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’.
Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau
pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau
sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan kepala
yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran serta
bangsawan Kesultanan Melayu.Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak
dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket.Beberapa
kain songket tradisional sumatra memiliki pola yang mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun
secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-
motifnya pun dipolakan dengan flora dan fauna lokal. Motif ini juga dinamai dengan kue
lokal Melayu seperti seri kaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan favorit raja.

Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman
dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan
orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket
ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan
benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak
diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik tenun
seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam, yang kemudian berkembang
ke selatan di Pattani dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu. Akan tetapi menurut
penenun Terengganu, justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun
ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya.
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan
kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi
pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan
songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah
yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian
ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak
di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di
reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delimayang belum
diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal
telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi.Songket
mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang
merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk
“Ratu Segala Kain”. Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk
menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari.
Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala.
Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju
kurung.
Keberadaan kain songket Palembang merupakan salah satu bukti peninggalan kerajaan
Sriwijaya yang mampu penguasai perdagangan di Selat Malaka pada zamannya. Para ahli
sejarah mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya sekitar abad XI setelah runtuhnya kerajaan
Melayu memegang hegemoni perdagangan laut dengan luar negeri, diantara negara yang
mempunyai hubungan dagang dengan kerajaan Sriwijaya adalah India, Cina, Arab dll.
Keberadaan hegemoni perdagangan ini menunjukan sebuah kebesaran kerajaan maritim di
nusantara pada masa itu. Keadaan geografis yang berada di lalu lintas antara jalut
perdagangan Cina dan India membuat kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim dan
perdagangan internasional.

Gemerlap warna dan kilauan emas yang terpancar pada kain tenun ini, memberikan nilai
tersendiri dan menunjukan sebuah kebesaran dari orang-orang yang membuat kain songket.
Apabila kita melihat rangkaian benang yang tersusun dan teranyam rapih lewat pola simetris,
menunjukan bahwa kain ini dibuat dengan keterampilan masyarakat yang memahami
berbagai cara untuk membuat kain bermutu, yang sekaligus mampu menghias kain dengan
beragam desain. Kemampuan ini tidak semua orang mampu mengerjakannya, keahlian dan
ketelitian mutlak diperlukan untuk membuat sebuah kain songket. Pengetahuan ini biasanya
diperoleh dengan cara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya.

Menurut para ahli sejarah, seperti dikutip oleh Agung S dari Team Peneliti ITT Bandung
dalam bukunya yang berjudul “Pengetahuan Barang Tekstil” ( 1977:209 ), mengatakan
bahwa sejak zaman Neolithikum, di Indonesia sudah mengenal cara membuat pakaian. Dari
alat-alat peninggalan zaman Neolithikum tersebut dapat diketahui bahwa kulit kayu
merupakan pakaian manusia pada zaman prasejarah di Indonesia. Alat yang digunakan adalah
alat pemukul kulit kayu yang dibuat dari batu,seperti yang terdapat pada koleksi Museum
Pusat Jakarta. Disamping pakaian dari kulit kayu, dikenal juga bahan pakaian dengan
mengunakan kulit binatang yang pada umumnya dipakai oleh laki–laki sebagai pakaian untuk
upacara ataupun pakaian untuk perang. Sejak zaman prasejarah nenek moyang bangsa
Indonesia juga sudah mengenal teknik menenun. Hal tersebut diperkuat dengan adanya
penemuan tembikar dari zaman prasejarah yang didalamnya terdapat bentuk hiasan yang
terbuat dari kain tenun kasar.

Kemakmuran dizaman itu terlihat dari adanya kerajaan Sriwijaya yang menghasilkan
berbagai kain songket, dimana pada masa itu diperkirakan gemerlap warna kain songket
untuk para pejabat kerajaan khususnya untuk raja di berikan sulaman berbahan emas. Sebagai
kerajaan yang kaya dengan emas dan berbagai logam mulai lainnya, sebagian emas-emas
tersebut dikirim kenegeri Siam (Thailand) untuk dijadikan benang emas yang kemudian
dikirim kembali kekerajaan Sriwijaya, oleh para perajin benang emas tersebut ditenun dengan
menggunakan benang sutra berwarna yang pada masa itu diimpor dari Siam (Thailand), India
dan Tiongkok (Cina). Perdagangan internasional membawa pengaruh besar dalam hal
pengolahan kain songket terutama dalam memadukan bahan yang akan digunakan sebagai
kain songket. Kain Songket untuk Raja dan kelurganya tentu memerlukan bahan dan
pengerjaan yang lebih, benang sutra yang dilapisi emas menjadi bahan yang menonjol dalam
pembuatanya, sehingga menghasilkan sebuah kain songket gemerlap, yang menunjukan
sebuah kebesaran dan kekayaan yang tidak terhingga.

Kota Palembang menyimpan salah satu jenis tekstil terbaik dunia yaitu kain songket. Kain
songket Palembang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan di antara
keluarga kain tenun tangan kain ini sering disebut sebagai Ratunya Kain. Hingga saat ini kain
songket masih dibuat dengan cara ditenun secara manual dan menggunakan alat tenun
tradisional. Sejak zaman dahulu kain songket telah digunakan sebagai pakaian adat kerajaan.
Warna yang lazim digunakan kain songket adalah warna emas dan merah. Kedua warna ini
melambangkan zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan pengaruh China pada masa lampau.
Material yang dipakai untuk menghasilkan warna emas ini adalah benang emas yang
didatangkan langsung dari Tiongkok, Jepang, dan Thailand. Benang emas inilah yang
membuat harga kain songket melambung tinggi dan menjadikannya sebagai salah satu tekstil
terbaik di dunia.
Selain kain songket, palembang juga tengah mengembangkan jenis tekstil yang lainnya
seperti batik, namun batik palembang berbeda dengan batik jawa ,batik Palembang nampak
lebih ceria karena menggunakan warna - warna terang dan masih mempertahankan motif -
motif tradisional setempat.

