Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334457234

Kajian Literatur Teori Keluarga

Article · July 2019

CITATIONS READS

0 2,407

1 author:

Marsha Novanda Fahirza


Jakarta State University
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Marsha Novanda Fahirza on 15 July 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Kajian Literatur Teori Keluarga

Marsha Novanda Fahirza


1504617049

Pendidikan Vokasional Kesejahteraan Keluarga


Fakultas Teknik
Universitas Negeri Jakarta
JULI, 2019
RINGKASAN

Keluarga merupakan suatu sistem sosial terkecil dalam masyarakat. Umumnya


keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Struktur ini disebut sebagai nuclear family.
Sebuah keluarga terbentuk dari proses yang berbeda-beda dan akan melalui tahap yang
berbed-beda pula. Awalnya keluarga terbentuk berdasarkan struktur yang ada dalam
masyarakat, semakin berkembangnya zaman mulai muncul nilai-nilai baru dalam proses
pembentukan keluarga. Pembentukan sebuah keluarga dilandasi oleh beberapa teori yang
tergabung dalam lingkup mikro dan makro. Terdapat 7 teori pembentukan keluarga yang
dikaji pada makalah ini, antara lain :
1. Teori Struktural Fungsional
2. Teori Sosial Konflik
3. Teori Ekologi
4. Teori Pertukaran Sosial
5. Teori Feminis
6. Teori Gender
7. Teori Perkembangan
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga menurut UU No. 10 Tahun 1992 merupakan unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri dari suami-istri atau suami-istri dan anaknya atau ayah dan
anaknya atau ibu dan anaknya. Sebuah keluarga dibentuk dengan adanya ikatan
perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Ikatan perkawinan didasari cinta kasih,
harga menghargai, dan mau berkorban demi kepentingan keluarga (Hasanah, 2011).
Menurut Duvall dan Logan (1986), keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan
perkawinan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan,
mempertahankan budaya dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional
dan sosial tiap anggotanya.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 menetapkan delapan fungsi
yang harus dilaksanakan untuk mencapai kesejahteraan keluarga. Delapan fungsi
tersebut, yaitu : fungsi keagamaan, sosial-budaya, cinta kasih, melindungi,
reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Fungsi-
fungsi tersebut dijalankan sesuai masing-masing peran yang ada dalam keluarga. Jika
salah satu fungsi tidak dapat dipenuhi mungkin akan memicu konflik dalam keluarga
karena adanya salah satu tujuan yang tidak tercapai.
Dalam menjalankan sebuah keluarga, terdapat landasan teori-teori yang dapat
menjadi acuan dalam kehiudpan keluarga. Teori-teori tersebut dibagi ke dalam dua
lingkup utama, yaitu mikro dan makro. Menurut (Puspitawati 2013) ruang lingkup
mikro yaitu : teori pertukaran sosial. Sedangkan ruang lingkup makro yaitu : teori
structural fungsional, teori sosial konflik, teori feminis, teori gender, dan teori
perkembangan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah untuk :
1. Mengetahui landasan teori-teori pembentukan keluarga
2. Memahami landasan teori-teori pembentukan keluarga
1.3 Manfaat
Adanya kajian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi semua pihak dalam
memperkaya wawasan serta pengaplikasiannya dalam kehidupan keluarga.
BAB II ISI
2.1 Teori Struktural Fungsional
Teori Struktural Fungsional menjelaskan bahwa dalam setiap sistem terdapat
keragaman yang dapat dilihat dari perbedaan fungsi pada tiap individu di dalamnya.
Menurut Megawangi (dalam Siswati dan Puspitawati, 2018) teori struktural
fungsional digunakan untuk menganalisis peran setiap anggota keluarga serta
mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial, keragaman tersebut nantinya
akan membuat suatu struktur dalam masyarakat dan mengakui kebenaran adanya
pembagian tugas.
Menurut Dilworth-Anderson, Burton, and Klein (dalam Kitchen 2016) adanya
struktur fungsional dalam keluarga adalah bagaimana sebuah struktur sosial
(keluarga) mampu berinteraksi dan mencapai tujuan bersama. Maka dapat dijelaskan
bahwa struktur fungsional dalam keluarga merupakan keragaman peran dan fungsi
dalam struktur keluarga untuk mencapai tujuan bersama.
Sebuah keluarga harus memiliki struktur tertentu untuk dapat melaksanakan
fungsinya secara optimal. Megawangi (dalam Adibah 2017) membagi dua aspek
structural fungsional dalam kehidupan keluarga, yaitu :
a. Aspek Struktural
Adanya struktur dalam keluarga dianggap mampu menjadikan keluarga
sebagai suatu kesatuan system. Ada tiga elemen dalam struktur internal
keluarga, yaitu :
1) Status Sosial : Terdapat tiga figure utama di dalam
keluarga yaitu pencari nafkah (breadwinning), ibu rumah
tangga (housewife), dan anak. Tiga figure utama ini biasa
disebut juga dengan keluarga nuklir.
2) Fungsi Sosial : Adanya berbedaan fungsi di dalam
keluarga menghasilkan perbedaan peran yang harus dilakukan
tiap anggota keluarga. Parson dan Bales (1995) membagi peran
orang tua menjadi 2 yaitu Peran Instrumental dan Peran
Emosional. Peran instrumental merupakan peran yang
diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak, sedangkan peran
emosional merupakan peran yang diharapkan hadir dari istri
atau ibu.
3) Norma Sosial : Norma sosial merupakan sebuah aturan
yang mencerminkan bagaimana seorang individu bertingkah
laku dalam kehidupannya. Norma sosial berasal dari
masyarakat dan merupakan bagian dari budaya. Setiap
keluarga pun dapat memiliki norma sosial di dalam
keluarganya masing-masing.
b. Aspek Fungsional
Aspek fungsional sangat berkaian dengan aspek structural karena
seseorang tidak akan lepas dari peran yang diharpkan. Struktur dalam
keluarga dapat berfungsi jika :
1) Adanya alokasi peran bagi setiap anggota keluarga
2) Adanya alokasi solidaritas dalam mendistribusi relasi antar
anggota keluarga
3) Adanya alokasi ekonomi, dalam hal ini terdapat diferensiasi
tugas produksi, distribusi, dan konsumsi dalam keluarga
4) Adanya alokasi politik dalam pembagian kekuasaan dan
tanggung jawab dalam setiap tindakan anggota keluarga.
Kedua aspek yang saling berkaitan tersebut membantu sebuah keluarga dalam
mencapai tujuan bersama. Jika terjadi perubahan dan mempengaruhi elemen dalam
keluarga, akan menyebabkan system keluarga tidak dapat berfungsi secara optimal.
Salah satu kasus disfungsional dalam keluarga yang sering ditemui adalah perceraian.
Menurut Gunarsa (dalam Priasmoro, Widjajanto, and Supriati, 2019) menjelaskan
bahwa orang tua yang tinggal terpisah karena perceraian dapat meyebabkan ketidak
harmonisan dalam lingkungan keluarga. Yang berdampak pada cara pengasuhan
kepada remaja seperti kurangnya kasih sayang, dan keteladanan.
Dari contoh kasus tersebut, sebuah keluarga dapat diibaratkan sebagai organ
jantung dalam tubuh yang menggerakkan organ-organ lainnya. Jika organ ini
berhenti, akan mempengaruhi organ-organ lainnya sehingga organ lain tidak dapat
berfungsi seperti sebelumnya. Satu perubahan fungsi akan sangat berdampak bagi
segala aspek dalam system keluarga.

2.2 Teori Sosial Konflik


Konflik merupakan fenomena sosial biasa dan merupakan kenyataan bagi
masyarakat yang terlibat di dalamnya. Konfllik dipandang sebagai suatu proses sosial,
proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang baru yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat (Puspitawati, 2013). Teori
Sosial Konflik muncul dari ketidakpuasan masyarakat terhadap structural fungsional
serta keinginan masyarakat untuk terus berubah.
Teori sosial konflik mengadopsi paradigma sosial konflik oleh Karl Marx
bahwa kegiatan ekonomi menjadi faktor penentu dalam semua kegiatan. Teori ini
juga berlaku pada system keluarga. Sawyer, Thoroughgood, and Ladge (2017)
berpendapat bahwa, konflik yang muncul dalam keluarga dipengaruhi oleh pekerjaan
dimana seseorang mendapat tekanan di dalamnya sehingga menghambat perannya
didalam keluarga.
Sebelumnya pada teori structural fungsional, seoarang wanita (istri atau ibu)
dianggap memiliki peran domestic yaitu pekerjaannya dialokasikan pada kegiatan di
dalam rumah tangga. Namun seiring perkembangan zaman, seorang wanita juga
dianggap mampu memberikan sumbangan berupa materi yang dihasilkan dari
kegiatan atau pekerjaan di luar rumah. Menurut Amirullah (dalam (Aisyah, Gede
Putri, and Mulyati 2017) saat ini kaum wanita dapat bekerja di luar rumah dalam
bidang apa saja, bahkan hingga menjadi wanita karir yang menduduki jabatan penting
di birokrasi maupun di perusahaan.
Hal ini membuktikan adanya perubahan dalam struktur sosial dalam
masyarakat mempengaruhi alokasi peran dan fungsi ibu atau istri di dalam keluarga.
Menurut Huang, Hammer, Neal, & Perrin (2014) dan Noor (2012) (dalam (Prasetyo,
Fathoni, and Malik, 2018) konflik pekerjaan mempunya dua dimensi utama, yaitu :
a. Work-Family Conflict : pemenuhan peran dalam pekerjaan dapat
menimbulkan kesulitan pemenuhan peran dalam keluarga. WFC
merupakan salah satu bentuk konflik yang timbul akibat dari tidak
mampunya seseorang dalam memenuhi tuntutan peran di dalam keluarga
karena adanya tuntutan peran dalam pekerjaan. Konflik WFC dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu :
1) Time-based conflict : Waktu yang dibutuhkan untuk
menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat
mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya
(pekerjaan atau keluarga)
2) Strain-based conflict : Terjadi saat tekanan dari salah satu
peran mempengaruhi kinerja peran lainnya
3) Behavior-based conlift : Berhubungan dengan
ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh
kedua bagian (pekerjaan atau keluarga)
b. Family-Work Conflict : pemenuhan peran dalam pekerjaan.
Kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan dalam menjalankan peran
pekerjaan karena juga menjalani peran dalam keuarga. Konflik ini terjadi
karena adanya ketidaksesuaian antara hal yang ada dengan yang
diharapkan.
Kasus sosial konflik yang erat kaitannya dengan keluarga adalah adanya
pembagian peran ibu atau istri dalam keluarga dengan perannya sebagai pekerja.
Adanya penambahan peran ini membuat waktu ibu tidak sepeneuhnya diberikan
untuk melaksanakan peran domestic. Kurang waktu ibu dalam menjalankan peran
domestic memungkinkan ibu tidak dapat maksimal dalam menjalankan peran
domestic, salah satunya dalam pengasuhan anak. Namun tidak selamanya ibu yang
bekerja diluar kegiatan domestic memiliki pengaruh buruk bagi system keluarga.
Sebuah penelitian yang berjudul ‘Pengaruh Manajemen Waktu Ibu Bekerja
terhadap Kecerdasan Emosional Anak’ oleh Aisyah, Gede Putri, and Mulyati (2017)
menjelaskan bahwa manajemen waktu ibu bekerja yang baik tidak berpengaruh buruk
terhadap kecerdasan emosional anak. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa adanya penambahan peran dalam keluarga akibat dari perubahan sosial tidak
selamanya mempengaruhi fungsi tiap anggota keluarga. Namun, bagi ibu yang tidak
dapat membagi peran dan waktunya dengan baik antara keluarga dengan bekerja akan
mengalami pergeseran fungsi dalam struktur keluarga yang dapat mempengaruhi
kehidupan sosial tiap anggota keluarga.

