Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN KALAM

KONTEMPORER

DISUSUSN OLEH:
1. SUTRA HELEND
NPM: 1711060275
2. VINA TUZZUHRO
NPM: 1711060122
Dosen Pengampuh: AMAM FARIH,M.Pd.I
Fakultas: Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan: Pendidikan Biologi
Kelas: D
BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Ilmu Kalam merupakan salah satu ilmu yang mesti kita pelajari dari sekian
banyak ilmu-ilmu di dunia ini. Berbagai definisi telah banyak dikemukakan
tokoh-tokoh Islam mengenai ilmu ini. Begitu pula sebab-sebab penamaan serta
berbagai nama lain dari ilmu kalam. Namun dari sekian keterangan dapat
disimpulkan bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang mempelajari masalah
Ketuhanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya yang dapat
memperkuat akan keyakinan terhadap-Nya dan mampu memberikan hujjah dan
argumentasi.

Karena berbagai faktor, terlahirlah berbagai aliran ilmu kalam dalam Islam
dengan pemikiran dan konsep masing-masing. Diantaranya adalah Khawarij,
Murjiah, Mu’tazilah, al-Qadariyah, Jabariyah, Al-Asyariyah dan Al-Maturidiyah.
Adapula pemikiran kontemporer yang merupakan campuran antara pemikiran
klasik dan modern yang disertai dengan pendekatan tokohnya yang akan dibahas
dalam makalah ini.

1.2  Rumusan Masalah
Dari judul yang telah diketahui yaitu pemikiran kontemporer dan pendekatan
tokohnya, tentu akan menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pemikiran kalam kontemporer ?
2. Siapa saja tokohnya ?
3. Bagaimana sejarah perkembangannya ?
4. Apa saja pendekatan pemikirannya ?
1.3  Tujuan Makalah

Tujuan dari makalah ini tiada lain adalah untuk memberikan jawaban serta
penjelasan dari setiap pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah, yaitu :
1. Untuk mengetahui apa itu pemikiran kalam kontemporer.
2. Untuk mengenal siapa saja tokohnya.
3. Untuk mengetahui sejarah perkembangannya.
4. Untuk mengetahui pendekatan pemikirannya.

1.4  Kegunaan Makalah

Adapun kegunaan dari makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
kelompok dari mata kuliah ILMU KALAM, juga sebagai sarana pelatihan dalam
mengembangkan sifat sosial dan keterampilan dalam membuat suatu karya ilmiah.

A. Pengertian Ilmu Kalam

Ilmu Kalam atau Teologi Islam di isitilahkan oleh berbagai pakarnya dengan
beragam nama. Abu Hanifah memberi nama dengan istilah ‘ilmu fiqh al-akbar.
Imam Syafi’ie, Imam Malik, dan Imam Ja’far al-Sadiq memberi nama dengan
istilah ‘Ilmu al-Kalam (tokohnya disebut al-Mutakallimun). Imam al-Asy’ari, al-
Bagdady, dan beberapa tokoh al-Azhar University memberi nama dengan istilah
‘Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi, al-Ghazali, al-Thusi, dan al-Iji memberi nama
dengan istilah ‘Ilmu al-Aqa’id. Abdu al-Jabbar memberi nama dengan istilah
‘Ilmu al-Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberi nama dengan istilah ‘Ilmu
al-Tauhid wa al-Shifah. Muhammad ‘Abduh memberi nama dengan istilah ‘Ilmu
al-Tauhid. Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The Philosophy
of Kalam. Ahmad Mahmud Shubhy memberi nama dengan istilah ‘Ilmi al-Kalam.
M Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology. C A Qadir
memberi nama dengan istilah Dialectica Teology. Sementara itu Harun Nasution
memberi nama dengan istilah Teologi Islam.

Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam


pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar
dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau
logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan
kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi
yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata
Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika,
khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu
Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".