Pada zaman dahulu (Kerajaan Sriwijaya) kain tenun songket Palembang tidak hanya
diperdagangkan di daerah sekitarnya (di Pulau Sumatera saja), melainkan juga ke luar negeri,
seperti: Tiongkok, Siam, India dan Arab. Namun, pada saat penjajahan Belanda dan Jepang,
tenun songket tersebut mengalami kemunduran. Bahkan, saat terjadinya Revolusi fisik (1945-
-1950) kerajinan tenun songket di Palembang sempat terhenti karena tidak adanya bahan
baku. Namun, di permulaan tahun 1960-an tenun songket Palembang mengalami kemajuan
yang pesat karena pemerintah menyediakan dan mendatangkan bahan baku serta membantu
pemasarannya. Pengerjaan kain tenun di Palembang umumnya dikerjakan secara “sambilan”
oleh gadis-gadis remaja yang menjelang berumah tangga dan ibu-ibu yang sudah lanjut usia
sambil menunggu waktu menunaikan ibadah sholat. Pada umumnya pembuatan songket
dikerjakan oleh kaum perempuan. Dewasa ini pengrajin tenun songket Palembang tidak
hanya memproduksi satu jenis songket tertentu, seperti sarung dan atau kain. Akan tetapi,
seiring dengan perkembangan zaman, sudah merambah ke produk jenis lain, seperti: gambar
dinding, taplak meja, permadani bergambar, baju wanita, sprey, baju kursi, bantal permadani,
selendang, serber, kain lap dapur, sapu tangan, bahan kemeja, dan tussor (bahan tenun
diagonal). Seperti seni tenun daerah lainnya di nusantara kita, kain songket Palembang ini
tidak diketahui persis kapan mulai dikerjakan. Untuk keperluan busana, mula-mula
digunakan sebagai bahan dasar kulit kayu, kemudian rajutan daun-daun, dan yang terakhir
ditanam kapas untuk dibuat benang sebagai bahan dasar kain tenun.
Palembang yang terletak di pulau Sumatra bagian Selatan ini dahulu menjadi pusat kerajaan
Sriwijaya yang menjadi pintu masuk berbagai budaya dari manca negara. Mula-mula datang
bangsa Portugis, kemudian bangsa India yang terakhir bangsa Cina. Pada abad ketujuh
sampai abad kesebelas Masehi kerajaan Sriwijaya sedang jaya - jayanya dengan
pelabuhannya yang ramai. Kecuali menjadi pusat perdagangan, Sriwijaya juga menjadi pusat
agama Budha. Pusat kerajaan Sriwijaya, sekarang kota Palembang, merupakan tempat
persinggahan pendeta dari Srilangka dan India yang akan pergi ke Cina. Itulah sebabnya
budaya India ikut mempengaruhi motif hias kain songket Palembang. Disamping itu
pengaruh dari Cina juga melekat pada seni tenun Palembang terutama pada penerapan warna
merah dan warna keemasan pada kain songket. Karena adanya pengaruh budaya dari luar tadi
terciptalah kain tenun dari Sriwijaya yang sangat indah dan bervariasi. Dengan demikian kain
songket ini termasuk hasil budaya daerah yang harus dilestarikan.

Palembang memiliki sejarah yang panjang, mulai dari kejayaan kerajaan Sriwijaya sampai
Kesultanan Palembang Darussalam. Kerajaan Sriwijaya pada masa kejayaannya sekitar abad
ke 7 Masehi menjadi cikal bakal kota yang terletak di tepian sungai Musi ini. Banyak
peninggalan tak ternilai berasal dari kerajaan terkenal itu, salah satunya adalah budaya wastra
(kain) yang indah,songket. Keberadaan kain songket menunjukan sebuah tingkat kebudayaan
yang tinggi, sebab dalam kain ini tersimpan berbagai hal seperti bahan yang digunakan, cara
pengerjaan, makna yang terkandung di dalamnya sekaligus cara penggunaanya dan tingkatan
orang yang memakainya. Keberadaan kain songket Palembang merupakan salah satu bukti
peninggalan kerajaan Sriwijaya yang mampu penguasai perdagangan di Selat Malaka pada
zamannya. Para ahli sejarah mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya sekitar abad XI setelah
runtuhnya kerajaan Melayu memegang hegemoni perdagangan laut dengan luar negeri,
diantara negara yang mempunyai hubungan dagang dengan kerajaan Sriwijaya adalah India,
Cina, Arab dll. Keberadaan hegemoni perdagangan ini menunjukan sebuah kebesaran
kerajaan maritim di nusantara pada masa itu. Keadaan geografis yang berada di lalu lintas
antara jalut perdagangan Cina dan India membuat kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan
maritim dan perdagangan internasional.

Gemerlap warna dan kilauan emas yang terpancar pada kain tenun ini, memberikan nilai
tersendiri dan menunjukan sebuah kebesaran dari orang-orang yang membuat kain songket.
Apabila kita melihat rangkaian benang yang tersusun dan teranyam rapih lewat pola simetris,
menunjukan bahwa kain ini dibuat dengan keterampilan masyarakat yang memahami
berbagai cara untuk membuat kain bermutu, yang sekaligus mampu menghias kain dengan
beragam desain. Kemampuan ini tidak semua orang mampu mengerjakannya, keahlian dan
ketelitian mutlak diperlukan untuk membuat sebuah kain songket. Pengetahuan ini biasanya
diperoleh dengan cara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Kain songket
Palembang merupakan salah satu bukti peninggalan kerajaan Sriwijaya. Para ahli sejarah
mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya sekitar abad XI setelah runtuhnya kerajaan Melayu
memegang hegemoni perdagangan laut dengan luar negeri, diantara negara yang mempunyai
hubungan dagang dengan kerajaan Sriwijaya diantaranya adalah India, Jawa, Arab, Portugis,
Belanda, Cina, Kalimantan bahkan dengan Amerika Serikat. Menurut para ahli sejarah,
seperti dikutip oleh Agung S dari Team Peneliti ITT Bandung dalam bukunya yang berjudul
“Pengetahuan Barang Tekstil” ( 1977:209 ), mengatakan bahwa sejak zaman Neolithikum,di
Indonesia sudah mengenal cara membuat pakaian. Dari alat–alat peninggalan zaman
Neolithikum tersebut dapat diketahui bahwa kulit kayu merupakan pakaian manusia pada
zaman prasejarah di Indonesia.

