Anda di halaman 1dari 13

MEMPERTEGAS NILAI-NILAI KESETIAKAWANAN SOSIAL

(UKHUWWAH IJTIMAIYYAH) ATAS NAMA UNIVERSALISME ISLAM

Oleh: Fahrurrozi1

ABSTRAK
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting,
dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Enam ajaran Islam yang
mencakup aspek aqidah, syariah, dan akhlak yang seringkali disempitkan oleh
sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup, menampakkan
perhatian besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat
dari enam tujuan umum syariah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan,
akal, keturunan, harta, dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga
menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) luhur yang bisa
dikatakan sebagai tujuan dasar syariah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takaful,
kebebasan, dan kehormatan. Urgensi untuk dipahami bahwa persaudaraan
antarsesama Islam itu disebut dengan al-ukhuwwah baina al-Muslimin, artinya
persaudaraan eksklusif sesama muslim saja, ada juga al-ukhuwwah maa ghairi
al-muslimin, persaudaraan dengan non-muslim, artinya jalinan persaudaraan
didasari atas semangat kemanusiaan yang secara normatif bahwa manusia
harus dihargai dan dimuliakan. Menjadi kemestian untuk memupuk semangat
kemanusiaan yang berlandaskan norma-norma agama. Konsep tersebutlah
dimaksudkan dengan ukhuwwah islamiyah, persaudaraan yang islami,
sekaligus mempertegas nilai-nilai universalisme Islam.

Kata Kunci: Kesetiakawanan Sosial, Ukhuwwah, Moderat, Toleransi,


Interaksi Sosial, Keshalehan Sosial.

1
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram

1
PENDAHULUAN
Agama sebagai sistem nilai yang universal, memiliki daya tarik secara an sich dan begitu
menarik untuk ditawarkan kepada manusia, sebagaimana yang dikatakan Joachim Wach, ia
melihat agama memiliki tiga bentuk dalam pengungkapan nilai universalnya, yakni, belief sistem
(pengungkapan teoritik yang terwujud sebagai sistem kepercayaan), sistem of worshif (sebagai
sistem penyembahan), sistem of sosial relation (sebagai sistem hubungan masyarakat).2
Sedangkan dalam tataran nilai religiusitas, agama memiliki lima dimensi, yaitu, dimensi belief
(ideologi), dimensi practice (praktek agama), dimensi feeling (pengalaman), dimensi knowledge
(pengetahuan), dimensi effect (konsekwensi).3
Mukti Ali menegaskan tentang pemaknaan agama sebagai, (a) persoalan dan pengalaman
keagamaan bersifat subyektif dan individualistik. Tiap orang mengartikan agama sesuai dengan
pengalaman keagamaannya sendiri. (b) karena dimensi kesakralannya, tak ada orang yang begitu
bersemangat dan emosional selain membicarakan agama. (c) konsepsi tentang agama akan
sangat dipengaruhi oleh latar belakang (backround), disiplin ilmu dan tujuan orang yang
memberikan pengertian tentang agama.4 Islam sebagai agama juga telah melahirkan beragam

2 Joachim Wach, Sociology of Religion (The university of Chicago Press, 1948), h. 37.
3Roland Robertson, ed., Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj., Achmad Fedyani
Saifuddin (Jakarta: CV Rajawali, 1992), h., 295-297.
4 Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 5-6

2
bentuk pemahaman dan praktek pengamalan dari ummatnya, sebagaimana yang akan kita lihat
nanti.5
Persoalan kemudian adalah bagaimana sesungguhnya ukhuwwah islamiyah sebagai
landasan persatuan yang universal yang tidak hanya terbatas pada kalangan masyarakat Islam,
tapi pemaknaannya jauh lebih inklusif agar tercipta kesetiakawanan sosial yang menyeluruh.