ILMU KALAM MASA KINI: ISMAIL FARUQI, HASAN HANAFI, RASYIDI


DAN HARUN NASUTION.
A.    ISMAIL AL-FARUQI
1.      Riwayat Singkat Isamil Al-faruqi
Ismail Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 januari 1921 di Jaffa Palestina.
Pendidikan dasarnya  di mulai di madrasah, lalu pendidikan menengah di College
des Freres St. Joseph, dengan bahasa pengantar Perancis. Pada tahun 1941, Al-
Faruqi mengambil kuliah filsafat diAmerican University, Beirut. Setelah tamat
dan meraih gelar Bachelor of Arts. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri
sipil pada pemerintahan Inggris yang memegang mandate atas Palestina ketika
saat itu selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24
tahun, ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.
Pada  tahun 1948, Palestina dijarah Israel dan Faruqi, seperti warga Palestina
lainnya, terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai  Gubernur Galilea
terakhir yang berdarah Palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun
berikutnya, 1949, Faruqi hijrah ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat
gelar Master Filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar  master
filsafat kembali ia raih dari Universitas Harvard.
Di Harvard inilah pengalaman mengajarinya, yakni belajar tanpa dukungan
finansial itu sulit. Biaya kuliah yang tinggi di AS mengharuskannya untuk
bekerja. Dengan uang US$1.000 (dariAmerican Council of Learned Sociates hasil
dari menerjemahkan dua buku Bahasa Arab) ia memasuki bisnis konstruksi.
Dengan menspesialisasikan diri pada bangunan rumah, kesempatan untuk menjadi
kaya semakin  terbuka baginya.
Akan tetapi hasrat dan bakat bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke
Universitas Indiana pada 1952 ia meraih gelar Ph.D filsafat dengan desertasi
berjudul On Justifiying the God: Metaphysics and Epistemology of Value.
Merasa kurang pengetahuannya mengenai Islam walaupun sudah bergelar
doctor Faruqi lalu pergi ke Mesir selama tiga tahun, ia menyelesaikan
pascasarjana di Al-Azhar. Karena kuat dorongan belajarnya itu pulalah, Faruqi
memenuhi undangan Wilfred C.Smith untuk bergabung dengan Institut of Islamic
Studies di Universitas  McGill, Canada. Ia disana  selama dua tahun, yaitu pada
1959-1961. Selain mengajar, ia mempelajari etika yahudi dan Kristen.
Pada tahun 1964, Faruqi kembali ke AS. Pertama-tama yang dia kerjakan
adalah menjadi guru besar tamu pada Universitas
Chicago dan Associate  professor bidang agama padaUniversitas Syracuse. Lalu
pada tahun 1968 hingga wafatnya ia menjabat guru besar agama pada Universitas
Temple. Bersamaan itu juga ia menjabat sebagai professor studi keislaman
pada Central Institute of Islamic Research, Karachi.
2.      Pemikiran Kalam Al-Faruqi
Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri melalui karyanya yang
berjudul, Tahwid : Its Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya
berjudul Tauhid). Sesuai dengan judulnya, buku ini mengupas hakikat tauhid
secara mendalam. Al-Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut.
a. Tauhid sebagai Inti Pengalaman Agama
Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat Syahadat
menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi
kaum muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi
pengalaman agama dalam Islam tidak lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup
dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.
b. Tauhid sebagai Pandangan Dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang,
dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
c. Tauhid sebagai Intisari Islam
Dapat dipastikan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri, dan esensi
Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam
Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid Islam tidak akan ada.
Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan pranata
kenabian pun menjadi sirna.

