Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah ilmu kalam yang lahir karena terbunuhnya Khalifah Usman Bin
Affan menjadi pintu awal keberangkatan dan perkembangan ilmu kalam.
Pemikiran yang lahir akibat sebuah perbedaan penafsiran mengenai ketuhanan dan
permasalahan tentang dosa besar. Pemikir-pemikir kalam telah ada sejak
permulaan perkembangan ilmu kalam.
Pemikir-pemikir kalam itu dibedakan menjadi dua kelompok dari sisi
kerangka berpikir mereka, yakni kerangka berpikir tradisional dan kerangka
berpikir rasional. Kerangka berpikir tradisional yakni sebuah kerangka berpikir
yang menempatkan wahyu di atas akal manusia. Mereka berpikir bahwa Al-
Qur’an merupakan wahyu Allah yang diyakini kebenaran dan tugas akal hanya
membenarkannya saja tanpa berusaha memahami sebuah wahyu melalui akal.
Sedangkan kerangka berfikir rasional justru menempatkan peranan akal yang
besar dalam memahami wahyu.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa Ismail Faurqi dan bagaimana pokok pemikirannya?
2. Siapa Hasan Hanafi dan bagaimana pemikiran kalamnya?
3. Siapakah H.M. Rasyidi dan bagaimana pemikirannya?
4. Dan siapa pula Harun Nasution serta bagaimana pendapatnya?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ilmu Kalam MasaKini


Ilmu kalam atau Teologi termasuk salah satu bidang study Islam yang amat
dikenal baik oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umunya. Hal
ini antara lain terlihat dari keterlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai
masalah yang muncul dimasyarakat. Keberuntungan atau kegagalan seseorang
dalam kehidupannya sering di lihat dari sisi Teologi.Dengan kata lain, berbagai
masalah yang terjadi di masyarakat seringkali dilihat dari sudut teologi.
Menurut Ibnu Khaldun, Ilmu Kalam ialah Ilmu yang berisi alasan alasan yang
mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil
pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari
kepercayaan aliran golongan Salaf dan Ahli Sunnah.
Namun dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Teologi juga berbicara tentang
berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti
masalah iman, kufur, musyrik, murtad, masalah kehidupan akhirat dengan
berbagai kenikmatan atau penderitaannya dan lain sebagainya. Sejalan dengan
perkembangan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, teologi juga disebut dengan
Ilmu Tauhid, Ilmu Ushulludin, Ilmu ‘Aqaid, dan Ilmu Ketuhanan.
Dari beberapa pendapat di atas segera dapat diketahui bahwa teologi adalah
adalah Ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta
berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang
meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat
mengetahui bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan bagaimana pula
cara menjaga keimanan tersebut agar tidak hilang atau rusak. Dari pengertian di
atas kami akan memaparkan tentang empat tokoh modernis.

2
B. Ilmu Kalam MasaKini (Tokoh Modernis)
1. Ismail Al-Faruqi
a. Biografi Singkat Ismail Al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921.
Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya
di Colleges des Freres, dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun
1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk
pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur
Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat
pada tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang
filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan
pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana
dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.
Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya
universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun 1968, dia
menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai
anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis
Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas
membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata
bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama
Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras
terhadap kaum Zionis Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia
karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.
b. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang
berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau
ini mengungkapkan bahwa:
1) Tauhid sebagai inti pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan.
Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan,
tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi

3
kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan
benar-benar merupakan obsesi yang agung.
2) Tauhid sebagai pandangan dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia,
ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
3) Tauhid sebagai intisari Islam
Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun
dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak
aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan,
bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.
4) Tauhid sebagai prinsip sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak,
yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari
tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan
waktu.
5) Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
Berbeda denga iman Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan
kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai
begitu saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang
dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan
bersifat kritis dan rasional.
6) Tauhid sebagai prinsip metafisika
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia
bersifat teleologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan
kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia.
Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan.
Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri
dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
7) Tauhid sebagai prinsip etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada
manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi.
Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika

4
dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus
direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya
makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat
dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.
8) Tauhid sebagai prinsip tata sosial
Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Masyarakat Islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh
umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya.
9) Tauhid sebagai prinsip ummah
Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi
membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama,
menenentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal
mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk
segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh
ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat
dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang
kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut
aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut
aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.
10) Tauhid sebagai prinsip keluarga
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka
dari gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan
menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang
terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari sebab
ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan
tauhid.
11) Tauhid sebagai tata politik
Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan
didefenisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan
wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan tindakan
(ijma’ al-amal).

5
12) Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip,
yaitu: pertama,tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras
yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau
memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi
kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
13) Tauhid sebagai prinsip estetika
Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak
juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam
menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan
dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.

