Anda di halaman 1dari 16

Kerajinan Tekstil Tradisional

Indonesia
By :
PUTRI DAHLIA RAHIM, S.Pd
Karya kerajinan tekstil tradisional Indonesia, secara fungsi
dapat dibagi sebagai berikut:
1. Sebagai pemenuhan kebutuhan sandang yang melindungi
tubuh, seperti kain panjang, sarung dan baju daerah
2. Sebagian alat bantu atau alat rumah tangga, seperti kain
gendongan bayi dan untuk membawa barang.
3. Sebagai alat ritual (busana khusus ritual tradisi tertentu)
contohnya
a. Kain Tenun Ulos
b. Kain pembungkus kafan batik motif doa
c. Kain ikat celup Indonesia Timur (Penutup Jenazah)
d. Kain Tapis untuk pernikahan masyarakat daerah Lampung.
e. Kain Cepuk untuk ritual adat dipulau Nusa Penida
f. Kain Songket untuk Pernikahan dan Khitanan
g. Kain Poleng dari Bali untuk acara ruwatan (Penyucian)
Kain-kain tradisional di wilayah kepulauan Indonesia ini pada
awalnya merupakan alat tukar/ barter yang dibawa oleh
pedagang pendatang dengan penduduk asli saat membeli hasil
bumi dan rempah-rempah di Indonesia.
Sekitar abad ke-15 masehi , pedagang muslim Arab dan India
melakukan kontak dagang dengan mendatangi pulau Jawa dan
Sumatera. Pengaruh Islam secara langsung dapat dilihat pada
tekstil Indonesia.
Beberap batik yang dibuat di Jambi dan Palembang di
Sumatera, serta di Utara Jawa, dibuat dengan menggunkan
ayat-ayat yang berasal dari bahasa Arab Al Qur’an.
Gambar 1.4 Motif batik dengan tulisan atau motif budaya Islam Arab
di Indonesia juga terdapat kain sarung kotak-kotak dan polos
yang banyak digunakan di Semenanjung Arab, Timur Laut
Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Kepulauan Pasifik.
Pada abad ke-13 pedagang Gujarat memperkenalkan Patola,
yaitu kain Tenun Ikat ganda dari Benang Sutra yang
merupakan Busana Gujarat, Barat Laut India.
Proses pembuatan kain Patola sangat rumit sehingga di India
kain ini digunakan dalam berbagai upacara yang berhubungan
dengan kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan dan
kematian juga sebagai penolak Bala.
Gambar 1.5 Kain Tenun Patola dari Gujarat
Melalui perdagangan dengan bangsa Gujarat, keberadaan
kain Patola tersebar luas di kepulauan Nusantara. Kain
Patola umumnya hanya dimiliki oleh kalangan terbatas.
Penduduk setempat yang telah memiliki keterampilan
menenun pun mencoba mereproduksi kain yang sangat
berharga tersebut dengan tenun ikat pakan.
Di Maluku, kain ini sangat dihargai dan dikenakan dengan
cara dililitkan di pinggang atau leher.
Para penenun di Nusa Tenggara Timur mengembangkan
corak kain tenun yang dipengaruhi oleh corak yang terdapat
pada kain Patola, dengan corak yang berbeda untuk raja,
pejabat, dan kepala adat dalam jumlah yang sangat terbatas
dan hanya dikenakan pada upacara–upacara adat.
Kain Patola dari Lio NTT ini ada yang dibuat sepanjang 4
meter yang disebut katipa berfungsi sebagai penutup
jenazah.
Gambar 1.6 Kain Tenun Sinde Lio
Motif Patola juga dikembangkan menjadi kain Cinde di daerah
Jawa Tengah.
Kain Cinde tidak dibuat dengan teknik tenun ikat ganda, tetapi
dibuat dengan teknik direct print, cap atau sablon.
Kain ini digunakan sebagai celana dan kain panjang untuk
upacara adat, ikat pinggang untuk pernikahan, serta kemben
dan selendang untuk menari.
Kain serupa terdapat pula di Palembang, disebut kain
Sembagi.
Sembagi yang berwarna terang digunakan pada upacara mandi
pengantin dan hiasan dinding pada upacara adat.
Kain Sembagi yang berwarna gelap digunakan untuk penutup
jenazah
Motif Patola memengaruhi motif batik Jlamprang
yang berwarna cerah yang berkembang di
Pekalongan, dan motif Nitik yang berkembang di
Yogyakarta dan Surakarta yang berwarna sogan
(kecokelatan), indigo (biru), kuning dan putih.
Corak Patola juga berkembang di Pontianak,
Gorontalo, dan kain tenun Bentenan di Menado.
Gambar 1.8 Motif batik jlamprang dan nitik
Kain dengan teknik tenun ikat ganda dibuat di Desa Tenganan
Pegeringsingan di Bali.
Kain sakral tersebut dikenal dengan nama kain Gringsing yang
artinya bersinar.
Teknik tenun ikat ganda hanya dibuat di tiga daerah di dunia,
yaitu di Desa Tenganan Bali, Indonesia (kain Gringsing), di
Kepulauan Okinawa, Jepang (tate-yoko gasuri) dan Gujarat
India (kain Patola).
Teknik tenun ikat ganda adalah tenun yang kedua arah
benangnya, baik benang pada lungsin maupun pakan diwarnai
dengan teknik rintang warna untuk membentuk motif tertentu
Gambar 1.9 Kain Tenun Gringsing
Pada tekstil tradisional, selain untuk memenuhi
kebutuhan sandang, juga memiliki makna simbolis di
balik fungsi utamanya.
Beberapa kain tradisional Indonesia dibuat untuk
memenuhi keinginan penggunanya untuk menunjukkan
status sosial maupun kedudukannya dalam masyarakat
melalui simbol-simbol.
Ada pula kain tradisional Indonesia yang dikerjakan
dengan melantunkan doa dan menghiasinya dengan
penggalan kata maupun kalimat doa sebagai ragam
hiasnya.
Tujuannya, agar yang mengenakan kain tersebut diberi
kesehatan, keselamatan,dan dilindungi dari
marabahaya.

Anda mungkin juga menyukai