d. Tauhid sebagai Prinsip Sejarah


Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat  atau bertindak, yaitu
ketika keberhagaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan
yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak
mempunyai sejarah formatif. Ia terlahir lengkap dalam Al-Quran, dan tidak
mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada masa kelahirannya
seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Ia dipandang sebagai suatu
klimaks moral bagi kehidupan diatas bumi.
e. Tauhid Sebagai Prinsip Pengetahuan
Berbeda dengan “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan
kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa
saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang sulit dipahami
dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan
rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan
lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.
f. Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika
Dalam Islam, Islam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat
teologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah ia merupakan kebaikan yang
tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah
memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga
penilaian ini, keteraturan, bertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan meringkas
pandangan umat Islam tentang alam.
g. Tauhid Sebagai Prinsip Etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia,
suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi, amanat yang
mereka hindari dengan penuh ketakutan. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut
berupa pemenuhan unsure etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan
bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-
satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dpat
dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.
h. Tauhid sebagai Prinsip Ummah
Al-Faruqi menjelaskan tentang prinsip ummah tauhidi dengan tiga identitas:
pertama, menentng etnosentrisme. Maksudnya, tata sosial Islam adalah Universal,
mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis.
Kedua Universalisme. Maksudnya Islam bersifat universal dalam arti meliputi
seluruh umat manusia.cita-cita komunitas universal adalah cita-cita Islam yang
diungkapkan dalam ummah dunia. Ketiga, Totalisme. Maksudnya, Islam relevan
dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia. Totalisme sosial Islam tidak hanya
menyangkut aktivitas manusia dan tujuannya di masa mereka saja, tetapi
mencakup seluruh aktivitas di setiap masa dan tempat. Keempat, kemerdekaan.
Maksudnya, tata sosial Islam adalah kemerdekaan. Jika dibangun dengan
kekerasan atau dengan memaksa rakyat,  Islam akan kehilangan sifatnya yang
khas.
i.        Islam Sebagai Prinsip Tata Sosial
Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara manusia satu dan lainnya. Masyarakat
Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya,
baik sebagai anggota tetap atapun sebagai yang dilindungi (dzimmah).
Masyarakat Islam harus berusaha mengembangkan dirinya untuk mencakup
seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya.
Selanjutnya, ia mungkin akan terus hidup sebagai komunitas Islam yang lain, atau
oleh komunitas non-islam.
j.        Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari
gerogotan komunisme dan ideology-ideologi barat, umat Islam akan menjadi
masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukannya yang terhormat.
Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar untuk tetap lestari sebab ditopang
oleh hukum Islam dan dideterminasi oleh hubungan erat dengan tauhid.
k.      Tauhid Sebagai Prinsip Tata Politik
Al-Faruqi mengaitkan tata politik tauhidi dengan kekhalifahan. Kekhalifahan
didefinisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yakni kesepakatan wawasan (ijma
ar-ru’yah), kehendak (ijma al-iradah) dan tindakan( ijma al-amal). Wawasan yang
dimaksuf Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk
kehendak Ilahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi juga apa yang disebutnya
ashabiyyah, yakni kepedulian kaum muslimin menanggapi peristiwa-peristiwa
dan  situasi dengan satu cara yang sama, dalam kepatuhan yang padu terhadap
seruan Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah pelaksanaan
kewajiban yang timbul dari kesepakatan.
l.        Tauhid Sebagai Prinsip Tata Ekonomi
Al-Faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi Islam untuk tata ekonomi
melahirkan dua prinsip utama: pertama, bahwa tak ada seorang atau kelompok
pun boleh memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan
atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi
ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
m.    Tauhid sebagai prinsip estetika
Tauhid tidak menentang kreativitas seni; juga tidak menentang kenikmatan dan
keindahan. Sebaliknya, Islam memberkati keindahan islam menganggap bahwa
keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang
diwahyukan dalam firman-firman-Nya.

