Anda di halaman 1dari 15

A.

Makna dan Lingkup Dakwah


Dalam bahasa al-Qur'an, dakwah terambil dari kata yang secara lughawi (etimologi)
memiliki kesamaan makna dengan kata al nida yang berarti menyeru atau memanggil.' Kata
ini dan derivasinya menurut informasi yang diperoleh dari peneliti al-Qur'an kenamaan
Muhammad Fuad 'Abd. al-Baqy terulang sebanyak 215 kali. Ketika menjelaskan istilah
tersebut, pakar bahasa Ibn Manzur menyebutkan beberapa arti yang terkandung seperti
berikut:
Pertama, meminta pertolongan seperti ucapan seseorang ketika bertemu musuhnya
dalam keadaan sendirian fad'u al-muslimin yang menurut Ibn Manzur dapat disamakan
dengan, istaghitsû al muslimin (minta tolonglah pada muslimun). Kedua, menghambakan diri
(Ibådah), baik kepada Allah SWT maupun kepada selain Allah SWT. Seperti dalam firman-
Nya (QS. al-A'râf/7: 194). Ketiga, memanjatkan permohonan kepada Allah SWT (berdoa),
se- perti dalam firman-Nya QS. al-Baqarah/2: 186. Keempat, persaksian Islam (syahadat al
Islâm). Seperti surat Nabi Mu- " ‫أدعوك بدعاية اإلسالم‬..." hammad SAW kepada Heraklius (aku
memanggil kamu dengan persaksian tentang Islam). Kelima, memanggil atau mengundang
(al-nida). Seperti dalam firman Allah (QS. al-Ahzab/33: 46). Senada dengan Ibn Manzur,
pakar al-Qur'an kenamaan al-Asfihany, menye- butkan adanya kesamaan kata al-du'a dengan
al-nidâ yang berarti memanggil namun dengan argumen yang berbeda. Kesimpulan ini, oleh
al-Asfihâny didasarkan atas firman Allah SWT (QS. an-Nûr/24: 63). Islam disebut sebagai
aga- ma dakwah (din al-da'wah), karena ia mengajak orang agar berkenan mengikuti
seruannya.
Adapun dari tinjauan aspek terminologis, pakar dakwah Syekh Ali Mahfuz
mengartikan dakwah dengan mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk Allah SWT,
menyeru mereka kepada kebiasaan yang baik dan melarang mereka dari kebiasaan buruk
supaya mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat. Pengertian dakwah yang dimaksud,
menurut Ali Mahfuz lebih dari sekadar ceramah dan pidato, walaupun memang secara lisan
dakwah dapat diidentikan dengan keduanya. Lebih dari itu, dakwah juga meliputi tu- lisan (bi
al-qalam) dan perbuatan sekaligus keteladanan (bi al-hal wa al-qudwah). Sayyid Quthub,
lebih memandang dak- wah secara holistis, yaitu sebuah usaha untuk mewujudkan sistem
Islam dalam kehidupan nyata dari tataran yang paling kecil, seperti keluarga, hingga yang
paling besar, seperti negara atau ummah dengan tujuan mencapai kebahagiaan du- nia dan
akhirat. Untuk mewujudkan sistem tersebut, menurut M. Quraish Shihab diperlukan
keinsafan atau kesadaran masyarakat untuk melakukan perubahan dari keadaan yang tidak
atau kurang baik menjadi baik.
Dakwah juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk memotivasi orang dengan
basirah, supaya menempuh jalan Allah SWT dan meninggikan agamanya. Dakwah Islam
adalah dakwah başirah, maknanya berarti dakwah yang dise- barluaskan dengan cara damai
dan bukan dengan kekerasan, serta mengutamakan aspek kognitif (kesadaran intelektual), dan
afektif (kesadaran emosional). Dakwah demikian ini, lebih lanjut disebut sebagai dakwah
persuasif (membujuk).
Dalam al-Qur'an, disebutkan bahwa tujuan dari utusan Rasulullah adalah sebagai
rahmat bagi semesta alam. Arti dari pernyataan ini, yaitu bahwa kedatangan Rasulullah
dengan risalah Islam itu harus mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan hidup bagi
manusia." Dakwah juga dipan- dang sebagai tugas para rasul Allah SWT (wazifat al-rusul)
yang-walaupun manhaj dan syariatnya berlainan-esensi pesannya adalah ajakan kepada
manusia untuk hidup dalam sikap "Islam" (tunduk dan pasrah kepada sang pencipta).

Bagi Ahmad Mahmud, dakwah jika ditinjau dari segi kosakata, merupakan bentukan kata
kerja inklinasi (kecon- dongan) dan motivasi (fi'lun imâlatun wa targhibun). Mela- lui analisis
ini, dakwah diartikan sebagai usaha memberikan penawaran kepada orang supaya bersikap
condong dan ter- motivasi melakukan ajaran Islam itu. Dakwah kepada Islam, artinya tugas
untuk memengaruhi orang agar ia menjadi condong dan menyukai Islam, baik dengan cara
teoretis atau nasihat, maupun secara praktis atau keteladanan (min qoulin aw fi'il). Dalam
pengertian ini, bentuk dakwah dalam prak- tiknya bukan hanya sekadar teoretis-instruktif
atau dikenal dengan lisân al maqâl, tetapi juga menuntut bentuk tindak- an-empiris yang
dikenal dengan lisân al hâl. Menerjemahkan dakwah agar dapat dipahami dari pel- bagai sisi
ilmiah pada dasarnya tidak dapat dipisahkan de- ngan dua hal, doktrin dan sejarah Islam. Dari
segi doktrinal, Islam mengklaim sebagai agama universal yang melampaui sekat-sekat
keyakinan, teritorial, maupun ras kemanusiaan. Adapun dari segi historisnya diperoleh
sederet fakta sejarah mengenai transmisi Islam baik secara kultural maupun politik. Baik
paradigma doktrinal dan historis dalam relevansi- nya dengan dakwah adalah sebagai dasar
analisis fenomena sosialisasi Islam yang menjadi idiom utama dakwah.

Secara doktrinal, keuniversalan Islam sebagai alasan dasar dakwah dapat ditilik dari
tiga aspek, yakni teologi, yurisprudensi dan norma etis. Pertama secara teologis, dok- trin
Islam menyangkal konsep Tuhan komunal, seperti da- lam agama Yahudi misalnya." Lebih
dari itu Tuhan dalam doktrinal Islam adalah Tuhan semesta alam (rabb al-'alamin), yang
menguasai seluruh manusia bahkan jagat raya. Pema- haman teologis yang tecermin dari
deklarasi primordial Islam "...tiada tuhan kecuali Allah..." ini, kemudian membawa kepada
sebuah pandangan kesatuan kehendak Tuhan terhadap alam semesta. Sebagai
konsekuensinya, setiap muslim terikat komitmen untuk mewujudkan kehendak Tuhan di
alam ini, baik secara retorik (penyampaian), maupun praktis (penerapan). Kedua secara
yurisprudensi, doktrin Islam menegaskan bahwa perintah dan larangan dalam Islam pada
tujuannya yang prinsipiil diciptakan untuk menegaskan nilai-nilai ke- manusian yang
universal.18 Atas dasar karakter demikian, maka tujuan dan nilai-nilai pokok hukum Islam
itu menun- tut untuk dikenalkan dan dipahamkan kepada seluruh ma- nusia. Ketiga secara
etis, doktrin Islam menegaskan bahwa tujuan dari perisalahan Islam yaitu untuk membimbing
sisi transendensi (spiritual) manusia yang melekat dalam karakteristik penciptaannya (fitrah).
Selain hubungannya dengan Tuhan, etika Islam juga menetapkan nilai-nilai moral yang
penting dalam urgensinya bersikap yang benar baik dengan sesama maupun lingkungannya.
Seperti diketahui, baik etika moral maupun spiritual adalah tergolong nilai-nilai inklusif
diterima oleh kemanusiaan secara universal, dan karena itu menemukan peran pentingnya
dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Peran penting etika Islam dalam aspek sosial ini,
pada gilirannya menuntut untuk dipublikasikan secara luas dalam pergaulan bermasyarakat
dan bernegara secara praktis.

Adapun dari tinjauan sudut historis, data-data sejarah memperlihatkan fenomena


sosialisasi Islam (baca: dakwah) dari dua aspek, politik dan kultural. Pertama, melalui politik.
Islam sebagai keyakinan dan praktis telah mengalami sosialisasi dalam bentuk penyatuan
suku-suku Arab, bahkan kemudian melampaui teritorial Arabia-sebagai basis awal
perisalahannya hingga menembus medan kekuasaan asing yang ketika itu telah memiliki
keyakinan dan praktiknya yang independen." Kedua, melalui kultural. Data historis
memperlihatkan kepada kita tentang fenomena sosialisasi Islam dalam banyak aspek
kehidupan berbudaya, baik yang terejawantah dalam bentuk institusi maupun dalam bentuk
norma-norma dan etika yang menjadi tolok ukur perilaku dan tindakan masyarakat.
Sosialisasi Islam juga telah melahirkan sejumlah "perkawinan kultur" lewat proses dialog dan
sintesis antara ajaran Islam dan budaya lokal-historisnya. Pelaksanaan dakwah, karena telah
menjadi bagian intrin sik dari Islam itu sendiri, merespons sejumlah permasalahan sosial dan
menerjemahkannya dalam dua terminologi, amar makruf dan nahi mungkar. Baik amar
makruf maupun nahi mungkar, dalam al-Qur'an diposisikan dalam ranah profetik Islam, yaitu
menyosialisasikan nilai-nilai kebaikan universal (al-khair). Dan hendaklah kamu menjadi
kaum yang mengajak kepada khair, yaitu menyuruh kepada makruf dan mence- gah dari
mungkar, mereka itulah orang-orang yang berun- tung... (QS. Ali Imrân/3: 104).

Dalam literatur-literatur tafsir al-Qur'an, konsep al-khair biasa diterjemahkan sebagai


kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat (mâ fîhi salah al-nâs fi al-din wa
al-dunya). Jika Islam mengklaim sebagai sistem keyakinan yang membawa kemaslahatan
hidup manusia di dunia dan akhirat, maka al-khair dalam pengertian ini juga biasa ditafsirkan
sejajar dengan terminologi al-Islam. Usaha untuk mencapai kemaslahatan hidup dunia
akhirat, merupakan hal fundamental yang dicita-citakan oleh kemanusiaan secara universal.
Disebut demikian, karena ide tersebut adalah sebuah nilai utopis (cita-cita yang dinilai ideal)
seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Dalam kaitannya dengan klaim Islam seperti
dijelaskan di atas, maka mendakwahkan al-khair berarti juga termasuk mendakwahkan Islam.

Dari kutipan ayat al-Qur'an di atas, dapat diperoleh pe- mahaman bahwa al-khair
sebagai ide untuk mewujudkan kemaslahatan hidup dunia akhirat melingkupi dua tugas
utama kemanusiaan, yaitu menyosialisasikan kebaikan dan mencegah kejahatan. Sementara
itu, kebaikan universal as- peknya amat luas, dan tidak dapat didakwahkan kecuali setelah
diterjemahkan dalam konteksnya yang lokal. Karena itu, terminologi yang digunakan al-
Qur'an untuk menjelas- kan sosialisasi kebajikan adalah al-amru bi al-ma'ruf. Menurut para
ahli, term al-ma'ruf memiliki makna kebajikan in- degenous, yaitu kebajikan yang telah
mengalami identifikasi lokal-situasional. Ma'ruf juga biasa diterjemahkan dengan apa-apa
yang dianggap baik oleh akal dan syara' (mâ istah- sanahu al-aqlu wa al-syar'u), demikian,
karena ia bisa dibi- lang kebajikan yang telah mengalami proses sintesis, dialog atau tawar-
menawar antara yang ideal dalam syara' di satu sisi, dan identifikasi manusia atas situasi dan
kondisi yang melingkupinya melalui akal di sisi yang lain. Adalah sebuah kewajaran, acap
kali ditemukan hal-hal yang dianggap baik pada satu wilayah, tetapi tidak begitu pada tempat
yang lain, namun masih menemukan justifikasinya secara ideal- doktrinal (syara').

Masih dalam lingkup mengajak kepada konsep al-khair, adalah mencegah kejahatan
(al-nahy an al-munkar). Term mungkar biasa dilawankan dengan makruf sebagai segala
sesuatu yang dinilai buruk oleh akal dan syara' (må istagbaha hu al-'aglu wa al-syar'u)."
Seperti halnya makruf, mengikuti definisi ini, mungkar juga merupakan kejahatan yang telah
menemukan identifikasi lokalnya. Dengan kata lain, mungkar adalah kejahatan yang telah
mengalami kontekstualisasi dengan kondisi setempat. Berpijak atas karakter kontekstual- nya
itu, maka bentuk kejahatan mungkar menjadi debatable, karena ia telah mengalami
rasionalisasi (walaupun sesung- guhnya ia tidak benar-benar rasional)." Dari sini dipahami,
bahwa usaha mencegah kemunkaran menuntut kemampuan (capability) untuk
mengidentifikasi faktor-faktor kultural, sosial-politik hingga ekonomi yang ditengarai akan
menjadi wadah bagi munculnya segala bentuk perangai, tindakan atau perbuatan yang
berlawanan dengan akal dan syara'. Inilah makna general dari dakwah yang tersirat dari
trilogi perjuangan Islam, khair, amar makruf, dan nahi mungkar.

Kebaikan (al-ma'ruf) dan kejahatan (al-munkar), adalah dua konsep terminologi moral
yang lekat dengan kehidupan empiris manusia. Keduanya mengejawantah dalam aspek
kehidupan manusia dengan bentuknya yang beraneka ragam. Dalam aspek politik, al-ma'ruf
dapat menjelma dalam ben- tuk kekuasaan yang adil, merakyat, demokratis, dan terbuka
(egalitarian). Sementara itu al-munkar, terimplementasi da- lam format-format pemerintahan
yang diktator, eksklusif, tiranis dan elitis. Dalam aspek sosial-kultural, jika al-ma'ruf
mengejawantah dalam bentuk sistem sosial yang religius, to leran, pluralis, dan
komplementatif, maka al-munkar dapat menjelma dalam bentuk sistem budaya sosial anti-
agama, eksklusif, fundamentalis-radikal, dan destruktif. Dalam bi- dang ekonomi, jika al-
ma'ruf dapat ditangkap gejalanya da- lam bentuk sistem perekonomian yang adil, makmur,
dan jujur, maka al-munkar melekat dalam sistem ekonomi yang curang, korupsi, pemerasan,
dan aneka ketimpangan ekono- mi yang lainnya.

Dakwah dalam hal ini adalah upaya untuk mengajak umat manusia untuk menuju
sistem moral yang dilandasi atas ide al-ma'rûf, sekaligus mengantisipasinya dari kemung-
kinan-kemungkinan terjerembab dalam al-munkar. Dakwah mengintervensi seluruh lingkup
kehidupan manusia seperti dijelaskan di atas dan mengonsolidasikannya dalam bentuk sistem
hidup yang penuh moral dan kemanusiaan (full of mo- rality and humanity life system).
Falsafah demikian ini juga, berarti mengharuskan usaha-usaha preventif yang meng- halangi
setiap kemungkinan pergeseran sistem tersebut ke arah yang berlawanan (baca: mungkar).
Tindakan preventi menjadi tidak kalah urgensialnya, mengingat walaupun se cara fitri
manusia ialah makhluk moral yang cenderung ke pada kebajikan (al-fitrah al-majbûlah),
namun ia memiliki potensi untuk bergeser dari prinsip awal penciptaannya ke arah mungkar.
Atas dasar kekhawatiran ini, maka kehidupan manusia itu dilengkapi oleh petunjuk agama
(al-fitrah al- munazzalah) sebagai pengukuh karakter kefitrian manusia itu." Dari keterangan
ini, diperoleh ketegasan bahwa dakwah pada hakekatnya merupakan kendaraan untuk
menyampaikan pesan agama, melingkupi seluruh aspek kehidupan ma- nusia dan
mengonsolidasikannya dalam format kehidupan yang bermoral-kemanusiaan (meaningfull
morality of hu- man life).