2.3 Teori Ekologi


Teori Ekologi membahas keterkaitan seseorang dengan lingkungannya,
dimulai dari lingkungan terkecil hingga terbesar. Bronfenbrenner (dalam Sunarti et
al. 2017) menjelaskan bahwa lingkungan memiliki efek yang besar terhadap
perkembangan seseorang. Hubungan timbal balik yang dihasilkan antara individu
dengan lingkungan akan membentuk tingkah laku individu tersebut. Bronfenbrenner
juga menjelaskan bahwa pendekatan ekologi melihat manusia sebagai suatu system.
Menurut Garbarino & Abramowitz (dalam Andayani, 2004) Suatu sistem
adalah sebuah entitas yang dapat berperan dengan menggunakan energi. Energi ini
dapat bersumber dari dalam sistem itu sendiri, namun juga dapat menggunakan energi
dari luar sistem. Dengan demikian suatu sistem akan terkait dengan sistem yang lain.
Merujuk pada teori ekologi Bronfenbrenner (dalam Mujahidah, 2015)
disebutkan bahwa terdapat tiga system, yaitu :
1) Mikrosistem : Mirosistem merupakan lingkungan terkecil dalam
kehidupan seseorang, dimana seseorang hidup dan berinteraksi secara
langsung dan memiliki pengaruh besar dalam pembentukan anak.
Keluarga termasuk ke dalam kategori mikrosistem karena dianggap
sebagai lingku terkecil dalam kehidupan seseorang.
2) Mesosistem : Mesosistem merupakan interaksi yang terbentuk antara
lingkungan mikrosistem. Misalnya, antara rumah dengan sekolah, sekolah
dengan teman sebaya, dan lain-lain.
3) Eksosistem : Ekosistem merupakan system sosial yang lebih luas dari
mesosystem. Seseorang mungiin tidak terlibat interaksi secara langsung
tetapi mungkin dapat mempengaruhi keberlangsungan system tersebut.
4) Makrosistem : Makrosistem meliputi kebudayaan yang berlaku dimana
seseorang hidup. Meliputi pola perilaku, keyakinan, nilai sosial, dan lain-
lain.
5) Chronosistem : Sistem sosial terluas yang melibatkan seluruh system
yang ada. Meliputi peristiwa dan transisi yang terjadi selama rangkaian
kehidupan serta memiliki dampak yang kuat bagi perkembangan
seseorang.
Dalam sebuah penelitian berjudul ‘Working with Immigrant Children and
Their Families: An Application of Bronfenbrenner's Ecological Systems Theory’ oleh
Paat (2013) menjelaskan kasus anak yang menjadi imigran, dimana terjadi perubahan
system sosial yang dialaminya. Penelitian ini menyebutkan ‘effective and supportive
ecological systems are likely to facilitate immigrant children’s healthy adaptation
and turnout in early adulthood’ bahwa system ekologi sangat berpengaruh terhadap
proses adaptasi anak imigran.

2.4 Teori Pertukaran Sosial


Teori Pertukaran Sosial terfokus kepada motivasi yang berasa dari keinginan
individu dalam menentukan pilihan secara rasional menimbang antara imbalan
(rewards) yang akan diterima dengan biaya (cost) yang akan dikeluarkan. Imbalan
merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan
merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi
oleh pengorbanan. Menurut Homans (dalam Mighfar, 2015) semua tindakan yang
dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh
imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu.
Menurut Coyle-Shapiro and Diehl (2018) ‘...the importance of social
exchange as a form of relation and mode of interac- tion that incidentally incorporates,
reflects, and reinforces subordination and power, interpersonal commitments and
social goals, solidarity and distance, and especially reciprocity and obligation.’
menjelaskan bahwa pentingnya konsep pertukaran sosial sebagai bentuk timbal balik
dalam suatu hubungan.
Terdapat beberapa konsep pertukaran sosial, antara lain :
1) Imbalan dapat berupa materi maupun nonmateri (seperti perilaku,
kesenangan dan kepuasan)
2) Biaya dapat barupa materi maupun non materi (seperti status, hubungan,
interaksi, perasaan yang tidak disukai)
3) Keuntungan (selisih antara imbalan dan biaya) dan individu selalu mencari
keuntungan maksimum dengan cara memaksimumkan imbalan atau
meminimumkan biaya
4) Tingkat evaluasi atau perbandingan alternatif, yaitu suatu standar yang
mengevaluasi imbalan dan biaya dari suatu hubugan atau kegiatan.
5) Norma timbal balik adalah suatu gagasan yang menyangkut pertukaran
timbal balik, tanpa timbal balik tidak mungkin akan terbentuk kehidupan
sosial.
6) Pilihan bahwa setiap manusia harus menentukan pilihan, merupakan
output yang dijanjikan oleh pengambil keputusan
Menurut Homans (dalam Mustafa, 2011) prinsip dasar pertukaran sosial
adalah ”distributive justice” aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus
sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip
tersebut berbunyi ”seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan
mengharap- kan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan
pengorbanan yang telah dikeluarkannya - makin tingghi pengorbanan, makin tinggi
imbalannya dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan
investasinya, makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.

2.5 Teori Feminis


Taori Feminisme merupakan salah satu cabang teori sosial yang membahas
tentang ketimpangan antara perempuan dan laki-laki, serta berusaha mewujudkan
kesetaraan hak diantara keduanya. Teori Feminis merupakan sebuah cabang ilmu
yang menyediakan sistem gagasan mengenai kehidupan manusia yang melukiskan
wanita sebagai objek dan subjek, sebagai pelaku dan yang mengetahui (Ritzer dalam
Dalimoenthe, 2011). Menurut (Hasan et al. 2019) feminisme merupakan gerakan
social yang secara bertahap telah memperbaiki posisi perempuan dalam masyarakat
Barat pada awal abad 20 dalam hak milik, posisi di tempat kerja, dan dalam
pernikahan. Awalnya, gerakan feminisme mumcul dari kaum perempuan yag merasa
terintimidasi atas perbedaan hak yang dialaminya. Feminisme berkaitan erat dengan
prinsip kebebasan.
Menurut Hidayati (2018) Feminisme muncul dilatari oleh ketimpangan relasi
antara laki-laki dan perempuan dalam tatanan masyarakat sehingga pada akhirnya
timbul kesadaran dan upaya untuk menghilangkan ketidakberimbangan relasi.
Feminisme juga biasa disebut menjadi salah satu realisasi dari emansipasi. Gerakan
ini berusaha menyadarkan masyarakat dunia bahwa perempuan juga harus diakui
harat dan martabatnya. Dalam perspektif keluarga, Allen and Jaramillo-Sierra (2015)
menyebutkan ‘feminists see families as complex, where love, care, and conflict co-
mingle, and members have ambivalent and contra- dictory emotions about one other’
para feminis juga mempromosikan konsep keluarga inklusif dimana sebuah keluarga
memiliki struktur yang berbeda, seperti keluarga dengan orang tua tunggal, keluarga
bercerai, dan lain-lain.

2.6 Teori Gender


Menurut Hasan et al. (2019) Gender adalah atribut yang diberikan oleh
masyararakat untuk menunjukan adanya perbedaan sifat, karakter, ciri-ciri dan fungsi
tertentu yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan (seperti angapan yang
mengatakan bahwa laki-laki itu rasional sementara perempuan itu emosional; laki-
laki berada di ruang public (mencari nafka) sementara perempuan itu bersifat lemah
lembut. Karena itu, bagi kaum feminism, gender juga tidak lepas dari bentukan atau
hasil konstruksi social, di sinilah maksudnya ungkapan bahwa gender adalah
konstruksi social.
Diamond, Pardo, & Butterworth (dalam McGuire et al., 2016) menyebutkan
‘different from the term sex, gender refers to cul- tural ideas of masculinity and
femininity that are used to organize identities, behaviors, and social roles’. Dari
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa gender merupakan sesuatu hal yang
berbeda dengan seksual. Gender menjelaskan bagaimana masyarakat menciptakan
konsep perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Gender dapat ditentukan dengan
bagaimana seseorang berperilaku dalam masyarakat. Ada dua jenis gender yaitu
Maskulin dan Feminin.
Gender kaitannya erat dengan konsep kesetaraan dan keadilan. Menurut
Puspitawati (2013) Kesetaraan dan Keadilan Gender yaitu :
1) Kesetaraan Gender : Kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status
yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara
penuh hak- hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang
kehidupan
2) Keadilan Gender : Suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki
melalui proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-
hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki

2.7 Teori Perkembangan


Teori perkembangan membahas tentang siklus hidup yang dilalui sebuah
keluarga secara umum. Siklus hidup ini merupakan proses perubahan yang terjadi
pada system keluarga pada kurun waktu tertentu. Setiap proses perubahan terdapat
tahapan dan tugas perkembangan yang berbeda. Menurut Duvall (dalam Krisnatuti
and Yuliati 2016) tugas perkembangan yang terpenuhi pada tahapan awal
membangun keluarga akan mengarahkan pada tugas-tugas perkembangan selanjutnya
dan mengarahkan pada kebahagiaan serta kesuksesan keluarga. Duvall dan Hill
memadukan perkembangan manusia dan siklus hidup keluarga tentang tugas-tugas
perkembangan pada Famili Development Theory (dalam Martin, 2018)
Menurut Duvall dan Miller, terdapat delapan tahap perkembangan keluarga,
antara lain :
1) Pasangan Baru Menikah : Tahap ini dimulai saat seoarang
lelaki dan perempuan membentuk keluarga melalui pernikahan. Tugas
perkembangan pada tahap ini adalah untuk saling beradaptasi, memuaskan
satu sama lain, merencanakan memiliki anak, dan lain-lain.
2) Keluarga Kelahiran Anak Pertama : Tahap ini dimulai saat keluarga
kelahiran anak pertama. Pada tahap ini keluarga mulai beradaptasi atas
kehadiran pihak ketiga dalam keluarga. Peran suami dan istri pun
bertambah sebagai ayah dan ibu. Tugas perkembangan pada tahap ini
adalah untuk memperisapkan persalinan, mempersiapkan mental sebagai
orang tua, hingga mempersiapkan kebutuhan anak.
3) Keluarga dengan Anak Pra-Sekolah : Pada tahap ini anak memasuki usia
pra-sekolah ketita anak berusia diatas 2,5 tahun. Tugas perkembangan
pada tahap ini adalah untuk menanamkan nilai dan norma, memenuhi
kebutuhan anak, membantu anak bersosialisasi, dan lain-lain
4) Keluarga dengan Anak Sekolah : Pada tahap ini anak memasuki usia
sekolah formal yang dimulai sejak usia 6-7 tahun. Tugas perkembangan
pada tahap ini adalah untuk memenuhi kebutuhan sekolah, menyiapkan
biaya sekolah, memberikan pengertian pada anak akan pentingnya
Pendidikan, dan lain-lain.
5) Keluarga dengan Anak Remaja : Pada tahap ini, keluarga berada
pada posisi dilematis, anak mulai mengurangi perhatiannya kepada
keluarga. Anak mulai beranjak dewasa dan memiliki pandangan pribadi
sehingga tidak jarang terjadi perbedaan pandangan dengan orang tua.
6) Keluarga dengan Anak Dewasa : Pada tahap ini, anak mulai
memasuki usia dewasa dimana orang tua mulai melepas anak untuk
memulai hidup baru seperti berkuliah, bekerja, hingga membentuk
keluarga baru
7) Keluarga Usia Pertengahan : Tahap dimana orang tua kembali
hidup berdua, anak satu-persatu mulai meninggalkan rumah untuk
menjalani kehidupan barunya. Tugas perkembangan pada tahap ini adalah
menjaga keintiman pasangan, menjaga komunikasi dengan anak dan cucu,
mempertahankan kesehatan
8) Keluarga Usia Lanjut : Pada tahap ini, orang tua mulai
merasa kesepian dan tidak berdaya. Tugas perkembangan pada tahap ini
adalah saling memberikan perhatian, memperhatikan kesehatan masing-
masing pasangan, rajin berolahraga, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan
lain-lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Berdasarkan seluruh teori yang dikaji dalam makalah ini, dapat disimpulkan
bahwa setiap teori pembentukan keluarga memiliki konsep dan pandangan yang berbeda
dalam melihat sebuah keluarga. Masing-masing teori menjelaskan :
1) Teori Struktural Fungsional
Teori ini menjelaskan bahwa dalam setiap system terdapat keragaman
yang dapat dilihat dari perbedaan peran dan fungsi yag dimilki tiap individu di
dalamnya. Sebuah keluarga harus memiliki struktur tertentu untuk dapat
menjalankan fungsinya secara optimal.
2) Teori Sosial Konflik
Teori ini muncul dari ketidakpuasan masyarakat terhadap strukturan
fungsional serta dilandasi dari keinginan masyarakat untuk terus berubah
mengikuti perkembangan zaman. Teori ini menjelaskan adanya perubahan
struktur sosial dalam keluarga atau rumah tangga.
3) Teori Ekologi
Teori ini membahas keterikatan seseorang dengan lingkungannya, dimulai
dari lingkungan terkecil hingga terbesar. Hubungan timbal balik yang tercipta dari
interaksi individu dengan lingkungannya mempengaruhi pembentukan tingkah
laku individu.
4) Teori Pertukaran Sosial
Teori ini focus kepada motivasi yang berasal dari keinginan individu daam
menentukan pilihan secararasional menimbang antara imbalan (rewards) yang akan
diterima dengan biaya (cost) yang akan dikeluarkan.
5) Teori Feminis
Teori ini merupakan salah satu cabang dari teori sosial yang membahas
tentang ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. Teori ini terbentuk karena
perempuan merasa terintimidasi sehingga muncul upaya untuk menuntut kesetaraan
hak antara perempuan dan laki-laki.
6) Teori Gender
Teori ini menjelaskan bagaimana masyarakat menciptakan konsep perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal identitas. Gender dapat ditentukan dengan
bagaimana seseorang berperilaku dalam masyarakat.
7) Teori Perkembangan
Teori perkembangan membahas tentang siklus hidup yang dilalui sebuah
keluarga secara umum. Siklus hidup ini merupakan proses perubahan yang terjadi
pada keluarga dalam kurun waktu tertentu. Tidak semua keluarga mengalami siklus
yang sama. Namun secara umum terdapat delapan tahap dalam siklus keluarga
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Adibah, Ida Zahara. 2017. “Struktural Fungsional Robert K. Merton: Aplikasinya Dalam
Kehidupan Keluarga.” Jurnal Inspirasi 1(2): 171–84.
http://ejournal.undaris.ac.id/index.php/inspirasi/article/view/12/11.
Aisyah, Siti Nur, Vera Utami Gede Putri, and Mulyati Mulyati. 2017. “Pengaruh
Manajemen Waktu Ibu Bekerja Terhadap Kecerdasan Emosional Anak.” JKKP
(Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan) 3(1): 33.
Allen, Katherine R., and Ana L. Jaramillo-Sierra. 2015. “Feminist Theory and Research
on Family Relationships: Pluralism and Complexity.” Sex Roles 73(3–4): 93–99.
Andayani, Budi. 2004. “Tinjauan Pendekatan Ekologi Tentang Perilaku Pengasuhan
Orangtua.” Buletin Psikologi (1): 44–60.
Coyle-Shapiro, Jacqueline A-M., and Marjo-Riitta Diehl. 2018. “Social Exchange
Theory.” The Routledge Companion to Trust: 197–217.
https://www.taylorfrancis.com/books/9781317595717/chapters/10.4324/97813157
45572-14.
Dalimoenthe, Ikhlasiah. 2011. “Perempuan Dalam Cengkeraman HIV / AIDS : Kajian
Sosiologi Feminis Perempuan Ibu Rumah Tangga.” Ikhlasiah Dalimoenthe 5(1).
Economies, Man, and Views Distributive Justice. 2015. “SOCIAL EXCHANGE
