KONTEMPORER
DISUSUSN OLEH:
1. SUTRA HELEND
NPM: 1711060275
2. VINA TUZZUHRO
NPM: 1711060122
Dosen Pengampuh: AMAM FARIH,M.Pd.I
Fakultas: Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan: Pendidikan Biologi
Kelas: D
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu Kalam merupakan salah satu ilmu yang mesti kita pelajari dari sekian
banyak ilmu-ilmu di dunia ini. Berbagai definisi telah banyak dikemukakan
tokoh-tokoh Islam mengenai ilmu ini. Begitu pula sebab-sebab penamaan serta
berbagai nama lain dari ilmu kalam. Namun dari sekian keterangan dapat
disimpulkan bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang mempelajari masalah
Ketuhanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya yang dapat
memperkuat akan keyakinan terhadap-Nya dan mampu memberikan hujjah dan
argumentasi.
Karena berbagai faktor, terlahirlah berbagai aliran ilmu kalam dalam Islam
dengan pemikiran dan konsep masing-masing. Diantaranya adalah Khawarij,
Murjiah, Mu’tazilah, al-Qadariyah, Jabariyah, Al-Asyariyah dan Al-Maturidiyah.
Adapula pemikiran kontemporer yang merupakan campuran antara pemikiran
klasik dan modern yang disertai dengan pendekatan tokohnya yang akan dibahas
dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari judul yang telah diketahui yaitu pemikiran kontemporer dan pendekatan
tokohnya, tentu akan menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pemikiran kalam kontemporer ?
2. Siapa saja tokohnya ?
3. Bagaimana sejarah perkembangannya ?
4. Apa saja pendekatan pemikirannya ?
1.3 Tujuan Makalah
Tujuan dari makalah ini tiada lain adalah untuk memberikan jawaban serta
penjelasan dari setiap pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah, yaitu :
1. Untuk mengetahui apa itu pemikiran kalam kontemporer.
2. Untuk mengenal siapa saja tokohnya.
3. Untuk mengetahui sejarah perkembangannya.
4. Untuk mengetahui pendekatan pemikirannya.
1.4 Kegunaan Makalah
Adapun kegunaan dari makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
kelompok dari mata kuliah ILMU KALAM, juga sebagai sarana pelatihan dalam
mengembangkan sifat sosial dan keterampilan dalam membuat suatu karya ilmiah.
Ilmu Kalam atau Teologi Islam di isitilahkan oleh berbagai pakarnya dengan
beragam nama. Abu Hanifah memberi nama dengan istilah ‘ilmu fiqh al-akbar.
Imam Syafi’ie, Imam Malik, dan Imam Ja’far al-Sadiq memberi nama dengan
istilah ‘Ilmu al-Kalam (tokohnya disebut al-Mutakallimun). Imam al-Asy’ari, al-
Bagdady, dan beberapa tokoh al-Azhar University memberi nama dengan istilah
‘Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi, al-Ghazali, al-Thusi, dan al-Iji memberi nama
dengan istilah ‘Ilmu al-Aqa’id. Abdu al-Jabbar memberi nama dengan istilah
‘Ilmu al-Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberi nama dengan istilah ‘Ilmu
al-Tauhid wa al-Shifah. Muhammad ‘Abduh memberi nama dengan istilah ‘Ilmu
al-Tauhid. Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The Philosophy
of Kalam. Ahmad Mahmud Shubhy memberi nama dengan istilah ‘Ilmi al-Kalam.
M Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology. C A Qadir
memberi nama dengan istilah Dialectica Teology. Sementara itu Harun Nasution
memberi nama dengan istilah Teologi Islam.
B. HASAN HANAFI
1. Riwayar Singkat Hidup Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Ia berasal dari
keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan
pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah
Khalil Agha, kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa di
Tsanawiyah, ia aktif mengikuti dislusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin. Oleh
karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran yang dikembangkan
kelompok itu dan aktivitas sosialnya. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari
pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk
mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan social.
Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami)
merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952.
Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi,
karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal
tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat
manusia.
2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a. Kritik Terhadap Teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan
perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi)
sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata
Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan,
yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi
itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara
kemurniannya. Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah.
Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang
periode klonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual yang baru berasal dari
kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal
dari kebudayaan modern.
Selanjutnya Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang
hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik
social politik. Oleh karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang
sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk
kritik. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang
secara etimologis berasal dari kata Theos dan Logos, melainkan ilmu tentang kata
(ilm al-kalam).
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan
tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang
berupa wahtu. Ilmu kata adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari
analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni
ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk
kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda
yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya
yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi
dan harus diterima begitu saja secara taken of granted. Ia adalah ilmu
kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik
secara historis mapun eidetis.
Secara praxis, Hanafi juga menunjukkan bahwa teologi tradisional tidak dapat
menjadi sebuah “pandangan yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi
tindakan dalam kehidupan konkrit umat manusia. Secara praxis, teologi
tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh-sungguh fungsional
bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional
disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul
keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya dengan kalangan
umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun social, umat ini dilanda
keterceraiberaikan dan terkoyak-koyak. Secara individual, pemikiran manusia
terputus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan
mudah melahirkan sikap-sikap moral ganda (an-nifaq hypocrisy) atau sinkretisme
kepribadian (muzawij: assyahszyyali). Fenomena sinkretis ini tampak dalam
kehidupan umat islam saat ini: sinkretisme antara kultur keagamaan dan
sekularisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan modern (peradaban),
antara Timur dan Barat (politik), antara konservatisme dan progresivisme (sosial)
dan antara kapitalisme dan sosialisme (ekonomi).
Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan
dan ia sarat dengan konflik sosial-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat:
pertama, pada tingkat teoritis, yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah dan
filosofis, dan kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan
apatisme dan negativisme.
b. Rekonstruksi Teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran
rekonstruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi
menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan
rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistemilogi lama yang rancu
dan palsu menuju epistimologi baru yang shahih dan signifikan. Tujuan
rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-
dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang
pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi
secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.
Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan bangunan sosial tertentu.
Sistem kepercayaan menjadikan gerakan sosial sebagai gerakan bagi kepentingan
mayoritas yang diam ( al-aglabiyah assfimitah: the majority) sehingga sistem
kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final
rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan
agama di masa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat
di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.
Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi
oleh tiga hal berikut
Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-
tengah pertarungan global antara berbagai ideology.
Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya,
melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan
ideology sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah
memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-negara muslim.
Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu
secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia
Islam. Hanafi menghendaki adanya “teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat
mempersatukan umat Islam di bawah satu orde.
Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang
mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan
yang konkrit bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-
tama untuk mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi
sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensial, kognitif, maupun
kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan
teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu:
Pertama, analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi
tradisional adalah warisan nenek moyang di bidang teologi, yang merupakan
bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional
memiliki istilah-istilah khas seperti Allah¸ iman¸ akhirat. Menurut Hanafi,
semuanya ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada
yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis
seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
Kedua, analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar
belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikan
pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia
mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya.
Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing ke arah mana teologi
kontemporer harus diorientasikan.
D. Penutup
Dari peembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Kalam Ismail Al-
Faruqi terletak pada inti pengalaman agama adalah Tuhan. Kalimat syahadat
menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia,
ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir. Tauhid ummah terdiri dari tiga identitas
yaitu Etnosentrisme, Universalisme, Totalisme dan Kemerdekaan. Tauhid tidak
menentang kreatifitas seni, kenikmatan, dan keindahan.Islam menganggap bahwa
keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang
diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
Sementara Hasan Hanafi mengkritik teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah
pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun
teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan
manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan
amal praktiknya dikalangan umat.