Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS MENGENAI TEORI KELUARGA

Teori Keluarga

RIZQI FAUZIAH
1504617005

PENDIDIKAN VOKASIONAL KESEJAHTERAAN KELUARGA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
JULI, 2019
Ringkasan

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang berperan sangat besar terhadap
perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Di dalam
keluarga terdapat satu kesatuan hubungan yang baik ditandai dengan adanya keserasian,
keharmonisan, interaksi dan komunikasi dalam keanggotaan keluarga. Anggota keluarga
terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang dapat berpengaruh besar terhadap kehidupan di sosial
masyarakat. Kemudian ada beberapa teori yang harus kita ketahui dalam konsep keluarga
antara lain yaitu, Teori Struktural Fungsional, Teori Sosial Konflik, Teori Ekologi, Teori
Pertukran Sosial, Teori Feminis, Teori Tender, Teori pengembangan.
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan. Keluarga
menjadi tempat pertama seseorang memulai kehidupannya. Keluarga membentuk suatu
hubungan yang sangat erat antara ayah, ibu, maupun anak. Hubungan tersebut terjadi
dimana antar anggota keluarga saling berinteraksi. Interaksi tersebut menjadikan suatu
keakraban yang terjalin di dalam keluarga, dalam keadaan yang normal maka lingkungan
yang pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya, saudara-saudaranya
serta mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah.
Keluarga menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam
masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, merupakan kelompok
primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi
interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (UU Nomor 10 Tahun
1992 Pasal 1 Ayat 10).
Kemudian keluarga juga sebagai institusi sosial terkecil, yang merupakan fondasi dan
investasi awal untuk membangun kehidupan sosial dan kehidupan bermasyarakat secara
luas menjadi lebih baik. Sebab, di dalam keluarga terdapat nilai-nilai dan norma-norma
sosial jauh lebih efektif dilakukan daripada melalui institusi lainnya yang berada di luar
lembaga keluarga. Peran aktif orang tua terhadap perkembangan anak sangat diperlukan
terutama pada saat mereka masih berada dibawah usia lima tahun. Ada beberapa teori
keluarga yang harus diketahui, dimulai dari salah satu teori yang melandasi studi keluarga
diantaranya adalah Teori Struktural-fungsional/ Teori Sistem pandangan teori struktural-
fungsional ini melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis dan
berkelanjutan. Konsep struktur sosial ini juga meliputi bagian-bagian dari sistem dengan
cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir. Selain itu teori sosiologi konflik yang
merupakan alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural
Talcott Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham
konsensus dan integralistiknya pada sistem sosial yang berstruktur, dan adanya perbedaan
fungsi atau diferensiasi peran (division of labor). Institusi keluarga dalam perspektif
struktural-fungsional dianggap melanggengkan kekuasaan yang cenderung menjadi cikal
bakal timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat. Namun dalam Konsep Ekologi manusia
menyangkut saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan, baik sumberdaya
alam maupun sumberdaya buatan. Pendekatan ekologi atau ekosistem menyangkut
hubungan interdependensi antara manusia dan lingkungan di sekitarnya sesuai dengan
aturan norma kultural yang dianut. Kemudian Teori pertukaran social ini menjelaskan
keberadaan dan ketahanan kelompok sosial, termasuk keluarga melalui bantuan
selfinterest dari individu anggotanya. Fokus sentral dari teori ini adalah motivasi (hal
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan), yang berasal dari
keinginan diri sendiri. Teori ini didasari paham utilitarianisme (individu dalam
menentukan pilihan secara rasional menimbang antara imbalan (rewards) yang akan
diperoleh, dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan. Teori Perkembangan Keluarga
merupakan teori yang berhubungan dengan individualis, dan institusi keluarga, dan
adanya perubahan baik yang terjadi pada individu atau kelompok. Individu, kelompok
dan masyarakat mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan yang terjadi
sepanjang waktu. Hal-hal yang sering dibahas pada teori ini adalah konsep perkembangan
tugas (the Development of task) sepanjang siklus kehidupan keluarga (Family life cycle)
dengan adanya 8 tahapan Perkembangan Keluarga menurut Duvall (1957).

1.2 Tujuan

Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Teori Keluarga


2. Untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai berbagai macam teori-
teori keluarga seperti Teori Struktural Fungsional, Teori Sosial Konflik, Teori
Ekologi, Teori Perubahan Sosial, Teori Feminisme, Teori Gender dan Teori
Perkembangan.

1.3 Manfaat

Manfaat Penulisdalam membuat makalah ini, mempunyai manfaat baik secara teoritis
maupun praktis yang diantaranya sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis
Penulisan makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dan dan dapat
memperkuat teori-teori yang berkaitan dengan konsep,kasus, mengenai teori keluarga.
2. Manfaat Praktis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat dijadikan informasi dan memberikan wawasan
tambahan tentang keluarga di lingkungan masyarakat setempat.
BAB II ISI

