Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN LITERATUR MENGENAI TEORI KELUARGA

TEORI KELUARGA

DISUSUN OLEH:

DINDA HILYA RAMADANI

(1504617019)

PENDIDIKAN VOKASIONAL KESEJAHTERAAN KELUARGA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
JULI, 2019
RINGKASAN

Pada umumnya, keluarga adalah sekelompok orang yang awal mulanya


berasal dari sepasang perempuan dan laki-laki yang memiliki latar belakang berbeda
dan disatukan oleh ikatan pernikahan. Pasangan tersebut kemudian akan melahirkan
anak yang akan melanjutkan perkembangan keluarga berikutnya. Dalam
perkembangannya, terdapat tujuh teori yang melandasi keluarga, yaitu teori struktural
fungsional, teori sosial konflik, teori ekologi, teori pertukaran sosial, teori feminis,
teori gender, dan teori perkembangan. Ketujuh teori tersebut memiliki karakteristik
dan dampak positif serta negatif terhadap keluarga.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga merupakan sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau
lebih dan pada umumnya ditandai dengan adanya ikatan pernikahan antara
seorang laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Setiap keluarga
memiliki perkembangan yang berbeda sesuai dengan kesepakatan antar
anggota keluarga demi mencapai kesejahteraan bersama. Keluarga memiliki
karakteristik dan prinsip masing-masing yang mengarah kepada beberapa
teori keluarga yang ada. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa teori
yang melandasi suatu keluarga. Teori-teori tersebut antara lain teori struktural
fungsional, teori sosial konflik, teori ekologi teori pertukaran sosial, teori
feminis, teori gender, dan teori perkembangan. Dalam implikasinya, setiap
teori tersebut memiliki karakteristik masing-masing yang menggambarkan
bagaimana keadaan keluarga tersebut.
Teori struktural fungsional identik dengan norma tanpa adanya
pergeseran peran anggota dalam suatu keluarga. Namun sebaliknya dengan
teori sosial konflik yang justru identik dengan adanya perubahan karena para
penganut teori sosial konflik menganggap bahwa perubahan merupakan hal
yang lumrah dalam kehidupan. Teori ekologi membahas tentang
perkembangan seorang anak yang dipengaruhi oleh lingkungan kehidupannya.
Teori pertukaran sosial membahas tentang untung rugi dalam suatu
pernikahan yang akan menentukan apakah pernikahan tersebut akan berlanjut
atau berakhir. Teori feminis berarti paham yang beranggapan bahwa
perempuan dapat bersaing dengan laki-laki dalam aspek kemampuan
universal (adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki). Teori gender
membahas tentang peran, hak, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan.
Teori perkembangan membahas tentang perkembangan dalam suatu keluarga
dari mulai pasangan yang menikah hingga meninggal dunia.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
berbagai macam teori yang melandasi pembentukan keluarga.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk
memahami pembaca mengenai konsep dan implikasi dari macam-
macam teori keluarga yang ada.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan pembaca mengenai teori
pembentukan keluarga.

1.3.2 Manfaat Praktis


Manfaat praktis dari penulisan makalah ini adalah sebagai
informasi dalam mengarahkan pembaca untuk mengimplikasikan
teori keluarga yang tidak memiliki kemungkinan dapat
menimbulkan problematika dalam keluarga.
BAB II
ISI

2.1 Teori Struktural Fungsional


Teori struktural fungsional berasal dari kata struktur dan fungsi.
Struktur berarti terstruktur atau terarah, sedangkan fungsi berarti berguna.
Sehingga dapat disintesakan bahwa teori struktural fungsional adalah suatu
teori yang membahas tentang hal yang dijalankan secara terarah dan memiliki
guna.
Dalam teori keluarga, struktural fungsional yang dimaksud adalah
sebuah keluarga yang memiliki norma atau aturan untuk dipatuhi dan tidak
boleh ada pergeseran peran, hak, dan tanggung jawab dalam mematuhi norma
tersebut. Struktural fungsional sangat terpaku dengan norma yang berlaku.
Norma yang diterapkan berasal dari tradisi para leluhur yang turun temurun
dan masih dibakukan hingga kini. Salah satu contoh implikasi keluarga
struktural fungsional adalah dalam suatu keluarga terdapat pembagian peran
yang tidak boleh berubah atau bergeser, yaitu ibu sebagai seorang ibu rumah
tangga, sehingga ibu memiliki tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga,
termasuk mengasuh anak. Kemudian tugas ayah adalah sebagai pencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini sejalan dengan
pernyataan (Hidayati, Kaloeti, & Karyono, 2011) yang menyatakan bahwa
Ayah bertanggungjawab secara primer terhadap kebutuhan finansial keluarga.
Anak sebagai seorang investasi bagi kedua orang tua yang bertanggung jawab
untuk menimba ilmu setinggi-tingginya agar menjadi sumber daya manusia
yang berkualitas.
Sedangkan guna yang dimaksud dari kata fungsi bagi keluarga
struktural fungsional adalah ibu rumah tangga memiliki waktu yang banyak
untuk menghabiskan waktu pada sektor domestik. Keluarga struktural
fungsional selalu membagi sektor domestik kepada ibu, termasuk mengasuh
anak. Hal tersebut akan berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan anak
karena anak di asuh oleh ibu kandungnya selama satu haru penuh dalam satu
minggu. Ibu memiliki peran yang besar dalam pengasuhan untuk
perkembangan anak yang baik. Peran Ibu, antara lain: Menumbuhkan
perasaan sayang, cinta, melalui nkasih sayang dan kelembutan seorang ibu,
Menumbuhkan kemampuan berbahasa dengan baik kepada anak,
Mengajarkan anak perempuan berperilaku sesuai jenis kelaminnya dan baik
(Rakhmawati, 2015). Jika peran ibu dijalankan dengan rutin dan terarah maka
dapat menimbulkan sikap responsif pada anak, sehingga anak dapat
berkembang dengan baik. Ibu yang mengurus dan merawat anak memiliki
banyak kesempatan yang lebih baik, disetiap waktunya dengan anak
(Mitayani, T, & Nursetiawati, 2015).
Jika ayah dan ibu bekerja, anak akan terkena imbas. Anak akan
kehilangan peran sosok orangtua dalam pengasuhan. Meskipun ibu tetap
memiliki waktu untuk mengasuh anak sebelum atau setelah bekerja, anak
tidak memiliki waktu seharian penuh diasuh oleh ibu. Bahkan jika ayah dan
ibu bertukar peran, maka sosok ayah dalam keluarga struktural fungsional
akan mengalami ketegangan peran jika ayah yang mengasuh anak.
Ketegangan peran adalah keadaan dimana seseorang merasa kesulitan
menjalankan peran karena peran yang dijalankan tidak sesuai dengan harapan
orang lain. Bagi keluarga struktural fungsional, ibu adalah anggota keluarga
yang harus berperan dalam sektor domestik, termasuk mengasuh anak karena
ibu dianggap memiliki kualitas yang berbeda dengan ayah saat mengasuh
anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang ditemukan oleh (Craig, 2006),
yaitu these results lend support to the hypothesis that mothers in intact
families not only provide more absolute child care than fathers, but that also,
the experience of providing care is different in kind and quality for mothers
and for fathers. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa ibu dalam
keluarga yang utuh tidak hanya memberikan pengasuhan anak yang tak
terbatas dibanding ayah, namun juga kualitas pengasuhan pada anak yang
dilakukan antara ibu dan ayah berbeda. Oleh karena itu, keluarga struktural
fungsional tidak menginginkan terjadinya pergeseran peran dalam keluarga
mereka karena akan memengaruhi keadaan keluarga. Marriage equals
motherhood and motherhood equals marriage (Büskens, 2004). Yang berarti
bahwa jika terjadi suatu pernikahan, prempuan akan menjadi seorang ibu.
Begitupun saat perempuan menjadi seorang ibu, yang berarti menandakan
bahwa adanya pernikahan. Intinya adalah pernikahan akan menjadikan
perempuan menjadi seorang ibu dan salah satu tugas ibu adalah mengasuh
anak.
Salah satu tokoh terkenal dalam teori struktural fungsional adalah
Talcott Parsons yang mengemukakan empat imperatif fungsional untuk
bertahan dalam menghadapi problematika, yaitu AGIL (adaptation, goal,
integration, latency). Adaptation atau adaptasi merupakan sebuah cara yang
harus dilakukan suatu keluarga untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitar. Goal atau tujuan berarti suatu keluarga dibangun atas dasar tujuan
tertentu dan mereka dituntut untuk dapat mencapai tujuan tersebut untuk
kepentingan bersama. Integrity atau integritas artinya suatu keluarga harus
dapat mengatur hubungan antar anggotanya untuk dapat bekerjasama dengan
baik agar keluarga dapat berfungsi secara maksimal dalam memecahkan suatu
masalah. Latency atau latensi berarti sebuah keluarga harus mempertahankan
norma-norma yang mereka anut.
2.2 Teori Sosial Konflik
Bertolak belakang dengan teori struktural fungsional yang terpaku
pada norma, teori sosial konflik justru identik pada perubahan. Teori sosial
konflik merupakan teori yang cenderung dinamis, sehingga tidak memiliki
norma atau aturan tertentu. Dalam teori ini, perubahan merupakan suatu hal
yang dianggap lumrah sebagai bagian dari kehidupan. Perubahan tersebut lah
yang kemudian akan menjadi konflik.
Salah satu contoh implikasi keluarga sosial konflik adalah saat seorang
istri lebih banyak menghabiskan waktu pada sektor publik (bekerja di luar
rumah) dibanding pada sektor domestik (mengurus rumah tangga). Dalam hal
ini, terjadi pergeseran peran oleh seorang ibu yang awal mulanya seorang ibu
rumah tangga, kini beralih menjadi seorang pekerja. Hal ini akan berpengaruh
pada alokasi waktu terhadap sektor domestik dan akan menimbulkan konflik.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan (Hill, 2005) Working mothers cope
with a daunting and well-studied set of challenging work-family conflicts.
Yang berarti bahwa ibu yang bekerja akan menghadapi tantangan konflik
pada pekerjaan rumah. Saat seorang ibu menghabiskan banyak waktu pada
sektor publik, otomatis akan lebih sedikit menghabiskan waktu pada sektor
domestik, termasuk mengurus anak. Akibatnya, anak tidak sepenuhnya diasuh
oleh ibu dalam satu hari pada saat ibu bekerja. Selain itu, ibu yang
menghabiskan waktu pada sektor publik akan berdampak pada quality time
mereka. Keberadaan ibu bekerja membuat tidak seimbangnya manajemen
waktu untuk keluarga, padahal keluarga membutuhkan quality time antar
anggota keluarga (Agiani, Nursetiawati, & Muhariyati, 2015). Alokasi waktu
tersebut juga akan memengaruhi waktu dalam pengasuhan anak. Akibatnya,
sosok seorang ibu dalam mengasuh anak tidak akan maksimal dan akan
berdampak pada perkembangan anak, khususnya perkembangan emosional.
Ikatan emosional anak dengan orangtua khususnya ibu memiliki kedekatan,
apabila seorang ibu yang bekerja menggunakan waktu sebaik-baiknya dengan
selalu mengetahui perkembangan anak, menanyakan aktivitas anak di sekolah,
memberi kasih sayang yang penuh terhadap anak, dan berkomunikasi setiap
waktu setelah ibu pulang bekerja, maka akan berkesan positif pada
perkembangan emosional anak-anak (Aisyah, Gede Putri, & Mulyati, 2017).
Jika seorang anak tidak diasuh sepenuhnya oleh ibu kandung, anak
dikhawatirkan akan melakukan penyimpangan saat beranjak dewasa karena
ibu tidak mengawasi sepenuhnya perkembangan anak. Selain itu, jika anak
diasuh oleh orang lain dikhawatirkan ikatan batin antara anak dengan ibu akan
berkurang. Sebagai contoh, jika seorang anak diasuh oleh baby sitter dapat
terjadi kemungkinan bahwa anak tersebut akan lebih terbuka dan memiliki
kedekatan lebih terhadap baby sitter dibanding dengan ibunya.

