Raji Al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan
dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres,
dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American
University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun
1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia
pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master
dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan
pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-
Azhar University pada tahun 1952.[1]
Al-Faruqi adalah sosok ilmuwan, pemikir dan aktivis muslim yang memiliki perhatian besar
terhadap perkembangan Islam dan wacana pemikiran dalam dunia Islam. Hal ini diamini oleh
salah satu muridnya yang memiliki perhatian serius dalam masalah islamisasi—terutama
sains dan ilmu pengetahuan—asal Malaysia Wan Mohd Nor Wan Daud (dalam Rihlah
Ilmiah, 2012) yang mengatakan bahwa, Al-Faruqi seorang ilmuwan pelbagai disiplin yang
hebat, khususnya tentang filsafat Barat dan pemikiran Kristian.[2] Ismail al-Faruqi juga
seorang pembicara yang flamboyant, tetapi tidak angkuh. Beliau selalu mengutip istilah dari
berbagai bahasa—Jerman, Latin dan lain-lain—yang boleh menakutkan hati lawannya.[3]
Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis
Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Pembunuhan atas dirinya
diduga kuat karena kritik kerasnya terhadap kaum Zionis Yahudi. Ia meninggal dunia pada
tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya, dan mewariskan berbagai karya ilmiah yang hingga kini
masih dikaji oleh berbagai kalangan, baik muslim maupun non muslim.
Pemikiran kalam Ismail al-Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its
Implications for Thought and Life (Edisi Indonesia-nya berjudul Tauhid). Dalam karyanya
ini Al-Faruqi mengungkapkan bahwa:
Keenam, Tauhid sebagai prinsip metafisika. Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah.
Sebagai ciptaan, ia bersifat teologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan
kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar
manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan,
kebertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
[9]
Kedelapan, Tauhid sebagai prinsip tata social. Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang
satu dengan yang lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia
boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi
(dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat
manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya.[11]
Hasan Hanafi
Riwayat Singkat Hasan Hanafi
Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan
salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun
baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan
satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama
bagi kesejahteraan umat manusia.
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan
kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang
merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia
yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian Hasan Hanafi tentang
definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan
tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa Wahyu.
[19]
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk
kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa Wahyu. Ilmu Kalam
adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutik yang mempelajari analisis percakapan (discourse
analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi
konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun Wahyu sebagai
manifestasi kemauan Tuhan, yakni Sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-
muatan kemanusiaan.[20]
Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan
pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu
saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan
verifikasi dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.[21]
Menurut Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar
hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia. Hal ini
disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran
murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara
keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.
Secara historis, teologi yang telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia
sarat dengan konflik sosial-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: Pertama, pada
tingkat teoritis, kedua, pada tingkat praksis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme
dan negativisme.[22]
Kedua, Rekontruksi Teologi.
Sebagai konsekwensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah
gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi
teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya
dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:
Pertama, Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan global
antar berbagai ideologi.
Kedua, Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, tetapi juga terletak
pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah.
Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-
negara muslim.
Ketiga, Kekeringan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yang secara nyata
diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya ‘teologi
dunia’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde.[25]
Menurut Hanafi, rekontruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika
mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret dagi sejarah
kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu, menurut Hanafi, pertama-tama untuk
mentranformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang
kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam
teologi Islam yaitu:
Pertama, Analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisonal adalah warisan
nenek moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi
ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman,
akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode
keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis
seperti nubuwahserta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
Kedua, Analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-
sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendiskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi
bagi kehidupan masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap
prilaku para pendukungnya. Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing ke arah
mana teologi kontemporer harus diorientasikan.[26]
Kesimpulan
Sementara Hasan Hanafi mengkritik teologi tradisional bahwa, ia tidak dapat menjadi sebuah
pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan
kongkret umat manusia, tepatnya kaum muslimin. Hal ini disebabkan oleh sikap para
penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai
perbuatan manusia itu sendiri. Sehingga alih-alih justru menimbulkan keterpercahan antara
keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.
Daftar Pustaka
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Adian Husaini, Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud; Dari Neomodernisme ke
Islamisasi Ilmu Kontemporer, Jakarta: INSISTS, 2012.
A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998.
E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi,
Jakarta:Logos, 1999
Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988
Lamya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya: Al-
Fikr, 1991
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1993