B.      HASAN HANAFI
1.   Riwayar Singkat Hidup Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Ia berasal dari
keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan
pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah
Khalil Agha, kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa di
Tsanawiyah, ia aktif mengikuti dislusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin. Oleh
karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran yang dikembangkan
kelompok itu dan aktivitas sosialnya. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari
pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk
mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan social.
Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami)
merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952.
Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi,
karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal
tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat
manusia.
2.      Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a.       Kritik Terhadap Teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan
perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi)
sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata
Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan,
yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi
itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara
kemurniannya. Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah.
Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang
periode klonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual yang baru berasal dari
kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal
dari kebudayaan modern.
Selanjutnya Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang
hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik
social politik. Oleh karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang
sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk
kritik. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang
secara etimologis berasal dari kata Theos dan Logos, melainkan ilmu tentang kata
(ilm al-kalam).
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan
tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang
berupa wahtu. Ilmu kata adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari
analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni
ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk
kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda
yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya
yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi
dan harus diterima begitu saja secara taken of granted. Ia adalah ilmu
kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik
secara historis mapun eidetis.
Secara praxis, Hanafi juga menunjukkan bahwa teologi tradisional tidak dapat
menjadi sebuah “pandangan yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi
tindakan dalam kehidupan konkrit umat manusia. Secara praxis, teologi
tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh-sungguh fungsional
bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional
disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul
keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya dengan kalangan
umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun social, umat ini dilanda
keterceraiberaikan dan terkoyak-koyak. Secara individual, pemikiran manusia
terputus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan
mudah melahirkan sikap-sikap moral ganda (an-nifaq hypocrisy) atau sinkretisme
kepribadian (muzawij: assyahszyyali). Fenomena sinkretis ini tampak dalam
kehidupan umat islam saat ini: sinkretisme antara kultur keagamaan dan
sekularisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan modern (peradaban),
antara Timur dan Barat (politik), antara konservatisme dan progresivisme (sosial)
dan antara kapitalisme dan sosialisme (ekonomi).
Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan
dan ia sarat dengan konflik sosial-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat:
pertama, pada tingkat teoritis, yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah dan
filosofis, dan kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan
apatisme dan negativisme.
b.      Rekonstruksi Teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran
rekonstruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi
menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan
rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistemilogi lama yang rancu
dan palsu menuju epistimologi baru yang shahih dan signifikan. Tujuan
rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-
dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang
pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi
secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.
Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan bangunan sosial tertentu.
Sistem kepercayaan menjadikan gerakan sosial sebagai gerakan bagi kepentingan
mayoritas yang diam ( al-aglabiyah assfimitah: the majority) sehingga sistem
kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final
rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan
agama di masa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat
di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.
Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi
oleh tiga hal berikut
         Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-
tengah pertarungan global antara berbagai ideology.
         Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya,
melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan
ideology sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah
memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-negara muslim.
         Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu
secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia
Islam. Hanafi menghendaki adanya “teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat
mempersatukan umat Islam di bawah satu orde.
Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang
mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan
yang konkrit bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-
tama untuk mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi
sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik  secara eksistensial, kognitif, maupun
kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan
teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu:
            Pertama, analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi
tradisional adalah warisan nenek moyang di bidang teologi, yang merupakan
bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional
memiliki istilah-istilah khas seperti Allah¸ iman¸ akhirat. Menurut Hanafi,
semuanya ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada
yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis
seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
            Kedua, analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar
belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikan
pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia
mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya.
Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing ke arah mana teologi
kontemporer harus diorientasikan.
D.      Penutup
Dari peembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Kalam Ismail Al-
Faruqi terletak pada inti pengalaman agama adalah Tuhan. Kalimat syahadat
menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia,
ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir. Tauhid ummah terdiri dari tiga identitas
yaitu Etnosentrisme, Universalisme, Totalisme dan Kemerdekaan. Tauhid tidak
menentang kreatifitas seni, kenikmatan, dan keindahan.Islam menganggap bahwa
keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang
diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
Sementara Hasan Hanafi mengkritik teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah
pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun
teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan
manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan
amal praktiknya dikalangan umat.

Anda mungkin juga menyukai