A. KONSEP UNIVERSALISME ISLAM SEBAGAI LANDASAN


KESETIAKAWANAN SOSIAL
Universalisme (alAlamiyah) Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung.
Islam sebagai agama yang besar berkarakteristikkan: (1)Rabbniyah, (2) Insniyyah
(humanistic), (3)Syuml (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme dan
menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati, dan badan), (4) Wasathiyah (moderat dan
seimbang), (5)Waqiiyah (realitas), (6)Jelas dan gamblang, (7) Integrasi antara al-Tsabt wa al-
Murunah (permanent dan elastis). Universalisme Islam yang dimaksud adalah risalah Islam
ditunjukkan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia
bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih, dan
karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya.6
Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua
hamba-Nya. Manifesto ini termaktub abadi dalam firmannya: dan tidak kami utus engkau
(Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam.7 katakanlah (Muhammad) agar dia
menjadi guru peringatan bagi seluruh sekalian alam.8
Ayat-ayat ini yang notabene Makiyah, secara implisit membantah tuduhan sebagian
orientalis yang menyatakan bahwa Muhammad SAW tidak memproklamirkan pengutusan
dirinya untuk seluruh umat manusia pada awal kerisalahannya, akan tetapi setelah mendapat
kemenangan atas bangsa Arab.9

5 Hermenetik ditemukan dari Yunani, yakni pada Hermes atau Nabi Idris dalam Islam yang

mencoba menyebarkan ajaran Tuhan dengan upaya penerjemahan ajaran agama atau bahasa Tuhan
kedalam bahasa masyarakat agar mudah difahami dan diyakini.
6
Mukti Ali, Beberapa...h.6
7 Q.s.al-Anbiya {21}: 107
8 Q.s al-Isra {17}: 105
9Yusuf Qardhawi, Al-Khashaish al-alamiyah al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), cet. VIII. h.107~108.

3
Semua ini akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan seperti
diketahui, bahwa pandangan hidup (world view, weltanschaung) yang paling jelas adalah
pandangan keadilan sosial.10 Selain merupakan pancaran makna Islam itu sendiri serta
pandangan tentang kesatuan kenabian (wahdat al-nabawiyah; the unity of prophent) berdasarkan
makna Islam itu, serta konsisten dengan semangat prinsip-prinsip itu semua, kosmopolitanisme
budaya Islam juga mendapat pengesahan-pengesahan langsung dari kitab suci seperti suatu
pengesahan berdasarkan konsep-konsep kesatuan kemanusiaan (wihdat al-insaniyah; the unity of
humanity) yang merupakan kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan (wahdaniyat atau tauhid; the
unity of god).11
Islam sebagai agama bersifat universal yang menembus batas ras, dan peradaban, yang
tak bisa dinafikan bahwa unsur Arab mempunyai beberapa keistimewaan dalam Islam. Ada
hubungan kuat yang mengisyaratkan ketiadaan kontradiksi antara Islam sebagai agama dengan
unsur Arab. Menurut Dr. Imarah, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal:
Pertama, Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad bin Abdullah, seorang keturunan
Arab. Juga, mukjizat terbesar agama ini, al-Quran, didatangkan dengan bahasa Arab yang jelas
(al-Mubin), yang dengan ketinggian sastranya dapat mengungguli para sastrawan terkemuka
sepanjang sejarah Arab. Sebagaimana memahami dan menguasai al-Quran sangat sulit dengan
bahasa apapun selain Arab. Implikasinya, Islam menuntut pemeluknya jika ingin menyalami dan
mendalami makna kandungan al-Quran, maka hendaknya mengarabkan diri.
Kedua, dalam menyiarkan dakwah Islam yang universal, bangsa Arab berada di garda
depan, dengan pimpinan kearaban nabi dan al-Quran, kebangkitan realita Arab dari segi sebab
turunnya wahyu dengan peran sebagai buku catatan interpretatif terhadap al-Quran dan lokasi
dimulainya dakwah di jazirah Arab sebagai pleton pertama terdepan di barisan tentara
dakwahnya.

10 Universialisme Islam dan Kosmopolotanisme Peradaban Islam oleh Abdurahman Wahid

dalam, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Editor: Budhy Munawwar Rahman (Jakarta: Yayasan
Paramadina, cet.I, Mei 1994) h. 515.
11Kesatuan asasi umat manusia dan kemanusiaan itu ditegaskan dalam firman-firman :Umat

manusia itu tak lain adalah umat yang tunggal, tapi kemudian mereka berselisih (sesama mereka) jika seandainya
tidak ada keputusan (kalimah) yang telah terdahulu dari Tuhanmu, maka tentulah segala perkara yang mereka
perselisihkan itu akan diselesaikan (sekarang juga).(QS: Yunus:19)Umat manusia itu dulunya adalah umat yang
tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi untuk membawa kabar gembira dan memberi peringatan dan bersama
para nabi itu diturunkannya kitab suci dengan membawa kebenaran, agar kitab suci itu dapat memberi keputusan
tentang hal-hal yang mereka perselisihkan...( QS. al-Baqarah {2}: 213)

4
Ketiga, jika agama-agama terdahulu mempunyai karakteristik yang sesuai dengan konsep
Islam lokal, kondisional dan temporal. Pada saat Islam berkarakteristikkan universal dan
mondial, maka posisi mereka sebagi garda terdepan agama Islam adalah menembus batas
wilayah mereka.12
Walaupun begitu, menurut pengamatan Ibnu Khaldun, seorang sosiolog dan sejarawan
muslim terkemuka, bahwa di antara hal aneh tapi nyata bahwa mayoritas ulama dan cendikiawan
dalam agama Islam adalah ajam (non Arab), baik dalam ilmu-ilmu syariat maupun ilmu-ilmu
akal. Kalau toh di antara mereka orang Arab secara nasab, tetapi mereka ajam dalam bahasa,
lingkungan pendidikan dan gurunya.13
Lebih lanjut dijelaskan oleh Ibnu al-Arabi tentang tiga perjalanan yang ditempuh oleh
manusia untuk menuju Tuhannya, jika dilihat dalam aspek sosiologis-normatif: 14
Pertama, Perjalanan dari Tuhan (away from God), dan ini ada tiga macam; 1)perjalanan
sudah dekat dengan Allah kemudian dijatuhkan kembali. Jadi near God, akhirnya menjadi away
from God. Model ini misalnya dicontohkan oleh Iblis yang menurut riwayat sangat dekat dengan
Tuhan ribuan tahun lamanya. Begitu dekatnya dengan Tuhan, ia termasuk makhluk yang
mendapat gelar muqarrabn, tapi karena pembangkangannya ia lantas jatuh. 2) termasuk away
from God adalah terhempasnya manusia dari hadirat Allah dan rahmat-Nya. Ibarat kita sudah
dekat dengan air bening yang sangat menyegarkan tapi kemudian malu dan mundur sedikit
karena rasanya malu untuk dekat kepada Allah. 3)perjalanan para nabi yang kembali dari Allah
SWT. Membawa misi untuk menyelamatkan ummat manusia, a journey for a mission, sebuah
15
perjalanan untuk sebuah misi. konteks ini akan melahirkan semangat kebersamaan dengan
Allah dimanapun manusia berada, sehingga terrefleksi dalam dimensi sosial kemasyarakatan.
Kedua, perjalanan menuju Dia (Allah). Satu perjalanan orang-orang yang bergerak
menuju Allah SWT. Semua manusia bergerak menuju Allah. Karena itu kalau ada orang yang
meninggal dunia (mati) kita berkata, inn lillh wa inn ilaih rjin.16 Al-Quran menyebutkan,

12 Muhammad Imarah, Al-Islam wa al-Arubah (al-Haiahal-Mashriyah al-Ammah li al-Kitab, 1996),


h.21.
13 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Darul Fikr, 1989) cet VII, h. 543
14 Ibn Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, 4 vol, (Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H, Cet. 1. h. 128-135.
15 Ibn Arabi, al-Futuhat.. h. 128-135 dan Lihat relevansinya dengan Q.S. al-Ahzab: 45-47.
16 Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: The University of North

Caroline Press, 1990. Lihat juga relevansinya dengan Q.S aL-Baqarah (2): 156

5
17
inna ilan iybahum tsumma inna alan hisbahum, kepada Aku tempat mudik mereka
semua. Tuhan adalah marji, al-mashr, tempat kita kembali. Dalam perjalanan kedua ini ada tiga
kelompok. 1)kelompok yang menuju Allah tapi dalam perjalanan menuju Allah mereka
dihalang-halangi oleh tirai-tirai kegelapan dan tirai-tirai cahaya. 2)kelompok orang-orang yang
bergerak menuju Tuhan dan dia sudah tidak melaksanakan kemaksiatan, dia tidak mengikuti
hawa nafsunya, tapi dia masih dihalangi oleh tirai al-katsrah (sesuatu yang banyak). Perjalanan
kita sekarang adalah perjalanan dari sesuatu yang banyak; banyak angan, banyak kemauan,
banyak permintaan, (al-katsrah), menuju al-wahdah, keesaan Allah. Menuju dia yang maha
Tunggal. 3) kelompok manusia yang sudah tercelupkan oleh cahaya ilahi yang secara mesra
Allah memanggil mereka dengan jiwa yang tenang:18
Jadi kelompok ini sudah berjumpa dengan Allah Swt, bersenang-senang dengan fasilitas
yang Allah telah sediakan, bergembira ria dengan hasil yang dia terima setelah bersusah payah
mengabdikan dirinya semasa hidupnya dulu di dunia. Dan inilah inti dari sebuah kematian,
memetik panin berlimpah ruah setelah bersusah payah beramal saleh di dunia dulu.
Ketiga, perjalanan di dalam Dia, in God. Perjalanan orang-orang yang mencoba
menemukan Allah dengan akal pikirannya melalui eksperimental dan idealisasi mereka. Juga
perjalanan para auliya dan urafa yang mencoba mendekati Allah lewat zauq, lewat perasaan
dan mata bathinnya.
B. KESETIAKAWANAN DALAM DIMENSI UKHUWWAH ISLAMIYAH
Perlu dipertegas makna ukhuwwah secara normatif-sosiologis guna memperoleh
pemahaman yang utuh tentang Ukhuwwah yang selama ini terlalu rigid dipahami oleh sebagian
masyarakat Islam.
Ukhuwwah secara etimologis berasal dari derivasi kata Akhun/ akhin, yang searti dengan
saudara. Saudara dalam bahasa Arab bisa disebut dengan akhun Syaqiiq, saudara kandung. Dari
kata akhun ini muncul derivasinya dengan kata ukhuwwah, ikhwah yang secara kebahasaan
bermakna persaudaraan sedarah. Persaudaraan yang diikat oleh kesamaan genitik. Kemudian
dari kata ukhuwwah inilah lahir makna persaudaraan yang tidak hanya dibatasi oleh ikatan darah.

17 Annemarie Schimmel, Mystical, h. 27. Lihat juga relevansinya dengan Q.S. al-Ghasyiyah : 25-
26.
18 Abi Thalib al-Makky, Qt al-Qulb fi Mumalt al-Mahbb, Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, ttp,
Juz 2. h. 137 dan lihat Q.s. al-Bayyinah: 8.

6
Rahasia Allah menggunakan kata Ukhuwwah untuk menjelaskan arti persaudaraan itu
semata-mata ingin menerangkan bahwa persaudaraan yang dijalin dengan siapapun semestinya
harus dilandasi dengan semangat persaudaraan yang tidak bisa dipisahkan antara saudara
kandung yang satu dengan saudara kandung yang lain, yang lahir dari rahim ibu yang sama.
Ukhuwwah secara normatif disebutkan dalam Q.S. al-Hujurat: 103 dengan Inna m al-
Muminna Ikhwatun faashlih bana akhwakum, Q.S al-Imran menyebutkannya dengan
Ikhwna: Terkandung maksud bahwa persaudaraan antarsesama harus terus dipupuk dan dibina
agar tercapai Ishlah; kedamaian, keharmonisan. Inti ayat ini menunjukkan bahwa persaudaraan
sesama muslim itu menjadi suatu yang mesti dilakukan dengan tidak mengesampingkan
persaudaraan antarsesama manusia.
Dalam redaksi lain ada istilah al-Shuhbah al-Islamiyah, persahabatan secara islami. Ini
penting untuk dikembangkan karena persaudaraan itu akan melahirkan persahabatan, sementara
persahabatan akan melahirkan keharmonisan. Inilah sebenarnya yang disebut ukhuwwah
islamiyah, persaudaraan islami.
Pemaknaan Ukhuwwah Islamiyah ini sangat luas, sebab makna referensial dari kata ini
menunjukkan persaudaraan tanpa batas ras, ideologi, agama, bahkan bangsa sekalipun, sebab
sudah jelas yang dimaksudkan adalah persaudaraan, persahabatan, kesetiakawanan sosial,
interaksi sosial, dan toleransi sosial berdasarkan nilai-nilai islami, yang mengedepankan
semangat humanitas/kemanusian, semangat kebersamaan dan semangat kebangsaan, bahkan
semangat pluralitas. Inilah sebenarnya hakikat Islam sebagai agama yang universal (rahmatan li
al-lamn), yang bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi apapun (al-Islm shlihun li kulli
zamnin wa maknin).
Dalam QS.Ali Imran (3): 112, Allah menjelaskan, kata habl atau tali dalam ayat ini,
terulang dua kali dan keduanya terulur datang dari siapa, yakni yang pertama dari Allah dan yang
kedua dari manusia. Pengulangan kata yang sama dengan bentuk definite (isim al-nakirah) yang
sama pula mengisyaratkan tali yang pertama berbeda dengan tali yang kedua. Tali yang terulur
dari Allah adalah tali agama, yang bila berpegang teguh dengannya mereka tidak akan terkena
sanksi yang disebut al-Zillah dan al-Maskanah. Atas dasar bahwa yang dimaksud adalah tali

7
agama. Habl dari kata ini menuntun agar seorang muslim tetap menjalin hubungan, sehingga
dengan demikian, dia dituntut untuk aktif, dia dituntut mengulurkan tali persaudaraan.19
Dalam realitasnya, masyarakat masih kelihatan dalam aspek keshalehan ritual semata,
namun mengabaikan keshalehan sosial yang bersifat ukhuwwah.20 Seperti melakukan pesta besar
keagamaan dengan biaya yang banyak, namun mengabaikan anak-anak yatim yang tidak
sekolah, pergi haji tapi tetangganya tidak makan, tidak ada biaya untuk berobat, dan lain
sebagainya, menganggap orang yang di luar mazhab dan sebagai yang salah dan hanya mazhab
dia yang paling benar. Untuk mengelaborasi Islam formalistik ini Kang Jalal mencontohkannya
dengan kaum Khawarij, yang rajin dalam beribadah namun keras terhadap orang di luar faham
mereka.21
Dalam menelurkan gagasan Islam yang sosialis ini, Rahmat terlihat dalam pengkajiannya
terhadap al-Quran, ia melihat al-Quran memiliki empat tema utama yang bisa dilihat sebagai
sebuah pandangan kehidupan yang penuh dengan ukhuwwah islamiyyah, cinta kasih dan
progresif: Pertama, al-quran dan kitab-kitab hadits membahas masalah sosial, bahkan masalah
sosial ini menempati proporsi terbesar sebagai pembahasan di dalamnya. Kedua, apabila urusan
ibadah bersamaan dengan urusan sosial, maka urusan ibadah ditangguhkan dan urusan sosial
lebih diutamakan, tapi bukan untuk ditinggalkan. Ketiga, ibadah yang mengandung segi
kemasyarakatan diberikan ganjaran yang lebih besar dibandingkan dengan ibadah yang bersifat
perseorangan. Keempat, jika masalah ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena
melakukan pelangaran tertentu, maka tebusannya adalah melakukan sesuatau yang bersifat sosial
kemasyarakatan.22
Pembagian tema-tema tersebut menurut penulis adalah semata-mata melihat pada aspek
sosiologis masyarakat sebagai esensi syariat Islam yang rahmatan lil alamin, dalam arti bahwa
aspek ritualitas agama penting, tapi aspek pengedepanan sosial dalam dimensi hubungan sesama
manusia juga tak kelah penting, sebab dua dimensi ini disebut berintegrasi oleh Allah dalam al-
Quran sebagai hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan manusia.

19 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran (Jakarta: Lentera Hati,

2002, cet. XI, Volume 2, h. 187-188.


20 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif;Ceramah-Ceramah di Kampus (Bandung: Mizan, 1999), h. 45-

54.
21 Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1998),

cet. X., h. 29-31.


22 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Cerama-Cerama di Kampus, h. 48-51.

8
Dengan demikian, ukhuwwah basyariyyah, hubungan sesama manusia diposisikan sejajar dengan
hubungan kepada Allah sehingga komunikasi sosial dalam kesetiakawanan sosial menjadi urgen
dan prinsipil dalam kehidupan manusia yang berkeimanan individual dan sosial sekaligus.

C. URGENSI KESETIAKAWANAN SOSIAL DALAM MEREKAT SOSIO-


UKHUWWAH.
Ukhuwwah atau kesetiakawanan sosial tidak akan bermanfaat signifikan jika tidak
memenuhi elemen-elemen dasar dari ukhuwwah itu sendiri, antara lain:
Pertama: al-Tawsul (interaksi dan koneksi, saling sambung-menyambung). Konsep ini
dalam Islam sangat relevan untuk menjadi perekat dalam menjalin hubungan dengan sesama
manusia, dalam kapasitas apa saja dengan tidak memandang dari mana asal muasal mereka, dan
interaksi ini sebetulnya mencerminkan; ukhuwwah basyariyah, atau ukhuwwah insaniyyah,
bahkan ukhuwwah wathaniyyah, artinya, setiap orang semestinya tetap menjalin komunikasi dan
interaksi sosial dengan siapa pun, dengan orang yang berbeda agama sekalipun, sebab dalam
Islam Allah sangat menghargai orang-orang yang saling menghargai satu dengan yang lain. Jika
manusia saling berinteraksi sosial dengan satu sama lainnya dengan mengedepankan sisi
kemanusiaan, maka tidak akan muncul apa yang disebut dengan konflik.
Kedua: al-Taruf (saling kenal-mengenal, saling menemukenali).Taaruf (pengenalan),
secara substansi mengandung makna bahwa setiap manusia dituntut untuk saling kenal-mengenal
satu dengan yang lain, sebab Allah menciptkan makhluk ini dengan segala keragaman dan
perbedaan sehingga konsep pengenalan itu menjadi suatu keharusan.
Dengan konsep taaruf ini akan melahirkan semangat saling menghargai satu sama yang
lain yang mencerminkan keharmonisan dalam masyarakat. Konsep taaruf ini mencerminkan
prinsip dasar dalam ukhuwwah wathaniyyah persaudaraan setanah air, semangat nasionalisme,
semangat kebangsaan. Hal ini membuktikan bagaimana Islam memberikan apresiasi yang tinggi
terhadap semangat kebangsaan. Sejatinya semangat kebangsaan akan tumbuh dan bersemi jika
diawali dengan memperkenalkan satu sama lainnya, sehingga dengan konsep ini jika dipahami
dengan maksimal tidak akan pernah terjadi gesekan-gesekan dalam bernegara dan berbangsa.
Ketiga: al-Tafhum (saling pengertian, saling memupuk solidaritas, toleransi). Ada
perhatian serius para sosiolog dan antropolog terhadap upaya penelitian untuk memahami agama.
Paling tidak kesimpulan sementara yang bisa kita ambil adalah, bahwa pengambilan dan

9
penentuan sikap keberagamaan tidak lepas dari upaya hermetisasi atau interpretasi terhadap
agama. Proses hermetisasi inilah yang akan melahirkan bentuk dan warna agama dalam diri
manusia, namun upaya hermetisasi ini tidak lepas dari keterpengaruhan seseorang atas kultur,
pendidikan, ekonomi, politik dan kepentingan-kepentingan hidup yang akan dicapai. Sehingga
perbedaan kondisi kultur, pendidikan dan tingkat intelektualitas seseorang akan melahirkan
perbedaan bentuk pemahaman dan ekspresi religiusitasnya.23
Saling pengertian dalam segala hal sangat dituntut dalam segala aspek, artinya bahwa
saling pengertian artinya diberikan kebebasan kepada seseorang untuk memilih jalan kehidupan
sesuai dengan prinsip yang dia yakini, dengan tidak ada paksaan dalam segala hal. Sebab yang
dituntut sebenarnya adalah bukan pada apa yang mereka yakini, tapi bagaimana menghargai dan
memahami pilihan orang yang berbeda.
Keempat: al-Tarhum (saling kasih mengasihi, saling empaty). Tarhum, dalam makna
yang esensi adalah memberikan kasih sayang secara universal, bukan hanya dengan sesama
manusia, bahkan dituntut berkasih sayang dengan makhluk-makhluk Allah yang lain, seperti
kasih sayang dengan binatang, tumbuh-tumbuhan. Dengan semangat kasih sayang ini
memberikan pengajaran bahwa tidak akan terjadi bencana alam jika manusia berkasih sayang
dengan tumbuh-tumbuhan dengan cara memelihara Alam, melestarikan lingkungan, menjaga
hutan, dan seterusnya. Inilah konsep yang mencerminkan ukhuwwah aL-kauniyyah
(persaudaraan dengan sesama alam semesta).
Kelima: al-Tawun (memupuk semangat kebersamaan, dialogis, kerjasama, dan team
work). Dengan memahami esensi persaudaraan akan berimplikasi pada semangat kerjasama yang
baik dengan semua elemen masyarakat, tanpa melihat aspek-aspek primordialisme yang melekat
pada setiap individu masyarakat. Begitu pentingnya taawun ini Islam tidak membatasi untuk
melaksanakan kerjasama/kualisi/kungsi/ koorporasi dengan siapapun selama dalam kolidor
kebaikan dan hal-hal yang positif, dan melarang kerjasama meskipun dengan sesama Islam
sekalipun jika tidak sesuai dengan etika dan moralitas keagamaan.24
Upaya ke arah preventifikasi ketegangan dalam beragama, banyak cara yang dilakukan,
di antaranya adalah dengan cara dialog antarummat beragama. Dialog ini bertujuan untuk saling
mengenal dan menimba pengetahuan agama mitra dialog. Alwi menyarankan dua pegangan yang

23 Dalam Islam perbedaan tersebut hanya berlaku pada masalah-masalah yang bersifat furuiyah
semata bukan masalah qhati (shalat, puasa, zakat, haji, tauhid, kenabian dan lain sebagainya).
24 Q.S. al-Maidah (5) : 2

10
harus dilihat antarummat beragama dalam melakuakan dialog, yakni: pertama toleransi. Akan
sulit bagi kedua belah pihak yang berdialog tersebut untuk bisa saling menghargai jika semangat
toleransi tidak dikedepankan sebagai jembatan yang akan menghubungkan keduanya dalam
harmoni. Sebab toleransi memiliki fungsi untuk menahan diri agar komflik tidak terjadi melalui
kesalahfahaman dan kedua adalah pluralisme.25 Dialog bisa dikatakan sebagai sebuah upaya
kerjasama antarummat beragama dalam menciptakan harmoni, maka urgensitas kerjasama
tersebut dapat ditilik dari dua fungsi strategisnya, pertama adalah ketakwaan kepada Tuhan.
Dihadapan Tuhan seseorang dinilai baik apabila ia baik pada sesama manusia. Dalam Islam,
banyak hadis yang mendukung hubungan sesama manusia ini, salah satunya adalah hadis yang
berbunyi iman seseorang dianggap belum sempurna apabila tetangganya tidak merasa aman dari
gangguannya.26 Kedua, wujud solidaritas kemanusiaan.27
Selanjutnya Alwi merumuskan pengertian konsep pluralisme kedalam empat bentuk,
Pertama, pluralisme tidak serta merta menunjuk pada adanya kemajemukan, melainkan yang
dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dari sini
pluralisme dimaknai sebagai tiap pemeluk agama dituntut untuk bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan
agar tercapai kerukunan dalam keragaman. Kedua adalah pluralism harus dibedakan dengan
kosmopolitanisme. Sebab kosmopolitanisme belum tentu mengarah pada interaksi yang baik
antar perbedaan yang ada, walaupun semua masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah atau
kota saling bertemu setiap saat. Ketiga adalah, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan
relativisme. Ralitivisme berpandangan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran dan nilai
ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Keempat,
pluralisme bukan sinkretisme, yakni menciptakan agama baru dengan mengambil ajaran atau
unsur tentu dari agama-agama yang ada dan diintegrasikan ke dalam agama baru tersebut. 28

PENUTUP
Islam dalam wujud solidaritas kemanusiaan mengemban tugas kedepan sebagai Islam
yang bertujuan mengaktualisasikan Islam yang rahmatan lil alamin yang berorientasi pada

25Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, h. 41.
26Lihat Sahih Bukhari Muslim, Maktabah Syamilah.
27Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang

Membatu, h. 8.
28
Alwi Shihab, Islam..h.42.

11
penciptaan kehidupan yang integral dan holistik, yakni pemaduan antara kesalehan vertikal yang
kemudian terwujud dalam keshalehan sosial-horizontal atau dengan kata lain aktualisas nilai
ritual ibadah yang dikerjakan kedalam kehidupan sosial dalam bentuk cinta, kasih sayang,
toleran dan egalitarian terhadap sesama manusia, bahkan mungkin terhadap lingkungan alam.
Tujuan akhir dari semangat kebersamaan yang disebut dengan ukhuwwah, adalah
mencapai sebuah keberhasilan, bukan merupakan pelarian diri dari kenyataan hidup di dunia
yang seharusnya dihadapi. Selama ini, begitu banyak orang menganggap bahwa ukhuwwah
islamiyah adalah menihilkan relasi dan komunikasi dengan orang yang bukan seagama,
padahal substansi ukhuwwah islamiyah adalah menjalin persaudaraan yang islami, bukan
persaudaraan antarorang Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman Wahid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Editor: Budhy


Munawwar Rahman (Jakarta: Yayasan Paramadina, cet.I, Mei 1994)
Abi Thalib al-Makky, Qt al-Qulb fi Mumalt al-Mahbb (Kairo: Maktabah al-
Mutanabbi, ttp), Juz 2.
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan
Press, 1999), Cet. II.
Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin
yang Membatu (Jakarta: Ciputat Press, 2000)
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: The University of
North Caroline Press, 1990).
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Darul Fikr, 1989) cet VII.
Ibn Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H), 4 Vol .Cet. 1.
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif;Ceramah-Ceramah di Kampus (Bandung: Mizan
Press, 1998, cet.1.
-------------, Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendikiawan Muslim (Bandung: Mizan,
1998), cet. X.
Joachim Wach, Sociology of Religion (Chicago: The University of Chicago Press, 1948).
Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini (Jakarta: Rajawali Press, 1987)

12
Muhammad Imarah, Al-Islam wa al-Arubah (al-Haiahal-Mashriyah al-Ammah li al-
Kitab, 1996)
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. XI, Volume 2.
Roland Robertson, ed., Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj., Achmad
Fedyani Saifuddin (Jakarta: CV Rajawali, 1992)
Yusuf Qardhawi, Al-Khashaish al-alamiyah al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), cet.
VIII.

13

Anda mungkin juga menyukai