Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

TENTANG
KEDUDUKAN MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

DISUSUN :
KELOMPOK 3
1.      TRIA AMI LAKSMI
2.      DINI OKTAVIANA
3.      HARDIWI ENDANG FASTIN
4.      ABDUL KHALIK
5.      HAFIZUDDIN
6.      HAIRUL ARRASYID
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2015

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya kami bisa mengerjakan dan menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sebagai pegangan bagi anggota kelompok kami. Kami
berharapmakalah ini bermanfaat dan memberikan pengetahuan kepada para pembaca dan
pemakalah.
Rasa terimakasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang memberikan inspirasi,
bantuan dan dukungan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.
          Tak ada gading yang tak retak, tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan buku pedoman berikutnya
dimasa mendatang.

Mataram, 30 April 2015
   Penulis
Daftar isi
                                                                                                                                   Halaman
Kata pengantar..................................................................................................................
Daftar isi        ..................................................................................................................... 
BAB I
          a. Latar belakang........................................................................................................ i
          b. Rumusan masalah................................................................................................... i
          c. Tujuan..................................................................................................................... i
BAB II          
a.       kedudukan manusia............................................................................................. 1
b.      hakikat ilmu pengetahuan.................................................................................... 7
c.       kedudukan ilmu pengetahuan.............................................................................. 8
d.      perintah Al-Qur’an dalam mencari ilmu............................................................... 9
e.       cara memperoleh ilmu pengetahuan..................................................................... 9
f.       sumber dan fungsi ilmu pengetahuan................................................................... 10
BAB III         
a.       kesimpulan........................................................................................................... 11
DAFTAR RUJUKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya,
manusia diberi oleh Tuhan beberapa kelebihan  yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya,
yaitu akal dan daya nalar. Kemampuan manusia untuk berfikir dan bernalar itu dimungkinkan
pada manusia karena ia memiliki susunan otak paling sempurna dibandingkan otak berbagai
jenis makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu
terus berusaha untuk menambah dan mengumpulkan ilmu pengetahuannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan manusia dalam ilmu pengetahuan?
2.      Bagaimana  hakikat ilmu pengetahuan dalam filsafat pendidikan islam?
3.      Bagaimana kedudukan ilmu pengetahuan dalam filsafat pendididkan islam?
4.      Bagaimana perintah Al-Qur’an dalam mencari ilmu?
5.      Bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan dalam filsafat pendidikan islam?
6.      Apakah sumber dan fungsi pengetahuan dalam islam?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui kedudukan manusia.
2.      Untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan.
3.      Untuk mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
4.      Untuk mengetahui perintah Al-Qur’an dalam mencari ilmu.
5.      Untuk mengetahui cara memperoleh ilmu pengetahuan.
6.      Untuk mengetahui sumber dan fungsi ilmu pengetahuan.

BAB II
PEMBAHASAN
Kedudukan Manusia dan Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
A.    Kedudukan Manusia
Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada
membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan menempatkan manusia pada posisi
yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (Khalifah fi al-ardh).
1.      Manusia sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan dan
kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan
ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum
Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap
ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa
terlepas dari kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama.
Mulai dari manusia purba sampai kepada manusia modern sekarang yang mengakui bahwa
diluar dirinya ada kekuasaan transendental.
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk
beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba manusia mengasumsikannya lewat mitos
yang melahirkan agama animisme dan dinamisme.[1] Meskipun dengan pemikiran dan
kondisi yang cukup sederhana, manusia dahulu telah  mengakui bahwa diluar dirinya ada zat
yang lebih berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengatahui
hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai
bentuk upacara ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari dan roh nenek
moyang mereka. Kesemuanaya itu menjadi bukti, bahwa ia adalah makhluk yang memiliki
potensi untuk beragama. Allah SWT berfirman:
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 30 : 30)
Berdasarkan ayat diatas, jelaslah bahwa bagaimanapun modernnya atau primitifnya suatu
suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya.
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku (QS. 51: 56)
Berdasarkan ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini
berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya. Pengakuan manusia
akan adanya Tuhan secara naluriah menurut informasi Al-Qur’an disebabkan telah terjadinya
dialog antara Allah dan roh manusia takkala berada di alam arwah.
Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) :
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka (anak-anak Adam menjawab: “Betul (Engkau
Tuhan Kami) Kami menjadi saksi....” (QS. 7 : 172)
Dengan demikian, kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena manusia telah berikrar sejak alam (mitsaq), sejak
alam arwah bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Kepercayaan manusia kepada Zat Maha
Agung yang ada diluar dirinya juga diiringi oleh Realisme Instinktif yang tunduk dan patuh
kepada-Nya. Kepatuhan tersebut kemudian dimanifestasikannya lewat peribadatan-
peribadatan ritual, sehingga manusia memiliki beban dan tugas sebagai makhluk pengabdi
kepada Tuhannya. Dengan demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang
Maha Agung merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia
sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya. Pengenalan dan pengabdian yang dilakukan manusia
sebagai realisasi kepada Tuhannya pada mulanya mereka melakukan sesuai dengan
keterbatasan akalnya. Allah tidak ingin manusia berada selalu dalam kesesatan. Untuk itu,
Allah SWT memperkenalkan kepada manusia cara melakukan pengabdian. Dengan
pendekatan dan kemampuan yang dimilikinya mengantarkan manusia mampu melaksanakan
pengabdiannya sesuai aturan yang dikehendaki Allah.
Dalam konsep animistik misalnya, manusia merasakan ketidakmampuannya dan ingin
mendapatkan perlindungan dan pertolongan kepada Zat Yang Maha Agung. Namun,
keterbatasan akalnya  manusia tidak bisa menemukannya. Akhirnya manusia purba
mengkultuskan benda-benda alam yang dianggapnya mempunyai kekuatan gaib (mana) dan
selanjutnya dilakukan penyembahan kepada benda-benda tersebut.
Untuk itu, Allah mengutus para Rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk kepada manusia,
mana yang harus mereka sembah sebenarnya. Lewat inisiatif pengakuan akan adanya Zat
Yang Menguasainya, lewat bimbingan wahyu (ajaran agama) yang disampaikan dengan
perantaraan Rasul, diharapkan manusia akan mampu mengenal khalidnya lewat pengabdian
yang ditunjukkannya dalam kehidupan.
2.      Manusia sebagai Khalifah Allah fi al-ardh
Bila ditinjau, kata  khalifah  berasal dari madli khalafa yang berarti “mengganti dan
melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks
ini artinya lebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara sat
individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) berarti penguasa
politik dan religius. Istilah ini digunakan unutk nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia
pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan khala’if yang didalamnya
mengandung makna yang lebih luas yaitu bukan hanya sebagai penguasa dalam berbagai
bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia dialam ini,
nampaknya istilah khala cocok digunakan dibandingkan kata khalifah. Namun demikian yang
terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah manusia sebagai khalifah dimuka bumi.
Pendapat yang demikian memang tidak ada salahnya karena dalam istilah khala’if sudah
terkandung makna istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah, manusia berfungsi
menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan
kedudukan orang lain dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan.[2]
Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di alam ini, dapat dilihat misalnya
dalam ayat-ayat dibawah ini:
Artinya: “dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan dia
meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat”. (QS. Al-An’am:
165)
Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa
yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.(QS. Fathir : 39)
Artinya: “Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai
pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudag lenyapnya Nuh, dan Tuhanmu telah
melebihkan kekuatan tubuh dan perwakanmu (dari pada kaum nuh itu). (QS. Al-A’raf: 69).
Ayat-ayat tersebut di atas, di samping menjelaskan kedudukan manusia di dalam raya
sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau
etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Quraisy Shihab
mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan
sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan ditaklukkan, atau antara
tuan dengan hamba tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT.
Sebab, meskipun manusia mampu mengelola (menguasai) namun hal tersebut bukan akibat
kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia. Oleh
karena itu, manusia dalam visi kekhalifahannya bukan saja sekedar menggantikan, namun
dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti perintah yang digantikan (Allah).
Untuk melaksanakan tugasnya sebgai khalifah, Allah telah memberikan kepada
manusia  seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb, dan nafs. Namun demikian, aktualisasi
fitrah tersebut tidak otomatis berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu sendiri
mengembangkannya. Untuk itu, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi agar
menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh dan selaras
dengan tujuan penciptaannya. Dengan pedoman ini manusia akan dapat tampil sebagai
makhluk Allah yang tinggi martabatnya. Jika tidak manusia akan tidak berbeda esensinya
dengan hewan.
Dengan kedudukan, fungsi, dan kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya
melebihi makhluk lain, memiliki konsekuensi nilai moral religius. Untuk itu, manusia harus
mempertanggung jawabkan semua aktifitas perbuatannya di hadapan khaliknya. Hal ini dapat
dilihat dari sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibn Umar ra. Berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tiap-tiap kamu
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa
yang dipimpinnya...” (HR. Mutafaq’Alaih).
Selanjutnya Ahmad Hasan Firhat[3], membedakan kedudukan kekhalifahan manusia  pada
dua bentuk, yaitu:
Pertama, khalifah kauniyat. Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang
telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta
isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dimuka bumi. Pemberian wewenang
Allah SWT kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemaknaan yang bersifat umum
tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, label kekhalifahan yang
dimaksud diberikan keada semua manusia sebagai penguasa alam semesta. Bila dimensi ini
dijadikan  standard dalam melihat predikat manusia sebagai khalifah fi al-ardh, maka akan
berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan
kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhalifahannya tanpa
kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiyah. Akibatnya,
keberadaannya di muka bumi bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung
berbuat mafsadah dan merugikan makhluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang
dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan makhluk
yag bernama manusia.
Kedua, khalifah syariyah. Dimensi ini merupakan wewenang Allah yang diberikan kepada
manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan
tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin.
Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan yang dimilikinya mampu menjadi pilar dan
kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang
telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat
kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.
B.     Hakikat Ilmu Pengetahuan
Menurut Quraish Shihab, kata ilmu dalam bebrbagai bentuk terdapat 854 kali dalam
Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam proses pencapaian tujuan. Ilmu dari segi bahasa berarti
kejelasan. Jadi ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas tentag sesuatu. Pengetahuan
yang tidak jelas dari segi ontology, epistimologi maupun aksiologi di dalam Islam tidak
dianggap sebagai ilmu walaupun orang menyebutnya ilmu juga.
Persoalan hakikat ilmu pengetahuan atau apa sebenarnya pengetahuan (ontology)
telah menjadi perdebatan antara kaum materialis dan kaum idealis. Kaum materialis hanya
mengenal pengetahuan yang bersifat empiris dengan pengertian bahwa pengetahuan hanya
diperoleh dengan menggunakan akal atau indera yang bersifat empiris dan terdapat di alam
materi yang ada di dunia ini. Sedangkan menurut kaum idealis, termasuk Islam, ilmu
pengetahuan bukan hanya diperoleh dengan perantaraan akal dan indera yang bersifat empiris
saja¸ tetapi juga ada pengetahuan yang bersifat immateri, yaitu ilmu pengetahuan yang
berasal dari Allah sebagai Khalid (Pencipta) pengetahuan tersebut.[4]
Beberapa pandangan yang berbeda tentang pengetahuan yakni: pandangan aliran
realisme, idealisme, dan pragmatisme.[5]
1.      Realisme.
Secara umum, aliran filsafat realisme berpendapat bahwa dunia material merupakan dunia
yang riil (nyata) dan bukan sesuatu yang maya. Dunia material seperti meja, kursi, tumbuh-
tumbuhan, binatang, manusia dan lainnya dalam pikiran manusa, melainkan wujud itu
sendiri.
2.      Idealisme
Idealisme secara umum merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa sesungguhnya
yang riil (nyata) itu bersifat ruhani, dan itu adalah ide (gagasan dan kesadaran) yang ada
dalam subyek. Keberadaan dan arti benda-benda material tergantung kepada subjek yang
mengamati dan memahaminya dengan akal budi.
3.      Pragmatisme
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang muncul dan berkembang di Amerika Serikat dan
dipelopori oleh tokoh-tokohnya seperti Carles S. Pierce, Jhon Dewey dan Wiliam James.
Ilmu pengetahuan modern amat berpengaruh pada metode dan bangunan filsafat mereka.
Seperti halnya idealisme, pragmatisme berpendapat bahwa akal budi manusia itu aktif
mencari pengetahuan dan bukan hanya pasif menerima saja apa yang diberikan  dari luar.
Pengethauan merupakan hasil interaksi atau transaksi dengan lingkungan.
C.     Kedudukan Ilmu Pengetahuan
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam. Hal ini banyak
terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang
tinggi dan mulia disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya
untuk terus menuntut ilmu.
Didalam Al-Qur’an, kata ilmu digunakan lebih dari 780 kali, ini bermakna bahwa
ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Al-Qur’an sangat kental dengan nuansa yang
berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam sebagaimana
dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani sebagai berikut: “Salah satu ciri yang membedakan
Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), Al-Qur’an
dan Al-Sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan,
serta menempatkan orang-orang yang pengetahuan pada derajat tinggi”.
D.    Perintah Al-Qur’an untuk mencari, menemukan dan mempelajari ilmu.
Perintah Al-Qur’an untuk mencari ilmu dapat dipahami dari dua aspek:
1.      Al-Qur’an menyuruh manusia menggunakan akal.
Ratio (akal) adalah merupakan salah satu dari perangkat anugerah (hidayah) yang diberikan
oleh Tuhan kepada manusia.
2.      Al-Qur’an menyuruh manusia meneliti alam semesta.
alam semesta (universum, kosmos, al-kaun) merupakan realitas yang dihadapi manusia yang
sampai kini baru sebagian kecil yang dapat diketahui dan diungkap oleh manusia. Bagian
terbesar masih merupakan suatu misteri, yang tidak dikenal oleh manusia betapapun
kemajuan yang telah mereka capai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
E.     Cara memperoleh pengetahuan
Dalam filsafat ilmu cara mendapatkan pengetahuan ilmu dinamakan epistimologi.
Dalam epistimologi Islam, pengetahuan diperoleh melalui dua cara yaitu: melalui usaha
manusia dan yang diberikan oleh Allah SWT.
Pengetahuan yang diperoleh melalui manusia usaha manusia, ada 4 jenisnya yaitu:
1.      Pengetahuan empiris yang diperoleh melalui indera.
2.      Pengetahuan sains yang diperoleh melalui indera dan akal.
3.      Pengetahuan filsafat yang diperoleh melalui akal.
4.      Pengetahuan intuisi yang diperoleh melalui qalb (hati).
Sedangkan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT, berupa:
1.      Wahyu yang disampaikan kepada para Rasul.
2.      Ilham yang diterima oleh akal manusia
3.      Hidayah yang diterima oleh qalb manusia. 
F.      Sumber dan Fungsi Pengetahuan
Sumber utama dari ikmu pengetahuan dalam Islam adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an
adalah kebenaran yang langsung disampaikan Tuhan kepada salah seorang hamba-Nya, yang
dipilih-Nya, yang di sebut Rasul atau Nabi.
Al-Qur’an disamping mengandung petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunan yang
bersifat ubudiyah dan akhlaqiyah (moral), juga mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat
dipedomani manusia untuk  mengolah dan menyelidiki alam semesta, atau untuk mengerti
gejala-gejala dan hakekat hidup yang dihadapinya dari masa ke masa. Oleh karena itu,
manusia berkewajiban untuk mencari dan menggali dari prinsip-prinsip dasar dalam Al-
Qur’an dengan menggunakan kemampuan-kemampuan ijtihad dan daya analisis yang
terdapat dalam diri manusia. Al-Qur’an merupakan ayat Allah beriringan dan berdampingan
dengan Sunnatullah yang menjadi dasar pergerakan dan perjalanan alam ini. Sehingga antara
alam dan Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling
menafsirkan dan saling memberi petunjuk kepada manusia mengenai jalan yang harus
ditempuh untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi.
Adapun fungsi ilmu pengetahuan secara umum adalah : untuk berubudiyah kepada
Allah, untuk dapat membedakan antara hak dan yag bathil, yang salah dan dan yang benar,
serta sebagai modal untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Rasulullah SAW telah bersabda:
Artinya: “Siapa yang bermaksud untuk urusan di dunia maka harus dengan ilmu, siapa yang
bermaksud untuk keduanya harus dengan ilmu”. (HR. Muslim)
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Kemampuan manusia dalam mengembangkan kemampuan tidak lepas dari kemampuan
menalar. Manusia satu-satunya yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh.
Pengetahuan adalah suatu hasil dari pengamatan dan juga pengalaman yang dirasakan oleh
panca indera, sehingga kita menjadi  tahu, dan bagian dari pengetahuan adalah ilmu. Ilmu
adalah hasil dari proses berfikir dengan pertanyaan “bagaimana hal itu bisa terjadi?”, dengan
pertanyaan itu maka manusia akan berusaha untuk melakukan sebuah penelitian sehingga
akan mendapatkan kesimpulan, ilmu adalah pengetahuan yang didapat melalui proses
tertentu.

DAFTAR RUJUKAN
1. Ramayulis dan Nizar, Samsul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
2. Hasan, Ahmad. 1992. Khilafah Fi Al-Ardh Pembahasan Kontekstual. Jakarta: CV Cakrawala
Persada.
3. Thoib, Ismail. Meretas Filsafat Pendidikan Islam.

Anda mungkin juga menyukai