2.3 Teori Ekologi


Teori ekologi membahas tentang perkembangan seorang anak
dipengaruhi oleh aspek-aspek luar, yaitu lingkungan dimana anak tersebut
tumbuh. Tokoh yang sangat terkenal dalam teori ini adalah Uri
Bronfenbrenner. Menurut Bronfenbrenner, dalam teori ekologi terdapat lima
tingkatan dalam sistem yang memengaruhi perkembangan anak. The
ecological model consists of five systems of interaction that the former is
nested in the latter: 1) Microsystem, 2) Mesosystem, 3) Exosystem, 4)
Macrosystem, and 5) Chronosystem (Zhang, 2018). Diibaratkan sebuah
lingkaran, anak sebagai suatu individu menempati posisi bagian tengah yang
dikelilingi lima sistem tesebut. Sistem pertama dan sangat dekat dengan anak
adalah mikrosistem, sistem kedua yang lebih luas setelah mikrosistem adalah
mesosistem, sistem ketiga adalah eksosistem, sistem keempat adalah
makrosistem, dan sistem terluar dari kelima sistem tersebut adalah
kronosistem.
Microsystem (mikrosistem) adalah sistem terdekat dengan anak yang
berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari anak. Sub sistem dari
mikrosistem adalah keluarga, sekolah, teman sebaya, dan masyarakat di
sekitar tempat tinggal anak. Sistem ini sangat memengaruhi perkembangan
anak, khususnya keluarga karena keluarga merupakan orang terdekat yang
utama dan pertama bagi anak. Subsistem keluarga khususnya orangtua dalam
mikrosistem dianggap agen sosialisasi paling penting dalam kehidupan
seorang anak sehingga keluarga berpengaruh besar dalammembentuk karakter
anak-anak (Mujahidah, 2015). Pernyataan tersebut diperkuat dengan
pernyataan dari (F. R. Putri & Nurwianti, 2018) yang meyatakan bahwa ketika
anak masih kecil, lingkungan pertama yang akan membentuk pola pikir dan
perilakunya adalah orang tua. Anak akan berkembang sesuai dengan apa yang
diterapkan oleh keluarga. Namun perkembangan anak dapat berubah karena
adanya lingkungan sekitar terdekat yang juga dapat memengaruhi
perkembangan anak. Pada mikrosistem, hanya terjadi interaksi pribadi antara
anak dengan sub sistem yang ada dalam mikrosistem (anak dengan keluarga,
anak dengan sekolah, anak dengan teman sebaya, ataupun anak dengan
masyarakat sekitar), sehingga sub sistem dalam lingkungan mikrosistem tidak
saling berkaitan satu sama lain.
Mesosystem (mesosistem) adalah sistem kedua setelah mikrosistem.
Sistem-sistem mikro tersebut saling berhubungan dan membentuk sistem yang
lebih besar yaitu sistem meso, misalnya antara keluarga dan sekolah, keluarga
dan warga kampung, antara sekolah dan masyarakat sekitarnya (Andayani,
2004). Dalam sistem ini terjadi interaksi antara anak dengan berbagai sub
sistem sehingga sub sistem dalam mesosistem saling berkaitan satu sama lain.
Misalnya, ketika seorang anak sedang memiliki konflik dengan keluarganya,
terjadi kemungkinan bahwa anak tersebut akan menutup diri dari teman
sebaya, sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar.
Exosystem (eksosistem) adalah sistem yang lebih besar setelah
mesosistem. Eksosistem tidak terlibat langsung dengan anak, namun ikut
andil dalam perkembangan anak. Sub sistem dalam eksosistem adalah
pekerjaan orang tua, kurikulum, yayasan baby sitter, dan lain-lain. Misalnya,
suatu yayasan baby sitter tidak memiliki persyaratan khusus dalam merekrut
baby sitter, sehingga siapapun bisa menjadi baby sitter. Kemudian terdapat
baby sitter yang tidak kompeten dalam mengasuh anak dalam yayasan
tersebut yang kemudian dipekerjakan dan terjadilah kecelakaan pada anak.
Macrosystem (makrosistem) merupakan sistem yang satu tingkat lebih
besar setelah eksosistem. Sub sistem dalam makrosistem adalah ideologi
negara, ras, agama, budaya, adat istiadat, dan lain-lain. Sub sistem dalam
lingkungan makrosistem memang sangat luas dan cukup jauh dari anak,
namun secara tidak langsung akan memengaruhi perkembangan anak.
Misalnya, pada negara dengan budaya Timur seperti Indonesia, masyarakat
menganggap bahwa pergaulan bebas adalah hal yang tabu dan harus dihindari.
Berbeda dengan budaya Barat yang mayoritas masyarakatnya menganggap
bahwa pergaulan bebas merupakan hal yang lumrah.
Chronosystem (kronosistem) adalah sistem terluas dalam
perkembangan anak. Kronosistem mencakup seluruh alam semesta dan
biasanya identik dengan keadaan sosiohistoris. Kronosistem meliputi
keterpolaan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan
sosiohistoris (Salsabila, 2018). Misalnya, pada masa ini anak-anak lebih
berfokus pada permainan yang semakin canggih seiring berjalannya waktu.
Berbeda dengan anak-anak pada zaman dahulu yang permainannya bersifat
tradisional. Hal tersebut disebabkan karena adanya globalisasi di dunia yang
membuat teknologi semakin maju dan mudah dijangkau anak-anak.

2.4 Teori Pertukaran Sosial


Teori pertukaran sosial membahas tentang keadaan dimana seseorang
akan melanjutkan perilakunya jika apa yang ia lakukan sebelumnya mendapat
penghargaan. Sebaliknya, jika perilaku yang ia lakukan tidak mendapat
penghargaan atau bahkan merugikan dirinya, maka ia tidak akan melanjutkan
perilaku tersebut. Atau singkat dari konsep teori pertukaran sosial adalah
untung rugi.
Salah satu contoh implikasi teori ini dalam keluarga adalah untung
rugi yang terdapat dalam suatu pernikahan. Untung rugi tersebut yang akan
menentukan kelanjutan dari suatu pernikahan. Jika pasangan merasa saling
diuntungkan dari pernikahan mereka, maka mereka akan melanjutkan
pernikahan tersebut. Tetapi jika mereka sudah tidak lagi merasa ada
keuntungan yang ditimbulkan dari pernikahannya, maka kemungkinan besar
mereka akan memutuskan untuk bercerai. Kerugian yang dirasakan dalam
suatu pernikahan dapat berupa konflik, ketidakharmonisan, ketidaknyamanan,
merasa tidak ada kecocokan, masalah ekonomi dan lain sebagainya. Ketika
suatu perkawinan sering diwarnai pertengkaran, merasa tidak bahagia, atau
masalah lainnya sering kali terpikir untuk segera mengakhiri pernikahan
tersebut (Sutarjo, Hasanah, & Artanti, 2017). Untuk itu, dalam suatu
pernikahan, kepuasan pernikahan sangat penting untuk mencegah masalah-
masalah yang akan mengarah pada perceraian. Apabila seseorang merasa puas
terhadap pernikahan yang dijalaninya, maka ia beranggapan bahwa harapan,
keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat I menikah telah terpenuhi,
baik sebagian ataupun seluruhnya (Maharti & Mansoer, 2018). Kepuasan
pernikahan memiliki pengaruh besar dalam mencegah perceraian. Conflict
styles and marital satisfaction fully mediated the association between reports
of financial disagreements and divorce, implicating both family systems and
social exchange (Dew, Britt, & Huston, 2012). Pernyataan tersebut memiliki
arti bahwa kepuasan pernikahan menjadi penengah sepenuhnya antara suatu
masalah keuangan dan perceraian.

2.5 Teori Feminis


Teori feminis atau feminisme adalah suatu paham yang menuntut hak
dan keadilan perempuan harus setara dengan laki-laki dalam segi kemampuan
yang bersifat universal. Para perempuan penganut feminisme tidak menebar
kebencian dengan laki-laki karena mereka hanya sekadar menginginkan
kesetaraan, bukan menginginkan derajat yang lebih tinggi dibanding laki-laki.
Feminis masih sadar akan kodratnya sebagai perempuan yang memiliki
kondisi biologis berbeda dengan laki-laki, sehingga yang diharapkan dari para
feminis adalah keadilan dalam segi kemampuan universal, seperti pendidikan,
pekerjaan umum, kesehatan, penguasaan dan segala hal yang bersifat
universal. Feminis seringkali dianggap sebagai penentang kodrat, namun
feminis justru menganggap bahwa mereka adalah para penentang kebodohan
yang menuntut kesetaraan hak dengan laki-laki. Many women view ‘feminism’
as synonymous with ‘women’s rights.’ (Swirsky & Angelone, 2016). Para
feminis memandang feminisme sebagai hak-hak wanita yang memerlukan
perhatian khusus dalam hal kesetaraan dengan laki-laki.
Salah satu implikasi feminisme dalam keluarga adalah ibu yang
bermigrasi ke luar negeri untuk mendongkrak perekonomian keluarga. Ibu
yang bermigrasi memiliki dampak positif pada keluarga, yaitu meningkatakn
pendapatan keluarga sehingga kecil kemungkinan bahwa keluarga tersebut
akan mengalami krisis perekonomian. Selain itu, sosok ibu yang bekerja juga
dapat menjadi ‘cadangan’ dalam menjalankan peran sebagai pencari nafkah,
yang berarti jika suatu saat ayah mengalami kemunduran dalam
perekonomian, keluarga tersebut akan tetap dapat bertahan karena ibu turut
andil dalam pencarian nafkah. Namun, dikhawatirkan akan berdampak negatif
pada perkembangan emosi anak karena anak tidak diasuh bahkan berinteraksi
secara langsung dalam jangka panjang dengan ibu. Berkembangnya paham
feminis dalam pola migrasi di dunia mulai abad ke-19 memiliki dampak pada
pergeseran nilai-nilai budaya dan pola asuh ibu terhadap anak yang
ditinggalkan dalam keluarga (Prasetyo, 2017). Bahkan bila ayah ikut
berkecimpung dalam sektor publik, anak akan kehilangan sosok kedua
orangtua dalam pengasuhan. Dalam kasus ini, ibu mungkin akan
mempercayakan orang terdekat seperti kakek atau nenek untuk mengasuh
anak, namun jelas saja anak akan sangat kehilangan peran sosok ibu dalam
pengasuhan. Pengasuhan yang dilakukan oleh kakek atau nenek seringkali
disebut dengan grandparenting. Meskipun dianggap tabu, grandparenting
tidak akan mengganggu perkembangan anak jika kakek atau nenek dapat
mengasuh anak dengan baik. Hal tersebut telah dibuktikan oleh penelitian
yang mengatakan bahwa (Nurannisa, Hasanah, & Tarma, 2017) pengasuhan
nenek tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan
emosi remaja. Meski demikian, tidak sepatutnya orangtua yang bekerja
memberikan sepenuhnya pengasuhan anak mereka kepada kakek atau
neneknya. Anak yang sedang berkembang tidak hanya membutuhkan
kecukupan materi, namun juga membutuhkan kasih sayang orangtua. Orang
tua tetap harus berperan dalam perkembangan anak. Orang tua dapat
mengontrol anak sesekali saat memiliki waktu luang.

2.6 Teori Gender


Konsep gender dan jenis kelamin selama ini seringkali disalahartikan.
Gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin mengacu pada kondisi
biologis seseorang, yaitu laki-laki memiliki penis, sedangkan perempuan
memiliki vagina dan mengalami kondisi 5M (menstruasi, mengandung,
melahirkan, menyusui, dan menopause). Meskipun jenis kelamin dapat
berubah karena adanya kemajuan dalam dunia kedokteran, namun tetap saja
peran dalam sisi biologis mereka tidak akan dapat berubah hingga akhir hayat,
contohnya adalah laki-laki tidak dapat merasakan 5M, sedangkan wanita
dapat merasakan 5M. Gender mengacu pada sifat feminin dan maskulin.
Gender adalah perbedaan peran, hak, kewajiban, dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan yang pembagiannya dapat berubah seiring
berjalannya waktu.
Lingkungan turut andil dalam memengaruhi peran gender sehingga
peran gender dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Misalnya, terdapat daerah yang mayoritas masyarakat wanitanya (ibu)
bermigrasi menjadi TKW sehingga sektor domestik termasuk pengasuhan
anak dikuasai oleh laki-laki (ayah). Hal tersebut dianggap sebagai hal yang
lumrah karena lingkungan yang mendukung ayah untuk memasuki sektor
domestik dan ibu yang memasuki sektor publik sebagai pencari nafkah.
Namun, jarang ditemui pergantian peran seperti itu karena masyarakat masih
memiliki stereotip bahwa ayah adalah pencari nafkah. Masih banyak
masyarakat yang beranggapan bahwa posisi wanita dibawah laki-laki
sehingga tidak pantas untuk menjadi pemimpin dalam keluarga. Hal tersebut
sejalan dengan pernyataan (Eagly & Steffen, 1984) yang menegaskan bahwa
women are more likely than men to be homemakers and are less likely to be
employed in the paid work force. Pernyataan tersebut berarti bahwa wanita
dianggap lebih memungkinkan untuk mengurus rumah tangga dibanding laki-
laki. Pembagian peran seperti ayah sebagai pencari nafkah dan ibu sebagai
pengurus rumah tangga merupakan adat istiadat yang hingga saat ini masih
dibakukan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan (D. P. K. Putri & Lestari,
2015) yang menyatakan bahwa pembagian peran dan maupun pembagian
tugas rumah tangga yang adil antara suami dan istri terkadang masih
dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat mengenai peran gender yang
cenderung memposisikan wanita untuk selalu berperan pada wilayah
domestik. Namun, peran gender dapat berubah. Pernyataan tersebut didukung
dengan pernyataan (Sudarta, 2003) yang menyatakan bahwa peran gender
juga dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan :
pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Meski demikian, saat ini sudah
banyak wanita yang menghabiskan waktu pada sektor publik untuk mencari
nafkah atau sekadar menambah pendapatan keluarga karena sedikit demi
sedikit, stereotip masyarakat tentang ibu yang harus mengurus rumah tangga
sudah mulai berkurang. Salah satu wanita alasan wanita bekerja adalah untuk
memperoleh penghasilan demi bertahan hidup. Banyak pro dan kontra yang
muncul dalam menganggapi hal tersebut. Bagaimanapun, masyarakat masih
memandang keluarga yang ideal adalah suami bekerja pada sektor publik dan
istri bekerja pada sektor domestik dengan berbagai pekerjaan rumah (Siregar,
2011).

2.7 Teori Perkembangan


Teori perkembangan menjelaskan bahwa seiring berjalannya waktu,
suatu keluarga akan berkembang hingga pada akhirnya pasangan akan
mengalami kematian dan kehidupan berkeluarga akan dilanjutkan oleh
generasi berikutnya. Namun nasib berbeda akan dialami pasangan yang tidak
memiliki keturunan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk merasakan
memiliki dan menikmati kehidupan dengan perkembangan keturunan,
sehingga mereka hanya menikmati hidup mereka dengan pasangannya.
Family development theory looks at how couple and family members
deal with varios roles and developemental tasks within the marriage and the
family as they move through each stage of the life cycle (DeFrain & Brand,
2012). Pernyataan tersebut berarti bahwa teori perkembangan keluarga
menjelaskan bagaimana keluarga menjalankan berbagai peran dan tugas
dalam menjalani siklus perkembangan keluarga. Tokoh yang paling terkenal
dalam teori perkembangan adalah Evelyn Millis Duvall dengan gagasan
delapan tahap perkembangan keluarga. The family lifecycle is defined in terms
of eight developmental stages: (a) married couple (without children), (b)
childbearing families (oldest child from birth to 30 months), (c) families with
preschool children (oldest child from 2.5 to 6 years), (d) families with school
children (oldest from 6 to 13 years), (e) families with teenagers (oldest from
13 to 20 years), (f) families that are launching (from first child to leave to last
child to leave), (g) middle years ("empty nest" to retirement), and (h) aging
family (retirement to death of both spouses) (Laszloffy, 2002).
Married couple (pasangan yang baru menikah) adalah tahap pertama
dalam teori perkembangan keluarga. Pada tahap ini, pasangan memiliki tugas
untuk mempersiapkan kehamilan bagi calon ibu serta menciptakan kepuasan
satu sama lain. Peran yang dijalankan antar pasangan hanya sebatas saling
melengkapi satu sama lain antara suami-istri karena pada tahap ini pasangan
belum memiliki anak.
Childbearing families (keluarga baru memiliki anak) adalah tahap
kedua. Pada tahap ini, anggota keluarga bertambah, yaitu anak. Pasangan pada
tahap ini memiliki tugas untuk menyesuaikan diri dengan bayi dan
menciptakan rumah tangga yang bahagia serta memuaskan untuk keluarga
kecil mereka.
Families with preschool children (keluarga dengan anak usia
prasekolah) adalah tahap ketiga. Pada tahap ini, anggota keluarga mungkin
bertambah karena bertambahnya jumlah anak. Keluarga pada tahap ini
memiliki tugas untuk beradaptasi serta menyiapkan kebutuhan anak
prasekolah.
Families with school children (keluarga dengan anak usia sekolah)
adalah tahap keempat. Pada tahap ini, keluarga khususnya orangtua dituntut
untuk dapat mendorong prestasi dalam pendidikan anak-anak.
Families with teenagers (keluarga dengan anak usia remaja) adalah
tahap kelima. Pada tahap ini, anak yang sudah memasuki usia remaja harus
diawasi dengan lebih optimal karena pada usia remaja, individu rentan
menjadi nakal. Orang tua harus dapat menyeimbangkan antara kebebasan
dengan tanggung jawab pada anak yang menginjak usia remaja.
Families that are launching (keluarga dengan usia dewasa) adalah
tahap keenam dimana usia anggota keluarga semakin menua. Orang tua
memiliki tugas untuk menuntun anak mereka dari masa remaja ke masa
dewasa dan tetap mempertahankan rumah tangga dengan baik. Pada tahap ini,
biasanya anak mulai memilih pasangan hidup untuk melanjutkan generasi.
Middle years (keluarga usia pertengahan) adalah tahap ketujuh yang
ditandai dengan orang tua sudah menjadi kakek dan nenek. Pada tahap ini,
anak sudah menikah bahkan sudah melahirkan. Anak mulai meninggalkan
orang tua dan menjalani kehidupan dengan keluarganya masing-masing.
Aging family (keluarga dengan orang tua usia lanjut) adalah tahap
terakhir dalam teori perkembangan. Tahap ini ditandai dengan semakin
menuanya orang tua, bahkan salah satu pasangan mungkin sudah ada yang
meninggal dunia. Kondisi kehilangan pasangan hidup yakni salah satu
tantangan emosional terbesar yang dihadapi lansia (Fadillah, Mulyati, &
Muhariati, 2017). Pada tahap ini, lansia membutuhkan dukungan sosial dari
orang terdekat, khususnya pada lansia yang sudah kehilangan pasangan.
Lansia yang sudah kehilangan pasangan akan mengalami kesepian dan
dikhawatirkan akan depresi jika tidak diberi dukungan sosial. Dukungan
sosial yang paling mempengaruhi kualitas hidup lansia dari indikator
keseluruhan yaitu penghargaan positif, persetujuan gagasan, bantuan berupa
tindakan, kasih sayang, empati,perhatian,nasehat, saran petunjuk (Arini,
Hamiyati, & Tarma, 2017).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keluarga adalah sekelompok orang yang disatukan oleh ikatan
pernikahan dan akan berkembang seterusnya. Dalam pembentukan keluarga,
terdapat tujuh macam teori yang melandasi. Teori tersebut adalah teori
struktural fungsional, teori sosial konflik, teori ekologi, teori pertukaran
sosial, teori feminis, teori gender, dan teori perkembangan. Terdapat beberapa
teori yang saling berkaitan, diantaranya adalah teori sosial konflik, teori
feminis, dan teori gender. Ketiga teori tersebut secara tidak langsung
membahas tentang perubahan, salah satunya adalah perubahan tentang
perempuan yang semula menghabiskan waktu pada sektor domestik, kini
sudah banyak perempuan yang beralih ke sektor publik.
Dalam teori sosial konflik, perubahan merupakan hal yang lumrah
dalam keluarga. Kemudian, perubahan tersebut yang akan menjadi konflik
bagi keluarga. Sedangkan teori feminis menganggap bahwa perubahan akan
berdampak positif bagi keadilan hak perempuan dalam segi kemampuan
universal.
Teori gender membahas tentang perbedaan peran antara perempuan
dan laki-laki yang hingga kini masih dibakukan oleh adat istiada. Namun,
seiring berjalannya waktu stereotip masyarakat mengenai perempuan yang
harus menghabiskan waktu pada sektor domestik perlahan mulai hilang.
Teori struktural fungsional membahas tentang keluarga yang
menjalankan peran dan fungsi secara terstruktur sesuai norma yang telah
disepakati bersama. Norma tersebut biasanya berasal dari adat istiadat yang
hingga kini masih dibakukan.
Teori ekologi membahas tentang perkembangan anak yang
dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal. Terdiri dari lima sistem yang
memengaruhi anak, yaitu mikrosistem dengan subsistem keluarga, sekolah,
teman sebaya, dan tetangga, namun subsistem tersebut tidak berkaitan satu
sama lain. Sistem kedua adalah mesosistem dengan subsistem yang saling
berkaitan. Sistem ketiga adalah eksosistem dengan subsistem pekerjaan orang
tua, kurikulum, yayasan baby sitter, dan lain-lain. Makrosistem adalah sistem
keempat dengan subsistem ideologi negara, ras, agama, budaya, adat istiadat,
dan lain-lain. Sistem terakhir adalah kronosistem yang subsistemnya
mencakup alam semesta.
Teori pertukaran sosial membahas tentang untung rugi yang akan
menentukan kelanjutan keluarga.
Teori perkembangan membahas tentang perkembangan suatu keluarga
dari awal menikah hingga lanjut usia, bahkan hingga salah satu pasangan
meninggal dunia.
Setiap teori keluarga memiliki karakteristik tersindiri dan dampak
positif bagi serta negatif bagi keluarga yang menjalani.
DAFTAR PUSTAKA

Agiani, P., Nursetiawati, S., & Muhariyati, M. (2015). Analisis Manajemen Waktu
Pada Ibu Bekerja. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan),
4(1), 27–35.
Aisyah, S. N., Gede Putri, V. U., & Mulyati, M. (2017). Pengaruh Manajemen Waktu
Ibu Bekerja Terhadap Kecerdasan Emosional Anak. JKKP (Jurnal
Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 3(1), 33.
https://doi.org/10.21009/jkkp.031.08
Andayani, B. (2004). Tinjauan pendekatan ekologi tentang perilaku pengasuhan
orangtua. Buletin Psikologi, 12(1), 44–60.
Arini, D., Hamiyati, & Tarma. (2017). Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap
Kualitas Hidup Lansia di Panti Werdha Ria Pembangunan Jakarta Timur. JKKP
(Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 3(2), 17.
https://doi.org/10.21009/jkkp.032.04
Büskens, P. (2004). From perfect housewife to fishnet stockings and not quite back
again: One mother’s story of leaving home. Mother Outlaws: Theories and
Practices of Empowered Mothering, 105–119.
Craig, L. (2006). Does father care mean fathers share?: A comparison of how mothers
and fathers in intact families spend time with children. Gender and Society,
20(2), 259–281. https://doi.org/10.1177/0891243205285212
DeFrain, J. D., & Brand, G. L. (2012). Families across the lifespan: The next.
NebGuide, 2–5. Retrieved from
http://extensionpublications.unl.edu/assets/pdf/g2124.pdf
Dew, J., Britt, S., & Huston, S. (2012). Examining the Relationship Between
Financial Issues and Divorce. Family Relations, 61(4), 615–628.
https://doi.org/10.1111/j.1741-3729.2012.00715.x
Eagly, A. H., & Steffen, V. J. (1984). Gender stereotypes stem from the distribution
of women and men into social roles. Journal of Personality and Social
Psychology, 46(4), 735–754. https://doi.org/10.1037/0022-3514.46.4.735
Fadillah, F., Mulyati, & Muhariati, M. (2017). Perbedaan Penyesuaian Diri Terhadap
Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia Di Rumah Dengan Lansia Di Panti
Wedha. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 3(2), 32.
https://doi.org/10.21009/jkkp.032.07
Hidayati, F., Kaloeti, D. V. S., & Karyono. (2011). Peran Ayah dalam Pengasuhan
Anak [Role of Father in Parenting]. Jurnal Psikologi UNDIP, 9(1), 1–10.
https://doi.org/10.14710/jpu.9.1.
Hill, E. J. (2005). Work-family facilitation and conflict, working fathers and mothers,
work-family stressors and support. Journal of Family Issues, 26(6), 793–819.
https://doi.org/10.1177/0192513X05277542
Laszloffy, T. A. (2002). Rethinking family development theory: Teaching with the
Systemic Family Development (SFD) Model. Family Relations, 51(3), 206–214.
https://doi.org/10.1111/j.1741-3729.2002.206098.x
Maharti, H. M., & Mansoer, W. W. D. (2018). Hubungan Antara Kepuasan
Pernikahan, Komitmen Beragama, Dan Komitmen Pernikahan Di Indonesia.
JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 5(1), 70–81.
https://doi.org/10.21009/jkkp.051.07
Mitayani, Y., T, N. R., & Nursetiawati, S. (2015). Hubungan Stimulasi Ibu Dengan
Perkembangan Motorik Pada Anak Usia 2-3 Tahun (Toddler). JKKP (Jurnal
Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 3(2), 54–67.
Mujahidah. (2015). Implementasi Teori Ekologi Bronfenbrenner Dalam Membangun
Pendidikan Karakter Yang Berkualitas. Implementasi Teori Ekologi, IXX(2),
171–185. Retrieved from
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=400630&val=8781&title=I
MPLEMENTASI TEORI EKOLOGI BRONFENBRENNER DALAM
MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER YANG BERKUALITAS
Nurannisa, H., Hasanah, U., & Tarma. (2017). Pengaruh Granparenting Terhadap
Perkembangan Emosi Remaja Pada Keluarga TKI Di Kecamatan Gekbrong
Cianjur-Jawa Barat. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan),
04(02), 5–8.
Prasetyo, D. T. (2017). Pengasuhan Orangtua Terhadap Kondisi Psikologis Anak
Yang Ditinggalkan Dalam Keluarga Migran : Sebuah Studi Literatur. JKKP
(Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 4(02), 58.
https://doi.org/10.21009/jkkp.042.01
Putri, D. P. K., & Lestari, P. S. (2015). Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga Pada
Pasangan Suami Istri Jawa. Jurnal Penelitian Humaniora, 16(1), 72–85.
Putri, F. R., & Nurwianti, F. (2018). Hubungan Pola Asuh Otoriter Terhadap Perilaku
Agresif Remaja. JKKP : Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan,
05(02), 102–108.
Rakhmawati, I. (2015). Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak. Jurnalbimbingan
Konseling Isla, 6(1), 1–18. https://doi.org/10.21043/kr.v6i1.1037
Salsabila, U. H. (2018). Teori Ekologi Bronfenbrenner Sebagai Sebuah Pendekatan
Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jurnal Komunikasi
Dan Pendidikan Islam, 7(1), 139–158.
Siregar, M. (2011). Keterlibatan Ibu Bekerja Dalam Perkembangan Pendidikan
Anak. II(1), 22–74. https://doi.org/10.1360/zd-2013-43-6-1064
Sudarta, W. (2003). Peranan Wanita Dalam Pembangunan Berwawasan Gender.
Jurnal Studi Jender SRIKANDI, 3(1), 1–12.
Sutarjo, A. A., Hasanah, U., & Artanti, G. D. (2017). Hubungan Antara Coping
Dengan Kualitas Perkawinan Pada Ibu Rumah Tangga. JKKP (Jurnal
Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 3(2), 55–61.
https://doi.org/10.21009/jkkp.032.02
Swirsky, J. M., & Angelone, D. J. (2016). Equality, empowerment, and choice: what
does feminism mean to contemporary women? Journal of Gender Studies, 25(4),
445–460. https://doi.org/10.1080/09589236.2015.1008429
Zhang, Y. L. (2018). Using Bronfenbrenner’s Ecological Approach to Understand
Academic Advising with International Community College Students. Journal of
International Students, 8(4), 1764–1782.
https://doi.org/10.5281/zenodo.1468084

Anda mungkin juga menyukai