Alat yang digunakan adalah alat pemukul kulit kayu yang dibuat dari batu,seperti yang
terdapat pada koleksi Museum Pusat Jakarta. Disamping pakaian dari kulit kayu, dikenal juga
bahan pakaian dengan mengunakan kulit binatang yang pada umumnya dipakai oleh orang
laki–laki sebagai pakaian untuk upacara ataupun pakaian untuk perang. Sejak zaman
prasejarah nenek moyang bangsa Indonesia juga sudah mengenal teknik menenun. Hal
tersebut diperkuat dengan adanya penemuan tembikar dari zaman prasejarah yang
didalamnya terdapat bentuk hiasan yang terbuat dari kain tenun kasar. Kerajinan kain songket
Palembang ini berasal dari zaman kerajaan Sriwijaya sebagai kerajinan tradisional dalam
bidang pertekstilan. Kemakmuran dizaman itu terlihat dari adanya kerajaan Sriwijaya yaitu
tepatnya dalam masa pemerintahan Wangsa Syailendra yang merupakan kerajaan yang kaya
raya dengan emas dan sebagai logam mulia melimpah ruah,sebagian emas–emas tersebut
dikirim kenegeri Siam ( Thailand ) untuk dijadikan benang emas yang kemudian dikirim
kembali kekerajaan Sriwijaya, oleh para perajin benang emas tersebut ditenun dengan
menggunakan benang sutra berwarna yang pada masa itu diimport dari Siam ( Thailand ),
India dan Tiongkok ( Cina ).

Daerah–daerah di Sumatera banyak mendapat pengaruh kebudayaan dari luar hal tersebut
dikarenakan adanya hubungan dagang dengan Negara tetangga sehingga secara tidak
langsung mempengaruhi kebudayaan setempat. Disamping sebagai akibat dari adanya
pertukaran barang dalam perdagangan telah pula mempengaruhi corak atau motif kain
songket yang dihasilkan didaerah Palembang. Banyaknya pengaruh kesenian yang dibawa
oleh para pedagang tersebut yang diantaranya berasal dari Timur Tengah dan Tiongkok (
Cina ) mempengaruhi motif dalam desain kain songket Palembang. Salah satunya adalah
agama Islam yang dibawa oleh pedagang dari Timur tengah,walaupun dalam kesenian Islam
tidak diperbolehkan mewujudkan mahluk hidup, tetapi didalam desain kain songket tampak
dibuat binatang14 binatang tertentu. Seperti misalnya berbagai jenis burung, reptilia dan naga
( 1986:11 ). Motif bunga manggis dalam desain kain songket juga terdapat pada relief–relief
candi Prambanan dari abad kesembilan dan kesepuluh,para ahli memperkirakan ada
persamaan dengan motif yang ada dalam desain songket Palembang dan ini merupakan bukti
peninggalan sejarah dari zaman Hindu di Indonesia yang terdapat dalam desain kain songket
Palembang hingga saat ini. Di zaman penjajahan Belanda, terjadi perubahan pada struktur
kehidupan masyarakat sampai menjelang Perang Dunia II, keberadaan kain songket sempat
mengalami kemunduran karena sulitnya bahan baku yang diperlukan. Namun, keberadaan
kain songket yang merupakan peninggalan sejarah bangsa Indonesia masih tetap
dipertahankan terutama karena masih mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.

Zaman penjajahan Jepang dan masa Revolusi sampai dengan tahun 1950, kerajinan kain
songket hampir–hampir lenyap karena sulitnya mendapatkan bahan baku dan pemasaran hasil
produksi songket tersebut. Hal itu berbeda dari zaman penjajahan Belanda karena dalam era
penjajahan Jepang, Indonesia mengalami pemerasan sehingga bahan baku yang digunakan
untuk membuat kain songket sangat sulit diperoleh. Namun sesudah tahun 1950 kerajinan
kain songket sudah mulai diusahakan kembali secara kecil – kecilan dengan cara mencabut
kembali benang emas dan benang perak dari tenunan kain songket yang lama ( yang sudah
tidak dipakai lagi ) karena kain sutra sebagai dasarnya sudah lapuk untuk mendapatkan
tenunan kain songket yang baru, keadaan ini berlangsung hingga tahun 1966. Barulah sekitar
tahun 1966 ( akhir ), usaha kerajinan songket mulai banyak dikerjakan lagi oleh para perajin
kain songket seperti masa–masa lampau dengan banyaknya benang–benang sutera import
yang datang dari luar negeri, seperti Cina dan Taiwan melalui pedagang–pedagang dari
Singapura dan benang–benang emas dari India, Perancis, Jepang dan Jerman. Mutu dan
kualitas yang benang yang digunakan bervariasi sehingga mempengaruhi harga kain songket
Palembang yang dihasilkan. Kain songket Palembang telah banyak mengalami jatuh bangun
dalam usahanya mempertahankan peninggalan kebudayaan masa lampau. Namuntetap
bertahan hingga saat sekarang ini.
Salah satu hasil kerajinan masyarakat Palembang, Sumatera Selatan adalah kain tenun
songket. Walaupun banyak daerah di Indonesia yang memiliki keterampilan menenun,
tetapi songket Palembang ini memiliki motif dan makna tersendiri.
Awal Mula Kain Songket
Kain songket dibuat dari rangkaian benang yang tersusun serta teranyam rapi dan teratur. Ini
menunjukkan bahwa kain songket tidak dibuat dengan keahlian yang biasa-biasa aja. Kain
tenun ini dibuat dengan keahlian dan ketelitian yang tinggi agar menghasilkan songket yang
indah.
Kilauan warna emas pada kain songket ingin menunjukkan kekayaan masa lalu masyarakat
Palembang. Dulunya, kain ini digunakan oleh kalangan istana dan para pejabat. Songket
Palembang merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-9 Masehi. Wilayah ini
dijuluki dengan nama Pulau Emas (Swarnadwipa) karena pada saat itu emas cukup berperan
penting.
Tradisi membuat benang dari emas sudah dimulai sejak dulu. Emas yang telah menjadi
benang ini ditenun dengan jalinan benang sutra berwarna yang dihasilkan oleh masyarakat
setempat. Palembang dikenal dengan pembudidayaan ternak ulat sutra untuk diambil
benangnya. Sebagian kecil benang sutra yang digunakan berasal dari negara lain, yaitu dari
India dan juga China.
Kain Songket Sempat Mati Suri
Pada abad ke-18 kerajaan-kerajaan di Pulau Sumatera mulai melemah. Ini diakibatkan
munculnya kolonial Belanda. Melemahnya kerajaan-kerajaan tadi memberi dampak pada
kerajinan kain tenun songket. Hingga perang dunia II, bahan baku songket susah didapatkan.
Akhirnya kain tenun songket ini sempat mengalami mati suri sampai tahun 1950.

Pagelaran busana kain


songket di Amerika Serikat. (Foto: konfrontasi.com)
Melestarikan Kain Songket
Pertengahan abad ke-20, kerajinan kain ini kembali bangkit. Karena munculnya inisiatif
untuk memanfaatkan kembali benang emas dan perak dari kain tenun yang lama. Kain tenun
songket yang sudah lapuk atau tidak dipakai lagi dijadikan kain tenun songket yang baru.
Setelah itu, pengrajin kain tenun songket mulai banyak. Permintaan akan kain tenun ini pun
meningkat, sehingga proses produksinya dilakukan terus menerus. Hingga pada abad ke-21
kain ini mulai terkenal di dunia fashion.
Pasang surut dalam sejarah pelestarian kain tenun songket memang terjadi. keberadaan kain
tenun songket dari dulu hingga masa kini merupakan perjalanan yang indah. Songket masih
dipertahankan karena merupakan kekayaan bangsa yang masih harus dijaga agar tetap lestari.

Makna Motif Kain Songket

Istilah Songket baru ada semenjak abad ke 19, sedangkan dahulu masyarakat menyebut kain
benang emas karena terbuat dari benang emas, karena muncul beberapa versi maka
disimpulkan bahwa songket berasal dari kata tusuk dan cukit yang diakronimkan menjadi
sukit dan lazimnya disebut songket hingga saat ini. Sebelum adanya Kain Songket
masyarakat Palembang menggunakan Kain yang bernama Bidak Komering.

Ada banyak perbedaan pendapat dari para ahli tentang Kain Songket Palembang, dari sekian
banyak pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ada dua pendapat
mengenai sejak kapan Kain Songket ada dalam kehidupan masyarakat Palembang, yaitu:
 Pendapat pertama menyatakan bahwa Kain Songket telah ada di Palembang sejak ratusan
tahun silam. Semasa Kerajaan Palembang belum dikenal sebagai sebuah Kesultanan, 1455-
1659. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kerajinan kain songket telah ada sejak zaman
Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didukung dari motif-motif yang terdapat dalam Kain
Songket Palembang yang menggunakan binatang sebagai bagian dari motif. Hal ini dikatakan
jelas merupakan peninggalan dari masa sebelum Islam berkembang di Palembang.
 Pendapat kedua menyatakan bahwa Songket telah ada bersamaan munculnya Kesultanan
Darusalam (1659-1823). Berdasarkan catatan sejarah yang berhak dan pantas memakai
Songket pada waktu itu adalah para istri dan kerabat keraton. Songket yang dipakai oleh para
sultan di Palembang merupakan pelengkap pakaian kebesaran. Kain (Sewet) songket ini
merupakan kerajinan tradisional yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi
sejak dahulu kala hingga kini.
Pada waktu itu belum ada songket berbentuk kain (Sewet) karena songket pada masa itu
hanya berbentuk selendang yang dalam istilah Palembang disebut kemben. Songket/kemben
ini difungsikan sebagai kerebong, yang cara memakainya dengan diselempangkan di bahu
yang kedua ujungnya nampak berjuntaian ke arah dada. Pada masa sekarang bentuk
pemakainannya seperti syal yang dipakai oleh ulama dalam kegiatan keagamaan.

Barulah setelah era tahun 1900-an selendang songket tersebut dibuatkan padanannya berupa
kain, maka namanya berubah menjadi Kain Songket. Dahulu awal pembuatan kain songket
dibuat dari bahan dasar benang emas yang langsung didatangkan dari Cina begitu juga
benang sutera yang digunakan juga didatangkan dari Cina hal ini dikarenakan hubungan
Sriwijaya dengan Cina sangat erat terutama di bidang perdagangan dan pendidikan Agama
Budha. Aktivitas menenun songket berkembang menjadi banyak varian, perkembangan Kain
Songket lebih luas terjadi pada masa Kesultanan Palembang, karena pakaian ini dijadikan
simbol kebesaran dari raja-raja di Kesultanan Palembang.

Songket memiliki kegunaan yang sangat penting bagi masyarakat Palembang, dahulu
Songket merupakan pakaian yang mencerminkan kedudukan seseorang dalam masyarakat di
Palembang, ragam hias atau motif pada Kain Songket merupakan hal yang dilihat paling
utama. Motif pada Kain Songket memiliki arti atau makna yang dalam sebagai gambaran
kebudayaan masyarakat Palembang.

Tidak semua motif pada Kain Songket memiliki makna filosofis yang terkandung
didalamnya, hanya sebagian Kain Songket yang memiliki nilai filosofis karena Kain Songket
dan pembuatannya sudah diwariskan secara turun-temurun dan diciptakan oleh generasi
terdahulu, lalu dilanjutkan oleh generasi keturunan selanjutnya, sehingga hanya orang
terdahulu yang mengetahui makna filosofis yang terkandung pada motif Kain Songket dan
generasi berikutnya tidak banyak yang tahu nilai filosofis dari motif Kain Songket itu karena
hanya beberapa motif yang diajarkan berikut dengan makna filosofisnya.

Motif-motif pada Kain Songket hanya dapat diciptakan dan diketahui oleh orang tertentu,
tidak semua orang dapat menciptakan motif Kain Songket motif dan warna telah ditentukan
oleh pencipta Songket sehingga penenun hanya tinggal melaksanakan pola yang telah
ditentukan.
Pengertian Kain Songket secara resmi hingga kini belum ada yang dapat menjelaskan,
banyak pendapat mengartikan dari segi tata bahasa yaitu Songket yang berasal dari kata
disongsong dan di-teket, kata teket dalam Bahasa Palembang lama artinya sulam. Kata
tersebut mengacu pada pembuatan Kain Songket yang pembuatannya dengan proses
penenunan dengan memasukkan benang ke lungsin (alat tenun) dengan cara diterima atau
disongsong. Kain Songket terbagi atas 3 (tiga) bagian kain, yaitu :
1. Tumpal Kain
2. Pinggir Kain
3. Kembang Kain

Tumpal kain merupakan bagian yang terdapat pada ujung kain, dimana motif yang digunakan
biasanya motif cak rebung (pucuk rebung), hal ini dikarenakan pucuk rebung memiliki arti
sebuah bertumbuhan baru atau kekuatan yang tidak mudah dipatahkan. Motif pada tumpal
kain dibuat dengan posisi tegak yang menghubungkan dengan pinggir kain. Apabila dipakai
maka tumpal kain ditempatkan pada bagian depan pemakainnya. Kembang kain terdapat pada
bagian kedua sisi pinggir kain dengan motif yang disesuaikan dengan tumpal kain.

Songket Palembang dapat dikelompokkan pada 5 (lima) jenis Kain Songket. Pembagian jenis
Kain Songket tersebut dilakukan agar dapat dibedakan jenis Songket berdasarkan bahan
benang yang digunakan, serta motif yang menjadi ciri dari Kain Songket tersebut. Kelima
jenis Kain Songket tersebut yaitu antara lain :

1. Songket Lepus
Lepus merupakan Songket yang corak benang emasnya hampir menutupi seluruh bagian dari
Songket tersebut. Hiasan benang emasnya menyebar dan merata keseluruh permukaan
Songket. Motif kembang apapun yang ada pada Songket tersebut selalu dipenuhi dengan
benang emas. Songket lepus dibedakan menjadi tiga jenis Songket Lepus, yaitu: Lepus
Berekam, Lepus Berantai, dan Lepus Penuh. Ketiga jenis Songket tersebut memiliki
perbedaan yaitu, Songket Lepus berekam dan berantai adalah sebuah Kain Songket yang
dalam pembuatannya tidak hanya menggunakan benang emas saja tetapi juga menggunakan
benang limar dan benang sutera, sedangkan Songket Lepus penuh adalah kain songket yang
pembuatannya hanya menggunakan benang emas tanpa ditambah dengan benang lain.

2. Songket Tabur
Songket Tabur merupakan jenis Songket yang motifnya menyebar merata pada kain, seolah-
olah kembang motifnya pendek-pendek. Hiasan motifnya tidak dari pinggir kain melainkan
nampak seperti ditabur di atas permukaan Songket. Songket tabur umumnya bermotif bunga,
bintang dan lain-lain. Berbeda dengan Songket lepus Songket jenis ini menggunakan benang
emas hanya pada motif-motif tertentu dan letaknya menyebar pada sebuah kain. Kain
Songket jenis tabur lebih banyak digunakan oleh masyarakat di daerah pedalaman
Palembang.

3. Songket Bungo
Songket Bungo (bunga) adalah jenis Songket yang memiliki motif tengah mirip bunga, setiap
motif yang terdapat pada permukaan kain menggunakan benang emas dan benang sutera.
Terlihat seperti pada motif bunga emas dan bunga pacik, yang membedakannya adalah
benang yang digunakan jika motif bunga emas menggunakan benang emas dan jika motif
bunga pacik maka menggunakan benang sutera.

4. Songket Limar
Limar adalah benang sutera yang berwarna-warni atau berlimar-limar. Dinamakan Limar
karena benang suteranya yang dibuat beraneka warna yaitu merah, hijau, biru, ungu, hitam,
kuning, dan lain-lain. Pada umumnya Limar menggunakan warna yang tidak menyala, dan
warnanya unik karena merupakan kombinasi, misalnya warna hitam dikombinasi dengan
warna merah cabe, maka warnanya akan menjadi merah marun, dan warna hijau daun
dikombinasikan dengan hitam maka akan menjadi hijau toska, dan lain-lain. Ada juga yang
berpendapat limar menyerupai buah limau (jeruk). Limar artinya banyaknya bulatan-bulatan
kecil dan percikan yang membintik sebuah motif yang menyerupai tetesan air jeruk yang
diperas.Motif limar biasanya bermotif bunga–bunga dengan beraneka warna.
5. Songket Rumpak
Rumpak adalah jenis terakhir dari Songket yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
Palembang. Rumpak merupakan sebuah Kain Songket yang dipakai oleh kaum lakilaki dari
golongan bangsawan, dengan memakai jas dan Songket rumpak setengah tiang (dari
pinggang sampai lutut) serta memakai tajak (ikat kepala yang ditenun menggunakan benang
emas dan benang sutera).

Kain Songket memiliki fungsi dan kegunaan berbeda, penggunaan Kain Songket pada setiap
upacara dilihat dari motif yang terdapat pada Kain.Arti dan fungsi pada setiap motif Kain
mengandung makna filosofis yang selalu didasarkan pada falsafah hidup manusia.Selain
sebagai estetika lambang tersebut memiliki nilai yang terkandung, hal ini sesuai dengan
penggunaan pada upacara tertentu. Kain Songket dahulu memiliki fungsi sosial sebagai
lambang status sosial masyarakat tertentu. Secara ekonomi Kain Songket dahulu memiliki
fungsi sebagai kebutuhan yang sangat diperlukan bagi kelompok tertentu seperti pada
kelompok bangsawan, yang berguna sebagai bukti hasil kebudayaan asli Indonesia khususnya
di Palembang. Secara estetika fungsi Kain Songket yaitu seni keterampilan tenun untuk
menciptakan kain indah.

