Anda di halaman 1dari 5

Al-Ummah

Dalam al-Quran, istilah ummah disebut sebanyak 64 kali dalam 24 surat. Dalam
frekuensi sebanyak itu, ummah mengandung sejumlah arti, umpanyanya bangsa (nation),
masyarakat atau kelompok masyarakat (community), agama (religion) atau kelompok
keagamaan (religious community), waktu (time) atau jangka waktu (term), juga pemimpin
atau sinonim dengan imam. Ensiklopedia Indonesia menyebut istilah umat yang berasal dari
kata ummah itu berarti empat macam. Pertama, mengandung arti bangsa, raktyat, “kaum yang
hidup bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan.” Kedua, diartikan sebagai penganut suatu
agama atau nabi. Ketiga, khalayak ramai. Dan keempat, umum, seluruh, umat manusia.1
Kata ummah diambil dari kata amma yang berarti menuju dan berniay. Makna ini
terdiri dari tiga arti, gerakan, tujuan, dan ketetapan kesadaran. Dan karena amma pada
asalnya mencakup makna kemajuan (taqaddum), maka sekaligus makna ini terseusun dari
empat arti: 1. Ikhtiar, 2. Gerakan, 3. Kemajuan. 4. Tujuan. Dan dengan menjaga makna ini
ummah tetap pada akarnya dengan arti “jalan yang jelas”, artinya sekelompok manusia yang
bermaksud menuju “jalan”.2
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata umat diartikan sebagai para
penganut atau pengikut satu agama dan makhluk manusia. Kata ummahi adalah isim musytaq
yang berasal dari kata kerja amma ya’ummu amman imaman imamatan umumatan.
Jika demikian maka kepemimpinan dan mengikut, perjalanan dan jalanm tercakup
dalam kata ummah. Atas dasar ini maka Islam tidak menganggap darah, tanah, perkimpulan
atau kesamaan tujuan, pekerjaan dan alat produksi, ras, indikasi sosial, jalan hidup, sebagai
ikatan dasar yang suci antara individu-indicidu manusia, sama sekali bukan hubungan-
hubungan ini. Lalu, ikatan manakah yang paling suci dalam pandangan Islam? Sesungguhnya
ia adalah “perjalanan: yang menyatukan umat manusia dengan memilih jalan yang sama.3
Sementara itu, di dalam al-Quran sendiri terdapat istlah-istilah lain yang menunjuk
pada konsep-konsep yang hampir serupa. Istilah Inggris nation atau bangsa umpanya, disebut
dalam al-Quran dengan ummah; clan atau marga disebut sebagai ‘asyirah dan sya’b. People
atau rakyat dirujukkan dengan kata-kata abl. Unas. Al’abd, nas, qawm, dan syu’ub (kata
prular dari sya’b). Sementara Tribe atau suku disebut dalam al-Quran dengan istilah-istilah
‘asyirah, qabil, raht, dan asbath. Sementara itu kita tidak memperoleh padanan dari kata
society yang sering menjadi padanan kata “masyarakat”.4
Konsep tradisional tentang ummah, tidak selalu berkonotasi religius. Beberapa penulis
tradisional telah serius membedakan antara makna religius dan makna sosial terma tersebut.
Pengertian ganda konsep ummah tersebut berdasarkan fakta di mana al-Quran sendiri
menggunakannya dengan berbagai kandungan makna yang berbeda. Terkadang ia bermakna
masa atau waktu, pola atau metode, atau juga bermakna komunitas (community). Pada
gilirannya, komunitas tersebut didefinisikan sebagai sebuah komunitas agama secara umum
(atau bagian dari sebuah agama) di mana ia terkadang juga menggambarkan beberapa
komunitas. Pada masa kini, terma tersebut diartikan dengan komunitas Islam an sich, sebab ia
diyakini memiliki kandungan makna religius ketimbang makna sosio-historis.5

1
Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep Kunci,
(Jakarta: Paramadina, 1996), h. 483
2
Ali Syariati, Ummah dan Imamah, (Bandar Lampung-Jakarta: YAPI, 1990), h. 36
3
Loc.cit
4
Dawam Rahardjo, Op.cit, h. 483
5
Abdul Fatah, Kewarganegaraan dalam Islam: Tafsir Baru Tentang Konsep Ummah,
(Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat: 2004), h. 74
Quraish Shihab berpendapat kata ummah diambil dari bahasa arab amma-yaummu
yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Ummu yang berarti ibu dan imam yang
berarti pemimpin keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan anggota
masyarakat.6
Sementara itu, Ibn Khaldun (1332-1406 M) menganalisis terma tersebut dengan
pendekatan sosiologis. Melalui pendekatan ini, dia mengartikulasi bahwa terma “ummah”
memiliki kandungan makna yang berhubungan sangat erat dengan konsep group, people
(rakyat) atau ras, dengan sedikit dikesampingkan faktot bahasa. Baginya, terma ummah
merupakan sebuah fenomena baru yang memiliki cakupan lebih luas dari dinasti atau negara
(dawlah). Jika kita berbicara tentang masyarakat Islam, maka terma yang tepat
menurutnya adalah “millah”. Padanan yang tepat dari terma ummah adalah “wahthan”
sebagai sebuah terma mengekspresikan sebuah hubungan tertentu antara sebuah group
tertentu yang mendiami wilayah teritorial pula.7
Menurut Frederick M. Denny (guru besar pada Departemen Studi Agama pada
University of Colorado-Boulder), ummah merupakan terma komunal-religius Arab Kuno
yang menjangkau jajaran agama, nilai-nilai yang dianut bersama dan keprihatinan yang
menjadi perhatian bersama. Bagi Denny, ummah di satu sisi memiliki pengertian kultural,
namun hal itu tidak menunjukkan kebangsaan, pertalian keluarga, atau etnisitas. Paling tidak,
pengertian ummah yang telah berkembang sepenuhnya adalah ummah sama dengan
“komunitas Muslim”. Ummah Muslim merupakan totalitas kaum Muslim yang ada di dunia
pada suatu waktu tertentu dan atau mereka yang memiliki perasaan sejarah bersama (sense of
shared history) mengenai “petualangan” Islam yang diwariskan dari masa lalu.8
Ummah itu sendiri bukanlah bagian dari kebudayaan Islam partikuler, meskipun di
satu sisi ia selalu menunjukkan adanya pengaruh kuat kultur Arab. Hal yang lebih
memungkinkan adalah ummah merupakan rumpun kebudayaan masyarakat Muslim di
berbagai tempat yang saling memberikan keharmonisan dan bersifat saling melengkapi.
Kebudayaan Islam trans-kultural ini, menyatukan dan melestarikan ummah tersebut, bahkan
pada sisi yang lain ia menggambarkan kekuatan dan kualitas-kualitas khusus yang timbul dari
berbagai komponen kebudayaannya yang nyata.9
Keseluruhan kata ummah dapat disimpulkan bahwa kata ummah menunjukkan proses
dinamis suatu komunitas. Konunitas yang bergerak maju dengan tetap berlandaskan pada
asas kebersamaan dan kesadaran bahwa mereka himpunan individu. Yang perlu dicermati
dalam Al-Quran tidak hanya berbicara ummah dalam dataran umat Islam saja tetapi meliputi
berbagai macam komunitas manusia.
Sarjana Barat yang secara serius membahas pengertian ummah antara lain adalah W.
Montgomery Watt, misalnya dalam bukunya Muhammad at Madina (1956, 1972). Bahasan
Watt yang agaknya menarik ‘Ali Syariati, seorang cendekiawan-mujahid Iran yang kesohor,
untuk mengupas istilah ummah secara sosiologis dan epistemologis. Sudah tentu ia bukan
membahas istilah itu lantaran Watt, melainkan dalam rangka menjelaskan salah satu aspek
penting dalam ideologi Syi’ah, yaitu keharusan adanya imamah dalam ummah, dalam
bukunya al-Ummah wa al-Imamah (terjemahan Indonesia, 1990). 10
Menurut ‘Ali Syariati, makna Ummah mengandung tiga buah konsep yan saling
bertautan, yaitu (1) kebersamaan dalam arah dan tujuan, (2) gerakan menuju arah dan tujuan

6
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’I atas pelbagai persoalan Umat,
(Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1999), h.18
7
Abdul Fatah, Op.cit, h.75
8
Loc.cit
9
Ibid, h.75-76
10
Dawam Rahardjo, Op.cit, h. 483
tersebut, dan (3) keharusan adalanya pimpinan dan petunjuk kolektif. Dengan demikian,
ummah bagi Syariati adalah “kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang
sama, yang satu sama lain saling bahu-membahu agar dapat bergerak menuju tujuan yang
mereka cita-citakan, berdasarkan suatu kepemimpinan kolektif”.11
Lebih lanjut, Syariati emandang terma ini memiliki keistimewaan dibandingkan
dengan beberapa istilah berikut yang sejenis; (1) nation, yaitu kelompok masyarakat yang
diikat oleh kekerabatan, kesatuan darah, dan ras, (2) qabilah, yakni sekumpulan individu
manusia yang memilih tujuan dan kiblat yang sama dalam hidup mereka, (3) qawm, yakni
kelompok yang dibangun atas dasar menegakkan individu dengan berserikat, besatu dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan, (4) sha’b, yakni masyarakat yang menjadi cabang dari
masyarakat lainnya, (5) thabaqah, yakni sekelompok amnusia yang memiliki kehidupan,
pekerjaan, dan pendapatan yang mirip, dan bahkan sma, (6) mujtama’ atau jama’ah, yakni
perkumpulan anak manusia di satu tempat, (7) tha’ifah, yakni perkumpulan manusia yang
mengitari satu poros tertentu atau mengelilingi zona tertentu, (8) race, yakni sekelompok
individu yang mirip dan berikat dalam ciri-ciri khas jasmani seperti postur, warna kulit dan
darah, (9) mass/jumbur, yakni sekelompok individu yang mirip dan tersebar di area tertentu,
dan (10) people, yakni sekelompok individu manusia yang menempati suatu kawasan tertentu
dan menetap.12
Berbeda dengan Syariati, Abdullah Naseef menerjemahkan ummah sebagai bangsa
atau komnitas. Bagi Naseef, makna kedua (komunitas) terbsebut lebih tepat. Dalam hemat
Naseef, seseorang harus hidup dalam komunitas, ia tidak dapat hidup seorang diri. Ummah
ini dipandang sebagai komunitas orang yang percaya kepada Tuhan yang menciptakan dan
memelihara mereka, serta memberi mereka tuntutan dan kebutuhan hidup. Menurut Naseef,
komunitas Islam ini dikehendaki hidup menurut Islam. Mereka itu bukan hanya sekedar
percaya kepada Tuhan dalam hati, melainkan mengekspresikannya dalam tindakan, baik
secara individual maupun kolektif, karena Islam bukan sekedar agama, namun juga tujuan
hidup.13
Ummah adalah suatu konsep kesatuan manusia, dari kesatuan yang lebih kecil sampai
kesatuan yang lebih besar, hingga mencapai kesatuan umat manusia. Di sini perlu dibedakan
antara kesatuan komunitas yang bersifat gemeinschaft, yang sifatnya tidak sukarelayang
merupakan kesatuan karena persamaan ras, warna kulit, bahasa, keturunan, darah, dan faktor-
faktor alam lainnyadengan kesatuan masyarakay (society), yang sifatnya sukarela dan
dibentuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (gesellschaft). Komunitas, dalam al-Quran,
disebut dengan istilah sya’b dan qabilah (jamaknya qabail), seperti yang disebut dalam al-
Quran s. Al-Hujarat/49:13. Sedangkan masyarakat, padanannya adalah ummah, dalam arti
masyarakat universal. Sebagaimana dikatakan Ismail Faruqi, apabila menuruti pengertian
aslinya dari bahasa Arab, maka pengertian ummah melingkupi faktor-faktor geografi,
genealogi, bahasa atau nasib sekelompok manusia dalam sejarah. Ummah, menurut
pengertiannya, bersifat trans-lokal, trans-rasial, dan trans-politik, yakni mengatasi batasan-
batasan lokal, rasial, dan satuan politik negara.14
Merumuskan konsep ummah dari pemikiran Tauhid Al-Faruqi yang dikutip oleh
Abdul Fatah dalam buku Kewarganegaraan dalam Islam (Tafsir Baru tentang Konsep
Ummah), Ummah Wahidah, bagian dari ide kesatuan yang berperanpenting dalam pengertian
ummah yang sangat umum digunakan dalam al-Quran. Ummah Wasaath, konsep sebagai
komunitas agamawi yang sudah semakin berkembang. Atau umat yang moderat yang

11
Abdul Fatah, Op.cit, h.77
12
Ibid, h.77-78
13
Ibid, h.79
14
Dawam Rahardjo, Op.cit, h. 504
posisinya ada di tenga agar bisa dilihat oleh semua pihak dan segenap penjuru. Ummah
Muqtashidah, konsep ini bukan ditujukkan kepada umat Muslim tapi lebih ditujukkan kepada
Al-Kitab. Ummah Muslimah, konsep ini merupakan kumpulan oranh-orang salah yang tidak
mendengarkan hukum-hukum Allah tetapi juga mengamalkannya serta mempraktekannya
dengan taat. Khayr Ummah konsep ini berisi tentang penjelasan model masyarakat terbaik
dan menurut ayat ini ciri utama dari masyarakat terbaik itu adalah terdapatnya mekanisme
kelembagaan untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Demi memperjelas masalah kepemimpinan dalam umat, kita harus mengetahui
pengertian “imam”. Islam mempunyai istilah khusus tentang masyarakatnya yang berbeda
dengan istilah-istilah lain, seperti masyarakat, kabilah, rakyat, kelompok, dan lain-lain. Islam
juga mempunyai istilah khusus yang mengandung pengertian kepemimpinan masyarakatnya
yang berbeda dengan istilah-istilah lain seperti penguasa (hakim), ketua (za’im), presiden
(ra’is), raja (malik), kaisar, dan komandan. Istilah Islamnya adalah imam. Istilah ini
mencakup semua pengertian yang dikandung oleh istilah ummah. Ia juga memuat ide yang
dikandung kata ummah dan beberapa keistimewaan yang dimiliki secara khusus olehnya
sehingga berbeda dari istilah-istilah lain yang mengimbanginya yang ada di budaya-budaya
dan ideologi sosial, politik, dan ilmu pengetahuan.15
Konsep umat (ummah) menjadi penting dalam kehidupan bersama, baik umat yang
berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosial-budaya suatu bangsa ataupun
dunia internasional yang dalam era globalisasi ini peran dunia internasional sangat kuat dan
interaksi menjadi sangat intensif , maka di sini perlu diangkat konsep umat sebagai salah satu
maqashid syari’ah. Konsep ummah harus dibentuk dari pribadi yang berkualitas harus
memiliki rasa percaya diri yang kuat karena dengan itu akan ummah bisa menjadikan suatu
pribadi yang bertanggung jawab dan bisa mengatur suatu tindakan. Maka dengan itu harus
konsep ummah sangat penting karena dapat membekali suatu diri manusia itu sendiri.
Dengan demikian, mengetahui imam adalah masalah terpenting sehubungan dengan
Muslin dalam masyarakat Islam (ummah). Adalah merupakan langkah yang sangat baik
apabila para pemikir dan para pemimpin sejak awal sejarah Islam telah memperkenalkan
penting dan agungnya peran imam. Imam Baqir (as) memberikan contoh dalam sebuah
suratnya kepada salah seorang sahabatnya ketika menjelaskan masalah imamah, urgensinya,
dan nilai prinsip dasar kepemimpinan dalam Islam. Ia berkata: “Setiap orang yang beriman
kepada Allah yang bersungguh-sungguh beribadah kepada-Nya, tetapi ia tidak mempunyai
imam yang ditunjuk oleh Allah, maka semua usahanya tidak diterima. Ia tersesat dan
bingung. Dan Allah memurkai segala amalnya. Perumpamaan orang itu seperti seekor
kambing yang tersesat dari gembala dan kelompoknya, kemudian diserang oleh yang datang
dan pergi di siang harinya. Sementara, ketika malam mulai gelap ia melihat sekawan
kambing beserta gembalanya, maka ia ikut dengannya, tetapi ia tertipu. Ia menginap bersama
dalam kandangnya. Ketika gembala itu menggiring kawanan kambingnya maka gembala dan
kawanan kambingnya akan mengingkati kambing (yang tersesat) itu. Kambing itu dilanda
kebingungan mencari gembala dan kawanan kambingnya sendiri. Ketika ia melihat
sekawanan kambing yang lain dengan gembalanya berbaik-baik dengannya tetapi ia tertipu
juga. Maka gembalanya meneriaki kambing sesat itu, ‘susullah gembala dan kelompokmu.
Karena engkau tersesat dan kebingungan.’ Kambing sesat itu ketakutan dan bingunh. Ia tidak
bergembala yang menunjukinya ke tempat gembalaannya atau tempat kembalinya. Sementara
dalam kondisi seperti itu datang serigala yang merasa menemukan barang temuan tanpa susah
payah, lalu dimakannya kambing itu.”16
Mempercayai para pahlawan dan meyakini pribadi unggul, teladan bagi manusia dan
masyarakat manusia, yang muncul di sepanjang sejarah, memiliki warna yang bermacam-
15
Ali Syariati, Op.cit, h.84
16
Ibid, h.84-85
macam, karena manusia secara mendasar merindukan yang mutlak, meski ia tidak dapat
membuka rahasianya. Ia menciptakannya dalam khayal, karena jiwa manusia berjalan tanpa
ujung untuk mengabdi kepada keutamaan yang mutlak dan keindahan yang gaib, dan ia
membutuhkannya. Mengenal manusia-manusia besar dan kebutuhan terhadap mereka adalah
salah satu dari kebutuhan jiwa manusia dalam hidupnya. Manusia, selamanya, mencintai
adanya imam. Ia terbuka di hadapannya, dan ia berkumpul dengannya. Tidak ada manusia di
sepanjang sejarah yang tidak membutuhkan imamnya, imam-imamnya yang nyata, atau yang
mereka ciptakan dalam khayal mereka. Sangat jelas sekali kebutuan kepada imam dalam
sejarah, kebudayaan, berbagai agama, sejalan dengan berlanjutnya bentuk cinta kepada para
pahlawan dan mengabdi kepada pahlawan sejarah manusia, mengabdi kepada individu
tertentu, dalam bentuknya yang positif dan negatifm yang benar dan yang menyimpang.17

17
Ibid, h. 87-88

Anda mungkin juga menyukai