Anda di halaman 1dari 26

TEORI SISTEM : SISTEM KELUARGA, SISTEM KELUARGA SEHAT, DAMPAK

STRESS DAN KRISIS DALAM KESEHATAN KELUARGA

MATA KULIAH KEPERAWATAN KELUARGA 1

DOSEN PENGAJAR : Endang Sawitri, M.Kes

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3 :

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KLATEN

2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan kelompok individu terkecil dari masyarakat, walaupun begitu,


keluarga merupakan dasar landasan utama dari terbentuknya sumber daya manusia yang
dapat mempengaruhi keadaan masyarakat. Sebab itu penting sekali untuk memberi
penyuluhan yang baik bagi tiap-tiap anggotanya agar terwujud keluarga yang sesuai
norma dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Untuk memahami keluarga, tentu diperlukan ilmu dasar mengenai keluarga. Ilmu
keluarga sendiri merupakan disiplin ilmu yang terdiri dari beberapa ilmu serupa ilmu
sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu biologi, ilmu manajemen, dan ilmu ekologi. Masing-
masing ilmu ini mewujudkan teori-teori yang membahas berbagai perbedaan ataupun
pengertian dari keluarga.

Agar dapat memahami keluarga lebih mendalam lagi, maka dibuatlah makalah
laporan ini untuk menuliskan penjelasan keluarga dari berbagai teori keluarga yang
tersebar menurut pemikiran para ahli.

1.2 Tujuan
Sebagai mahasiswa jurusan sarjana keperawatan, maka sangat penting untuk
memahami berbagai perbedaan pendapat dari beberapa ahli mengenai pengertian
keluarga. Agar dapat memahami keluarga lebih mendalam lagi, maka dibuatlah makalah
laporan ini untuk menuliskan penjelasan keluarga dari berbagai teori keluarga yang
tersebar menurut pemikiran para ahli.

1.3 Manfaat

Diharapkan makalah laporan ini dapat menambah wawasan pembaca tentang berbagai
pendapat menurut ahli terhadap pengertian dan pemikiran tentang keluarga.
BAB II

ISI

2.1 Teori Struktural Fungsional


Teori Struktural Fungsional sudah lama diterapkan sejak terbentuknya keluarga dari
zaman kerajaan di Indonesia. Dapat kita lihat dalam penuturan Anderson K. dalam
Journal of Marriage and Family (1997), dalam masa prasejarah, sebuah suku telah
diorganizir oleh seorang kepala suku yang berfungsi untuk mengembangkan pertanian,
mengorganisir wilayah dan peraturan dalam wilayah suku tersebut. Contoh kepala suku
ini telah menggambarkan posisi kepala suku yang notabene adalah laki-laki sebagai
kepala keluarga, walaupun dalam kasus ini tidak disebut demikian.
Teori ini menekankan kepada tiap-tiap anggota keluarga untuk menjalani hidupnya
sesuai dengan peran dan fungsi yang seharusnya ia jalankan dalam keluarga. Secara garis
besar adalah ayah sebagai bread-winner atau pencari nafkah, dan ibu sebagai caregiver
atau housewives. Peran yang dimaksud disini adalah suatu alokasi tugas dan aktivitas
yang harus dilakukan dalam keluarga. Sedangkan fungsi yang dimaksud adalah agar
keseimbangan sistem dapat tercapai, baik pada tingkat individu, keluarga maupun
masyarakat.
Tujuan dari kajian-kajian struktural-fungsionalisme adalah untuk membangun suatu
sistem sosial, atau struktur sosial, melalui pengajian terhadap pola hubungan yang
berfungsi antara individu-individu, antara kelompok-kelompok, atau antara institusi-
institusi sosial di dalam suatu masyarakat, pada suatu kurun masa tertentu. Struktural-
fungsional adalah penggabungan dari dua pendekatan, yang bermula dari pendekatan
fungsional Durkheim, kemudian digabungkan dengan pendekatan struktural R-B.

Pendekatan Fungsional Durkheim

Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di


dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut
mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian
tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang
tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi
sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional.
Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu
membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Durkheim berpikir bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan


koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik
bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat
modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap
fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama
yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu
kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan
masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.

Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat


merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada
suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain
masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan
tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional
bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem
sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dari
kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur
dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka
struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.

Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari
seluruh bagiannya. Dalam bukunya "The Division of Labour in Society", Durkheim
meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat ia
memusatkan perhatian pada pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda
dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-
masyarakat tradisional bersifat 'mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap
orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara
sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, menurut Durkheim kesadaran kolektif
sepenuhnya mencakup kesadaran individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial
diatur dengan rapi. Sedangkan dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat
kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam
bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang
kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka
sendiri. Dalam masyarakat yang 'mekanis', misalnya, para petani gurem hidup dalam
masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan
yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan
harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu
seperti bahan makanan, pakaian, dll untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari
pembagian kerja yang semakin rumit ini. Menurut Durkheim bahwa kesadaran individual
berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif. Seringkali malah
berbenturan dengan kesadaran kolektif.

Mengutamakan keseimbangan, dengan kata lain teori ini memandang bahwa semua
peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok
masyarakat ingin memajukan kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan d
kembangkan dan tetap mempertahankan bahkan melestarikan tradisi-tradisi dan budaya
yang sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.

Pendekatan Struktural R-B (Radcliffe-Brown)

Dalam konsep “struktural-fungsionalisme” model yang dapat digunakan adalah model


organisme tubuh manusia. Dalam model ini, R-B mengumpamakan sebuah masyarakat
sebagai sebuah organisme tubuh manusia, dan kehidupan sosial adalah seperti kehidupan
organisme tubuh tersebut. Satu organisme tubuh terdiri dari sekumpulan sel dan cairan
yang tersusun dalam suatu jaringan hubungan, sedemikian rupa, sehingga membentuk
sebuah keseluruhan kehidupan yang terintegrasi. Susunan hubungan antara unit-unit
dalam organisme tersebut, atau sistem hubungan yang mengikat keseluruhan unit, disebut
struktur dari organisme tersebut.

Sepanjang hidupnya organisme tubuh ini menjaga kesinambungan strukturnya. Meski


pun selama perjalanan hidup organisme ini terjadi pergantian sel, bagian, dan cairan
tertentu, namun susunan hubungan antar unit tetap sama. Jadi struktur dari organisme
tubuh tersebut relatif tidak berubah.Proses pembinaan kesinambungan struktur ini disebut
proses kehidupan, yaitu kegiatandan interaksi antara unit -unit dalam organisme,
sedemikian rupa, sehingga unit-unit tersebut tetap bersatu. Adanya proses kehidupan
menjadi tanda dari berfungsinya struktur organisme tersebut. Jadi fungsi dari sebuah unit
sel adalah peranan yang dimainkan, atau kontribusi yang diberikan, oleh unit sel tersebut
bagi kehidupan organisme secara keseluruhan. Fungsi perut, misalnya, adalah untuk
mengolah makanan menjadi zat-zat kimia tertentu yang kemudian dialirkan oleh darah ke
seluruh tubuh sehingga menjamin kehidupan tubuh tersebut. Sekarang mari kita terapkan
model organisme tubuh ini terhadap masyarakat. Ambil contoh sebuah masyarakat dusun
di Jawa. Dalam sebuah masyarakat dusun kita mengenal adanya struktur sosial. Unitnya
adalah individu-individu warga dusun tersebut. Mereka berhubungan satu sama lain
dalam satu pola hubungan yang diatur oleh norma-norma hubungan sosial, sedemikian
rupa, sehingga masyarakat dusun tersebut membentuk sebuah keseluruhan yang
terintegrasi. Susunan hubungan sosial yang sudah mapan antara warga dusun itu disebut
struktur sosial masyarakat dusun tersebut. Kesinambungan struktur masyarakat dusun
tidak rusak oleh adanya warga yang meninggal, lahir, atau pindah. Karena
kesinambungan tersebut dijaga oleh proses kehidupan sosial atau kegiatan dan interaksi
antarwarga dusun. Jadi kehidupan sosial adalah struktur sosial yang berfungsi atau
bekerja. Fungsi dari setiap kegiatan warga desa yang berulangulang adalah peranan yang
dimainkannya dalam kehidupan masyarakat dusun secara keseluruhan, atau kontribusi
yang diberikannya untuk pembinaan kesinambungan struktur masyarakat dusun tersebut.
Di sinilah kita melihat bahwa konsep “fungsi” tidak dapat dipisahkan dari konsep
“struktur”.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa Teori Struktural Fungsional adalah teori yang
menjelaskan bahwa tiap-tiap anggota keluarga harus menjalankan peran dan fungsinya
masing-masing terlepas dari hasrat pribadinya. Karena dengan hilangnya salah satu peran
dalam keluarga, maka fungsi-fungsi asli dari keluarga pun tidak dapat dilaksanakan
dengan baik dan tujuannya pun tidak akan tercapai. Dalam contoh kongkret, seperti hasil
artikel Hubungan Kelekatan Orangtua dengan Kemandirian Remaja (Maulida, Nurlaila,
& Hasanah, 2018),orangtua memegang peranan penting atas keadaan psikologis anaknya.
Orangtua yang menjalankan fungsi dan perannya dengan sesuai dapat meningkatkan
tingkat kemandirian remaja secara baik.

2.2 Teori Sosial Konflik

Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.
Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah
pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak.
Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. Tetapi
sebetulnya telah berkembang sejak Abad 17. Selain itu teori sosiologi konflik adalah
alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcott Parsons
dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan
integralistiknya.

Beberapa kritikan terhadap teori struktural fungsional berkisar pada sistem sosial yang
berstruktur, dan adanya perbedaan fungsi atau diferensiasi peran (division of labor).
Institusi keluarga dalam perspektif struktural-fungsional dianggap melanggengkan
kekuasaan yang cenderung menjadi cikal bakal timbulnya ketidakadilan dalam
masyarakat. David Lockwood (Klein dan White 1996) melontarkan kritik terhadap teori
Parsons. Menurutnya, teori Parsons terlalu menekankan keseimbangan dan ketertiban.
Hal ini dianggap suatu pemaksaan bagi individu untuk selalu melakukan konsensus agar
kepentingan kelompok selalu terpenuhi.

Selanjutnya, individu harus selalu tunduk pada norma dan nilai yang melandasi
struktur dan fungsi sebuah sistem. Padahal menurut Lockwood, suasana konflik akan
selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumberdaya yang terbatas.
Artinya, sifat dasar individu dianggapnya cenderung selfish (mementingkan diri sendiri),
daripada mengadakan konsensus untuk kepentingan kelompok. Sifat pementingan diri
sendiri menurut Lockwood akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada
menimbulkan sekelompok orang menindas kelompok lainnya.

Selain itu masing-masing kelompok atau individu mempunyai tujuan yang


berbedabeda bahkan sering bertentangan antara satu dan lainnya, yang akhirnya akan
menimbulkan konflik. Perspektif konflik dalam melihat masyarakat dapat dilacak pada
tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx, Max Weber dan George Simmel.

Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal-usul terjadinya suatu aturan
atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usulnya terjadinya
pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berperilaku menyimpang. Perspektif
konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan
distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompoknya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa konflik adalah fenomena sosial biasa dan merupakan
kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Konfllik dipandang sebagai suatu
proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang baru
yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Perspektif konflik dianggap
sebagai “the new sociology” sebagai kritik terhadap teori struktural fungsional yang
berkaitan dengan sistem sosial yang terstruktur dan adanya perbedaan fungsi dan
diferensiasi peran (division of labor). Sosiologi konflik mempunyai asumsi bahwa
masyarakat selalu dalam kondisi bertentangan, pertikaian, dan perubahan. Semua itu
adalah sebagai bagian dari terlibatnya 10 kekuatan-kekuatan masyarakat dalam saling
berebut sumberdaya langka dengan menggunakan nilai-nilai dan ide (ideologi) sebagai
alat untuk meraihnya (Wallace dan Wolf 1986).

Asumsi dasar yang melandasi Teori Konflik Sosial (Klein dan White 1996) adalah:

(1) Manusia tidak mau tunduk pada konsensus,

(2) Manusia adalah individu otonom yang mempunyai kemauan sendiri tanpa harus
tunduk kepada norma dan nilai; Manusia secara garis besar dimotivasi oleh
keinginannya sendiri.

(3) Konflik adalah endemik dalam grup sosial,

(4) Tingkatan masyarakat yang normal lebih cenderung mempunyai konflik daripada
harmoni,

(5) Konflik merupakan suatu proses konfrontasi antara individu, grup atas sumberdaya
yang langka, konfrontasi suatu pegangan hidup yang sangat berarti.

Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai


basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan
menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah. Ringkasnya, ada sedikitnya
empat hal yang penting dalam memahami teori konflik sosial, antara lain:

1. Kompetisi (atas kelangkaan sumberdaya seperti makanan, kesenangan, partner


seksual, dan sebagainya. Dasar interaksi manusia bukanlah konsensus seperti yang
ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada kompetisi.

2. Terdapat ketidaksamaan struktural dalam hal kekuasaan.

3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan maksimal.


4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interest) yang
saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara
cepat dan revolusioner daripada evolusioner.

Namun, teori ini tidak banyak memberikan dampak positif bagi pengasuhan anak.
Teori yang berpusat pada kebahagiaan individual ini cenderung memberikan efek negatif
bagi anak di bawah umur, menurut artikel Pengaruh Manajemen Waktu Ibu Bekerja
Terhadap Kecerdasan Emosional Anak (Aisyah, Putri, & Mulyati, 2018), disimpulkan
bahwa peran ibu sangat dibutuhkan bagi perkembangan emosional anak karena seorang
ibu memiliki ikatan emosional dengan anak. Oleh karena itu ibu bekerja harus bisa
menyeimbangkan dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk keluarga dan
pekerjaannya. Agar hasil yang diinginkan bisa tercapai keluarga terutama anak tidak
merasa terabaikan ibu menjadi lebih mudah untuk menghabiskan waktu atau quality time
bersama keluarga terutama anak dan pekerjaan di luar rumah terselesaikan sesuai dengan
tujuan yang diinginkan. Apabila ibu yang bekerja ini tidak dapat mengatur waktunya
dengan baik, maka anak akan terkena imbas dampak buruknya.

2.3 Teori Ekologi

Urie Bronfenbrenner (1979, 1989, 1998, 2005) dalam artikel Peran Aktivitas
Pengasuhan pada Pembentukan Perilaku Anak sejak Usia Dini ; Kajian Psikologis
berdasarkan Teori Sistem Ekologis (Jurnal UNY), menjelaskan dalam beberapa tulisan
hasil kajiannya mengenai sebuah teori yang membantu memahami bagaimana individu
berkembang di dalam berbagai lapisan dalam konteks keunikan lingkungan atau ekologi.
Penjelasan ini di payungi dengan sebuah teori yang awalnya disebut dengan Teori Sistem
Ekologis.

Teori ekologi memandang bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh konteks


lingkungan. Hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan akan membentuk
tingkah laku individu tersebut. Informasi lingkungan tempat tinggal anak akan
menggambarkan, mengorganisasi, dan mengklarifikasi efek dari lingkungan yang
bervariasi. Berofenbrenner menyebutkan adanya lima sistem lingkungan berlapis yang
saling berkaitan, yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan
kronosistem.
Teori Ekologi Bronfenbenner

1. Mikrosistem adalah sub sistem yang mempunyai interaksi langsung dengan


individu, yaitu terdiri dari keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah dan
lingkungan. Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif
dalam setting ini, tetapi anak juga aktif membangun setting mikrosistem ini,
artinya individu juga aktif terlibat dalam interaksi dengan sub sistem ini.
Karakteristik anak dan karakteristik lingkungan berdampak tidak langsung pada
perkembangan anak melalui proses interaktif dalam kurun waktu perkembangan
anak. Perkembangan anak ditentukan oleh pengalamannya dalam regulasi dengan
lingkungan mikrosistemnya.
Menurut Ecological Systems Theory, Mikrosistem merupakan bagian terpenting
dalam kehidupan anak, hal ini dikarenakan tiap-tiap anggotanya berinteraksi
secara langsung dan memberi pengaruh yang signifikan besar bagi setiap pilihan
hidupnya.
2. Mesosistem mencakup interaksi di antara mikrosistem di mana masalah yang
terjadi dalam sebuah mikrosistem akan berpengaruh pada kondisi mikrosistem
yang lain.
3. Eksosistem merupakan sistem sosial yang lebih besar dimana anak tidak
berfungsi secara langsung. Sub sistemnya terdiri dari pengalaman-pengalaman
dalam setting sosial lain di mana anak tidak memiliki peran yang aktif tetapi
mempengaruhi perkembangan karakter anak.
4. Makrosistem merupakan lapisan terluar dari lingkungna anak. Sub sistemnya
terdiri dari kebudayaan, adat istiadat dan hukum di mana individu berada. Hal ini
terjadi karena kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan dan semua
produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi
(Berk, 2000). Prinsip-prinsip yang ada dalam lapisan makrosistem akan
berpengaruh pada keseluruhan interaksi semua lapisan.
5. Kronosistem mencakup pengaruh lingkungan dari waktu ke waktu beserta
caranya mempengaruhi perkembangan dan perilaku.

