Anda di halaman 1dari 13

PSIKOLOGI KESEHATAN DAN SOSIOLOGI KESEHATAN

“Internalisasi Peran Gender Dan Dampaknya Pada Perempuan”

Disusun Oleh :

Fitri Ramdhani
1910104130

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2020
KASUS DENGAN TEMA INTERNALISASI PERAN GENDER DAN
DAMPAKNYA PADA PEREMPUAN
“Perempuan Dengan Peran Ganda”

IDENTIFIKASI KASUS
A. PROFIL IBU
Nama : Ny. MJ
Tempat Tanggal Lahir : Kendari, 22 Oktober 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : Sarjana Perikanan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga dan Karyawati Perusahaan
Swasta
Alamat : Kota Makassar, Prov. Sulawesi Selatan

B. TUJUAN MEMPELAJARI KASUS


Gender merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku) antara
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan
yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (bukan
kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Dalam perspektif
gender, maskulin maupun feminism sebenarnya merupakan pilihan. Artinya
pria dan wanita dapat secara bebas memilih penampilannya sendiri sesuai
dengan yang disukainya. Tidak ada kewajiban bahwa pria harus menampilkan
dirinya sebagai sosok maskulin, dan feminism bagi perempuan. Sifat-sifat
pada masing-masing gender dapat dipertukarkan satu dengan lainnya dengan
harapan tidak melampaui kondrat mereka sebagai laki-laki maupun
perempuan. Namun kenyataan di masyarakat memiliki pandangan bahwa
perempuan adalah sosok yang harus bersifat feminis dan laki-laki harus
bersifat maskulin sehingga diidentikkan dengan segala hal yang dianggap sisi
feminis maupun maskulin sesuai konsep masyarakat pada umumnya dimana
perempuan adalah sosok yang lemah, tidak rasional dibandingkan laki-laki
tidak pantas memiliki karir yang setara dengan laki-laki sehingga anggapan
bahwa segala pekerjaan rumah yang dianggap sepele dibebankan pada
perempuan masih banyak terjadi di masyarakat.
Melalui kasus ini, diharapkan dapat setidaknya memberikan gambaran
bahwa seorang perempuan tidak hanya terbatas memiliki satu pekerjaan yaitu
sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), melainkan juga dapat mengambil peran
dalam membantu tercapainya kebutuhan primer maupun sekunder dalam
rumah tangganya dengan melakukan peran ganda. Peran suami sebagai
pemimpin rumah tangga dan yang mencari nafkah tetap tidak tergantikan
walau sang istri memiliki peran ganda. Meskipun dalam menjalani perannya
yang lebih dari satu terlihat hebat, akan tetapi masalah yang timbul karena
peran tersebut juga pasti datang silih berganti, sehingga dibutuhkan
pengendalian psikis yang tepat baik dari sang perempuan maupun laki-laki di
dalam kehidupan tumah tangga.
Oleh karena itu, dengan kasus ini semoga dapat memberikan gambaran
tentang seorang perempuan yang berani mengambil peran ganda yang
tentunya memiliki tekanan yang lebih besar dalam rumah tangga, namun
semuanya dapat dijalani dengan baik tergantung setiap individu
menanggapinya.

