PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya banyak nilai-nilai ajaran agama Islam yang bersifat universal, misalnya tentang kesetaraan antara pria dan
wanita dalam rumah tangga yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Padahal bentuk-bentuk kerja sama antara suami
istri dalam Islam di antaranya adalah memimpin keluarga jika ada musyawarah, memberi nafkah, mengasuh, mendidik anak dan
mengerjakan urusan rumah tangga. Namun demikian, masyarakat lebih mengenal kewajiban suami istri dari pada hak-hak di
antara keduanya dalam rumah tangga. Barangkali kondisi seperti ini tidak menjadi masalah bagi keluarga yang istrinya tidak
bekerja di luar rumah. Akan tetapi bagi istri yang bekerja di luar rumah, nampaknya kondisi ini sangat tidak menguntungkan.
Karena dengan pemahaman yang diskriminatif atas gender membuat beban kerja wanita lebih berat.
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala
rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensi dari pandangan seperti itu, banyak kaum perempuan
terutama dari kalangan keluarga kelas ke bawah harus bekerja keras, lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga
mulai dari membersihkan, mengepel lantai, memasak, menyapu, mencuci dan memelihara anak.
Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut sering kali diperkuat oleh adanya pandangan atau keyakinan di
masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap sejenis oleh masyarakat sebagai pekerjaan jenis “perempuan”, dikategorikan
sebagai “tidak produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara kaum perempuan – karena
anggapan perbedaan gender ini – sejak dini disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak
diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik kesemuanya ini telah memperkuat pelanggengan
secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan. [1]
Fondasi kehidupan keluarga adalah ajaran agama, sedang jalinan perekatnya adalah hak dan kewajiban terhadap suami, istri
dan anak. Namun hanya sedikit sekali dari pasangan suami istri yang mengetahui ruang lingkup dari pengelolaan pekerjaan dalam
rumah tangga. Sering kali hal ini menyebabkan konflik pada pasangan dan akhirnya saling melempar tugas, apalagi bagi pasangan
karier ganda. Dan biasanya yang sering terbebani tugas domestik adalah istri, yang mulai bekerja sejak pagi hingga sore hari.
Sementara para suami enggan membantu tugas domestik itu dengan dalih pembagian peran.
Pemerintah dengan tegas mengakui perbedaan peran tersebut dan menyatakan bahwa peran serta kaum wanita dalam proses
pembangunan harus berkembang selaras dan serasi dengan peran mereka dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan
kata lain peran yang diberikan wanita adalah peran ganda, dalam artian mereka bertanggung jawab atas urus dan rumah tangga
akan tetapi juga diharapkan melakukan aktivitas di luar rumah sebagai anggota masyarakat.
Namun dalam prakteknya, hal seperti itu belum terwujud. Masih banyak terjadi ketidakadilan peran antara wanita dan pria
dalam keluarga. Pembagian kerja yang tidak adil dalam keluarga merupakan hal yang sudah menjamur dan melembaga bahkan
merupakan hal tertua dan terkuat. Umurnya sudah ribuan tahun dan sampai sekarang masih tetap bertahan. Sehingga orang
sering kali menganggap pembagian kerja secara seksual merupakan suatu yang alamiah.
B. Rumusan Masalah
Pada makalah kali ini penulis mencoba mengerucutkan akar permasalahan menjadi rumusan masalah di bawah ini:
1. Teori apa yang mendasari pembagian kerja atau peran suami Istri dalam keluarga?
2. Bagaimana seharusnya keluarga Islam membagi tugas atau kerja dalam keluarga?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori-Teori Ketidaksamaan
Sebagian masyarakat nampaknya masih menggunakan jenis kelamin sebagai patokan dalam pembagian kerja sosial individu.
Karena memang pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan dicetak dalam keadaan yang berbeda. Dari ketidaksamaan jenis
kelamin tersebut, maka lahirlah beberapa teori yang menuju pada pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan.
Murdock dan Provost telah berusaha untuk mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan yang paling konsisten untuk maskulin dan
feminin yang dapat dijumpai di seluruh Indonesia. pada umumnya, kegiatan-kegiatan yang secara konsisten diperuntukkan bagi
kaum pria (maskulin) adalah kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang lebih besar, tingkat risiko dan bahayanya
lebih tinggi, sering keluar rumah dll. Sebaliknya kerja yang dilakukan feminin secara konsisten, relatif kurang berbahaya,
cenderung lebih bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi yang intens, kurang memerlukan latihan yang intensif dan
keterampilan rendah. [2]
Ada beberapa teori untuk menjelaskan sifat pembagian kerja dan ketidaksamaan menurut jenis kelamin. Sebagian teori
tersebut terpusat pada penjelasan mengenai pola universal, sementara yang lain lebih memperhatikan penjelasan-penjelasan
mengenai perbedaan dan peranan jenis kelamin, di antaranya adalah
1. Teori Sosiobiologi
Teori ini berusaha menjelaskan sifat semesta keunggulan laki-laki dengan mengacu kepada perbedaan-perbedaan biologis yang
mendasar di antara jenis kelamin itu. Teori ini sependapat bahwa tanpa memperhatikan elaborasi sosial ketidaksamaan menurut
jenis kelamin, perbedaan peranan seks terbentuk menurut ciri-ciri tertentu yang mendasar dan biologi manusia.
2. Teori Materialistis
Teori ini berusaha untuk menjelaskan pola-pola peranan jenis kelamin sebagai produk pengaturan infrastruktur suatu
masyarakat. Mereka lebih memusatkan perhatian kepada variasi dalam sistem peranan jenis kelamin, dan pada umumnya setuju
bahwa sifat teknologi, produksi ekonomi, dan ekologilah bukan keharusan biologis yang pada dasarnya menentukan bagaimana
konsep mengenai jenis kelamin itu selain berhubungan
3. Teori Politik
Teori ini juga berusaha untuk menjelaskan perbedaan dalam pola peraturan jenis kelamin. Yang menonjol dari pada teori politik
adalah memberi penekenan pada perbedaan-perbedaan dalam kelaziman berperan sebagai penentu kunci dari adanya
perbedaan-perbedaan dalam peranan jenis kelamin itu.[3]
Menurut pandangan dan sesuai pengetahuan - keagamaan dan sosial - penulis mengenai pembagian kerja dalam rumah
tangga, penulis sedikit menganalisa bahwa pada dasarnya pembagian kerja dalam rumah tangga harus sesuai dengan kemampuan
masing-masing anggota keluarga. Sesama anggota keluarga harus saling memahami antara satu sama lain.
Sistem pembagian kerjanya jika dikaitkan dengan gender atau jenis kelamin, maka menurut penulis hal itu tidak
masalah, bahkan baik karena memang padasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan dengan postur tubuh yang berbeda. Begitu
pula dengan besar kekuatan yang dimiliki mereka sangat berbeda. Wanita identik lebih lemah dan lembut dari pada laki-laki.
Oleh karena itu pembagian kerjanya pun harus disesuaikan dengan kemampuan mereka. Sehingga tidak njomplang dan tumpang
tindih.
Dalam keluarga, seharusnya antara suami dan istri harus bisa saling memahami. Bukan berarti jika istri hanya
melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci dan merawat anak itu dianggap remeh. Justru pekerjaan
domestik seperti itulah yang sangat urgen dalam keberlangsungan rumah tangga. Bayangkan saja jika istri tidak menjalankan
semua itu, maka yang terjadi rumah akan kotor, semua anggota keluarga kelaparan, baju pada kotor, dan rumah akan tampak
seperti layaknya kandang atau tempat sampah yang tidak nyaman bagi para penghuninya. Pun begitu terhadap pekerjaan suami.
Keluarga dalam hal ini harus mempu memposisikan peran masing-masing dan seharusnya pemimpin dalam
keluarga yakni suami harus menjadi seortang imam yang bretanggung jawab atas kesejahteraan anggota keluarganya. Di sini
pemimpin harus pandai-pandai menempatkan posisi adil dan bijaksana
Dalam hal ini, penulis memandang bahwa pekerjaan suami istri sama sama penting dan alangkah romantisnya jika
keduanya saling membantu satu sama lain jika pekerjaan mereka telah usai, sehingga yang tercipta dalam kaluarga adalah
suasana nyaman dan membahagiakan. [21]