THEORY.” 9(2): 261–87.
Hasan, Bahrudin et al. 2019. “GENDER DAN KETIDAK ADILAN Bahrudin Hasan
Universitas Bumi Hijrah Tidore Email : Udinamatadit1976@gmail.Com
Keywords : Gender and Injustice Tinjauan Pustaka Maskulinitas Maskulinitas
Adalah Ditemukan Di Berbagai Masyarakat , Namun Juga Di Praktekan Dengan .”
7(1).
Hidayati, N. 2018. “Teori Feminisme.”
Kitchen, Deeb Paul. 2016. “Structural Functional Theory.” Encyclopedia of Family
Studies: 1–7.
Krisnatuti, Diah, and Lilik Noor Yuliati. 2016. “PENGARUH TUGAS
PERKEMBANGAN KELUARGA TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN
IBU YANG BARU MEMILIKI ANAK PERTAMA.” 9(1): 1–10.
Martin, Todd F. 2018. “Family Development Theory 30 Years Later.” Journal of Family
Theory and Review 10(1): 49–69.
McGuire, Jenifer K., Katherine A. Kuvalanka, Jory M. Catalpa, and Russell B. Toomey.
2016. “Transfamily Theory: How the Presence of Trans* Family Members Informs
Gender Development in Families.” Journal of Family Theory and Review 8(1): 60–
73.
Mujahidah. 2015. “Implementasi Teori Ekologi Bronfenbrenner Dalam Membangun
Pendidikan Karakter Yang Berkualitas.” Implementasi Teori Ekologi IXX(2): 171–
85.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=400630&val=8781&title=IM
PLEMENTASI TEORI EKOLOGI BRONFENBRENNER DALAM
MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER YANG BERKUALITAS.
Mustafa, Hasan. 2011. “Prilaku Manusia Dalam Perspektif Psikologi Sosial.” Jurnal Ilmu
Administrasi Bisnis 7(12): 144–56.
Paat, Yok Fong. 2013. “Working with Immigrant Children and Their Families: An
Application of Bronfenbrenner’s Ecological Systems Theory.” Journal of Human
Behavior in the Social Environment 23(8): 954–66.
Pitaloka Priasmoro, Dian, Edi Widjajanto, and Lilik Supriati. 2019. “Analisis Faktor-
Faktor Keluarga Yang Berhubungan Dengan Perilaku Agresif Pada Remaja Di Kota
Malang (Dengan Pendekatan Teori Struktural Fungsional Keluarga).” Jurnal Ilmu
Keperawatan (Journal of Nursing Science) 4(2): 114–26.
Prasetyo, Adi Yuli, Aziz Fathoni, and Djamaludin Malik. 2018. “ANALISIS
PENGARUH KONFLIK KELUARGA- STRESS KERJA DENGAN
DUKUNGAN SOSIAL SEBAGAI VARIABEL MODERASINYA ( Studi Pada
Guru Demak ).”
Puspitawati, Herien. 2013a. “Konsep, Teori Dan Analisis Gender.” Ekologi Manusia 2:
1–13.
———. 2013b. “KONSEP DAN TEORI KELUARGA Oleh : Herien Puspitawati
Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut
Pertanian Bogor Indonesia . PT IPB Press . Bogor .” Komunikasi Pembangunan
4(Zeitlin 1995): 1–16.
Sawyer, Katina B., Christian Thoroughgood, and Jamie Ladge. 2017. “Invisible Families,
Invisible Conflicts: Examining the Added Layer of Work-Family Conflict for
Employees with LGB Families.” Journal of Vocational Behavior 103: 23–39.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jvb.2017.08.004.
Siswati, M., and H. Puspitawati. 2018. “Peran Gender, Pengambilan Keputusan, Dan
Kesejahteraan Keluarga Dual Earner.” Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 10(3):
169–80.
Sunarti, Euis, Intan Islamia, Nur Rochimah, and Milatul Ulfa. 2017. “Pengaruh Faktor
Ekologi Terhadap Resiliensi Remaja.” Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 10(2):
107–19.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai