NAD (Aceh)
1. Rencong Aceh
Rencong memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan biasanya sarungnya terbuat dari
gading dan mata pisaunya dari emas dan berukirkan sekutip ayat suci dari Alquran agama
Islam. Sedangkan rencong-rencong lainnya biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu
sebagai sarungnya, dan kuningan atau besi putih sebagai belatinya.
Rencong begitu populer di masyarakat Aceh sehingga Aceh juga dikenal dengan
sebutan "Tanah Rencong"
2. Kain Songket Aceh
Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam
tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang
atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini
banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian,
alas meja, dasi, dompet, dan gorden.
Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya
mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara
bahaya yang mengancam saat proses persalinan.
Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos
Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan
Ulos Sibolang.
2. Keramik SUMUT
Pada awalnya tenun yang diajarkan adalah merupakan tenun tumpu dan kemudian
bertukar ganti dengan menggunakan alat yang dinamakan dengan "Kik", dan kain yang
dihasilkan disebut dengan kain Tenun Siak. Pada awalnya kain tenun siak ini dibuat terbatas
bagi kalangan bangsawan saja terutama Sultan dan para keluarga serta para pembesar
kerajaan di kalangan Istana Siak. Kik adalah alat tenun yang cukup sederhana dari bahan
kayu berukuran sekitar 1 x 2 meter. Sesuai dengan ukuran alatnya, maka lebar kain yang
dihasilkan tidaklah lebar sehingga tidak cukup untuk satu kain sarung, maka haruslah di
sambung dua yang disebut dengan kain "Berkampuh". Akibatnya untuk mendapatkan sehelai
kain, terpaksa harus ditenun dua kali dan kemudian hasilnya disambung untuk bagian atas
dan bagian bawah yang sudah barang tentu memakan waktu yang lama. Dalam bertenun
memerlukan bahan baku benang, baik sutera ataupun katun berwarna yang dipadukan dengan
benang emas sebagai ornamen ( motif ) atau hiasan. Dikarenakan benag sutera sudah susah
didapat, maka lama kelamaan orang hanya menggunakan benang katun. Dan pada saat ini
pula kain tenun songket siak dikembangkan pula pembuatannnya melalui benang sutera.
Nama-nama motif tenun Songket Riau itu antara lain, Pucuk Rebung, Bunga Teratai, Bunga
Tanjung, Bunga Melur, Tapuk Manggis, Semut Beriring, Siku Keluang. Semua motif ini
dapat pula saling bersenyawa menjadi bentuk motif baru.
IV. SUMATERA BARAT
1. Lumpang
Lumpang batu pernah sangat banyak ditemui di desa-desa di Pulau Jawa karena batu
andesit yang merupakan bahan baku alat ini dan juga candi-candi banyak ditemukan di
sungai-sungainya. Penduduk di pulau lain biasanya menggunakan lesung karena lebih mudah
mendapatkan kayu daripada batu andesit.
Dari beberapa penggalian purbakala diperoleh kesimpulan bahwa lumpang batu telah
ada sejak zaman prasejarah. Lumpang batu purba ditemukan di Kabupaten Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat.
2. Karih
Tenun cual merupakan perpaduan antara tekhnik songket dan tenun ikat, namun yang
menjadi ciri khasnya adalah susunan motif menggunakan tekhnik tenun ikat. Jenis motif
tenun cual antara lain susunan motif bercorak penuh (Pengantek Bekecak), dan motif ruang
kosong Jande Bekecak). Cual Bangka dahulu dikenal dengan nama Limar Muntok. Sekilas
motif kain tenun cual nampak seperti songket palembang. Yang membedakan adalah jika
pada Songket palembang motif diambil dari bentuk-bentuk bunga seperti cempaka atau
bunga cengkeh, maka cual mengambil motif bentuk-bentuk alam dari tumbuh-tumbuhan dan
hewan, seperti motif kucing atau bebek, bunga mawar, dan lain-lain yang jika dilihat dari
jauh akan timbul motifnya.
Fungsi sosial dari tenun cual adalah sebagai pakaian kebesaran lingkungan Muntok,
pakaian pengantin dan pakaian pada hari-hari kebesaran Islam dan adat lainnya, sebagai
hantaran pengantin ataupun mahar yang langsung menggambarkan status sosial (pangkat dan
kedudukan) seseorang pada masa itu. Dahulu, kehalusan tenunan, tingkat kerumitan motif
dan warna pada tenun cual mengandung filosofi hidup sebagai hasil perjalanan religius
penenunnya.