C. LATAR BELAKANG KASUS


Seorang perempuan bernama ny. MJ yang merupakan ibu rumah tangga
serta pegawai di salah satu perusahaan swasta yang berada di kota Makassar,
dan memiliki suami yang juga bekerja di perusahaan swasta yang berbeda.
Mereka memiliki anak satu yang tentunya membutuhkan biaya dalam
membesarkan anaknya dengan baik. Beliau pernah bercerita bahwa karena
kebutuhan di kota besar juga besar, belum lagi dia memiliki tagihan kredit
setiap bulannya. Faktanya, penghasilan ny. MJ lebih besar dibandingkan
suami.
Suatu ketika ibu tersebut bercerita bahwa suaminya merupakan tipe
individu yang tidak tau menau soal keadaan keuangan dan beberapa kali
meminta sesuatu tanpa memikirkan keadaan keuangan, karena sang suami
berfikir itu adalah tugas istri sebagai ibu rumah tangga yang harus mengelola
keuangan dengan baik. Sebenarnya beberapa kali sang istri ingin resign dari
pekerjaannya karena ingin sepenuhnya fokus untuk mengasuh anaknya, akan
tetapi dengan kondisi suami yang hanya mengharapkan penghasilan tiap
bulannya dari tempatnya bekerja, ny. MJ mengurungkan niatnya. Dalam
situasi seperti ini, sebagai seorang perempuan tentunya sangat berat dan bisa
manjadi penyakit psikis didirinya jika tidak bisa mengatur emosi dengan baik.
Menyadari kondisi keuangan keluarganya, dia tetap bertahan dengan
pekerjaannya dan juga mulai merambah ke dunia bisnis online kecil-kecilan.
Ny. MJ melakukan tiga pekerjaan sekaligus tiap harinya, dia bertahan untuk
membantu suami dalam masalah keuangan meskipun terkadang sang suami
kurang memberikan dukungan dan dorongan yang positif kepada sang istri.
Masalah ny. MJ yang bersedia melakukan peran ganda demi mambantu
sang suami untuk mencukupi nafkah meskipun itu bukan merupakan
kewajibannya, namun dengan sikap berani dan bijaksana seorang perempuan
mampu turut berperan aktif dalam rumah tangga meskipun tetap yang menjadi
pemimpin dalam keluarga adalah suami. Tidak sedikit suami yang merasa
terbantu dan makin sukses karena adanya andil sang perempuan dalam
berumah tangga. Sehingga pada zaman sekarang perempuan tidak hanya
dianggap sebagai kaum feminism yang lemah dan tidak bisa apa-apa selain
bekerja di dapur, akan tetapi wanita juga dapat mengambil peran aktif di
dalam keluarga dalam hal ini seorang istri.
Isu yang masih kental beredar di masyarakat dan menjadi topic utama
perjuangan kaum feminis hingga sekarang adalah adanya bad labeling yang
menyatakan bahwa kaum perempuan tidak pantas atau tabu apabila
menyamakan kedudukannya dengan pria. Kaum perempuan hanya berhak
memainkan peran perempuan; yakni peran lemah, peran nomor dua, peran
konco wingking (mean: peran pembantu). Perempuan harus berdiri pada garis
keperempuanannya yakni melayani suami tanpa berhak berkreasi dan
memajukan potensi diri, atau berhak memajukan diri tetapi tidak berhak
melampaui kesuksesan suami. Bahkan perempuan harus berada di rumah,
menunggu suami pulang kerja dan berkutat pada hal pengurusan anak, tanpa
adanya kesempatan mengembangkan kemampuan tersimpan yang dimiliki.

ANALISIS KASUS
A. Psikologi Perempuan
Psikologi perempuan merupakan bidang penyelidikan ilmiah yang dapat
menelusuri kembali akar studi awal tentang perbedaan jenis kelamin, namun
bidang ini mencakup lebih dari variasi tersebut. Penekanan pada kata
perbedaan memiliki asumsi implisit dari kata perbedaan itu sendiri selain pada
perbedaan seks biologis. Sedangkan pada psikologi gender, kata perbandigan
adalah kata yang lebih tepat untuk menggambarkan psikologi gender, selain
itu masih banyak menyisakan banyak topik tentang penelitian yang mencakup
pengalaman unik bagi perempuan, seperti kehamilan, menyusui, dan
menstruasi. Istilah psikologi feminis tampaknya memiliki terlalu banyak
konotasi dan memiliki makna yang bervariasi diantara berbagai istilah femisi
lainnya.
Di masa lalu, psikologi mempelajari perilaku tanpa memerhatikan faktor
jenis kelamin khususnya perempuan. Dengan demikian psikologi perempuan
juga didefinisikan sebagai suatu studi yang mencakup semua masalah
psikologis yang berkaitan dengan perempuan serta pengalamannya. Untuk
memahami kontribusi yang telah dilakukan perempuan dalam bidang
psikologi, seseorang harus mengerti bagaimana status perempuan dalam
bidang psikologi yang mengalami perubahan. Kaum feminis telah lama
berpendapat bahwa ilmu sosial mengabaikan dan mendistorsi studi tentang
perempuan secara sistematis yang berdampak bagi kaum laki-laki.
Dimasukkannya variable jenis kelamin perempuan dapat diteliti dalam suatu
waktu dan konseptualisasi terpisah, menurut Jeanne Marecek, Ellen Kimmel,
Mary Crawford, dan Rachel Hare-Mustin (dalam Florence & Michele, 2008)
menyatakan bahwa perempuan sebagai masalah, perbedaan dan kesamaan
antara perempuan dan laki-laki, serta studi feminis tentang kehidupan
perempuan. Banyak penelitian awal yang menyertakan perempuan sebagai
subjek penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan inferior dalam
beberapa cara atau hal. Selain itu, jika jenis kelamin perempuan dimasukkan
ke dalam sampel penelitian, maka tidak terdapay perbedaan antara jenis
kelamin dan gender yang dilaporkan. Hal ini dikarenakan diabaikannya
oengaruh faktor-faktor psikologis dan pada intinyamerupakan indikasi dari
keyakinan bahwa laki-laki adalah suatu norma.
Berakar dari pandangan bahwa karakteristik fisiologis antara laki-laki
dan perempuan itu berbeda sehingga menimbulkan pandangan diskriminatof
terhadap perempuan dalam segala sisi yang sebenarnya tidak ada kaitannya
dengan aspek fisiologis dan psikologis perempuan. Oleh Karena itu, terjadilah
kontroversi dalam memandang eksistensi perempuan, sehingga muncul
anggapan di dalam masyarakat karena perempuan lemah dan tidak memiliki
peran dalam mengelola rumah tangga, seorang perempuan hanya bisa
mengurus dapur, anak dan suami tanpa melakukan pekerjaan lainnya selain
menjadi ibu rumah tangga (Suarya, et al., 2017).
B. Perkembangan wanita dan pekerjaan
Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu
bisa bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan sering kali tidak
disadari oleh pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak
dicapainya, dan orang berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan
membawanya kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan
sebelumnya. Menurut para ahli arti kerja adalah berikut :
1. Dr. Frans Von Magnis, bukunya (Sekitar manusia;Bunga Rampai Tentang
Filsafat manusia). Pekerjaan adalah kegiatan yang direncanakan. Jadi
pekerjaan itu memerlukan pemikiran yang khusus dan tidak dapat
dijalankan oleh binatang.
2. Hagel (1770-1831), inti pekerjaan adalah kesadaran manusia. Pekerjaan
memungkinkan orang dapat memungkinkan orang dapat menyatakan diri
secara objektif ke Dunia ini, sehingga ia dan orang lain dapat memandang
dan memahami keberadaan dirinya.
3. Dr. May Smith, bukunya (Introduction to industria Psichologi), tujuan dari
kerja adalah untuk hidup. Dengan demikian maka, mereka yang
menukarkan kegiatan fisik atau kegiatan otak dengan sarana kebutuhan
untuk hidup, berati bekerja.
Pekerjaan adalah usaha yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri atau kebutuhan umum, maka dapat diartikan bahwa, orang bekerja itu
mempertahankan eksistensi diri sendiri dan keluarga. Seiring dengan tingkat
kemajuan/modernisasi kaum perempuan yang terus meningkat, yang ending-
nya memicu pada perjuangan kesetaraan/ penyetaraan diri dengan kaum pria.
Dengan dalih bahwa kaum perempuan sejatinya berhak menyandang “posisi
sepadan” dengan kaum laki-laki tanpa adanya subordinasi (penomorduaan)
atau marginalisasi atau pula bad labeling yang terkadang menyudutkan kaum
perempuan.
Dalam pembukaan sidang Komisi PBB tentang Perempuan 2014,
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon menyerukan untuk diakhirinya
ketidaksetaraan gender kepada kaum perempuan dan anak. Ban Ki Moon
menyatakan bahwa untuk menuju dunia yang bermartabat maka salah satu
cara terbaiknya adalah “stop ketidakadilan gender pada perempuan dan anak.”
Pernyataan Sekjen PBB tersebut menunjukkan bahwa sampai era kekinian
ketidakadilan gender masih berpihak kepada kaum perempuan dan anak-anak.
Pada posisi pertama yakni kaum perempuan, masih dianggap sebagai objek
yang “tidak pantas” apabila menyamakan peran dengan laki-laki. Kaum laki-
laki tetap menjadi kaum terdepan tanpa sah dan legal didahului atau disamai
oleh kaum perempuan.
Selain dari kasus di atas yang ada di sekitar lingkungan pribadi, salah
satu bukti nyata di era kekinian yang menyatakan bahwa diskriminasi terhadap
kaum perempuan tumbuh subur adalah pada kaum perempuan Indonesia di
pedesaan. Laporan Independen NGO yang merupakan Implementasi
Convention on the Elimination of All Discrimation Against Women (CEDAW)
/Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan
pada Bulan Mei tahun 2012 yang ditulis oleh Koalisi Perempuan Indonesia
menunjukkan bahwa diskrimansi atas kaum perempuan di pedesaan masih
terlihat jelas, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum
kepemimpinan perempuan di pedesaan masih sangat minim. Jumlah
perempuan yang menjadi kepala desa dan perangkat desa, camat dan
perangkat kantor kecamatan, Badan Perwakilan Desa (BPD) masih sangat
sedikit. Beberapa factor penyebab masih rendahnya kepemimpinan
perempuan di pedesaan yang tertuang pada hasil laporan di atas adalah;
Pertama, ketiadaan sumber daya/modal bagi perempuan untuk berkompetisi
dengan calon pemimpin lakilaki, untuk memperebutkan posisi strategis
(Kepala Desa, Kepala Dusun). Kedua,Metode pemungutan suara (seperti
pemilihan BPD, ketua RT/RW) yang dilakukan dalam forum rapat yang hanya
dihadiri oleh kepala keluarga. Ketiga, Adanya provokasi penolakan terhadap
kaum perempuan sebagai pemimpin, yang umumnya dalih yang digunakan
adalah dalih agama, yang “melarang perempuan menjadi pemimpin.”
Sebagaimana terjadi di Bireun (Aceh) yang menolak camat perempuan dengan
alasan agama Islam tidak memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin
(Rahmatulla, 2014).
C. Perbedaan Wanita Dan Pria Dalam Dunia Kerja
1. Cara Berpikir
Pola pikir pria cenderung didasari pada fakta, sementara wanita cenderung
pada konsep dan jalinan hubungan. Semangat wanita sama halnya dengan
sistem kereta api bawah tanah, yaitu saling berhubungan, sedangkan
semangat pria seperti kapal di atas lautan yang berlayar dari titik A menuju
titik B.
2. Cara Memerintah
Pria cenderung lebih tegas, sementara wanita lebih halus tetapi dengan
penekanan di akhir kalimat. Di satu sisi mereka berusaha mempertahankan
keharmonisan, tetapi di sisi lain mereka memberi penekanan seperti kata-
kata yang diucapkan di akhir kalimat seperti, "Kamu bisa, kan?"
3. Pemilahan
Pria dapat bekerja sama dengan orang yang tidak disukainya. Wanita pada
umumnya sulit untuk dapat bekerja sama dengan orang yang tidak
disukainya. Hal ini dikarenakan pria dapat memilah-milah, "Pekerjaan, ya,
pekerjaan." Sebaliknya, wanita dalam melakukan sesuatu selalu
menghubungkan hal satu dan lainnya.
4. Mengekspresikan Perasaan
Bila seorang pria ingin mengutarakan perasaannya, mereka akan
membicarakannya kepada istri atau kekasihnya. Paling tidak, pada orang
terdekatnya. Sementara wanita dapat mengutarakan perasaannya kepada
siapa saja, tidak selalu kepada orang yang dekat dengannya, baik kepada
teman sekerja ataupun kepada sesama wanita.
5. Pendekatan
Saat ada masalah saat menghadapi masalah, pria akan berpikir untuk
mencari jalan keluarnya. Bagi wanita, tidak cukup hanya dengan
memikirkan permasalahan yang dihadapi. Wanita memerlukan seseorang
untuk mendengarkan keluhannya walaupun orang tersebut tidak selalu
harus memberi solusi. Pria memerlukan solusi. Pria senang memecahkan
permasalahan, tidak hanya membicarakannya.
6. Tujuan
Baik pria maupun wanita ingin mencapai tujuannya, tetapi masing-masing
punya cara yang berbeda. Pria cenderung memfokuskan hasil akhir dan
tertarik pada cara pencapaian usaha. Wanita lebih memfokuskan pada
pencapaian sasaran dan cenderung untuk mempertimbangkan penilaian
orang lain. Bila di dalam suatu rapat terdapat dua orang pria yang saling
berdebat dengan serunya, maka hal itu tidak berarti mereka saling
membenci.
7. Komentar.
Pria dapat memberikan komentar secara terus terang dan memotong
pembicaraan orang lain bila ingin berkomentar, sementara wanita
cenderung lebih peka dan berhati-hati. Oleh karena itu, bila Anda meminta
pendapat kepada rekan pria, mereka akan langsung memberikan
pendapatnya. Bila Anda tidak suka dan marah pada kejujuran mereka, sulit
bagi mereka untuk dapat mengerti reaksi Anda. Jangan lupa, pendapat
yang mereka berikan memang merupakan pendapat yang bukan ditujukan
kepada pribadi karena pada dasarnya mereka tidak bermaksud untuk
menyerang secara pribadi.
8. Mengajukan Pertanyaan
Pria jarang mengajukan pertanyaan. Dan bila mereka bertanya, biasanya
untuk mendapatkan informasi. Wanita sering mengajukan pertanyaan
tetapi untuk dua alasan, yaitu untuk memperoleh informasi dan untuk
menjaga jalinan suatu hubungan. Itulah sebabnya wanita sering
mengajukan pertanyaan yang sebetulnya jawabannya telah mereka
ketahui.
Perbedaan-perbedaan inilah yang selalu menyudutkan seorang
perempuan dalam berperan aktif baik di lingkup rumah tangganya maupun di
tempat kerjanya. Padahal jika perempuan diberikan kebebasan dalam berpikir
posiif, maka tidak menutup kemungkinan perempuan dapat memberikan
dampak yang besar dalam hal positif baik di rumah tangga maupun di tempat
kerjanya. Setiap individu memiliki kemampuannya masing-masing yang jika
diberikan kesempatan untuk berekspresi maka tidak menutup kemungkinan
akan membuahkan hasil yang baik. Pengelolaan emosi yang baikserta adanya
dukungan, pada laki-laki dan perempuan atau dari suami ke istri maupun
sebaliknya merupakan salah satu bentuk internalisasi peran gender yang bisa
diterapkan pada kasus diatas, sehingga tidak adanya gangguan psikis negatif
terutama pada perempuan yang memilih untuk mengambil peran ganda ketika
sudah berumah tangga.
D. Dampak Internalisasi Peran Gender Pada Perempuan
Saat ini perempuan sudah banyak yang berkarya pada sektor publik dari
pada sebagai ibu rumah tangga. Peran publik mencakup pengertian perempuan
sebagai tenaga kerja serta berperan aktif dalam organisasi kemasyarakatan.
Perempuan yang memiliki peran di ranah publik berdampak pada
berkurangnya waktu dan kualitas perempuan dalam perannya sebagai istri, ibu
dan pengelola rumah tangga. Bagi perempuan yang telah berkeluarga dan
memiliki peran di ranah publik dalam arti bekerja di luar rumah maka
otomatis akan memiliki peran ganda. Jadi peran ganda adalah dua peran yang
sekaligus melekat dalam diri seorang perempuan, yaitu sebagai tenaga kerja
dan juga sebagai ibu rumah tangga. Keuntungan bagi perempuan bekerja
adalah mampu meningkatkan kemandirian dan kepercayaan dirinya (Diana,
1991). Barnett & Hyde(Betz, 2004) menambahkan keuntungan yang bisa
didapatkan oleh seorang ibu bekerja dari peranannya yang beragam adalah
mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya, meningkatkan kemandirian
dan kepercayaan dirinya, meningkatkan self-esteem, kepuasan hidup yang
pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dirinya. Pada intinya,
Baruch, Barnett, dan Rivers (Lemme, 1995) mengatakan bahwa keberagaman
peran memberikan keuntungan pada seseorang dalam berbagai cara sehingga
kesejahteraan psikologis dirinya meningkat.
Meningkatnya kesejahteraan psikologis menjadi indikator kebahagiaan
seseorang. Menurut Ryff (1996) individu yang memiliki kesejahteraan
psikologis adalah individu yang memiliki suatu kondisi psikologis individu
yang sehat dan hal ini ditandai dengan berfungsinya aspek-aspek psikologis
positif untuk mencapai aktualisasi diri. Selain itu Ryff(1996) juga menyatakan
bahwa individu yang memiliki jiwa sejahtera digambarkan sebagai individu
yang mampu menghayati dan menjalani fungsi-fungsi psikologisnya. Individu
yang jiwanya sejahtera adalah yang memiliki penilaian positif terhadap
dirinya sendiri, bebas dari tekanan atau masalah-masalah psikologis. Selain
itu juga mampu bertindak secara mandiri serta tidak mudah terpengaruh oleh
lingkungan. Ibu bekerja yang memiliki kesejahteran psikologis adalah yang
mampu mengatur dirinya sendiri dan mampu mengatasi berbagai macam
masalah terkait dengan kehidupan (Papalia, 2009).
Individu yang sehat secara psikologis adalah individu yang bebas dari
pikiran ngatif sehingga mampu menilai dirinya sendiri dan menilai orang lain
secara positif. Individu dapat hidup mandiri, sigap dalam mengambil
keputusan pribadi dan individu mengatur tingkah lakunya, dan mampu
memilih atau mengubah lingkungan agar dapat sesuai dengan dirinya.
Individu yang sehat secara psikologis akan memiliki tujuan, sehingga
hidupnya terasa lebih berguna dan individu akan terdorong untuk mencari dan
mengembangkan potensi dirinya.
Kesejahteraan psikologis merupakan sesuatu yang penting dan harus
dimiliki oleh setiap individu. Demikian pula dengan Ibu bekerja diharapkan
bisa mencapai kondisi sejahtera secara psikologis. Namun demikian,
kenyataannya kesejahteraan psikologis bukan sesuatu yang bisa dicapai
dengan mudah, terutama oleh ibu bekerja. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan dengan beberapa subyek ibu bekerja menunjukkan bahwa rata-rata
subyek memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Subyek kurang
memiliki hubungan yang hangat dengan keluarga karena kesibukannya
bekerja di luar rumah. Selain itu subyek juga sering mengalami konflik
dengan keluarga. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya
kesejahteraan psikologis pada ibu bekerja adalah konflik peran ganda yang
dialami. Konflik peran yang dialami seorang ibu bekerja terjadi karena adanya
ketidakcocokan antara harapan, tuntutan, serta tekanan dirumah dan di tempat
bekerja (Sawhney, Asnani, & Pandey, 2004). Selain itu, Asnani dkk (2004)
juga menyatakan bahwa konflik peran ganda terjadi karena ada tuntutan yang
bersamaan waktunya dari peran yang berbeda (Indriani & Sugiasih, 2016).
Berdasarkan dari keterangan di atas, dapat menjelaskan sesuai pada
kasus yang terjadi dalam rumah tangga ny. MJ. Akan tetapi jika internalisasi
peran gender dalam lingkungan rumah tangga dapat terlaksana dengan baik,
yang sama sama dilakukan dari suami maupun istri, perkara-perkara ataupun
konflik yang dapat terjadi karena adanya peran gender yang tidak berkeadlian
dalam suatu rumah tangga dapat diminimalisir. Sehingga seorang perempuan
tidak merasa tertekan dengan keadaannya yang menuntut untuk berperan
ganda ketika suami hanya berpikir untuk mencari nafkah tanpa
memperhatikkan peranannya juga dalam rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA

Indriani, D. & Sugiasih, I., 2016. Dukungan Sosial Dan Konflik Peran Ganda
Terhadap Kesejahteraan Psikologis Karyawati PT. SC Enterprises
Semarang. Proveksi, XI(1), pp. 46-54.

Rahmatulla, A. S., 2014. Internalisasi Nilai Gender Melalui Dolanan Anak


Tradisional. Jurnal Pendidikan Islam, III(2), pp. 365-388.

Suarya, L. M. K. S. et al., 2017. Bahan Ajar Psikologi Wanita. Denpasar:


Universitas Udayana Fakultas Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai