Anda di halaman 1dari 8

DINAMIKA FENOMENA COWORKING (CO-WORKING)

SPACE DALAM PERUBAHAN SOSIAL PADA


MASYARAKAT URBAN
SULASRAR
Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar
E-mail: sulasrar02@gmail.com

Abstract
Co-working spaces have become a popular phenomenon among modern urban workers as
an alternative flexible and productive workplace. This article discusses the dynamics of
the co-working space phenomenon and its impact on social change in urban society. The
research is conducted through a literature analysis which shows that co-working spaces
can enhance the creativity, productivity, and social networks of urban workers. However,
the concept of co-working spaces also provides challenges in terms of changes in work
culture and workspace management. This article is expected to provide insights for
readers in understanding the dynamics of co-working spaces and their implications for
social change in urban communities.

Abstrak
Co-working space telah menjadi fenomena populer di kalangan pekerja urban modern
sebagai alternatif tempat kerja yang fleksibel dan produktif. Artikel ini membahas
dinamika fenomena co-working space dan dampaknya pada perubahan sosial di
masyarakat urban. Penelitian ini dilakukan melalui analisis literatur yang dimana
menunjukkan bahwa co-working space dapat meningkatkan kreativitas, produktivitas, dan
jaringan sosial para pekerja urban. Namun, konsep co-working space juga memberikan
tantangan dalam hal perubahan budaya kerja dan pengelolaan ruang kerja. Artikel ini
diharapkan dapat memberikan wawasan bagi pembaca dalam memahami dinamika co-
working space dan implikasinya terhadap perubahan sosial di masyarakat urban.

Kata Kunci: perubahan sosial, co-working, Ruang Publik, masyarakat urban

Pendahuluan
Co-working space atau tempat kerja bersama merupakan fenomena yang semakin
populer di kalangan masyarakat urban saat ini. Dalam era digitalisasi dan globalisasi, pola
kerja tradisional yang mengharuskan seseorang bekerja di kantor secara fisik semakin
berkurang. Co-working space menjadi solusi alternatif bagi para pekerja yang menginginkan
lingkungan kerja yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Namun, dinamika fenomena co-working space sendiri terus berubah seiring waktu dan
berkembang sesuai dengan kebutuhan pasar. Berbagai inovasi dan teknologi baru telah
memperluas cakupan co-working space dan memberikan pengalaman kerja yang lebih
beragam. Selain itu, perubahan pola kerja yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 juga
mempercepat pertumbuhan co-working space, karena banyak perusahaan yang memilih untuk
mengadopsi model kerja jarak jauh.
Dalam konteks masyarakat urban, co-working space tidak hanya menjadi tempat kerja
tetapi juga menjadi pusat kolaborasi dan jejaring. Semakin banyak orang yang bergabung
dengan co-working space, semakin banyak peluang dan potensi yang dapat dimanfaatkan.
Oleh karena itu, penelitian tentang dinamika fenomena co-working space dan perubahan pola
kerja yang terjadi pada masyarakat urban sangat penting untuk memahami perubahan sosial
dan ekonomi yang sedang terjadi di era digital ini.

Tinjauan Pustaka
a. Pengertian Masyarakat Urban
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), urban diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan kota, bersifat kekotaan, atau orang yang pindah dari desa ke kota.
Sementara itu, dilihat dari asoek dinamikanya, maka masyarakat urban adalah masyarakat
yang lahir dan direproduksi oleh proses modernitas dalam dinamika institusi modern.
Anthony Gidden membayangkan masyarakat urban sebagai tipikal manusia yang hidup pada
dekade terakhir abd ke-20 yang memiliki kesempatan luas untuk menyebar ke berbagai
belahan dunia menikmati eksistensinya. Bahkan ia membayangkan masyarakat urban yang
modern tersebut, memiliki sisi-sisi mengerikan yang menurutnya adalah fenomena nyata
dewasa ini (Ahmadin, 2021).

b. Ciri-ciri Struktur Sosial Masyarakat Urban

Menurut Daldjoeni, ciri-ciri struktur sosial kota terdiri atas beberapa gejala sebagaimana
diuraikan berikut:

1. Heterogenitas Sosial, yakni kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan-


persaingan dalam pemanfaatan ruang. Orang dalam bertindak memilih-milih mana yang
paling menguntungkan baginya, sehingga akhirnya tercapai spesialisasi. Kota juga
merupakan melting pot bagi aneka suku maupun ras.
2. Hubungan sekunder, yakni pengenalan dengan orang lain serba terbatas pada bidang hidup
tertentu. Hal ini disebabkan antara lain karena tempat tinggal orang juga cukup terpencar
dan saling mengenalnya hanya menurut perhatian antar pihak.
3. Kontrol (pengawasan sekunder), yakni di kota orang tidak mempedulikan perilaku
peribadi sesamanya. Meski ada kontrol sosial, tetapi ini sifatnya non pribadi; asal tidak
merugikan bagi umum, tindakan dapat ditoleransikan.
4. Toleransi sosial, yakni orang-orang kota dapat berdekatan secara fisik, tetapi secara sosial
berjauhan.
5. Mobilitas sosial, yakni perubahan status sosial seseorang. Orang menginginkan kenaikan
dalam jenjang kemasyarakatan (social climbing). Dalam kehidupan kota segalanya
diprofesionalkan, dan melalui profesi seseorang dapat naik posisinya.
6. Ikatan sukarela (voluntary association), yakni secara sukarela orang menggabungkan diri
ke dalam perkumpulan yang disukainya.
7. Individualisasi, yakni merupakan akibat dari sejenis atomisasi dimana orang dapat
memutuskan sesuatu secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain.
8. Segragasi keruangan (spatial segragation), yakni akibat kompetisi ruang yang terjadi pola
sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosio-ekonomis.
Segragasi ini tampak pada munculnya wilayah-wilayah sosial tertentu seperti, kaum Cina,
Arab, kaum elit, gelandangan, pelacuran, dan sebagainya (Ahmadin, 2013).
Bila mengacu pada uraian mengenai struktur sosial tersebut, maka beberapa hal menarik
dikaitkan dengan kajian mengenai perubahan struktur sosial masyarakat di kota Makassar.
Beberapa realitas yang akan diamati seperti: (1) heterogenitas sosial yang menyebabkan
terjadinya perebutan pemanfaatan ruang, (2) hubungan sekunder yang mengaburkan ikatan
etnik, (3) kedekatan secara fisik dan berjauhan secara sosial membutuhkan proses untuk
menjadi sebuah komunitas, (4) ikatan suka rela yang memberi peluang atas seseorang untuk
bergabung dengan kelompok manapun, (5) Segragasi keruangan (spatial segragation) akibat
kompetisi ruang, melahirkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosio-
ekonomis serta wilayah-wilayah sosial tertentu (Ahmadin, 2010).

c. Definisi co-working space dan sejarah singkatnya

Co-working space atau ruang kerja bersama adalah lingkungan kerja (kantor) yang
digunakan oleh orang-orang yang bekerja sendiri atau bekerja untuk perusahaan yang
berbeda-beda. Co-working space merupakan penyewaan ruang kerja yang digunakan secara
bersama-sama dan terbuka dengan pengguna lainnya dengan penggunaan waktu yang
fleksibel. Co-working space digunakan oleh orang-orang dengan latar yang berbeda-beda
seperti; enterpreneur, freelancer, startup, asosiasi, konsultan, investor, artis, peneliti, pelajar,
dan lain sebagainya (Muchlisin 2021). Kemudian Co-working space adalah lingkungan
kantor bersama untuk para profesional independen ( Pohler, 2012 ; Spinuzzi, 2012 ) dan
terjadi peningkatan pesat dalam perkembangannya.

Berbagai profesional, terutama yang independen seperti pekerja lepas atau pekerja jarak
jauh, menggunakan ruang ini sebagai tempat usaha mereka ( Pohler, 2012 ). Sebagian besar
profesional independen ini bekerja dari rumah sebelum menyewa tempat kerja di coworking
space, di mana mereka mungkin merasa terisolasi, di antara masalah lainnya ( Spinuzzi,
2012). Dengan demikian, ruang kerja bersama merupakan salah satu kemungkinan
penyangga terhadap isolasi dengan menyediakan, selain infrastruktur bisnis, kesempatan
untuk interaksi sosial.

Menurut Formica 2017 menyajikan bukti tentang bottegas abad ke-15 , atau bengkel
yang tumbuh di Florence di mana seniman ahli, arsitek, insinyur, ahli anatomi, dan pengrajin
terampil lainnya mendukung dan membimbing rekan-rekan yang lebih muda dan berbakat.
Bottegas memanfaatkan tiga alat utama untuk mengembangkan bakat baru. Pertama, mereka
memungkinkan individu-individu berbakat untuk menggunakan lokakarya yang lengkap dan
berbagi untuk mengubah ide menjadi tindakan. Kedua, mereka secara aktif memupuk dialog
antar pekerja terampil untuk membantu mereka memperluas jaringan. Terakhir, mereka
memfasilitasi konvergensi seni dan sains dengan menciptakan pendekatan holistik terhadap
kreativitas. Maju cepat ke abad kesembilan belas, ketika ruang kerja kolaboratif serupa
berkembang di seluruh Prancis, pengrajin berpengalaman mendirikan dan mengelola studio
bersama untuk mendukung komunitas lokal seniman berbakat.

Orel dan Dvouletý 2020 melaporkan bahwa alat utama untuk membantu individu yang
terampil adalah penggunaan ruang fisik bersama sehari-hari. Seniman senior telah berperan
sebagai mediator untuk mempercepat interaksi informal, dan memupuk pengembangan
jaringan pendukung, mengubah studio ini menjadi pusat kreatif awal. Selama abad
berikutnya, ruang kerja ini secara bertahap mulai terspesialisasi, menampung komunitas
homogen tempat pengetahuan dan sumber daya lainnya dapat dibagikan.

Ruang kerja bersama kontemporer muncul pada awal abad kedua puluh satu.
Schraubenfabrik, pusat komunitas pengusaha, dibuka di Wina, Austria, pada tahun 2002
(Makaklı et al. 2019 ). Tiga tahun kemudian, Spiral Muse, diyakini sebagai salah satu co-
working space modern paling awal, membuka pintunya di dalam rumah kolektif yang
berbasis di San Francisco dengan nama yang sama (Spinuzzi 2012 ; Merkel 2015 ) . Konsep
tersebut mulai berkembang biak, dan co-working dengan cepat mendapatkan popularitas pada
dekade berikutnya, sebagian karena perubahan sosial ekonomi yang mendukung
pertumbuhannya (Schmidt et al. 2014 ; Cabral dan Winden 2016 ). Pada akhir 2019,
diperkirakan ada 22.400 ruang kerja semacam itu di seluruh dunia (Mazareanu 2019).

Di Indonesia sendiri konsep co-working space sudah ada sejak 2010 di Bandung sekaligus
Pioneer co-working space di Indonesia, konsep co-working space sendiri bermula ketika
owner hackerspace Bandung merasakan kegelisahan yang dimana pada tahun 2009 ia kerap
memindahkan pekerjaannya ke luar rumah misalnya kafe maupun warung kopi. Namun apa
yang menginspirasi nya yaitu ketika ia sedang di Singapura yang dimana ia terinspirasi dari
salah satu co-working space yang dinilai cukup sukses disana yang kemudian terlahirlah co-
working space pertama di Indonesia. Dan kemudian konsep co-working mulai muncul satu
persatu di berbagai kota, walaupun tidak semua sukses dan kebanyakan berakhir tutup.

d. Perubahan sosial

Dalam pengembangan Teori perubahan sosial oleh para ahli dengan aksentuasi yang
memiliki sudut pandangnya masing-masing. Terlepas dari Perbedaan pandangannya, yang
jelas, para ahli sepakat bahwa perubahan sosial Terkait dengan masyarakat dan kebudayaan
serta dinamika dari keduanya. Kemudian Ogburn Memberikan pengertian tentang perubahan-
perubahan sosial itu. Dia Mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial
meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang non-material. Yang
Ditekankannya adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap Unsur-
unsur non-material (Marius, 2006).

Dengan pengertian ini sebenarnya Ogburn mau mengatakan bahwa perubahan-perubahan


sosial terkait dengan unsur-unsur fisik dan rohaniah manusia akibat Pertautannya dengan
dinamika manusia sebagai suatu totalitas. Kemudian Perubahan pola pikir serta pola sikap
dan pola tingkah laku manusia lebih besar dipengaruhi oleh perubahan-perubahan
kebudayaan yang Bersifat material. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, geografis, atau
biologis Menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial
Lainnya (pola pikir, pola sikap, dan pola tingkah laku).

Pengertian tentang perubahan sosial juga dikemukakan oleh Gillin dan Gillin. Kedua ahli
ini mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup
yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi Geografis, kebudayaan material,
komposisi penduduk, ideologi maupun karena Adanya difusi ataupun penemuan-penemuan
baru dalam masyarakat (Marius, 2006). Seperti apa yang telah diungkapkan oleh Gillin dan
Gillin ini lebih merujuk pada Dinamika masyarakat dan reaksinya terhadap lingkungan
sosialnya baik Menyangkut tentang cara ia hidup, kondisi alam, cara ia berkebudayaan,
dinamika Kependudukan maupun filsafat hidup yang dianutnya setelah ia menemukan halhal
baru dalam kehidupannya. Pendapat Gillin dan Gillin ini tidak berbeda jauh Dengan pendapat
Koenig yang mengatakan bahwa perubahan sosial (Marius, 2006).

Pembahasan
Peran teknologi semakin terasa dan kemajuan di berbagai bidang bermunculan dan
berdampak pada gaya hidup masyarakat (Alam, JR, Sajid, A., Thalib, R., & Niaz, M. (2014).
Dalam aktivitas masyarakat urban-pun menjadi lebih cepat, dan fleksibel, serta melampaui
batasan ruang Sehingga memicu sejumlah pekerjaan yang dimana keberadaan kantor serta
ruang kerja secara fisik yang dinilai tidak dibutuhkan, yang dimana hal tersebut diakibatkan
oleh kehadiran ruang digital yang mampu menggantikan peranan kantor konvensional, dalam
hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola dalam bekerja, dengan mengadopsi sistem
pekerjaan yang bersifat kolaboratif berdasarkan knowledge sharing dalam memunculkan ide -
ide kreatif dan salah satunya ialah dengan kehadiran co-working space (Ardianti dan
Wijayanti, 2019).

Menurut (Suryono 2019) Dalam bukunya yang berjudul teori dan strategi sosial
menyebutkan bahwa Adanya gerakan sosial baru ( New social movement) yang didorong
oleh anggapan telah terjadinya social failure atau kegagalan sosial dalam sebuah kelompok
sosial, kemudian gerakan ini juga bisa juga di dorong oleh rasa tidak puas dan keresahan serta
kegelisahan baik itu berasal dari individu maupun kelompok sosial itu sendiri. Namun selain
itu terdapat juga faktor pendorong lainnya yaitu Adanya peluang untuk membentuk suatu
institusi baru atau suatu tatanan baru, yang dianggap mampu memenuhi harapan dan
keinginan serta Mampu mengatasi rasa tidak puas, cemas dan gelisah yang muncul
sebelumnya. Kemudian dalam buku yang sama ia kemudian juga turut mengemukakan
bahwa Perubahan untuk Tujuan Penyempurnaan (Amandemen) Perubahan untuk tujuan
penyempurnaan salah satunya adalah per- ubahan proses (tidak mendasar). Perubahan proses
atau sering kali disebut dengan perubahan tidak mendasar, merupakan perubahan yang
sifatnya penyempurnaan untuk mengatasi keadaan tertentu. Artinya, perubahan tersebut
hanya menyempurnakan perubahan yang sebelumnya sudah ada. Yang dimana jika kita
melihat dalam fenomena co-working di masyarakat urban sendiri kita bisa mengatakan
bahwa fenomena co-working sendiri merupakan bentuk perubahan untuk menyempurnakan
apa yang sudah ada namun dikondisikan dengan kebutuhan.

Menurut data global co-working survei (GCS) Permintaan berasal dari organisasi dan
perusahaan besar yang ingin mendesentralisasi tenaga kerja mereka ke kantor cabang yang
lebih kecil dan tim jarak jauh ke kantor fleksibel pribadi terutama oleh kantor swasta yang
dimana menurut data yang mereka ambil dari Februari-Mei 2020 dari hasil analisis 3.000
permintaan, lebih condong ke kantor swasta dengan durasi kontrak jangka panjang dengan
kapasitas lebih tinggi disertai meja. Kemudian tercatat juga bahwa Amerika serikat
memimpin dengan jumlah co-working space 3.700 ruang, kemudian India dengan 2.197,
serta ketika ditempati oleh Inggris dengan 1.044 ruang. Menariknya adalah Indonesia sendiri
menempati posisi 16 dengan 290 ruang. Namun kendati terdapat peningkatan, namun
fenomena co-working space sendiri tidak lepas dari kritik seperti yang dapat dilihat Dalam
studi penelitiant yang menyebutkan bahwa terdapat perubahan pola interaksi sosial diamana
alih" berbicara dan berinteraksi secara fisik mayoritas dari mereka malah lebih condong
menggunakan surel (email) dalam komunikasi nya (Bernstein dan sorban, 2018). Saat orang
lain berdekatan secara fisik, lebih mudah untuk menyadarinya (Belloti 1996). Yang dimana
dapat dikatakan tujuan awal co-working cukup jauh di lapangan sendiri kurang maksimal
dalam artian interaksi yang di inginkan di awal tidak signifikan dan lebih mengarah ke virtual
working dibanding co-working. Namun disisi lain juga bahwa fenomena co-working ikut
menyebabkan perubahan sosial baik dari tingkah laku dan pola sosial lainya, yang dimana
dalam penelitian yang di oleh Bernstein dan sorban pada 2018, yang dimana ikut
memperkuat hal ini, terutama dalam perubahan interaksi pengguna yang memperlihatkan
kecenderungan pemakaian surat elektronik lebih dominan.

Menurut Muhammad, 2017 bahwa perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di


kota-kota karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar. Dan jika Masyarakat
kota, yang merupakan masyarakat dinamis yang mempunyai tingkat Perubahan yang sangat
tinggi karena adanya kontak sosial dengan masyarakat Luar. Masyarakat perkotaan sangat
terbuka pada hal- hal baru yang datang dari Luar sehingga sangat mudah dalam menerima
perubahan. Ketersediaan fasilitas Dalam masyarakat perkotaan membuat mereka lebih
bersifat hedonis dan Menyukai suatu yang ekspres. Masyarakat kota yang cendrung
mempunyai Pemikiran yang rasional, impersonal, dengan mempertimbangkan manfaat yang
Diperoleh ketika menjalin suatu hubungan dan memutuskan sesuatu (ameliah 2022)

Penutup

bahwa tema dinamika co-working space pada perubahan sosial dalam masyarakat
urban dapat terkait dengan representasi budaya, reproduksi ruang publik, dan konsekuensi
sosial budaya. Representasi budaya dapat merujuk pada cara di mana nilai-nilai, norma-
norma, dan simbol-simbol budaya ditampilkan dan diwakili dalam co-working space. Hal ini
dapat tercermin dalam desain interior, kebijakan operasional, dan aktivitas yang dilakukan di
tempat kerja bersama tersebut. Sementara itu, bentuk-bentuk reproduksi ruang publik seperti
co-working space dapat memengaruhi dan membentuk cara-cara bagaimana orang bekerja
dan berinteraksi dalam masyarakat urban. Hal ini dapat mempengaruhi dinamika kerja dan
budaya di lingkungan sekitar dan hal tersebut dapat berupa perubahan dalam nilai-nilai dan
norma-norma yang dianut oleh masyarakat urban, seperti meningkatnya nilai kerja sama dan
kolaborasi dalam lingkungan kerja. Co-working space juga dapat menjadi tempat bagi orang-
orang dari berbagai latar belakang dan budaya untuk bertemu dan berinteraksi, sehingga
dapat meningkatkan toleransi dan pemahaman antar budaya. Dalam hal ini, co-working space
dapat memainkan peran penting dalam mengubah pola kerja dan dinamika sosial budaya
dalam masyarakat urban. Melalui representasi budaya yang tepat dan lingkungan kerja yang
inklusif, co-working space dapat menciptakan ruang yang merangsang kreativitas dan inovasi
dalam bekerja.

Referensi
Ahmadin, A. (2010). Lonceng Kematian Komunitas Urban: Telaah Sosiologi Pusat Pemukiman Etnik
di Makassar. Predestinasi: Jurnal Penelitian, Gagasan, Sosiologi, Dan Pengajaran, 3(2), 153–
162.
Ahmadin, A. (2013). DIALEKTIKA RUANG DAN PROSES PRODUKSI SOSIAL (Studi Sosiologi
Pola Pemukiman Etnik di Makassar). Universitas Hasanuddin.
Ahmadin, A. (2021). Konstruksi Sosial-Budaya dalam Pembangunan Ruang Publik di Kota Makassar:
Menatap Pantai Losari Dulu, Kini, dan Masa Mendatang. Jurnal Kajian Sosial Dan Budaya:
Tebar Science, 5(1), 14–20.
Bernstein, E. S., & Turban, S. (2018a). The impact of the ‘open’ workspace on human collaboration.
Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 373(1753),
20170239. https://doi.org/10.1098/rstb.2017.0239
Bliss, L. (2018, Februari 5). How WeWork Has Perfectly Captured the Millennial Id. The Atlantic.
https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2018/03/wework-the-perfect-manifestation-of-
the-millennial-id/550922/
Gerdenitsch, C., Scheel, T. E., Andorfer, J., & Korunka, C. (2016). Coworking Spaces: A Source of
Social Support for Independent Professionals. Frontiers in Psychology, 7.
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2016.00581
Robelski, S., Keller, H., Harth, V., & Mache, S. (2019). Coworking Spaces: The Better Home
Office? A Psychosocial and Health-Related Perspective on an Emerging Work Environment.
International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(13), 2379.
https://doi.org/10.3390/ijerph16132379
Bellotti V, Bly S. 1996Walking away from the desktop computer: distributed collaboration and
mobility in a product design team. In Proc. ACM Conf. Computer Supported Cooperative
Work, Boston, MA, 6–20 November 1996 (CSCW ‘’96)(ed. MS Ackerman), pp. 209–218.
New York, NY: ACM Press. Google Scholar
Spinuzzi, C. (2012). Working Alone Together: Coworking as Emergent Collaborative Activity.
Journal of Business and Technical Communication, 26(4), 399–441.
https://doi.org/10.1177/1050651912444070
Orel, M., & Dvouletý, O. (2020). Transformative Changes and Developments of the Coworking
Model: A Narrative Review. Dalam V. Ratten (Ed.), Technological Progress, Inequality and
Entrepreneurship (hlm. 9–27). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-
3-030-26245-7_2
Ayu, . A. P., & Wijayanti, L. . (2021). Coworking Space: Pergeseran Makna Ruang dan Pola Kerja
Masyarakat Urban di Jakarta. JSRW (Jurnal Senirupa Warna), 7(2), 107–125.
https://doi.org/10.36806/.v7i2.111
Allam, Z. (2020). On Culture, Technology and Global Cities. Dalam Z. Allam, Cities and the Digital
Revolution (hlm. 107–124). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-
030-29800-5_5
MariusJ. A. (2006). Perubahan Sosial. Jurnal Penyuluhan Jakarta: Jurnal Penyuluhan Kajian Analitik
Institut Pertanian Bogor. https://doi.org/10.25015/penyuluhan.v2i2.2190
Ameliah, DP (2022). Perubahan Sosial Masyarakat Perkotaan. https://doi.org/10.31219/osf.io/2wxpn
Muhammad, N. (2017). Resistensi Masyarakat Urban dan Masyarakat Tradisional Dalam Menyikapi
Perubahan Sosial. Substantia, 19(2), 149–168.

Anda mungkin juga menyukai