Tidak semua motif pada Kain Songket memiliki makna filosofis. motif Kain Songket Nago
Besaung atau Naga Bertarung merupakan motif Kain Songket yang memiliki nilai filosofis
yang berkaitan dengan pengaruh kebudayaan Cina.

Makna motif Kain Songket ini berasal dari kata Nampan Perak yang merupakan sebuah
tempat yang terbuat dari perak dengan segala fungsi baik digunakan dalam prosesi adat,
upacara, maupun keseharian di dalam kerajaan.
Motif Kain Songket Pucuk Rebung berasal dari kata Rebung atau bambu, merupakan
tumbuhan yang memiliki banyak kegunaan mulai dari akar, batang dan daun semua memiliki
kegunaan dalam kehidupan manusia.

Makna filosofis motif Kain Songket Jando Beraes atau janda berhias merupakan motif Kain
Songket yang khusus dipakai oleh seorang janda.

Makna filosofis motif Kain Songket Bungo Jatuh atau Bunga Jatuh adalah motif pada Kain
Songket yang menggambarkan bunga yang jatuh ke dalam air dengan posisi kelopak bunga
mengarah keatas sehingga terlihat keindahannya. Makna filosofis yang terkandung pada
motif tersebut adalah keanggunan sikap kalangan priyayi di dalam kehidupan kraton.

Makna motif Kain Songket Bungo Melati memiliki arti sebagai sebuah lambang sopan santun
dan mencerminkan keanggunan bagi yang memakainya.

Makna filosofis motif Bungo Mawar yaitu bunga mawar yang dianggap masyarakat
Palembang sebagai penawar. Makna motif Kain Songket Bungo Matahari atau bunga
matarahi, adalah motif yang melambangkan sumber kehidupan bagi manusia. Diambil dari
kata matahari yaitu sumber cahaya di dunia yang menerangi alam semesta.

1. Makna Filosofis Motif Nago Besaung


Makna filosofis motif Nago Besaung merupakan motif Kain Songket Palembang yang
menggambarkan dua naga yang bertarung dengan bola emas diantara keduanya. Bola emas
merupakan perlambangan dari sebuah kekuasaan, kejayaan dan kemakmuran, naga
menggambarkan hewan besar dan kuat. Makna motif nago besaung ini merupakan arti dari
penguasa yang akan mempertahankan segala kekuasaannya dengan berbagai cara.

2. Makna Filosofis Motif Nampan Perak


Makna filosofis motif Nampan Perak berasal dari kata nampan yaitu sebuah tempat yang
pada masa dahulu digunakan sebagai tempat untuk menghantarkan segala kebutuhan Raja,
seperti untuk mengantar makanan dan surat. Motif ini bermakna sebagai gambaran kejayaan
dan sikap patuh para pelayan kerajaan.

3. Makna Filosofis Motif Pucuk Rebung


Makna filosofis motif Pucuk Rebung, Rebung atau bambu merupakan tumbuhan yang
memiliki fungsi penuh dalam kehidupan, dari mulai akar, batang, dan daunnya dapat
dimanfaatkan semua serta fungsi tanaman bambu yang dahulu digunakan sebagai pagar
kerajaan. Makna filosofis dari motif ini yaitu bagi yang memakainya akan dilindungi dari
rintangan dan cobaan serta sebagai lambang kesejahteraan.

4. Makna Filosofis Motif Jando Beraes


Makna filosofis motif Jando Beraes atau janda berhias merupakan Kain Songket yang khusus
dipakai bagi perempuan yang telah menjadi janda, makna filosofis yang terkandung saat Kain
Songket ini dipakai seorang janda maka seorang janda tersebut akan terlihat anggun dan
bersahaja.

5. Makna Filosofis Motif Bungo Jatuh


Makna filosofis motif Bungo Jatuh pada Kain Songket ibarat bunga yang jatuh ke dalam air
dengan kelopak bunga menghadap keatas, akan terlihat indah dan air tersebut merupakan
sumber penghidupan, makna filosofis motif ini yaitu keindahan dan keanggunan di kalangan
keraton.

6. Makna Filosofis Motif Bungo Melati


Makna filosofis motif Bungo Melati atau bunga melati adalah motif yang digunakan para
perempuan keraton sebagai ucapan selamat datang bagi para tamu agung kerajaan yang
datang. Makna filosofis motif bunga melati melambangkan kesucian dan sopan santun.

7. Makna Filosofis Motif Bungo Mawar


Makna filosofis Kain Songket dengan motif Bungo Mawar atau bunga mawar, mawar
bermakna sebagai penawar. Penawar bagi apapun, seperti penawar sakit, penawar
malapetaka, maupun penawar rindu bagi yang memakainya.

8. Makna Filosofis Motif Bungo Matahari


Makna filosofis motif Bungo Matahari atau bunga matahari, diambil dari kata matahari yang
merupakan sumber cahaya pada kehidupan manusia, sehingga matahari dijadikan motif pada
Kain Songket dan memiliki makna filosofis sebagai sebuah lambang kehidupan.
SENTRA SONGKET TANGGO BUNTUNG

Pada masa lalu, songket adalah kain mewah yang hanya bisa dipakai oleh para bangsawan
Palembang. Penggunaan kain ini menunjukkan sebuah kemuliaan, derajat, serta martabat
dari setiap pemakainya. Namun, saat ini hampir semua golongan masyarakat bisa
memilikinya, karena harga kain songket sangat bervariasi mulai dari ratusan ribu hingga
ratusan juta rupiah.
Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan
budaya Melayu, dan menurut sementara orang teknik ini diperkenalkan oleh pedagang
India atau Arab. Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari
perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan
benang sutera sedangkan orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah
songket. Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan
dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan
sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut
tradisi Kelantan teknik tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan
Siam yang kemudian berkembang ke selatan di Pattani, dan akhirnya mencapai Kelantan
dan Terengganu sekitar tahun 1500-an. Industri kecil rumahan tenun songket kini masih
bertahan di pinggiran Kota Bahru dan Terengganu. Akan tetapi menurut
penenun Terengganu, justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik
menenun ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak
zaman Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11).
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan
kegemilanganSriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi
pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan
songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah
yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian
ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera
terletak di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas
ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah
delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti
pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga
700-an masehi. Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di
Sumatera. Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari
segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain". Songket eksklusif memerlukan di
antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya
memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket
sebagaidestar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai
memakai songket sarung dengan baju kurung.
Dokumentasi mengenai asal usul songket masih tidak jelas, kemungkinan tenun songket
mencapai semenanjung Malaya melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan
Melayu, karena songket yang berharga kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam
suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk
mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di kerajaan yang secara
politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal; benang emas sejatinya memang
terbuat dari lembaran emas murni asli.
Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir
pada tahun 1849.
Bagi Anda yang sedang berlibur di Kota Palembang, janganlah lupa untuk berkunjung
ke sentra kerajinan songket Tanggo Buntung. Sentra kerajinan songket di kawasan ini
telah berlangsung sejak sekitar abad XVIII. Di sini Anda dapat menemukan hasil ke rajinan
songket khas Palembang dengan nilai seni serta kualitas yang tinggi.
Beberapa galeri songket terkenal di kawasan Tanggo Buntung antara lain Zainal Songket,
Cek Ipah, Cek Ilah, Fikri Collection, dan lain-lain. Sebagian besar para pengrajin songket
masih memiliki hubungan keluarga dimana ilmu menenun songket diturunkan secara turun
temurun. Setiap toko tidak hanya menyediakan kain songket dengan aneka motif, namun
juga terdapat jumputan, batik songket atau batik Palembang, cinderamata khas Palembang,
dan lain-lain.
Motif dasar kain songket secara umum terbagi menjadi 3 bagian yaitu motif tumbuhan
seperti aneka bunga, motif geometris, dan yang terakhir adalah gabungan antara motif
geometris dan tumbuhan. Ketiga motif dasar kain songket ini merupakan warisan masa
lalu yang tetap dipertahankan hingga sekarang.

Ditenun dengan sepenuh hati


Bahan dasar pembuatan songket adalah benang, baik benang kapas ataupun benang sutra.
Songket berkualitas baik biasanya menggunakan benang sutra putih yang saat ini masih
diimpor dari China, Thailand, atau India. Adapun benang emas yang digunakan terdiri dari
tiga macam, yaitu benang emas Sartibi (dari Jepang), benang emas Bangkok, dan benang
emas cabutan yang berasal dari benang katun yang dicelupkan dalam larutan emas 24
karat. Benang emas cabutan biasanya diperoleh dari kain songket antik yang sebagian
kainnya sudah rusak dan diurai kembali.
Sebelum ditenun, benang diberi warna dengan cara dicelupkan pada warna yang
diinginkan. Dulu kain songket tradisional dicelup dengan menggunakan pewarna alami,
seperti menggunakan kayu sepang dan akar mengkudu untuk mendapatkan warna merah
dan kunyit untuk mendapatkan warna kuning. Pada waktu pencelupan ditambahkan pula
tawas agar warnanya tidak luntur. Warna dominan songket Palembang adalah merah,
namun kini kain songket memiliki warna yang lebih bervariasi karena menggunakan
pewarna tekstil.
Setelah dicelup, benang kemudian dijemur di bawah terik matahari. Setelah kering
dimulailah proses desain (pencukitan) dengan menggunakan lidi sesuai dengan motif yang
diinginkan, untuk kemudian dilanjutkan dengan ditenun. Proses penenunan ini
memerlukan ketelitian, ketekunan, dan kesabaran. Menenun tidak dapat dilakukan dengan
terburu-buru karena hasilnya nanti tidak bagus, sebaliknya menenun harus dilakukan
dengan sabar dan sepenuh hati. Hal itulah yang menyebabkan proses pembuatan songket
memerlukan waktu yang lama hingga berbulan-bulan.
Mengingat bahan baku yang masih diimpor, serta proses pembuatan yang lama dan rumit,
maka tidak heran jika harga kain songket cukup mahal. Songket juga sering dijadikan
barang yang bernilai tinggi sehingga dijadikan mahar, busana adat kebesaran, busana
pengantin, atau menjadi koleksi keluarga yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Jika dirunut kebelakang, dahulu kain songket memang hanya dikenakan oleh keluarga
kerajaan dan kaum bangsawan. Seiring dengan perkembangan zaman, kain songket pun
mulai menyebar keluar kerajaan. Meskipun demikian, hingga saat ini sebagian besar
pengrajin songket biasanya masih keturunan kerajaan atau bangsawan, karena
keterampilan menenun songket memang diperoleh secara turun temurun.
Saat ini, jumlah motif kain songket Palembangkurang lebih 71 buah. Dari sejumlah motif
tersebut, ada 22 motif yang telah dipatenkan. Adapun beberapa nama motif yang terdapat
pada kain songket antara lain bungo pacik, bintang berante, nampan perak, bungo cino,
bungo jepang, jando beraes, tigo negeri, biji pare, dan lain-lain.
Harga dari hasil kerajinan tenun khas Palembang ini memang cukup mahal. Hal ini tidak
terlepas dari bahan yang digunakan, lamanya proses pembuatan selembar kain songket,
dan nilai seni yang terkandung di dalamnya. Pancaran atau kilauan dari kain songket
Palembang dikarenakan benang-benang emas yang tertanam di dalamnya. Proses untuk
membuat sebuah kain songket berkualitas baik membutuhkan waktu kurang lebih 3 bulan.
Umumnya, harga termurah dari kain songket Palembang adalah Rp 750.000. Selain itu,
semakin tua umur dari kain songket maka harganya juga akan semakin mahal.
Keindahan kain songket Palembang telah terkenal hingga ke mancanegara. Tidak hanya
pembeli lokal, ada banyak pembeli dari luar daerah dan luar negeri yang sering membeli
hasil kerajinan tenun khas Kota Palembang ini. Pada saat sedang
diadakan event Internasional di Kota Palembang, sentra kerajinan songket Tanggo
Buntung akan semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan dari mancanegara.
Transportasi Menuju Ke Sentra Kerajinan Songket Tanggo Buntung
Sentra Kerajinan Songket Tanggo Buntung berlokasi di Jl. Ki Rangga Wirasentika dan
Jl. Ki Gede Ing Suro, Kel. 30 ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang. Untuk menuju ke
tempat ini, wisatawan bisa menggunakan angkutan pribadi ataupun umum. Jika Anda ingin
mencoba untuk naik angkutan umum, dari terminal Ampera pilihlah angkutan dengan
jurusan Ampera – Tangga Buntung.
Apabila Anda memakai kendaraan pribadi, setelah tiba di Jln. Merdeka lanjutkan
perjalanan menuju ke simpang empat Kambang Iwak, kemudian arahkan kendaraan ke kiri
hingga bertemu dengan simpang tiga. Dari tempat ini, wisatawan bisa melihat sebuah
gerbang yang bertuliskan sentra industri pengrajin songket.
Namun, jika wisatawan ingin bersantai tanpa harus bertanya ataupun melihat GPS, Anda
dapat menggunakan jasa taksi atau menyewa mobil + sopir. Nomor telepon taksi Blue Bird
di Palembang adalah 0711 – 36 1111 atau 0711 – 36 6450.