Tenun cual sangat terkenal karena tekstur kainnyaa/yang begitu halus, warna celupan
benangnya tidak berubah, dan ragam motif seakan timbul, jika dipandang dari kejauhan.
Peminat tenun cual pun hingga ke luar Bangka, sehingga diperjualkan pula ke Palembang,
Belitung, Pontianak, Singapura dan Tanah Melayu lainnya. Hal ini menyebabkan pengguna
tenun cual tidak lagi hanya pada keturunan Bangsawan Mentok.
Tahun 1914 hingga 1918, terjadi perang besar melanda Eropa yang menyebabkan
terputusnya bahan baku tenun cual. Masuknya tekstil dari Cina menjadi pelengkap orang-
orang Muntok meninggalkan kerajinan tenun cual. Tahun 1990, Perindustrian Kota Madya
pangkalpinang menggalakan kembali keraj inan cual di Bangka. Kelompok usaha kerajinan
cual yang terdiri dari anggota, keluarga tersebut diketuai oleh Masliana.Tahun 2003 Maslina
membentuk Koperasi Tenun Kain Cual Khas Bangka. Kini ada 40 perajin cual yang tersebar
di kota maupun kabupaten di Bangka Belitung.
2. Kedik
2. Kujang
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum
petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.
VII. JAWA TENGAH
1. Blangkon
Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang
dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa.
Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang
blangkon yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu
yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian
tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya
tidak mudah lepas.
Sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena
orang sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit
langsung pada bagian belakang blangkon. Blangkon Surakarta mondholannya trepes atau
gepeng sedang mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde.
Kota Juwana merupakan kota di pesisir utara pulau Jawa yang terletak di jalur pantura
yang menghubungkan kota Pati dan kota Rembang. Kota Juwana merupakan kota terbesar
kedua di Kabupaten Pati setelah Pati. Di kota ini terkenal dengan industri kerajinan kuningan
dan pembudidayaan bandeng.
VIII. BANTEN
1. Batik Banten
Masing masing motif batik tersebut juga diberikan nama nama khusus yang diambil
dari nama tempat, bangunan, maupun ruang dari situs Banten Lama dan juga dari nama gelar
di masa Kesultanan Banten.
2. Angklung Gubrag
Angklung Gubrag adalah salah satu
kesenian tradisional yang sudah langka, namun
masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Desa
kemuning, Kecamatan Kresek, Kabupaten
Tangerang. Padahal sebenarnya kesenian ini bisa
menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Pada zaman dahulu, kesenian Angklung Gubrag
dilaksanakan pada saat ritual penanaman padi
dengan maksud agar hasil panen akan berlimpah
nantinya. Sekarang Angklung Gubrag biasa
dimainkan saat acara khitanan dan selamatan
kehamilan.
Angklung Gubrag memiliki ukuran yang lebih besar daripada angklung pada
umumnya. Jumlah tabungnya pun ada tiga, berbeda dengan anklung biasa yang umumnya
memiliki dua tabung.
3. Rampak Bedug
Kata “Bedug” mungkin sudah tidak
asing lagi di telinga bangsa Indonesia. Seperti di
Banten, Bedug hampir terdapat pada setiap
masjid. Rampak Bedug adalah salah satu
kesenian yang hanya terdapat di daerah Banten.
Kata “Rampak” memiliki arti “serempak” dan
juga “banyak” jadi Rampak Bedug adalah seni
menabuh nedug yang ditabuh secara serempak
sehingga menghasilkan irama yang enak di
dengar. Rampak Bedug pertama kali dilakukan
untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Namun
karena seni rampak bedug ini mengundang
banyak penonton, maka kesenian ini menjadi
sering ditampilkan dalam suatu acara
pementasan.
IX. JAWA TIMUR
1. Topeng Reog
Reog adalah salah satu kesenian budaya
yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut
dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog
yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo
dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua
sosok yang ikut tampil pada saat reog
dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya
daerah di Indonesia yang masih sangat kental
dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu
kebatinan yang kuat.
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal usul Reog
dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang
pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja
Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh
kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada
rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan
Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana
ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu
kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari
kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk
melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui
pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan
kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan
masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal
sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya
ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan
pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan,
yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi
simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan
kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki
Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50
kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya
menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya,
pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan
pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara
diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk
dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan
ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat
Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang
berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh
Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa,
sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal
oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu
hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan
Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan
"kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur
mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog
merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara
turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah
bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka
menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
2. Clurit
Sabit juga digunakan sebagai bagian dari simbol komunisme atau sosialisme
revolusioner, yaitu palu arit. Dalam simbol tersebut, sabit melambangkan kelas buruh yang
bekerja di sektor pertanian.
3. Patung Surabaya
2. Sundu
XI. BALI
1. Leak
Leak di Bali semacam setan yang menakutkan. Diceritakan juga bahwa Leak dapat
berupa kepala manusia dengan organ-organ yang masih menggantung di kepala tersebut.
Leak dikatakan dapat terbang untuk mencari wanita hamil, untuk kemudian menghisap darah
bayi yang masih di kandungan. Ada tiga leak yang terkenal. Dua di antaranya perempuan dan
satu laki-laki.
Menurut kepercayaan orang Bali, Leak adalah manusia biasa yang mempraktekkan
sihir jahat dan membutuhkan darah embrio agar dapat hidup. Dikatakan juga bahwa Leak
dapat mengubah diri menjadi babi atau bola api, sedangkan bentuk Leak yang sesungguhnya
memiliki lidah yang panjang dan gigi yang tajam. Beberapa orang mengatakan bahwa sihir
Leak hanya berfungsi di pulau Bali, sehingga Leak hanya ditemukan di Bali.
Apabila seseorang menusuk leher Leak dari bawah ke arah kepala pada saat
kepalanya terpisah dari tubuhnya, maka Leak tidak dapat bersatu kembali dengan tubuhnya.
Jika kepala tersebut terpisah pada jangka waktu tertentu, maka Leak akan mati.
Topeng leak dengan gigi yang tajam dan lidah yang panjang juga kadang-kadang
digunakan sebagai hiasan rumah.
Rumah Panggung Kajang Leko adalah konsep arsitektur dari Marga Bathin.
Sampai sekarang orang Bathin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh
nenek moyang mereka, bahkan peninggalan Kajang Leko atau Rumah Lamo pun masih
bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini. Salah satu perkampungan
Bathin yang masih utuh hingga sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang.
Tipologi Rumah Kajang Leko berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan
ukuran 12 meter x 9 meter. Keunikannya terletak pada struktur konstruksi dan seni ukiran
yang menghiasi bangunan. Seperti yang telah kita ketahui dan dinyatakan oleh Budihardjo
(1994:57), bahwa rumah adalah aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk
kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan penghuninya. Selain itu rumah adalah
cerminan diri, yang disebut Pedro Arrupe sebagai ”Status Conferring Function”,
kesuksesan seseorang tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya.
Dari segi konstruksi bubungan atap bangunan rumah panggung Kejang Lako dinamai
‘gajah mabuk’ diambil dari nama pembuat rumah yang mabuk cinta tetapi tidak mendapat
restu orang tuanya. Bubungan tersebut dibuat menyerupai perahu dengan ujung bagian atas
bubungan melengkung ke atas yang disebut potong jerambah, atau lipat kajang. Dengan
atap bagian atas dinamakan kasau bentuk dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam
kemudian dilipat dua, berfungsi untuk mencegah air hujan agar tidak masuk ke dalam rumah.
Pada bagian langit-langit ada yang dinamai tebar layar yang berfungsi sebagai dinding
penutup ruang atas dan penahan rembesan tempias air hujan. Sementara ruang antara tebar
layar dan bubungan atap difungsikan sebagai tempat menyimpan barang tak terpakai dinamai
panteh. Dan pada bagian samping, masing-masing dinding, terbuat dari papan yang diukir.
Sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu
masinding, dan pintu balik melintang.
Rumah Panggung Kajang Lako memiliki 30 tiang yang terdiri dari 24 tiang utama dan
6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam jajar, dengan panjang masing-
masing 4,25 meter. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang
kerangka bangunan juga sebagai tiang penyekat yang membagi ruangan menjadi 8 ruangan,
dan keseluruhan ruangan tersebut memiliki ukuran dan kegunaannya masing-masing.