2. Hasan Hanafi
a. Biografi Singkat Hasan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo.
Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat
dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo
yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan Hanafi adalah pengikut
Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo. Hanafi tertarik
juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam
Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan
perubahan sosial.
Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-
Islami)merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi
1952. Kiri Islam,meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar
Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang
ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat.
b. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
1) Kritik terhadap teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisiobal, Hanafi
menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan
sesuai dengan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan

6
bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang
bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan
sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga
perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari
kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari
kebudayaan modern harus dilakukan.
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir
dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik.
Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan
karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini
sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu sendiri.
Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk
pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.
Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah
pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun
teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai
perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan
teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.
2) Rekontruksi Teologi
Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para
ulama tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi
mengajukan saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan
rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:
 Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan
globalisasi ideologi.
 Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya tetapi juga
terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi
gerakan dalam sejarah.
 Keperingan teologi yang bersifat praktis yang secara nyata diwujudkan
dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam.

7
3. H.M. Rasyidi
a. Biografi Singkat H. M. Rasyidi
H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 – 30 Januari
2001) adalah mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan
Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas
Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare School
(Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI
Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya Koreksi terhadap Dr. Harun
Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977,
Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah,
1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan
dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982.

b. Pemikiran Kalam H.M. Rasyidi


Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh
seangkatannya. Hal ini dilihat dari keritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan
Nurcholis Majid. Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1) Tentang Perbedaan Ilmu Kalam dan Teologi.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan
pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan
bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen.”
Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang
Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau kalam karena
mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkataa, yaitu teo
(theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu
ketuhanan.adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah ketuhananNabi
Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi kemudian
mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang
benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.

8
2) Tema-Tema Ilmu Kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi
adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi
umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat
bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah,
sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa.
Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas
abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang
sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang
masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah.
3) Hakikat Iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang
diberikan Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan menaruh kepercayaan kepada
Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan
seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang
kontinyu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan
yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan
Tuhan.” Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan
sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam
dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan manusia, yakni
hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan
aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi,
yang terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah dan
kemasyarakatan.

4. Harun Nasution
a. Biografi Singkat Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919.
Kemudian bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada
tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari MIK (Moderne Islamietische
Kweekschool). Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada
tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American

9
University of Cairo.Harun Nasution menjadi pegawai Deplu RI di Brussels dan
Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di
Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif
Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN Syarif
Hidayatullah.Hasan Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di
Jakarta.Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran Muktazilah
(rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam
ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir
secara rasional.
Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika
ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun
Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan
pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk
menghilangkan rasa saling curiga.

b. Pemikiran Kalam Harun Nasution


1) Peranan akal
Bukanlah secara kebetulan Harun Nasution meilih problematika akal dalam
sistem teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di
Universitas McGill, Montreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam sistem
teologi suatu aliran sangat menetukan dinamis atau tidaknya pemahaman
seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution
menulis demikian, “akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah,
manusia mempunyai kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain.
Bertambah lemahnya kekuatan akal manusia, bertambah rendah pula
kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.”
2) Pembaharuan teologi
Harun Nasution berasumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat
Islam Indonesia atau dimana saja adalah disebabkan “ada yang salah” dalam
teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan modernis lainnya yang
memandang perlu perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati.

10
3) Hubungan akal dan wahyu
Dalam hal hubungan akal dan wahyu, sebagaimana pemikiran ulama
Muktazillah terdahulu. Harun Nasution berpendapat bahwa akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam Al Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu
menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak
menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Dengan demikian kita tidaklah
heran kalau Sirajudin Abbas berpendapat bahwa Kaum Muktazillah banyak
mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal bukan mengutamakan Al
Qur’an dan Hadist.
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di
bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada
teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami
teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemikiran kalam kontemporer merupakan gabungan dari pemikiran klasik
yang masih relevansi dan sesuai dengan perkembangan zaman dengan pemikiran
modern yang baru dikemukakan oleh para tokoh-tokoh guna memberikan
kontribusi bagi kemajuan umat Islam yang semakin lemah dan kurang termotivasi
oleh karena kemunduran yang dialami umat Islam.
Ada beberapa tokoh kalam yang berpengaruh, di antaranya:
a. Ismail Faruqi
b. Hasan Hanafi
c. H.M. Rasyidi
d. Harun Nasution.

B. Saran
Karena keterbatasan ilmu hingga makalah ini tidaklah dapat dikatakan
sempurna, oleh karena itu penulis berkenan menerima kritik dari semua pihak
agar pada penulisan makalah-makalah kami selanjutnya dapat lebih
disempurnakan lagi.

12
DAFTAR PUSTAKA

 __________1983, Islam an Zionisme(artikel dalam Jhon L. Espasito)


voices of Resurgent Islam. Oxford University Press.
 __________Is The Moslem Defnaple in Terms of his economic Pursuits?
(artikel dalam Khrusid Ahmad dan Zafar Ishaq Anshari (ed. Islamic
Perspectives). The Islamic Foundation, Saudi Publl ishing House.
 __________1983.Hakekat Hijrah Strategi Dakwah Islam membangun
tatanan dunia Baru. Terjemahan oleh Badri Saleh dari The Hijraj: The
necessyty of is
 iqomat or vergegenwartigung.Mizan. Bandung.
 __________and Lamya Al-Faruqi, 1986. The Cultural Atlas of Islam
 __________and Absullah Omar. 1981. Social and Natural Sciencis; the
Islamic Perspective.Hodder and Stonghton King Abdullah Aziz University
Press.
 Rozak Abdul, Ilmu Kalam, Bandung : Cv. Pustaka Setia 2014

13

Anda mungkin juga menyukai