2.1 Teori Struktural Fungsional

Struktural fungsionalisme lahir sebagai reaksi terhadap teori evolusionari. Jika tujuan dari
kajian-kajian evolusionari adalah untuk membangun tingkat-tingkat perkembangan budaya
manusia, maka tujuan dari kajian-kajian struktural-fungsionalisme adalah untuk membangun
suatu sistem sosial, atau struktur sosial, melalui pengkajian terhadap pola hubungan yang
berfungsi antara individu-individu, antara kelompok-kelompok, atau antara institusi-institusi
sosial di dalam suatu masyarakat, pada suatu kurun masa tertentu. Jadi pendekatan
evolusionari lebih bersifat historis dan diakronis, sedangkan pendekatan struktural fungsional
lebih bersifat statis dan sinkronis. Struktural-fungsional adalah penggabungan dari dua
pendekatan, yang bermula dari pendekatan fungsional Durkheim, kemudian digabungkan
dengan pendekatan struktural Radcliffe-Brown. Karena itu untuk memahami pendekatan
struktural-fungsional, orang harus melihat dulu sejarah perkembangan pendekatan fungsional.
secara fungsional dalam kajian-kajian sosial telah terlihat dalam karyakarya Spencer dan
Comte, namun Durkheim-lah yang telah meletakkan dasarnya secara tegas dan jelas. Peranan
Durkheim ini diakui secara tegas oleh R-B. Durkheim secara jelas mengatakan bahwa
fenomena sosial seharusnya diekpslain melalui dua pendekatan pokok yang berbeda, yaitu
pendekatan historis dan pendekatan fungsional. Analisa fungsional berusaha menjawab
pertanyaan mengapa suatu item-item sosial tertentu mempunyai konsekuensi tertentu
terhadap operasi keseluruhan sistem sosial. Sementara itu analisa historis berusaha menjawab
mengapa item sosial tersebut, bukan item-item sosial yang lain, secara historis yang
mempunyai fungsi tersebut. Kata Durkheim, harus dapat mengkombinasikan untuk mencari
asal-usul dan sebab (pendekatan historis), di satu pihak, dan penentuan fungsi-fungsi dari
suatu fenomena sosial (pendekatan fungsional), di pihak lain. Kita harus menentukan apakah
ada satu hubungan antara kenyataan sosial dengan kebutuhan umum organisme sosial
(Marzali, 2018).
Menurut teori struktural fungsional seperti yang dikemukakan Parsons bahwa ma-
syarakat akan berada dalam kedaaan harmonis dan seimbang bila institusi atau lembaga-
lembaga yang ada pada masyarakat dan negara mampu menjaga stabilitas pada masyarakat
tersebut. Struktur masyarakat yang dapat menjalankan fungsinya dengan baik dengan tetap
menjaga nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat maka hal ini akan
menciptakan stabilitas pada masyarakat itu sendiri(Sidi, 2014). Teori struktural fungsional
Talcot Parsons dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistim ”tindakan” yang
disebut dengan skema AGIL. Melalui AGIL ini kemudian dikembangkan pemikiran
mengenai struktur dan sistem. Menurut Parson fungsi adalah kumpulan kegiatan yang
ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Menurut Parson agar
dapat bertahan sebuah sistem harus terdiri dari 4 fungsi yaitu:
1. Adaptation (adaptasi).
Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan
keutuhannya.
2. Goal attainment (pencapaian tujuan).
Sebuah sistem mendefinisikan dan men-capai tujuan utamanya.
3. Integration (integrasi).
Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi
komponennya. Sistem juga harus menge-lola antar hubungan ketiga fungsi penting
lainnya (A, G, L). Masyarakat harus me-ngatur hubungan di antara komponen-
komponennya supaya dia bisa berfungsi secara maksimal.
4. Latency (pemeliharaan pola).
Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik mo-tivasi
individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Menurut Parsons (dalam Ritzer & Douglas, 2005) sebuah sistem sosial harus memiliki
persyaratan-persyaratan yaitu ; Pertama, sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian
rupa sehingga bisa ber-operasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainya. Kedua,
untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang
diperlukan dari sistem yang lain. Ketiga, sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan
para aktornya dalam proporsi yang signifikan. Keempat, sistem harus mampu melahirkan
partisipasi yang memadai dari anggotanya. Kelima, sistem sosial harus mampu
mengendalikan perilaku yang berpotensi menganggu. Ke-enam, bila konflik akan
menimbulkan ke-kacauan maka itu harus dikendalikan. Ke-tujuh, untuk kelangsungan
hidupnya, sistem sosial memerlukan Bahasa.
Tokoh dengan pandangan penting dalam teori stuktural fungsional antara lain Robert
K Merton yang lebih menyukai teori-teori yang sifatnya terbatas dalam teori tingkat
menengah. Salah satu penyampaian terpenting Merton adalah analisisnya mengenai
hubungan antara kultur, struktural, dan anomie. Ia mendefinisikan kultur sebagai seperangkat
hubungan sosial yang terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat
atau anggota kelompoknya. Struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang
terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di
dalamnya (Anomie terjadi bila ada keterputusan hubungan antarnorma kultural dan tujuan
dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai
dengan nilai kultural. Artinya karena posisi mereka dalam struktur sosial masyarakat,
beberapa orang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai normatif (dalam Ritzer &
Douglas, 2005). Masyarakat sebagai suatu sistem diatur oleh nilai-nilai dan norma-norma
yang mapan. Suatu masyarakat yang bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka secara
fungsional masyarakat tersebut telah mampu menjaga nilai dan norma agar kehidupan
masyarakat tersebut dapat berjalan selaras dan harmonis. Konflik dalam suatu sistem
masyarakat struktur fungsional yang teratur akan mampu teratasi dengan sendirinya, karena
sistem selalu akan membawa pada keteraturan. Tetapi pada masyarakat yang secara struktural
fungsional tidak mampu menjalan kan perananya maka akan terjadi gesekan, konflik yang
akan berujung pada krisis karakter dalam masyarakat. Menurut Merton perilaku menyimpang
disebabkan oleh ketidakbertautan antara nilai kultural dan cara-cara struktur sosial mencapai
nilai kultural itu. Penyimpangan berarti adanya konsekuensi disfungsional dalam kesenjangan
antara kebudayaan dan struktur yang mengarah pada penyimpangan dalam masyarakat. Lebih
lanjut Merton mengatakan bahwa perilaku individu sangat dipengaruhi oleh struktur
sosialnya, menurutnya penyimpangan akan terjadi bila fungsi kontrol dari lembaga tersebut
tidak ada. (Sidi, 2014)
Assert that with the establishment of the fact that there exist social structures which
make up a system a need arises for an examination of the relationship between the different
parts of the structure and the relationship to the society as a whole. This examination reveals
function as the effect the structure has on other parts of the social structure and on the society.
The concept of function is usually used to refer to the contribution a structure, unit or an
institution makes to the maintenance and survival of the social system. The theory of
structural –functionalism establishes the existence of a social structure within a system and
different aspect of social structure and social organization lend to be functionally related to
one another, so that what happens in one part of society affects and is shaped by what
happens in others. This means that relationships between members of society are organized in
terms of rules (Archibong & Antia, 2014)
Pada studi kasus yang saya ambil dalam artikel, dengan judul “Krisis Karakter Dalam
Perspektif Teori Struktur Fungsional” ini menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil
dalam keluarga dan masyarakat. Upaya mengembalikan peran lembaga dan struktur sosial
yang ada di dalam masyarakat, untuk tetap berpegang teguh pada nilai dan norma yang dianut
masyarakat, sehingga ia mampu mengendalikan adanya penyimpangan nilai dan norma yang
dilakukan oleh anggotanya dengan mengembalikan fungsi dan peran struktur yang ada dalam
masyarakat adalah cara yang bisa dilakukan agar struktur masyarakat termasuk keluarga
mampu menjaga nilai dan norma sehingga mampu menjadi pengendali dari tindakan anggota-
anggotanya. Struktur masyarakat yang kuat secara fungsional akan mampu menciptakan
kehidupan masyarakat yang stabil dan penuh keteraturan. Adanya tranparansi, akuntabilitas
serta fungsi kontrol yang efektif dari berbagai elemen dan struktur masyarakat juga dapat
menjadi kendali atass permasalahan yang ada dalam masyarakat
Dalam hal ini menegaskan dengan pembentukan fakta bahwa ada struktur sosial yang
membentuk suatu sistem, munculnya kebutuhan juga untuk menguji hubungan antara bagian-
bagian struktur yang berbeda dan hubungan dengan masyarakat secara keseluruhan.
Pemeriksaan ini mengungkapkan fungsi sebagai efek struktur fungsional terhadap bagian-
bagian lain dari struktur sosial dan pada masyarakat. Konsep biasanya digunakan untuk
merujuk pada kontribusi yang dibuat oleh suatu struktur, unit atau institusi untuk
pemeliharaan dan kelangsungan hidup sistem sosial. Institusi keluarga, tidak hanya
merupakan satu kelompok yang diikat oleh satu tempat kediaman, kerjasama dan memiliki
bersama seperangkat peralatan materi, dan satu sumber kehidupan seperti ladang, tetapi juga
diikat oleh satu "charter" yang mengatur hubungan antara anggota keluarga tersebut.
Pembahasan terhadap aspek fungsi dari budaya dan pembahasan terhadap institusi harus
dilakukan secara simultan kalau kita ingin memahami suatu budaya secara lengkap.

2.2 Teori Sosial Konflik

Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan
akibat berbagai kritik. Menurut teori ini (dalam Martono, 2014) masyarakat terdiri atas
individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan keinginan yang tidak terbatas.
Namun kemampuan individu untuk mendapatkan kebutuhan berbeda-beda, perbedaan
kemauan inilah yang melahirkan konflik. Menurut Max Weber konflik adalah mempunyai
posisi sentral dalam menganalisis kehidupan masyarakat. Baginya, konflik merupakan unsur
dasar kehidupan manusia. Pertentangan tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan budaya
manusia. Dia juga menyatakan bahwa masalah kehidupan modern dapat dirujuk ke sumber
materialnya yang riil (misalnya, struktur kapitalisme). Pendukung teori konflik yang lain
adalah dari Weber yang mengistilahkan konflik sebagai suatu sistem “otoritas” atau sistem
“kekuasaan”. Kekuasaan cenderung menaruh kepercayaan pada kekuatan, sedangkan otoritas
adalah kekuasaan yang dilegitimasikan. Kedua ini harus diintegrasikan antara kekuaasaan
dan otoritas untuk menemukan kebutuhan semua sistem. Tindakan manusia itu di dorong
oleh kepentingan-kepentingan, bukan saja kepentingan materiil seperti yang dikatakan oleh
Marx, melainkan juga oleh kepentingan-kepentingan ideal. Karena itu antara konflik dan
integrasi akan terjadi dalam masyarakat.
Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan konflik pekerjaan-keluarga (work family
conflict) sebagai bentuk konflik peran di mana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara
mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Konflik ini terjadi ketika seseorang
berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh
kemampuan individu yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya.(Widayanti,
Sularso, & Suryaningsih, 2017)
(Fink, 1968) theory of social conflict that included both smallscal conflicts, such as
interpersonal quarrels, and large-scale conflicts, such as war, in its empirical domain.
Furthermore, a as specific values of theoretical variables, or as parameters defining the limits
of special subtheories. If such a theory provides a satisfactory account of both the similarities
and the differences among the phenomena in its empirical domain, then it can be judged
adequate, no matter how general it happens to be.
Perlu diketahui konflik kecil dapat terjadi seperti pertengkaran antar pribadi, dan konflik
besar, seperti perang, dalam wilayah empirisnya. Lebih jauh, nilai spesifik variabel teoretis,
atau sebagai parameter yang menentukan batas subtori khusus. Jika teori semacam itu
memberikan penjelasan yang memuaskan tentang persamaan dan perbedaan di antara
fenomena dalam wilayah empirisnya, maka teori itu dapat dinilai cukup, tidak peduli
seberapa umum hal itu terjadi di Indonesia. Jika diterapkan pada studi konflik sosial, ini
menunjukkan bahwa beberapa pekerjaan menuju teori konflik umum diperlukan bahkan
ketika teori khusus tingkat rendah masih dikembangkan. Jika argumen generalis diartikan
sebagai bahwa teori-teori khusus akan berkontribusi paling besar bagi kemajuan ilmiah hanya
ketika dikembangkan hubungannya dengan kerangka kerja konseptual yang lebih luas yang
disediakan oleh teori konflik umum, maka itu tidak bertentangan dengan pandangan bertahap
tentang kemajuan ilmiah.
Pada studi kasus yang saya ambil dalam artikel dengan judul “Pengaruh Coping Istri
Terhadap Perkawinan di Kota Bogor” dijelaskan bahwa perkawinan merupakan penyatuan
dua individu untuk membentuk suatu keluarga. Sebelum masuk pada tahap perkawinan kedua
individu harus melalui proses perkenalan antar kedua pihak keluarga, melamar, pertunangan
dan kemudian melaksanakan perkawinan. Proses perkenalan yang mendalam antar pasangan
dan adanya persetujuan dari keluarga kedua belah pihak akan semakin mengakrabkan kedua
keluarga maupun dari calon pasangan tersebut. Setiap keluarga dibangun dalam suatu ikatan
perkawinan yang di sahkan oleh pemerintah dan agama. Dalam hal ini indikator terendah
mencari akar masalah, menandakan bahwa istri yang bekerja maupun tidak bekerja di Kota
Bogor kurang mampu mencari akar masalah yang di hadapi, hal tersebut dikarenakan
berbagai kurangnya pengetahuan dari responden mengenai langkah awal yang harus diambil
dalam mencari akar masalah. Sebab masalah-masalah yang harus dihadapi orang dewasa itu
rumit dan memerlukan waktu dan energi untuk di atasi,maka berbagai penyesuaian diri
terhadap masalah yang dihadapi (Hurlock,1980) Akar masalah tersebut menimbulkan sosial
konflik di dalam keluarga, sebab seharusnya istri berperan dalam rumah tangga dan tidak
wajibkan untuk bekerja.
Sedangkan menurut (Rosita , Uswatun, 2015) pengaruh konflik pekerjaan keluarga
terhadap kelelahan dibuktikan dengan adanya penelitian dan pengujian menghasilkan
pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap kelelahan dapat dibuktikan dengan nilai
estimate koefisien jalur sebesar 0,639 dengan arah positif. Koefisien jalur bertanda positif
memiliki arti hubungan antara konflik kerja keluarga dengan kelelahan adalah searah. Hasil
ini dapat pula dibuktikan dengan nilai titik kritis (CR) sebesar 9,12* (≥1.96) pada level
significan 0,05. Hasil pengujian membuktikan semakin tinggi tingkat konflik pekerjaan dan
keluarga maka tingkat kelelahan juga akan semakin tinggi. Artinya, peningkatan konflik
searah dan berpengaruh nyata terhadap kelelahan. Sehingga terdapat cukup bukti secara
empiris pada obyek penelitian ini untuk menerima (H1) yang menyatakan bahwa konflik
kerja keluarga berpengaruh terhadap kelelahan. salah satu penyebab kelelahan diantaranya
kelelahan akibat faktor psikologis yaitu kelelahan yang dapat dikatakan kelelahan palsu, yang
timbul dalam perasaan orang yang bersangkutan dan terlihat dalam tingkah lakunya atau
pendapat-pendapatnya yang tidak konsekuen lagi, serta jiwanya yang labil dengan adanya
perubahan walaupun dalam kondisi lingkungan atau kondisi tubuhnya sendiri. Sebab
kelelahan ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal di antaranya kurang minat dalam bekerja,
berbagai penyakit, keadaan lingkungan, merasa tidak sesuai dan sebab-sebab mental seperti
tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik.

2.3 Teori Ekologi


Proses perkembangan merupakan proses yang mengarah pada makin bertambahnya
kekompleksan kemampuan dan perilaku seseorang. Proses ini dalam pandangan kelompok
nativisme, misalnya Schoppenhauer, merupakan proses yang terjadi secara alami tergantung
pada faktor bawaan seseorang. Perilaku seseorang sudah ditentukan oleh faktor bawaannya
sehingga perilaku seseorang, positif atau negatif, adalah warisan dari orangtuanya. Sebagai
tandingannya adalah John Locke dengan pandangan empirismenya yang menekankan pada
faktor lingkungan sebagai pembentuk diri seseorang yang lahir seperti kertas putih, atau teori
tabularasa. Proses belajar dan pengalaman akan sangat berperan dalam pembentukan perilaku
seseorang. Selanjutnya ekstremitas seperti ini masih belum dapat menjelaskan dengan tuntas
perilaku dan perkembangan manusia sehingga muncul pendekatan ke tiga yaitu pendekatan
konvergensi Stern yang menyatakan bahwa faktor bawaan dan lingkungan saling berkaitan
dalam membentuk perilaku dan mengarahkan perkembangan manusia (Andayani, 2004).
Pendekatan ekologi yang dikemukakan oleh Bronfenbrenner (1977) merupakan suatu
perspektif mengenai metodologi dalam mempelajari perkembangan kepribadian yang
mempertimbangkan aspek-aspek di luar individu, yaitu dari sisi lingkungan di mana individu
berada. Pendekatan ekologi melihat manusia sebagai bagian suatu sistem. Suatu sistem
adalah sebuah entitas yang dapat berperan dengan menggunakan energi. Energi ini dapat
bersumber dari dalam sistem itu sendiri, namun juga dapat menggunakan energi dari luar
sistem. Dengan demikian suatu sistem akan terkait dengan sistem yang lain (dalam Garbarino
& Abramowitz, 1992).
Untuk studi kasus saat ini, ialah pada persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat
luas. Sebagai contoh adalah praktik rehabilitasi individual untuk penyandang cacat (difabel)
yang dikembangkan oleh pemerintah selama ini. Pada mulanya, konsep rehabilitasi kecacatan
diawali dari suatu konsep yang berorientasi pada kecacatan individual. Dalam konsep ini
tujuan rehabilitasi adalah untuk melatih individu mencapai level aktivitas fungsional yang
maksimal. Sistem konvensional atau yang lebih dikenal dengan rehabilitasi berbasis institusi
(institutional-based rehabilitation) ini bekerja melalui mekanisme penempatan penyandang
cacat dalam institusi yang memberikan pemenuhan makanan yang bergizi, tempat singgah
dan berlindung (shelter home), pendidikan, dan beberapa pelatihan kerja tertentu. Bahkan,
implementasi di Indonesia, para penyandang cacat diberi insentif modal untuk
mengembangkan aktivitas kerja yang berorientasi profit. Walaupun pendekatan tersebut telah
mengalami perubahan yang ditandai oleh pelibatan peran serta masyarakat, tetap saja
pendekatan rehabilitasi terhadap difabel terkesan memaksa difabel agar mampu
menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat. Tuntutan penyesuaian diri difabel dengan
kondisi normal masyarakat pada umumnya pada akhirnya telah menimbulkan
ketidakseimbangan dalam relasi antara difabel dan masyarakat. Masyarakat menjadi tidak
peka terhadap kebutuhan difabel sebagai komunitas khusus. Padahal, letak persoalan
utamanya adalah bagaimana masyarakat itu sendiri mampu mengakomodasi kebutuhan
difabel. Perlakuan masyarakat yang cenderung diskriminatif seperti tampak pada perlakuan
terhadap komunitas difabel (orang dengan cacat fisik) dan minimnya fasilitas umum dan
sosial untuk mereka. Belakangan ini di beberapa media massa kalangan difabel melakukan
unjuk rasa terhadap beberapa pemerintahan daerah tertentu karena dianggap telah melakukan
diskriminasi dalam proses rekruitmen calon pegawai negeri sipil. Hanya karena hambatan
fisik seringkali kalangan difabel dianggap tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas yang
sama dengan individu normal (Rahman, 2006).
Dengan demikian, salah satu kendala serius yang sering dihadapi oleh pemerintah dan aktivis
sosial kemasyarakatan dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah ketidakajegan hasil
antara perubahan yang dicapai oleh individu dengan dukungan kondusif yang tersedia dalam
masyarakat (lingkungan sosial) individu yang bersangkutan.

2.4 Teori Pertukaran Sosial

Teori pertukaran adalah teori yang berkaitan dengan tindakan sosial yang memberi atau
menukar objek-objek yang mengandung nilai antar-individu berdasarkan tatanan sosial
tertentu. Adapun objek yang dipertukarkan itu bukanlah benda yang nyata, melainkan hal-hal
yang tidak nyata. Ide tentang pertukaran itu juga yang menyangkut perasaan sakit, beban
hidup, harapan, pencapaian sesuatu, dan pernyataan-pernyataan antar individu.(Haliim, 2017)
Teori pertukaran sosial mempunyai prinsip bahwa manusia adalah makhluk rasional.
Asumsi ini didasarkan pada pemikiran bahwa di dalam batasan-batasan informasi yang
tersedia untuknya, manusia akan menghitung pengorbanan dan penghargaan dari sebuah
situasi tertentu dan ini akan menuntun perilakunya. Menurut (Haliim, 2017) Teori Pertukaran
Sosial menyatakan bahwa manusia menggunakan pemikiran rasional untuk membuat pilihan.
Menurut Max Weber Perilaku mempengaruhi aksi sosial dalam masyarakat yang
kemudian menimbulkan masalah-masalah. Skinner mengemukakan bahwa perilaku dapat
dibedakan menjadi perilaku yang alami (innate behavior) dan perilaku operan (operant
behavior). Perilaku yang alami adalah perilaku yang dibawa sejak lahir, yang berupa refleks
dan insting, sedangkan perilaku operan adalah perilaku yang dibentuk melalui proses belajar.
Perilaku operan merupakan perilaku yang dibentuk, dipelajari dan dapat dikendalikan, oleh
karena itu dapat berubah melalui proses belajar.
Menurut (Mustafa, 2011) kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain
karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran
dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori
pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan
terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya
terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai
perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan
(reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang
diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang
dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial
terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi.
Kemudian menurut (Arshad Suryati Ahmad Zawawi, 2010) (dalam Blau, 1964) prinsip
yang mendasari pertukaran sosial terletak kepada obligasi yang wujud di mana apabila
seseorang melakukan kebaikan kepada orang lain maka akan wujud jangkaan balasan masa
hadapan terhadap kebaikan tersebut. Ini bermakna individu yang menerima kebaikan atau
perkhidmatan daripada pihak lain diharap dapat membalas kebaikan tersebut pada masa yang
bersesuaian.
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial seseorang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap
perkembangan seseorang secara positif, maka akan dapat mencapai perkembangan sosial
secara matang. Namun sebaliknya apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti
perlakuan yang kasar dari orang tua, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang
tidak baik, maka perilaku sosial seorang anak cenderung menampilkan perilaku yang
menyimpang.
Pada studi kasus yang saya ambil dalam artikel “Memahami Penerapan dan Manfaat
Teori Sistem Life Span, Interaksi Simbolis, Pertukaran Sosial Pada Masalah Sosial”. Di
dalam artikel tersebut membahas tentang Pembangunan nasional Indonesia yang masih
berkembang menuju kesejahteraan sosial yang seutuhnya, yang ternyata memiliki banyak
tantangan dalam mencapainya. Tantangan yang dihadapinya yaitu bagaimana menyelaraskan
pembangunan sebagai kemajuan pertumbuhan dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan
budaya yang terintegrasi dan dinamis. Salahsatunya masalah kemiskinan terkait erat dengan
kebijakan sosial yang dibuat dan dijalankan oleh negara ini. Sistem sosial yang rusak akan
berdampak pada struktur sosial yang berlaku di masyarakat, dan juga berpengaruh pada
aspek-aspek lainnya. Kemiskinan yang semakin merajalela dan pengangguran yang semakin
banyak, mengakibatkan struktur sosial tidak bisa menjaga eksis di dalam kehidupan
bermasyarakat. Saat ini perilaku individu lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan
kelompoknya karena sistem sosial yang dibangun cenderung mendekati arah individualisme.
Artikel ini di tulis dengan tujuan mengetahui keterkaitan teori-teori tersebut terhadap masalah
sosial serta solusinya. Kemunculan teori sosial dalam mengkaji masalah-masalah sosial yang
berkembang di masyarakat memiliki esensi yang dinamis dalam mengembangkan perubahan
sosial, karena dalam hal ini seseorang di dorong untuk melakukan sesuatu kegiatan yang
berasal dari keinginan sendiri jadi masalah dalam pertukaran sosial ini akan selalu muncul
yang dimulai individu ke unit terkecil keluarga atau kelompok dan mengikuti perubahan arus
kehidupan zaman yang ada.

2.5 Teori Feminis

Teori feminis merupakan suatu teori tentang kehidupan sosial dan pengalaman manusia
ditinjau dari perspektif wanita. Teori feminis memusatkan perhatiannya pada tiga hal;
pertama, objek utama kajiannya adalah situasi dan pengalaman wanita dalam masyarakat;
kedua, membicarakan wanita sebagai subjek utama dalam proses kajiannya; dan ketiga teori
ini kritis dan aktif membela wanita, berusaha menghasilkan dunia yang lebih baik untuk
wanita pada khususnya dan manusia pada umumnya (Chotim et al., 2018). Kaum wanita telah
mencetuskan berbagai teori feminis yang masing-masing saling berbeda. Walaupun
demikian, teori-teori itu dapat dikelompokkan menjadi tiga teori yang memfokuskan pada
perbedaan gender, ketidaksetaraan gender, dan tekanan terhadap gender.
Kemudian dalam peranan, peran kaum pekerja, yang tidak memiliki kekuatan di bidang
politik maupun ekonomi, walaupun diremehkan tapi memiliki peran dalam pembangunan
dunia. Jika teori ini dihubungkan dengan teori feminis maka dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan di dunia yang dianggap universal dan absolut sebenarnya berasal dari
pengalaman kelompok yang memiliki kekuatan, yaitu kaum pria. Walaupun peran wanita
subordinasi tetapi wanita juga memiliki peran penting dalam mempertahankan dan
membangun masyarakat (Chotim et al., 2018). Sebelum dikorelasi hubungan antara
feminisme dengan pandangan hidup Barat, penting untuk diketahui pembagian tipologi
feminisme yang ada di Barat. Pertama, adalah Liberal Feminism. Feminisme Liberal adalah
paham feminis yang pertama sekaligus masih eksis hingga hari ini. Gerakan feminis liberal
merupakan paham masih sangat dekat dengan fenomena penindasan atas wanita. Dalam
analisis feminis liberal, dominasi patriarki di Barat berimplikasi pada intimidasi hak
partisipasi wanita di ruang publik (blocks women’s entrance to and success in the socalled
public world). Mereka menuntut persamaan hak aspirasi berkeadilan gender (gender justice)
yang menyetarakan antara laki-laki dan wanita (Muslich & Maulana, 2013).
Berbicara tentang kekerasan, dalam banyak hal, pemikiran Johan Galtung sejalan dengan
pemikiran kaum feminis radikal. Galtung mengklaim patriarki sebagai kekerasan langsung,
struktural dan kultural. Patriarki membuat dikotomi antara peran publik dan privat, produktif
dan reproduktif, yang membentuk relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan.
Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Tubuh serta
hak-hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki,dan dikotomi
privat-publik menjadi fokus permasalahan (Eriyanti, 2017).

2.6 Teori Gender

Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak,
tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat
dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.
Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat
dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.
Kata ”gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab
pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang
tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian
gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya
gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya.
Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke
manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat.
Gender merupakan salah satu paradigma dalam ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk
mengkaji ketimpangan relasi kekuasaan dan sekaligus memberikan rekonstruksi agar terca-
pai relasi yang setara dan adil. Konsep gender mengemuka ketika terjadi ketimpangan antara
peran antara laki-laki dan perempuan baik pada sektor publik maupun domestik.
Ketimpangan ini mendorong pada wacana tentang perlunya keadilan dan kesetaraan gender
dalam segala aspek kehidupan baik politik, hukum, ekonomi, sosial budaya dan kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan(Alef Musyahadah, 2013).
Elshtain’s and Enloe’s works are widely seen as having cleared the ground for the
feminist critique of IR, raising the profile of gender-sensitive critiques of security politics.
Feminist security theory emerged from a cross-ideological, trans epistemological,
multivoiced conversational debate among multiple feminisms, including liberal, empiricist,
modifiedstandpoint, and qualified postmodern perspectives, among others. While not
addressing an IR audience specifically, the publication of feminist work on issues of war and
the military, especially Women, Militarism,and War (Blanchard, 2012).
Secara luas dapat dilihat sebagai jalan pembuka bagi kritik feminis, dalam meningkatkan
profil kritik gender yang sensitif terhadap politik keamanan. Teori keamanan feminis dapat
muncul dari debat lintas-ideologis, trans epistemologis, multivisional di antara banyaknya
feminisme, termasuk liberal, empiris, sudut pandang yang dimodifikasi, dan perspektif
postmodern yang berkualitas.
Pada artikel ini saya mengambi studi kasus mengenai penemuan hukum bagi hakim untuk
menunjang keadlian gender. Dalam hal ini bertujuan untuk mempertimbangkan keterkaitan
antara teks, konteks dan kontekstualiasasi yang sejalan dengan metode yang diterapkan oleh
feminis dalam memahami serta mengungkapkan kebenaran yaitu “pengalaman perempuan”.
Hal ini terlihat dari data empiris hasil jajak pendapat harian Kompas menunjukkan bahwa
72,7 % rakyat belum mendapatkan perlakuan adil, dimana sebanyak 45,3 % responden
menilai bahwa putusan hakim didasarkan pertimbangan uang, sebanyak 30,5 % responden
menilai karena pertimbangan politik dan hanya 9,3 % responden yang masih percaya putusan
pengadilan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum. Hermeneutika hukum
merupakan metode penemuan hukum dengan cara interpretasi atas teks atau sesuatu
sedangkan dalam interpretasi dengan cara menafsirkan atas teks hukum. Interpretasi hukum
digunakan pada saat teks hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada pengertiannya
belum jelas, bermakna kabur/ganda, dan bila terjadi antinomi norma atau benturan norma.
Lalu Hakim mempunyai peran yang besar, tidak hanya sebagai corong peraturan perundang-
undangan tetapi dapat sebagai agen perubahan hukum. Hakim dapat menjadi law as tool of
social engineering terhadap penegakan hak-hak perempuan di pengadilan untuk mewujudkan
keadilan gender (Alef Musyahadah, 2013).

2.7 Teori Perkembangan


Dalam teori perkembangan ini individu, kelompok, dan masyarakat mengalami
perkembangan melalui tahapan-tahapan yang terjadi sepanjang waktu. Teori juga
menganalisis perkembangan atau perubahan dalam masyarakarat sepanjang waktu. Tugas
perkembangan yang terpenuhi pada tahapan awal membangun keluarga akan mengarahkan
pada tugas-tugas perkembangan selanjutnya dan mengarahkan pada kebahagiaan serta
kesuksesan keluarga.
Teori Perkembangan Keluarga merupakan teori yang berhubungan dengan individualis,
dan institusi keluarga, dan adanya perubahan baik yang terjadi pada individu atau kelompok.
Individu, kelompok dan masyarakat mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan yang
terjadi sepanjang waktu. Hal-hal yang sering dibahas pada teori ini adalah konsep
perkembangan tugas (the Development of task) sepanjang siklus kehidupan keluarga (Family
life cycle) dengan adanya 8 tahapan Perkembangan Keluarga menurut Duvall (1957).
1. Pasangan Baru Menikah (Keluarga Baru
2. Keluarga Kelahiran Anak Pertama
3. Keluarga dengan Anak Pra-Sekolah
4. Keluarga dengan Anak Sekolah
5. Keluarga dengan Anak Remaja
6. Keluarga dengan Anak Dewasa Muda (yang meninggalkan rumah)
7. Orangtua usia pertengahan
8. Keluarga dalam masa Lanjut Usia (LANSIA)

Tugas perkembangan bagi keluarga yang baru mempunyai anak pertama merupakan
tahap kedua dari delapan tahapan keluarga menurut Duvall (1971).
Pada tahap kedua ini ada masalah yang harus dihadapi oleh keluarga yang baru mempunyai
anak pertama yang terdiri atas dua dimensi yaitu dimensi anak dan dimensi orang tua.
Masalah yang harus dihadapi meliputi pendidikan tentang menjadi orang tua (ibu dan ayah),
fokus keluarga, perawatan bayi serta penyesuaian peran baru sebagai orang tua, sehingga
pertumbuhan dan perkembangan anak dapat tercapai secara optimal. Pada tahap ini banyak
ibu baru yang merasa tidak mampu mengerjakan banyak hal dan akan merasa tertekan, serta
ingin lari dari kenyataan. Apabila keluarga tidak berhasil memenuhi tugas perkembangannya
maka akan berdampak pada ketidakbahagiaan dan kesulitan dalam menjalankan tugas
perkembangan pada tahap selanjutnya. Selain itu, pandangan dan sikap yang sama dari ibu
dan pasangan terhadap tumbuh kembang anak dapat memengaruhi kepuasan perkawinan ibu
(Rahmaita, Krisnatuti, & Yuliati, 2016).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa konsep keluarga merupakan unit terkecil dalam satuan
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Hal ini didasari oleh teori struktural fungsional
ini menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan masyarakat secara
terstruktur. Namun pada teori konflik ini sangat berlawan dengan teori struktural fungsional,
karena prespektif konflik lebih menekankan kepada individu dan kelompok yang inigin
mendapatkan keuntungan tetapi tidak ingin mendapatkan kerugian. Berbeda dengan halnya
pada teori peubahan sosial teori ini didasari pada paham individu dalam menentukan pilihan
secara rasionan menimbang antara imbalan yang akan diperoleh dan biaya yang harus di
keluarkan, imbalan ini dapat berupa materi(uang) maupun non materi (perilaku, kepuasaan,
dan cinta). Teori gender merupakan teori dengan ruang lingkup analisis makro dan gender
adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab,
dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok
masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Dalam teori keluarga
juga terdapat teori feminis yang merupakan teori tentang kehidupan sosial dan pengalaman
manusia ditinjau dari perspektif wanita. Lalu terdapat teori perkembangan yang meliputi
individu, kelompok, dan masyarakat mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan
yang terjadi sepanjang waktu seperti tahapan Teori juga menganalisis perkembangan atau
perubahan dalam masyarakarat sepanjang waktu seperti konsep perkembangan tugas (the
Development of task) sepanjang siklus kehidupan keluarga (Family life cycle) dengan adanya
8 tahapan Perkembangan Keluarga menurut Duvall (1957). Teori-teori ini sangat
berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan saling berkaitan, tetapi setiap teori
memiliki tujuan yang sama hanya saja berbeda pada konsep.
DAFTAR PUSTAKA

Alef Musyahadah. (2013). Hermeneutika hukum sebagai alternatif metode penemuan hukum
bagi hakim untuk menunjang keadilan gender. Dinamika Hukum, 2(1), 293–306.
Andayani, B. (2004). Tinjauan pendekatan ekologi tentang perilaku pengasuhan orangtua.
Buletin Psikologi, 1(1), 44–60.
https://journal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/7468/5807
Archibong, E. P., & Antia, C. I. (2014). Structural – Functionalism: Its Relevance To Medical
Profession. International Journal of Education and Research, 2(5), 349–356.
Arshad Suryati Ahmad Zawawi, R. (2010). Komitmen dan Kelakuan Kewargaan Organisasi
Pekerja Jurnal Pengurusan. 31, 83–92.
Blanchard, E. M. (2012). Gender, International Relations, and the Development of Feminist
Security Theory. Jstor, 28(4), 1289–1312. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/10.1086/368328
Chotim, E. R., Aliyah, I. H., Pendidikan, D., Tasikmalaya, K., Komariah, S., & Indonesia, U.
P. (2018). Feminisme indonesia dalam lintasan sejarah. 1, 18–31.
Eriyanti, L. D. (2017). Pemikiran Johan Galtung tentang Kekerasan dalam Perspektif
Feminisme. Hubungan Internasional, 6, 28–37.
Fink, C. F. (1968). Some conceptual difficulties in the theory of social conflict. Conflict
Resolution, volume XII, 412–460.
Haliim, W. (2017). Perspektif Pertukaran Sosial dalam Perilaku Politik Masyarakat pada
Pilkada Kota Malang 2013. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review,
2(2), 201. https://doi.org/10.15294/jpi.v2i2.8950
Marzali, A. (2018). Struktural-Fungsionalisme. Antropologi Indonesia, 0(52).
Muslich, A., & Maulana, R. (2013). Feminisme sebagai Diskursus Pandangan Hidup.
Kalimah, 11(2).
Mustafa, H. (2011). Prilaku Manusia Dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurnal Ilmu
Administrasi Bisnis, 7(12), 144–156.
https://doi.org/10.1159/000074314
Rahmaita, Krisnatuti, D., & Yuliati, L. N. (2016). Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga
Terhadap Kepuasaan Perkawinan Yang Baru Memiliki Anak Pertama. Jurnal Ilmu
Keluarga Dan Konsumen, 9(1), 1–10.
Rahman, O. F. (2006). Ide dan Praktik Ekologi Perkembangan dalam Memahami Problem
Klien dan Komunitas. Konseling, 1–7.
Rosita , Uswatun, T. (2015). PENGARUH COPING ISTRI TERHADAP KONFLIK
PERKAWINAN DI KOTA. Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan, 03.
Sidi, P. (2014). KRISIS KARAKTER DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURAL
FUNGSIONAL. 2, 72–81.
Widayanti, A. E., Sularso, R. A., & Suryaningsih, I. B. (2017). Pengaruh Konflik Pekerjaan -
Keluarga (Work – Family Conflict) Terhadap Kinerja Pelayanan Dan Komitmen
Organisasi Melalui Kelelahan (Fatigue) Pada Karyawan Tenaga Kependidikan Di
Bagian Akademik Universitas Jember. Bisma, 11(1), 28.

Anda mungkin juga menyukai