B. Dakwah sebagai Kebutuhan Manusia

Dari al-Qur'an didapat keterangan bahwa tujuan hidup manusia adalah menjadi wakil
Tuhan di muka bumi." Seba- gai wakil Tuhan, manusia ditugaskan untuk memakmurkan
bumi ini melalui pengembangan potensi-potensi kebaikan yang telah dianugerahkan Tuhan,
baik di alam makro (du- nia) maupun di alam mikro (diri manusia)." Untuk melakukan tugas
tersebut, Tuhan memberikan dua petunjuk kepada manusia. Pertama, petunjuk jiwa yang
terdiri dari akal sehat dan nurani, dan kedua, petunjuk agama." Dengan kedua petunjuk ini,
manusia dapat membedakan yang baik dan bermanfaat dari yang buruk dan merusak
kehidupannya. Apabila manusia mengikuti kedua petunjuk itu, ia mampu mengembangkan
segala potensi kebaikan, apakah itu di alam mikro bahkan juga di alam makro.

Secara psikis, jiwa manusia lebih cenderung kepada kebaikan dan menginginkan
kebaikan ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain. Namun demikian,
dalam kondisi tertentu manusia memilih untuk melupakan seruan jiwanya dan berpaling
kepada seruan kejahatan." Pada kondisi demikian, manusia berpotensi besar berbuat
kerusakan dan melahirkan banyak kejahatan-kejahatan. Ke- tika kejahatan-kejahatan ini
muncul, hidup manusia di mu ka bumi jadi tidak berkualitas. Karena tugasnya sebagai wakil
Tuhan untuk mengembangkan kebajikan-kebajikan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berarti, jika manusia ingin kembali ke posisi semula, harus mengikuti apa yang ditun- jukkan
oleh akal sehat dan bisikan nuraninya.

Sementara itu, akal manusia itu terbukti dapat meng- alami penyimpangan fungsi
(distorable, arab: inhirâf). Penyimpangan fungsi akal, adalah suatu kondisi di mana akal tidak
lagi mampu untuk mengenali kebajikan dari keburuk- an dan sebaliknya. Dalam kondisi
demikian, petunjuk agama menjadi suatu kebutuhan mutlak dalam merestorasi disfungsi akal.
Melalui petunjuk agama, akal manusia yang terdistorsi ditaklukkan, selanjutnya disinari
dengan cahaya Ilahi agar dapat berfungsi kembali secara normal." Selain akal, dalam struktur
psikis manusia juga terdapat nurani (perasaan). Seperti juga akal, nurani yang berfungsi untuk
menunjuk- kan kebenaran-kebenaran transenden pada akhirnya dapat meredup sinarnya."
Redupnya nurani atau distorsi pada akal, adalah faktor penyebab kehilangannya manusia
terhadap objektivitas (kemampuan identifikasi) kebenaran. Untuk itu, di samping meluruskan
fungsi akal, petunjuk agama juga berperan penting dalam menguatkan cahaya nurani. Melalui
perunjuk agama, persoalan disfungsi akal dan nurani pada kejiwaan manusia direstorasi ke
orisinalnya. Nah, usaha untuk mengembalikan fungsi akal dan nurani melalui petunjuk agama
itulah yang disebut dengan dakwah.

Alur pemikiran di atas pada gilirannya ingin menegaskan bahwa, dakwah merupakan
suatu kebutuhan mutlak bagi manusia. Tanpa dakwah, manusia tidak mengenal kebajikan,
jika kebajikan tidak lagi dikenal, sejarah hidup akan kacau (chaos of history), kondisi
demikian ini tidak terjadi kecuali berakhir dengan fenomena-fenomena kerusakan di muka
bumi.

Untuk dapat terus eksis secara historis, manusia terikat dengan sejumlah kebutuhan
yang tersusun secara Kebutuhan tersebut ada yang terkait langsung dengan ke langsungan
hidupnya dan bersifat mendesak seperti kebutuhan-kebutuhan fisik misalnya, tetapi ada juga
yang dapat ditangguhkan. Kebutuhan manusia akan petunjuk agama dan dakwah, termasuk
kebutuhan yang dapat ditangguhkan. Walaupun kebutuhan terhadap dakwah termasuk yang
da- pat ditangguhkan, dalam akumulasi yang memuncak, efek bola saljunya berpengaruh
besar dalam kehancuran sebuah masyarakat. Masyarakat yang dibimbing melalui dakwah,
hidupnya akan teratur, banyak melahirkan kebaikan dan oleh karena itu secara historis ia
akan terus eksis. Adapun masyarakat yang tidak dibimbing dakwah, hidupnya sem- rawut,
melahirkan banyak kejahatan dan oleh karena itu ia akan punah.

Dengan demikian, kebutuhan dakwah boleh dibilang sebagai "investasi berjangka"


(investment expect) umat ma- nusia. Dakwah diperlukan saat sekarang, demi kelangsung- an
hidup di masa mendatang. Apabila kebutuhan manusia diklasifikasikan ke dalam primar
(darûriah), sekunder (hajji- yah) dan tersier (tahsiniah), maka kebutuhan kepada dakwah
digolongkan sebagai kebutuhan primari primar (adarru al- darûriyah) yang mengatasi segala
kebutuhan fisik yang temporal. Demikian, karena hidup manusia tidak dapat survive tanpa
dakwah dan petunjuk agama. Jika dirujuk akar permasalahannya, sebetulnya kebutuhan
manusia pada dakwah berangkat dari tiga pijakan teologis. Pertama, ketundukan dan
kepasrahan manusia pada kehendak Tuhan. Kedua, pan- dangan tentang superioritas manusia
terhadap ala n. Ketiga, kerapuhan batin atau roh manusia.

Ketundukan dan kepasrahan manusia pada kehendak Tuhan, mengantarkan kepada


pola pikir dualisme sistem ke-hidupan, sistem kehidupan yang diperkenankan (al-hayah al-
mardiyyah) dan sistem yang "dimusuhi" Tuhan (al-hayah al-maghdûbah). Sistem hidup yang
diperkenankan Tuhan adalah suatu tatatanan sistem hidup yang mengikuti dan sesuai dengan
kehendak-Nya. Dalam pada itu, Tuhan dan manusia berada dalam pola hubungan tuan-
hamba, adapun ketundukkan hamba ditentukan oleh sejauh mana ia meng- ikuti aturan main
sang tuan dalam sistem yang la ciptakan. Adapun pandangan tentang superioritas manusia,
mengan- tarkan kepada sebuah kesimpulan mengenai kedudukan is- timewa manusia di
tengah pentas alam. Sebagai wakil Tuhan, keberadaan manusia berbeda sepenuhnya dan
diunggulkan di atas semua ciptaan Tuhan. Ketegasan mengenai nilai su- perioritas manusia
itu, ditentukan oleh sejauh mana ia mem- bedakan dirinya dan menjadi unggul atas alam
melalui potensi-potensi kelebihan yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Sementara itu,
persoalan mengenai kerapuhan batin (roh) manusia, berangkat dari keyakinan bahwa ia
adalah bagian dari Tuhan ketika ditiupkan-Nya hawa kehidupan (roh) ke dalam jasad." Watak
sebagian ini menjadikan nusia tidak kuasa memungkiri jati dirinya sebagai manifestasi dari
sifat mahahidup dan kuasa Ilahi. Demikian rapuhnya, hingga ia tidak mungkin dapat
mengenali dirinya sendiri kecuali melalui pengenalan terhadap Tuhan." Semakin ia lari dari
Tuhan, ketika itu pula sesungguhnya ia lari dari jati dirinya. Semua bentuk keprihatinan ini,
lebih jauh, diambil kemudi oleh dakwah sebagai misi suci kepada tiga tujuan, menegakkan
sistem hidup yang berasaskan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan (sistem Islam),
konsolidasi sta- tus kemanusiaan (humanisasi), dan bimbingan kerohanian (spiritual guider).

Secara general, hanya ada dua sistem hidup yang ber- laku dalam kehidupan di dunia
ini. pertama, sistem hidup yang mengunggulkan Tuhan, di sini, posisi manusia tunduk dan
pasrah mengikuti aturan-Nya. Dalam sistem ini, yang menjadi sentral dan rujukan hidup
adalah semua aturan-aturan-Nya, baik seperti tersurat, terdapat dalam kitab suci (wahyu)
maupun yang tersirat, seperti terdapat dalam ciptaannya (sunnat Allah). Kedudukan manusia
di dalamnya dipandang sebagai delegasi Tuhan yang diberi mandat untuk mengelola bumi
beserta isinya (khalifat Allah). Dalam posisi ini, manusia tidak memiliki wewenang yang
berdiri sendiri, lebih dari itu, baik cita-cita dan aktivitas manusia, mesti di- rujukkan kepada
semua kehendak Ilahi. Sistem hidup inilah yang kemudian disebut dengan sistem Islam.

Kedua, sistem yang didasarkan pada kebodohan dan ke- semena-menaan


(taghút/tiran). Dalam sistem ini, perjalanan hidup manusia mengikuti kehendak nafsu
hewaninya yang kotor dan rendah, menjauh dari petunjuk-petunjuk Ilahi yang luhur serta
memusuhi Allah dalam kekuasaan (sultâni- hi) dan kewenangan-Nya (hakimiyyâtihi).
Manusia meman- dang tujuan hidup ini adalah kesenangan (hedonisme) dan mencari
keuntungan dunia semata." Akibatnya, manusia banyak membuat kerusakan di muka bumi
serta tidak se- gan-segan mengabaikan petunjuk akal sehat dan nurani- nya. Dalam sistem
yang jauh dari hakikat transendental ini, kedudukan manusia turun pada derajat yang paling
rendah, bahkan lebih rendah dari binatang." Ketundukan akal ma- nusia di bawah nafsunya
adalah hal yang ditengarai menjadi latar belakang persoalan ini. Sebab, penundukan nafsu
atas akal adalah tirai yang mampu menghalangi pengetahuan seseorang yang luhur. Karena
ciri dari sistem ini ditandai dengan menjauhnya manusia dari pengetahuan dan dekat dengan
kebodohan, maka ia disebut sistem jahiliah.

Sistem Islam adalah sistem yang humanis (manusiawi), artinya sistem ini
menghendaki agar sejarah hidup manusia berjalan di atas kodratnya yang fitri. Kodrat
manusia adalah makhluk yang melangit dan membumi. Sebagai makhluk yang melangit,
secara kodrati manusia terhubung dengan alam ketuhanan yang suci dan transenden." Dalam
hal ini, manusia secara rohani berasal dari langit dan akan kembali kelangit. Adapun sebagai
makhluk yang membumi, secara kodrati manusia terikat dalam kesatuan hubungannya dan
alam (wahdat al-insân wa al-kaun).49 Ia diberi tanggung jawab untuk membangun hubungan
yang harmonis dengan alam dan menjadi pemakmurnya (rafat al-insân 'ala al- kaun). Ia juga
diberi hak untuk memanfaatkan segala ka- runia yang diciptakan Tuhan di alam ini (taskhir
al-kaun li al-insan). Sistem Islam menempatkan manusia pada kedua posisi tersebut secara
seimbang. Karena itu, apabila manu- sia mengaplikasian sistem ini, hidupnya akan
dilimpahkan berkah dari langit dan bumi.52 Adapun siapa yang mencari selain sistem Islam,
maka Tuhan bahkan juga kodrat manusia itu sendiri tidak akan menerimanya malahan akan
meng- alami kerugian akibat dari perbuatannya.

Sebagai lawan dari sistem Islam yang humanis, sistem jahiliah disebut sebagai sistem
yang keluar dari jalur kema- nusiaan. Disebut demikian, karena sistem ini pasti mem-
pincangkan salah satu dari dua aspek kemanusiaan. Pertama, sistem jahiliah mengajak
manusia untuk memfokuskan diri kepada kehidupan rohani dengan mengabaikan aspek ke-
bumian manusia. Akibatnya, kehidupan dunia menjadi ter- abaikan dan manusia terisolasi
dari alam sekitar dan dirinya sendiri. Sistem seperti ini pernah berlaku di belahan bumi
sebelah timur, seperti India dan Cina." Kedua, sistem jahiliah mengajak manusia untuk
berlomba-lomba mengejar materi dan dunia dengan mengabaikan aspek kelangitan manusia
dan meninggalkan prinsip-prinsip ketuhanan yang luhur." Akibatnya, manusia berubah
menjadi sekelompok binatang yang tidak beradab. Untuk mengejar materi, manusia tega
untuk mengorbankan sesama dan lingkungan. Hal ini akan berakhir kepada kerusakan di
bumi dan pertumpahan darah. Persis seperti diisyaratkan al-Qur'an ketika menjelaskan kritik
malaikat dalam penciptaan Adam sebagai khalifah:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hen- dak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: "Sesungguh-
nya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (QS. al-Baqarah /2:30)

Sementara itu, dakwah membawa misi menegakkan sistem Islam dengan menebarkan
nilai-nilainya yang luhur di seluruh penjuru dunia. Melalui dakwah, hidup manusia
diteguhkan dan dibimbing agar sejalan dengan prinsip Islam, dari iklim hidup yang
menyesatkan kepada petunjuk Ilahi yang menyelamatkan (QS. Yunus/10: 25). Dakwah
mengembalikan posisi manusia sesuai kodratnya, sebagai mahluk yang melangit dan
membumi. Melalui dakwah, akan tercipta taman Firdaus di muka bumi dan kehendak Tuhan
akan terwujud di dalamnya.

Untuk mengukuhkan nilai keunggulan manusia atas alam, Tuhan menurunkan


petunjuk-Nya kepada manusia berupa agama yang hanif. Menurut keterangan al-Qur'an,
agama hanif itu telah diselaraskan dengan fitrah manusia. Demikian informasi QS.
ar-Rum/30: 30. Sehingga apabila ia mengikuti petunjuk agama hanif itu, ia akan menjadi
manu- sia yang sejati (true man/insân kamil). Dalam kaitan ini, Is- lam sebagai agama
dakwah memuat banyak perintah dan la- rangan yang tujuannya adalah membentuk
masyarakat yang manusiawi. Itulah sebabnya, sementara pemikir berpendapat bahwa al-
Qur'an sebagai kitab dakwah adalah kitab manusia, karena ia berbicara untuk manusia atau
tentang manusia.

Dalam hal berbicara tentang manusia, al-Qur'an pertama kali memperkenalkan bahwa
manusia ini berbeda sepe- nuhnya dengan seluruh ciptaan Tuhan. Jika makhluk lain se- cara
otomatis tunduk kepada karakter penciptaannya, maka dalam hal ini manusia adalah makhluk
yang diberikan kewenangan untuk memilih jalan yang benar (din al-qayyim) sesuai tuntutan
fitrahnya, atau menyimpang dan mengabaikan seruan fitrahnya, tentunya dengan risikonya
masing- masing." Demikian dibicarakan dalam QS. al-Balad/90: 10, atau QS.al-Insan/76: 3.
Dalam hal ini, Fazlur Rahman, pe- mikir Islam kontemporer menulis:

"... the only different is that while every other creature follows its nature
automatically, man ought to follow his nature, this transformation of the is into ought
is both the unique privileged and the unique risk of man...(....satu-satunya yang
membedakan (manusia dan makhluk lain) adalah ketika se- tiap makhluk lain secara
otomatis tunduk pada karakter ala- miahnya (fitrah). Manusia juga mengikuti fitrah
ini, namun ia memiliki keunikan untuk memilih (atau menolaknya) atas dasar
keunikan risiko perbuatan manusia...)".

Perintah dan larangan dalam Islam sebetulnya mun- cul dari naluri keagamaan manusia,
itulah sebabnya Sayyid Quthub-pemikir Mesir dan tokoh Ikhwanul Muslim-ber- pendapat
bahwa tidak ada pertentangan antara petunjuk agama dan fitrah manusia. Seperti halnya
petunjuk agama, fitrah manusia itu menginginkan dan cenderung kepada ke- baik, be- yang
tuhanan (keberagamaan) dan kepada hal-hal nar dan indah." Namun demikian, manusia diberi
keunikan untuk menyangkal seruan fitrahnya walaupun secara psikis kondisi demikian ini
amat sangat membebaninya. Ketika fitrah diingkari, ia akan mengalami disfungsi.
Manifestasi dari disfungsional fitrah sendiri adalah pengingkaran ter- hadap nilai-nilai
transendental, serta hal-hal baik, benar, dan indah. Manakala hal ini dibiarkan, ketika itu pula
peradaban dan sejarah hidup manusia berada dalam titik krisis yang mengancam
eksistensinya.

Semua problem kehidupan manusia, baik dalam tataran individu maupun kolektif,
pada dasarnya berangkat dari per- masalahan disfungsional fitrah tersebut. Abu Hasan al-Na-
dwy, seperti dikutip Ali Aziz" berpendapat bahwa manusia memiliki indra keenam yang
memiliki kaitan dengan fitrah manusia, yakni indra agama. Indra agama ini kata al-Nadwy
berfungsi menginformasikan/membedakan kepada akal dan manusia, yakni indra agama.
Indra agama ini kata al-Nadwy hati manusia antara kebaikan dan keburukan. Ketika fitrah
manusia rusak, maka indra agama tersebut akan hilang. Hi- langnya indra agama pada
manusia menyebabkan kerasnya hati manusia sehingga ia tidak lagi dapat membedakan an-
tara tauhid dari syirik, yang baik dari yang buruk, yang be- nar dari salah, dan indah dari yang
jelek." Dari persoalan ini, maka muncullah berbagai persoalan kemanu- siaan (crisis of
human life), dari mulai masalah kejiwaan da- lam aspek pribadi, hingga ekonomi, politik,
HAM, dan sosial dalam aspek kolektif.

Dari segi perspektif individu, disfungsional fitrah me- nyebabkan berbagai gangguan
kejiwaan. Tauhid, cinta kepa- da kebaikan, kebenaran dan keindahan, secara kodrati me-
rupakan garis ketetapan Tuhan yang mesti dijalani manusia, dan ketika ia keluar dari garis
kodrat ini, ia akan kehilangan watak humanisnya itu. Demikian informasi al-Qur'an QS.
Taha/20: 124, karena penyimpangan ini tidak sesuai dengan fitrah manusia sendiri, maka
terjadi peperangan batin antara naluri dan nafsu dalam jiwa. Jika masalah ini tidak teratasi,
maka secara psikis akan terjadi gangguan-gangguan dalam jiwa manusia.

Adapun dari perspektif kolektif, disfungsional fitrah adalah akar dari segala persoalan
publik, dari mulai ekonomi, politik, HAM, hingga persoalan sosial. Apabila fitrah manusia
rusak, nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan yang luhur tidak lagi dapat
teridentifikasi. Dari persoalan ini, lalu terjadi banyak praktik-praktik kecurangan dalam
bidang ekonomi, kezaliman dan penindasan dalam bidang politik, penyelewengan dan
pemerkosaan hak asasi manusia, sampai persoalan manipulasi hukum. Dalam situasi seperti
ini, manusia kehilangan nilai superioritasnya (keunggulan), karena potensinya sebagai
pengemban kebaikan dan meru- pakan satu-satunya batas pemisah antara karakter manusia
dan makhluk lainnya tidak lagi dapat ditemukan.

Dalam persoalan ini, dakwah menyeru kepada manusia agar kembali kepada fitrah
awal setelah jauh menyimpang dari jalur kodratnya. Melalui petunjuk agama, dakwah me-
ngajak manusia agar hidup menjadi manusia seutuhnya yang mengenal nilai-nilai Ilahi yang
luhur, kebaikan moral, kebenaran pikiran dan keindahan sensasi. Melalui dakwah, manusia
diposisikan kembali atas kodratnya yang merupakan mahluk melangit dan membumi. Hingga
akhirnya manusia dapat kembali mengemban tugas mulia seperti didelegasikan Tuhan, yaitu
menjadi wakil Tuhan yang dapat memakmur- kan bumi serta mewujudkan kehendak-Nya di
muka bumi. Inilah perspektif humanisasi dalam dakwah.

Beralih ke persoalan spiritual, bersamaan dengan fenomena kebangkitan sains yang


terjadi di Eropa pada awal-awal dan pertengahan abad modern, terjadi pengasingan (alienasi)
identitas diri manusia. Sains yang memfokuskan pada alam material memberikan konklusi
ngat berbahaya bagi kesadaran manusia akan identitas di rinya dalam alam itu sendiri.
Pasalnya, pandangan santifik hanya melibatkan sisi empiris dan mendeskripsikan manu- sia
sebagai makhluk material semata. Akibatnya manusia diidentitaskan tidak lebih sebagai
makhluk materi yang tidak berbeda dengan benda-benda lainnya di alam ini. Padahal di sisi
lain, manusia secara esensial adalah makhluk spiritual yang senantiasa terhubung secara
transenden ke alam Tuhan. Itulah sebabnya manusia menjadi kehilangan jati diri yang
sesungguhnya. Fenomena alienasi manusia dalam alam ini, pada akhirnya menuntut manusia
ini sendiri untuk mengon- sep ulang tentang identitas dirinya dalam hubungannya de- ngan
sesamanya dan alam ini." Pandangan ini bermuara pada pertanyaan yang sangat esensial,
apakah ada entitas di luar sana yang mengatasi realitas di alam ini? jika ada, di manakah
posisi manusia dalam hubungan tersebut?

Di akhir abad modern dan berlanjut pada abad pascamo- dern, manusia dari berbagai
pelosok dunia akhirnya menyadari suatu kenyataan pahit, bahwa selama ini mereka telah
mengasingkan dirinya dari alam dengan mengabaikan aspek spiritualitas dalam jiwanya.
Itulah sebabnya menurut Hasan Hanafi yang menyebabkan terjadinya transmisi sains dari
paradigma Barat yang materialistis keparadigma oriental yang cenderung spiritualistik.
Dalam kaitan ini, Hasan Hanafi menulis:

"....the transmission of oriental science and technology, es- pecially the transmission
of islamic science and technology from the east to the west, was at the very birth of
modern western sciences. The model of identity according to which islamic sciences
were built was able to rescue the model of confrontation in its first alternative, the
victory of spiri- tual value as dogmas over science and technology during the
medieval period..." ("...transmisi (perpindahan paradigma) teknologi dan sains dari
timur, terutama dalam aspek pengetahuan dan teknologi Islam dari timur ke barat ada-
lah sebuah momentum kelahiran besar bagi pengetahuan barat modern. Dengan
mengikuti landasan sains Islam yang dibentuk untuk mengatasi model konfrontasi
(dalam sains) ketika pertama kali menjadi alternatif. Kemenangan spiritual sebagai
nilai-nilai keyakinan mengatasi ilmu pengetahuan dan teknologi (yang terjadi) selama
abad pertengahan..."

Pada abad pascamodern, manusia dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong


memburu aspek spiritualnya yang selama ini diabaikan. Timur yang terkenal memiliki
peradaban spiritualitas yang tinggi menjadi sasaran para pemburu spiritualitas tersebut. Hal
demikian sangat wajar mengingat pada hakikatnya faktor spiritual adalah bagian yang mesti
ada dalam kehidupan manusia.

Pergeseran fenomena tersebut di satu sisi adalah hal yang menggembirakan, namun di
sisi lain fenomena ini dinilai menyimpan kekhawatiran yang mendalam. Karena jika
kecenderungan spiritual ini berjalan liar tanpa bimbingan, manusia akan terjebak dalam
kerancuan berpikir, kebimbangan keyakinan dan kesesatan politeisme. Dalam Islam,
kecenderungan spiritual manusia harus diarahkan kepada pemikiran yang sehat dan
keyakinan yang menenangkan. Semua itu hanya bisa ditemukan dalam pemikiran tauhid.
Bagi al-Faruqi, tauhid adalah satu-satunya ajaran spiritual yang benar, karena dari sini akan
berimplikasi pada pemikiran (thougt) dan kehidupan manusia (human life). Karakter tauhid,
kata al-faruqi men- cirikan adanya hubungan spiritual langsung tanpa perantara (unmediated
spiritual) antara Tuhan dan manusia. Dalam kaitan ini, al-Qur'an mengkritik pemikiran
spiritual orang-orang Arab jahiliah yang meyakini hubungan spiritual dengan perantara
berhala-berhala (QS. az-Zumar/39: 3).
Pergeseran fenomena tersebut di satu sisi adalah hal yang menggembirakan, namun di
sisi lain fenomena ini dinilai menyimpan kekhawatiran yang mendalam. Karena jika
kecenderungan spiritual ini berjalan liar tanpa bimbingan, manusia akan terjebak dalam
keracunan berpikir, kebimbangan keyakinan dan kesesatan poilitisme. Dalam islam,
kecenderungan spiritual manusia harus diarahkan kepada pemikiran yang sehat dan
keyakinan yang menenangkan. Semua itu hanya bisa ditemukan dalam pemikiran tauhid.
Bagi al Faruqi, tauhid adalah satu-satunya ajaran spiritual yang benar, karena dari sini akan
berimplikasi pada pemikiran (thought) dan kehidupan manusia (human life). Karakter tauhid,
kata al-faruqi mencirikan adanya hubungan spiritual langsung tanpa perantara (unmediated
spiritual) antara Tuhan dan manusia. Dalam kaitan ini, Al Qur’an mengkritik pemikiran
spiritual orang-orang Arab jahiliah yang meyakini hubungan spiritual dengan perantara
berhala-berhala (Q.S az-Zumar/39:3).

Perbedaan yang mendasar antara spiritual tauhid dan politeisme (syirik) menurut al-
Faruqi, tauhid mampu menunjukkan manusia kepada logika sehat dan pemikiran yang benar
(right think). Dari pemikiran yang benar ini, akan melahirkan perilaku yang benar dan baik
pula (right behavior), kedua hal inilah yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Sementara itu po- liteisme, kata al-Faruqi, menyesatkan logika dan
menebar angan-angan kosong dalam pikiran manusia. Dari penyesat- an ini, lahir perilaku
yang menyimpang dan kerusakan-ke- rusakan di muka bumi. Semua ini akan berujung
kepada kesengsaraan hidup di dunia dan akhirat.

Dakwah dalam posisi ini, berperan sebagai pembimbing spiritual manusia (spiritual
guider). Melalui seruan dakwah, kecenderungan spiritual manusia di jauhkan dari keyakinan-
keyakinan syirik dan diarahkan kepada keyakinan tauhid. Sebagaimana Nabi Muhammad
sebagai penyeru tauhid oleh Allah diperintahkan untuk berkata: ...katakanlah "sesung-
guhnya Dialah Tuhan yang satu dan aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan..."
(QS. al-An'am/6: 19). De- mikian kebutuhan manusia terhadap dakwah.

C. Tujuan dan Orientasi Dakwah

Dalam banyak literatur, para ahli telah menjelaskan bah- wa tema sentral dakwah
adalah Islam. Arti dari pernyataan ini adalah dakwah sebagai implementasi dari publikasi
ajaran. agama, menjadikan Islam sebagai wawasan dan basis ruang geraknya sekaligus.
Demikian dekat jarak antara keduanya, sehingga Islam dan dakwah tidak memiliki celah
kecuali ha- nya terpaut dalam posisi ideologi dan aplikasi, atau antara ajaran dan pengamalan.
Sebutlah Islam sebagai format dasar tentang konsep pedoman tingkah laku manusia tentang
apa yang semestinya dan tidak semestinya, maka dakwah ada- lah sebuah proses realisasi
konsep ini secara implementatif. Sebagai implementasi dari sebuah konsep, seluruh kebijak-
an dakwah dan langkahnya tidak terlepas dari apa yang te- lah digariskan dalam konsep dasar
tersebut. Dari sini dapat dipahami, bahwa dakwah tidaklah memiliki wujud yang berdiri
sendiri, lebih dari itu, secara hakiki, dakwah adalah bentuk fisik-empiris dari ajaran Islam
yang dari situ dakwah mengarahkan setiap kebijakan dan langkahnya.

Kalau demikian alur pikirnya, maka tujuan dakwah se- betulnya tidak lain dari tujuan
Islam itu sendiri yakni trans- formasi sikap kemanusiaan (attitude of humanity
transformation) atau yang dalam terminologi al-Qur'an disebutkan al-ikhraj min al-gulumât
ila al-nur. Menurut pakar tafsir Abu Zahrah, al-mur (cahaya) adalah simbol dari karakteristik
asal kemanusiaan (fitrah). Disebut demikian, karena hidup ma- nusia akan bersinar hanya jika
ia secara natural mengikuti karakter asal tersebut. Sebaliknya, al-gulm (kegelapan) ada- lah
simbol yang menunjuk kepada situasi penyimpangan manusia dari karakter asalnya." Cahaya
itu, kata Abu Zah- rah amat terang ketika pertama kali manusia lahir, lambat laun, ia semakin
redup sejalan dengan tingkat menjauhnya manusia dari cahaya itu yang tidak lain adalah
komitmen primodial (al-iman al-fitry).

Seperti halnya fitrah, agama sebagai petunjuk manusia juga berkarakter natural.
Karena itu, dalam al-Qur'an manusia disuruh untuk bersikap pro (agim wajhaka) kepada
agama. Agama yang lurus (al-din al-qayyim) adalah natural, karena ajaran-ajarannya sejalan
dengan format karakteris- tik penciptaan awal manusia. Menurut al-Maraghi, manusia
diciptakan pertama kali dengan membawa komitmen pengesaan Tuhan (tauhid). Namun
demikian, dalam perja- lanan hidupnya, komitmen tersebut mengalami reduksi baik dari
ketidaktabahan manusia itu sendiri maupun faktor do- rongan sosial-lingkungannya." Nah,
dalam hal ini agama dihadirkan untuk mempertegas kembali komitmen tauhid tersebut
sehingga manusia dapat menjalani hidup dan menyikapinya dengan benar, yaitu dengan
ketundukan penuh kepada Tuhan sang pencipta. Nabi Muhammad sebagai agen penyampai
pesan agama, dalam hadisnya menegaskan bah- wa tujuan diutusnya beliau tidak lain hanya
untuk menyem- purnakan akhlak manusia. Dalam pengertian leksikal, kata khulq-akhlaq,
merupakan padanan kata al-fitrah. Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa misi risalah
beliau adalah menyempurnakan fitrah manusia.

Dakwah sebagai perpanjangan tangan dari keyakinan Islam, ber-concern untuk


mengajak manusia untuk kembali berkomitmen kepada tauhid beserta semua implikasinya.
Melalui komitmen tauhid ini, manusia diajak untuk memilih pandangan hidup yang natural,
senatural pengaturan Tuhan terhadap alam ini dan bersama-sama dengan alam tund dan
pasrah kepada ketentuan-Nya (al-Islam)." Pandang hidup natural yang secara konkret oleh al-
Qur'an dijelaska sebagai sikap tunduk dan pasrah kepada-Nya, merupakan satu-satunya
pandangan hidup yang mampu memberikan ke- beruntungan dalam hidup manusia.
Sebaliknya, pandangan at sikap hidup yang melawan ketentuan natur, dinilai se bagai yang
tertolak, karena mengingkari hakikat jati diri ma- nusia itu sendiri sebagai bagian dari natur.
Pengingkaran jati diri manusia itu sendiri tidak menghasilkan apa-apa kecuali akan berakhir
dengan kerugian-kerugian.

Sebagai sikap hidup yang natural, pandangan tauhid me- miliki implikasi yang sangat
luas dalam alam pikir dan ber- lanjut pada perilaku manusia. Tauhid dalam lompatan ter-
jauhnya, membawa pandangan hidup yang mengarah kepada egalitarian manusia,
kemanusiaan yang bertanggung jawab, hingga pembebasan sosial." Adapun ungkapan
dakwah rah- matan li al-alamin, pada hakikatnya merupakan rangkaian dari kata kerja dengan
tujuan pekerjaan itu. Sehingga terje- mahan dari ungkapan dakwah rahmatan li al-'alamin,
adalah dakwah bertujuan untuk menciptakan rahmat bagi semesta alam (mercy for all of the
nature). Sementara itu, syarat ter- wujudnya rahmat bagi semesta adalah ketika manusia men-
jadi terbebas dari tekanan tirani-tirani (thaghut), baik semata atas nama kekuasaan (tirani
sekuler), maupun tirani yang yang mengatasnamakan agama (tirani religi). Dari sini,
kebebasan tersebut kemudian berkembang menjadi sikap ke manusiaan yang bertanggung
jawab, dan pada giliranny semua itu melahirkan perubahan besar masyarakat dalam kerangka
egalitarianisme.

Dalam kerangka masyarakat yang egalitarian, orang di beri kebebasan untuk


menyampaikan pendapatnya dan ber ekspresi. Melalui kebebasan berpendapat dan berekspr
setiap pihak merasa memiliki tanggung jawab moral atas ma syarakatnya dan turut serta
berpartisipasi membangunnys dengan saling berwasiat kebenaran, dan kesabaran. Saling
berpesan dalam kebaikan dan takwa adalah wujud lain dari perintah al-Qur'an untuk amar
makruf dan nahi mungkar yang dengannya akan tercipta suatu komunitas masyarakat teladan
(khairu ummah). Perkembangan dan kemajuan a pek material hidup, atau ketenangan
spriritual, adalah ca- haya (nur) yang kepadanya Islam melalui dakwahnya dituju kan. Semua
itu hanya akan dapat dicapai dalam suatu iklim masyarakat yang dinamis. Adapun
kedinamisan ini sendiri sejatinya adalah hadiah dari sikap hidup yang mengesakan Tuhan
(tauhid), yang darinya tercipta ruang untuk saling ber- pesan dengan kebenaran (tawâsau bi
al-haq) dan kesabaran (tawasau bi al-sabr), atau saling mengajak kepada kebaikan (al-amru bi
al-ma'ruf), dan mencegah kemungkaran (nahy 'an al-munkar). Inilah "cahaya/al-nur" sebagai
tujuan Islam dalam konseptualnya, atau bentuk "umat teladan/khairu um- mah sebagai tujuan
dakwah dalam wujud praktisnya.

Sementara dalam kerangka masyarakat yang dikuasai tirani, kebebasan beragama,


berpendapat, berkreasi dan hak-hak asasi manusia dibelenggu, baik dengan mengatas-
namakan hukum (kekuasaan), maupun atas nama otoritas agama (ortodoksi). Masyarakat di
bawah iklim tirani ini ada lah masyarakat yang statis, beku, dan jauh dari kedinamisan
perkembangan sejarah. Selain mewujudkan iklim masya rakat yang dinamis dan egalitarian,
dakwah juga bertujuan melakukan pembebasan sosial (liberasi) dari tekanan-tekan an tirani.
Inilah tugas dakwah Nabi Muhammad seperti dibi carakan dalam ayat berikut:

yaitu mereka yang mengikuti seorang Nabi, Rasul, yang ummy yang menyuruh
mereka yang makruf dan mence- gah dari yang mungkar, dan melepaskan beban dan
beleng- gu yang telah mengikat mereka.... (QS. al-A'raf/7: 157)

D. Hukum dan Kewajiban Dakwah

Menurut A. Karim Zaidan, dakwah pada mulanya ada- lah tugas para rasul." Masing-
masing mereka ditugasi un- tuk mengajak manusia menyembah Allah SWT semata sesuai
dengan syariat yang diturunkan. Ada yang terbatas pada kaum tertentu dan pada waktu
tertentu pula, namun ada juga yang ditugasi untuk mengajak kepada seluruh umat manusia di
dunia tanpa mengenal batas waktu seperti Nabi Muhammad SAW jadi, para rasul itu
semuanya adalah dai ng mempunyai mis suci mengajak orang ke jalan Tuhan Seseorang asal
wafat, maka diutuslah Rasul berikutnya meneruskan dalewah mengajak manusia kepada
tauhid den ogas itu berkesinambungan antarpara rasul hingga di- Nabi Muhammad penutup
para rasul.

Sebagaimana ditemukan dalam nas-nas agama yang qath’iy, Rasulullah adalah Nabi
terakhir, tiada lagi Nabi sesudahnya. Sementara itu, Islam, risalah yang diturunkan Allah
kepada beliau diyakini sebagai risalah yang kekal dan berlaku hingga akhir zaman. Kalau
demikian, maka harus ada yang menggantikan tugas Rasulullah untuk menyiarkan risalahnya
tersebut kepada seluruh amat manusia. Itulah sebabnya, umat Islam sebagai pengikut
Rasulullah dikatakan sebagai sekutu Rasulallah dalam hal tugas menyiarkan risalah islam itu
(al-muslimun hum al-syarikuna li rasulihi fi amri al-da’wah). Kemudian muncul persoalan
siapakah yang berkewajiban meneruskan dakwah Rasul itu? Apa semua umat muslim
berkewajiban dakwah atau Sebagian kelompok saja?

Para pakar berselisih paham dalam menanggapi soal ini. Sejauh pemikiran yang
berkembang, perselisihan dalam masalah ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendapat
yang dijelaskan berikut ini.

Pertama, dakwah dihukumi sebagai kewajiban personal (fard ‘ain). Maksudnya,


dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim; ia akan diganjar jika melaksanakannya
sebagaimana akan berdosa jika meninggalkannya. Dakwah menjadi kewajiban personal,
karena ia merupakan tuntutan (implikasi) iman. Setiap orang yang mengaku beriman, d
haruskan mempersaksikan keimanannya ini kepada publik Selain melalui amal saleh,
persaksian iman juga diwujudkan dalam bentuk dakwah, saling berpesan dengan kebajikan
dan ketakwaan, atau dengan menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar.

Dalam al-Qur'an, teks yang menunjukkan status hukum dakwah yang pertama ini
misalnya, terdapat dalam QS. ar Taubah/9: 71. Status kewajiban dakwah itu juga dapat
dirujuk melalui argumen QS. Ali Imran/3: 104. Adapun dari al-Hadis, khotbah Nabi pada haji
wada' juga dapat dijadikan argumen yang menunjukkan status fardhu 'ain dakwah. Kata Nabi:
"...hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir...fal yuballigh al sydhidu
minkum al ghaib". Juga dalam hadis lain, Rasulullah menyuruh kaum beriman agar
menyampaikan ajaran beliau (Islam) kepada orang walaupun hanya satu ayat saja yang ia
bisa. Sabda Nabi: "... Sampaikan dariku walau cuma satu ayat...ballighú 'anni walau ayatan"."
Dalam hadis yang lain lagi, tugas dakwah itu bahkan dikait- kan dengan keimanan seseorang.
Setiap mukmin dituntut untuk berdakwah sebisanya, dengan kekuatan, ucapan, atau dengan
hati saja.

Kedua, dakwah dihukum sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Hal ini berarti,
dakwah merupakan kewajiban yang dibebankan kepada komunitas tertentu yang
berkompeten dalam suatu masyarakat. Bila di dalamnya te lah ditemukan sekelompok orang
yang mewakili tugas itu, maka gugurlah kewajiban untuk yang lain. Sebaliknya, jika tidak
ada, maka anggota masyarakat itu mendapat dosa seluruhnya.

Tugas berdakwah itu tidaklah mudah, karena ia memer- Jakan keahlian dan
keterampilan tersendiri, baik dari segi intelektual, emosional maupun spiritual. Kalau
demikian permasalahannya, berarti tidak semua orang lam memiliki kompetensi tersebut.
Sebab dalam masyaraka dari segi intelektual, ada yang termasuk golongan awam (jumhur al-
nas), golongan tanggung (mutawassitun) dan golongan alim ulama. Melalui alur pikir
tersebut, berarti dakwah tidak dibebankan kepada setiap orang, melainkan ke pada golongan
tertentu yang berkompeten. Mereka adalah para ulama, yaitu orang-orang yang memiliki
kesiapan dari segi intelektual, emosional, dan spiritual. Itulah sebabnya al-Qur'an menyuruh
umat Islam supaya mempersiapkan se- kelompok orang yang memang sengaja dibina, agar
memi- liki kompetensi dibidang penyiaran risalah Islam (i'lam al- risalah) kepada
masyarakatnya. Demikian seperti dijelaskan dalam al-Qur'an surat at-Taubah/9: 122.

Dalam asbab al nuzûl ayat 122 QS. at-Taubah ini dikisah- kan, bahwasanya ketika
turun ayat ke-39 surat at-Taubah "illâ tanfiru yu'adzdzibkum 'adzâban aliman" (jika kamu
tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih),
ada beberapa orang yang jauh dari kota yang tidak ikut berperang karena mengajar kaumnya.
Berkatalah kaum munafik: "celakalah orang-orang di kampung itu karena ada orang-orang
yang meninggal- kan diri dan tidak turut berjihad bersama Rasulullah," maka diturunkanlah
ayat ini sebagai pembenaran kepada sikap se- bagian orang yang mengecualikan diri dari
berperang karena mengajar risalah Islam. Riwayat tersebut berisi pesan, bahwa dakwah itu
tidak diwajibkan kepada setiap orang, tetapi ke- pada segolongan orang. Mereka adalah
ulama, yang diper- siapkan secara khusus untuk dua hal, mendalami agama (tafaqquh fi al
din), dan menyampaikan pesan agama itu kepada masyarakat (dakwah).

Bagi ulama pendukung pendapat kedua ini (fardhu kifayah), mereka menetapkan
persyaratan yang ketat bagi pelaku dakwah, baik persyaratan yang bersifat keilmuan
(intelektual), kualitas moral, maupun spiritual. Menurut mer- eka, orang yang tidak memiliki
dan memenuhi persyaratan ini, ja tidak memiliki kewajiban untuk berdakwah. Dakwah,
menurut mereka, menjadi tugas orang-orang yang secara for- mal dinamakan ulama atau
tokoh-tokoh agama (al-'ulama wa rijal al-din), bukan orang awam. Firman Allah dalam QS.
Ali Imran/3: 104 mereka tafsirkan agak berbeda. Menurut mereka, kata "minkum" dalam
kalimat tersebut lebih tepat berfungsi li tab'id (sebagian), dan bukan li tabyin (penjelas).
sehingga pesan kewajiban dakwah dalam ayat tersebut berarti sebagian dari umat muslim,
bukan seluruh umat mus- lim. Mereka, seperti telah dikemukakan di atas, adalah para ulama
dan tokoh agama (rijâl al-din) yang memiliki pengeta- mendalam soal agama." Bagi
pendukung pendapat kedua ini, dakwah juga menyangkut dan terkait dengan soal penjelasan
hukum-hukum agama, dan karenanya tidak semua orang memiliki kapasitas dan kapabilitas
untuk itu. Di sisi lain, agama melarang menyerahkan suatu urusan kepada yang tidak
berkompeten dan menyebutnya sebagai perbua tan yang melanggar amanah. Dalam hadis
nabi dijelaskan, apabila suatu urusan diserahkan kepada yang tidak berkom peten, maka ia
akan berantakan.

Ketiga, dakwah dihukumi wajib individual (fard 'ain) sekaligus wajib kolektif (fard
kifayah). Maksudnya, hukum asal dakwah itu adalah wajib 'ain, sehingga setiap mukmin
memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan agamanya sesuai dengan taraf
kemampuan dan kapasitasnya masing-masing. Namun demikian, pada aspek-aspek tertentu,
dakwah tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang. Dakwah dalam posisi ini menjadi
tugas berat dan menuntut profesionalitas. Dakwah memerlukan kompetensi dan itu hanya
mungkin dilakukan oleh yang memiliki keahlian dalam bidang ini (kelompok profesional).
Pendapat ketiga ini merupakan jalan tengah (sintesis) dari dua pendapat sebelumnya yang
saling bertolak belakang. Pendapat ini menjadi jalan tengah, lantaran tidak memandang
dakwah hanya seba- gai kewajiban ulama semata (elitis), tetapi juga tidak mem- benarkan
menyerahkan masalah dan tugas dakwah hanya kepada masing-masing orang (tugas
individual) semata-mata.

Sayyid Quthub, termasuk ulama yang berpendapat bah- wa hukum dakwah itu adalah
wajib 'ain. Menurutnya, dak- wah merupakan konsekuensi logis dari iman. Iman dipandang
eksis bila telah diwujudkan dalam bentuk amal saleh dan dakwah." Namun demikian, pada
kesempatan lain menurut Sayyid Quthub, dakwah memerlukan jema'ah inti yang seluruh
hidupnya dibaktikan untuk berdakwah." Dari pandangan ini, berarti Sayyid Quthub dapat
digolongkan dalam kelompok ulama yang mendukung hukum ganda dakwah, wajib individu,
dan kolektif sekaligus.

Nasih 'Ulwan serta ulama kenamaan Indonesia M. Quraish Shihab juga termasuk
dalam jajaran ulama yang ber- pendapat demikian. Menurut Nasih 'Ulwan, dakwah karena
berkaitan dengan kepentingan orang banyak itu, mau tidak mau, ia menjadi suatu kewajiban
syar'i dan tuntutan teologis dari setiap orang yang beridentitas muslim, tanpa memandang
dang status usia, jenis kelamin maupun kedudukan sosial Namun demikian, tugas berat
dakwah menuntut pengetahu an tentang keadaan madu, iman, sensitivitasnya dengan rea litas
umat, dan perkembangan umat manusia. Karena itu, bidang garapan dakwah yang terakhir ini
menjadi tugas para profesional, dan bukan sembarang orang.

Dalam Tafsir al-Manar, Rasyid Rida juga berpendapat seperti itu. Katanya dakwah itu
bertingkat-tingkat, dari dakwah umat muslim kepada nonmuslim hingga dakwah intern umat
muslim. Menurut Rida, yang terakhir ini menempuh dua metode. Pertama, dakwah general
dan komprehensif (al da'wah al-'ammah al-kulliyah). Metode dakwah ini menurut Ridi tidak
boleh diserahkan kepada sembarang orang, tetapi kepada kelompok profesional (khawwâs al-
ummah) yang memahami perincian ajaran agama dan pemahamannya. Rida menunjuk QS.
at-Taubah/9: 122 sebagai argumennyal, Kedua, dakwah yang bersifat parsial (al-da'wah al-
juziyyah al-kassah), yaitu dakwah yang berkenaan dengan pesan dan wasiat antar-sesama
muslim serta mengajak kepada kebaik- an umum dan mengingatkan sesama dari perbuatan
mung- kar. Pada level ini, dakwah menjadi kewajiban setiap muslim, baik yang awam (jahil)
maupun yang alim dilakukan berdasarkan kesanggupan masing-masing.

M. Quraish Shihab ketika menafsirkan surat Ali Imran 104 mengambil jalan tengah.
Menurutnya, pengetahuan ke- baikan seseorang jika tidak diingatkan lama-kelamaan akan
berkurang. Untuk itulah, manusia perlu diingatkan dan di- beri keteladanan melalui dakwah.
Kalau tugas itu tidak bi- sa dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, maka se- bagian di
antaranya pun tidak mengapa. Terpenting sekali, bahwa haruslah ada sebagian kelompok
orang yang dapat mengingatkan masyarakat akan kebaikan dan dapat dijadi- kan teladan
untuk itu. Dari pernyataan ini, dapat dipahami bahwa dakwah, bagi M. Quraish Shihab,
memiliki dua status hukum. Pertama, dakwah memiliki status hukum wajib 'ain, yaitu ketika
dakwah dipandang dalam pengertiannya yang umum sebagai kegiatan mengajak orang
kepada kebaikan unsich. Dalam ruang lingkup ini, dakwah memang memung- kinkan untuk
dilakukan oleh siapa saja dari setiap umat muslim. Hal demikian, karena dakwah dalam
pengertian ini tidak menuntut suatu keahlian dan spesifikasi khusus, dan siapa saja tanpa
terkait kategori tertentu dapat mengajak orang lain kepada kebaikan. Kedua, dakwah
dihukum wajib kolektif (kifayah), yang menjadi tanggung jawab ulama atau kelompok
profesional. Ketika dipahami seperti itu, dakwah secara otomatis naik tugas dan fungsinya
menjadi sebuah rekayasa sosial (social engineering) yang membutuhkan ke- ahlian dan
spesifikasi tertentu. Atas dasar itu, maka profesi dakwah tentu bukanlah ditujukan kepada
setiap orang melainkan hanya kepada ulama, dan pemuka-pemuka agama yang berkompeten
dalam bidang ini.

Anda mungkin juga menyukai