Songket Palembang (Ist)

Palembang di Sumatera Selatan tak hanya dikenal dengan kuliner khas, seperti Pempek dan
destinasi Pulau Kemaro lantaran masih ada daya tarik bagi wisatawan, yakni songket.

Adapun songket warisan budaya yang terus dilestarikan di Bumi Sriwijaya. Tenun songket
merupakan warisan budaya Palembang.

Ya, tenun songket Palembang diketahui sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya.
Teknologi pembuatannya sebenarnya bukan murni berasal dari daerah tersebut, melainkan
dari Tiongkok, India, dan Arab.

Adanya hubungan perdagangan antarbangsa dengan Kerajaan Sriwijaya menimbulkan


akulturasi budaya. Salah satu unsur kebudayaan dari bangsa-bangsa asing yang diserap
masyarakat Palembang adalah teknologi pembuatan kain tenun songket yang hingga kini
masih dilestarikan warga Palembang.

Songket pada umumnya dipakai dalam upacara adat, baik perkawinan, menyambut tamu
(pejabat) dan kegiatan-kegiatan tertentu lainnya karena songket ini merupakan jenis pakaian
yang tinggi nilainya dan sangat dihargai masyarakat Palembang.

Pada masa Kerajaan Sriwijaya, kain songket Palembang tidak hanya diperdagangkan di
daerah sekitarnya, di Sumatera saja, melainkan juga ke negeri orang, seperti Tiongkok, Siam,
India, dan Arab.

Namun, saat terjadinya Revolusi Fisik di Indonesia pada 1945-1950 silam di Indonesia
kerajinan songket di Palembang sempat terhenti karena tidak adanya bahan baku.

Sementara pada permulaan tahun 1960-an, tenun songket Palembang mengalami kemajuan
yang pesat sebab pemerintah menyediakan dan mendatangkan bahan baku serta membantu
pemasarannya.

Keberadaan kain songket di tengah masyarakat Melayu Palembang mengandung nilai-nilai


yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan, seperti nilai kesakralan, keindahan,
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya pada acara perkawinan,
upacara menjemput tamu, dan sejenisnya.

Nilai keindahan terlihat dari motif ragam hiasnya yang memancarkan keindahan. Sedangkan
nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang
memerlukan waktu yang lama sebab untuk proses pembuatan satu kain songket
membutuhkan waktu sekitar tiga bulan.

Sentra-sentra kerajinan tenun songket dalam masyarakat Melayu Palembang hingga saat ini
masih tetap lestari. Guna melindungi kekhasan tenun songket Palembang, pemerintah daerah
telah mengajukan 71 motif tradisional sebagai warisan budaya masyarakat (folklore).

Sebanyak 22 motif telah dipatenkan dan mendapat pengakuan dari Kementerian Hukum dan
HAM, dan 49 motif masih menunggu. Beberapa motif yang telah diakui adalah motif bungo
intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas.

Sebagai industri kreatif tentunya kerajinan pembuatan kain songket ini tidak terlepas dari
tantangan globalisasi ekonomi. Menariknya di tengah gempuran globalisasi tersebut ternyata
hingga saat ini songket bertahan sebagai salah satu warisan budaya Melayu Palembang.

Menghadapi globalisasi ekonomi, pengrajin songket Palembang harus mempertahankan


kualitas dan ciri khas produksi songketnya.

Apalagi sudah ada 22 motif songket yang telah mendapat hak paten atau pengakuan dari
Kementerian Hukum dan HAM. Dalam rangka menghadapi perdagangan bebas di era
globalisasi ini perlu adanya inovasi yang dilakukan pengrajin kain tenun songket Palembang,
baik dari segi ragam motif dan fungsi songket.
Perubahan itu mengarah pada kemajuan sehingga secara bertahap, pelan tapi pasti terjadi
modernisasi. Pelestarian yang telah dilakukan sampai saat ini membuat kegunaan atau fungsi
dari kain tenun songket menjadi semakin beragam.

Contoh songket sudah bisa digunakan sebagai aksen pada baju serta barang-barang lain yang
terbuat dari songket, seperti wadah tisu, dompet, mainan kunci, pajangan dinding, taplak
meja, dan sebagainya.

Tak hanya itu, kain tenun songket saat ini juga sudah mulai bertambah aksesorisnya dengan
kombinasi-kombinasi yang menarik.

Sebagai contoh songket sudah bisa dikombinasi dengan bordir dan rumbai-rumbai.
Perubahan yang terjadi pada ragam motif dan fungsi songket ini lantaran pengrajin songket
melakukan inovasi, namun tetap menjaga keasrian dari songket itu sendiri.

Upaya pelestarian sangat baik guna mempertahankan eksistensi kain tenun songket di
kalangan masyarakat serta perkembangan yang terjadi pada kain tenun songket sekarang ini
cukup baik tanpa menghilangkan kesan khas dari kain tenun songket karena perkembangan
ini merupakan hal baik dalam pelestarian budaya daerah Palembang. (Gabriel
Bobby/berbagai sumber)

Anda mungkin juga menyukai