Delapan ruangan tersebut antara lain; Ruang pelamban letaknya berada di sebelah kiri
bangunan induk. Ruangan ini menggunakan bambu belah yang telah diawetkan sebagai
lantainya, dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah. Pelamban
difungsikan sebagi ruang tunggu bagi tamu yang baru datang sebelum diizinkan masuk
rumah. Berikutnya adalah ruang gaho, ruang ini terletak pada ujung sebelah kiri bangunan
dengan posisi memanjang. Karena dalam ruang gaho terdapat dapur, tempat air dan tempat
penyimpanan barang. Ruangan ini dihiasi motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di
bagian bendul gaho.
Setelah kita dibuat terpukau dengan ukiran-ukiran yang terdapat di ruang masinding,
langsung saja kita memasuki ruang tengah. Ruang tengah adalah ruang yang berada di
tengah-tengah Rumah Panggung Kajang Leko. Antara ruang tengah dengan ruang masinding
ini tidak disekat oleh dinding. Fungsinya secara khusus, ruang tengah ini ditempati oleh para
wanita pada saat pelaksanaan upacara adat. Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Bathin
adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Ruangan ini dibagi lagi menjadi beberapa
bagian, atara lain; ruang makan, ruang tidur anak gadis, dan ruang tidur orang tua.
Berikutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini terletak di ujung sebelah kanan
Rumah Panggung Kajang Leko dengan posisi menghadap ke ruang tengah dan ruang
masinding. Lantai pada ruangan ini dibuat lebih tinggi daripada ruangan lainnya, karena
berfungsi sebagai ruang utama, ruangan ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang.
Besarnya ruangan balik melintang berukuran 2×9 meter, atau sama dengan luas ruang gaho.
Seperti halnya ruang gaho, ruangan balik melintang pun dihiasi ragam ukiran yang berbentuk
ikan yang sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang dilengkapi dengan bentuk sisik
ikan.
Sementara di bagian bawah terdapat ruang bauman. Ruang ini tidak berlantai dan
tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan abrang, atau memasak pada waktu ada
pesta, serta kegiatan lainnya. Rumah Panggung Kajang Leko memiliki dua tangga, yaitu:
tangga utama yang terdapat di sebelah kanan pelamban dan tangga penteh yang dipakai untuk
naik ke penteh.
Rumah Panggung Kajang Leko adalah salah satu bentuk pengejawantahan cita rasa seni,
budaya, dan keyakinan masyarakat Jambi yang tersirat mulai dari bentuk bangunan, fungsi
ruangan, seni ukiran, dll. Padahal pada awal peradaban manusia, fungsi dasar rumah adalah
untuk melindungi gangguan alam dan binatang. Namun sejalan dengan peradaban, fungsi
rumah berkembang sebagai sumber rasa aman dan kenyamanan. Secara sosial rumah juga
berfungsi sebagai tatus simbol dan ukuran kemakmuran. Kini keberadaan Rumah Panggung
Kajang Leko juga digunakan sebagai sarana investasi, pariwisata, dan sumber penilitian
akademiki.
XIII. LAMPUNG
1. Nuwo Sesat
2. Terapang
2.
Di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, rumah betang sudah tidak ada yang asli lagi,
yang ada adalah yang sudah dibangun ulang. Di bagian paling hulu, rumah betang yang
dibangun kembali ada di Desa Tumbang Bukoi, Kecamatan Mandau Talawang. Di bagian
hilir, rumah betang yang dibangun kembali ada di Desa Sei Pasah, Kecamatan Kapuas Hilir.
Bangunan ini dibangun tidak jauh dari rumah betang asli yang sudah runtuh, tapi masih ada
sisa-sisa tiangnya.
Di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah ada rumah betang asli yang dibangun
sejak tahun 1870. Letaknya di Desa Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir. Rumah ini
menghadap Sungai Kahayan dan memiliki pelabuhan yang siap menyambut kedatangan
wisatawan melalui sungai.
2. Bujak Beliung
Bujak beliung menjadi sejata tradisional yang paling banyak di cari disearch engine
namun sangat sedikit artikel yang mengulas secara lengkap.
Sepanjang pengetahuan saya, Senjata tradisional khas daerah kalimantan adalah mandau dan
sumpit. Namun ada yang mengatakan Bujak Beliung adalah senjata khas Kalimantan selatan
yang berbentuk keris. Ada pula yang mengatakan Bujak beliung adalah senjata khas
kalimantan selatan yang berbentu tombak. Entah mana yang betul. Karena hingga kini, saat
melakukan search di Google, belum menemukan artikel yang benar-benar mendeskripsikan
tentang bujak beliung.