Contoh asli dari teori ekologi ini adalah fenomena berpacaran. Menurut artikel
Hubungan Konformitas Peer Group Dengan Perilaku Berpacaran Pada Remaja
(Anindani,
Hasanah, & Cholilawati, 2018), dari 15 orang siswa, yang diwawancarai ditemukan fakta
adanya beberapa gejala kerusakan karakter atau perilaku yang terjadi karena konformitas
peer group yang berkaitan dengan penyimpangan perilaku berpacaran remaja, banyak
siswa yang sudah kehilangan kontrol dalam peer group dengan cara berpacaran dengan
teman sebayanya hingga membuat pembicaraan yang terarah menuju penyimpangan
perilaku dalam berpacaran. Hasil ini memperjelas adanya hubungan antara lingkungan
terhadap perilaku menyimpang anak.

2.4 Teori Pertukaran Sosial


Teori pertukaran sosial merupakan pemikiran dari seorang ahli beralumni pendidikan
sama dengan Parsons, bernama George Caspar Homans. Keduanya menekuni pendidikan
ekonomi walaupun berbeda universitas.
Dalam bukunya yang berjudul Social Behaviors Its Elementary Forms, Homans
menjelaskan teori-teorinya. Ia memberikan penjelasan bahwa setiap orang pasti
mempunyai harga diri, dan ketika ia memberikan keuntungan terhadap orang lain maka
orang lain juga akan memberikan keuntungan pula. Kedudukan mengakibatkan tanggung
jawab, siapa membenci maka ia yang akan mendapat ganjarannya dan seterusnya.
Homans berkeinginan untuk menyatakan kebenaran tersebut di dalam suatu rangkaian
atau proposisi yang teoritis kemudian ia mengujinya. Hal semacam ini membuat ia bukan
hanya untuk sekedar menggambarkan perilaku sosial yang mendasar namun ia juga dapat
membuat asumsi untuk membuat eksplanasi terhadapnya. Tindakan perilaku sosial yang
dimaksudkan Homans adalah tindakan yang berkenaan dengan suatu kemauan yang
mengakibatkan adanya ganjaran dan hukuman dari orang lain.
Unsur utama dari pertukaran sosial adalah cost (biaya), reward (imbalan), profit
(keuntungan). Cost adalah perilaku seseorang yang dianggap sebagai biaya Entah
mengharapkan imbalan atau tidak. Sedangkan reward adalah imbalan terhadap cost. Dari
reward yang didapat seseorang bisa saja mendapatkan kenutungan yang lebih besar dari
cost yang dikeluarkan. Keuntungan tersebut disebut profit. Namun tidak semua reward
yang didapat manghasilkan keuntungan bagi seseorang yang mengeluarkan reward. Sebab
dalam pertukaran sosial seseorang tidak terlalu mengutamakan profit yang banyak.
Seseorang hanya menginginkan reward atas cost yang dia keluarkan. Teori pertukaran
sosial memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi
kebutuhannya. Dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan
keuntungan yang saling mempengaruhi.
Apabila dihubungkan dengan kehidupan keluarga, ekonomi pernikahan merupakan
contoh yang dapat kita amati. Ekonomi pernikahan, dalam bahasan ini perjodohan
merupakan keluarga yang terbentuk atas dasar pertukaran sosial. Perjodohan ini pada
awalnya memiliki tujuan untuk meningkatkan utilitas masyarakat.
Pernikahan perjodohan ini biasanya disetujui oleh kedua belah pihak apabila
keduanya mendapatkan keuntungan dari terjadinya pernikahan tersebut. Untuk pandangan
ekonomi, hal ini dapat mendatangkan berbagai dampak. Dampak positif yang dihasilkan
adalah apabila kedua belah pihak yang menjalani perjodohan berakhir cocok, maka akan
keadaan keluarga masa depannya pun dapat terjamin kesejahteraannya dari berbagai
aspek. Perjodohan berbeda taraf ekonomi misalnya pun, dapat memperbaiki ekonomi
rakyat Indonesia, dalam hal ini memperkecil jumlah keluarga dengan ekonomi dibawah
minimum. Namun dengan adanya dampak positif tentu ada pula dampak negatifnya.
Dampak negatif dari perjodohan ini adalah apabila terdapat ketidak cocokan antara dua
belah pihak yang menjalani perjodohan tersebut, maka akan bertambah pula angka
keluarga tidak sejahtera di Indonesia dan meningkatkan angka perceraian.

2.5 Teori Feminis
Feminisme. Kata pertama yang terbayang ketika kita membicarakannya adalah bahwa
ini adalah sebuah ideologi terbaik bagi perempuan yang ingin terbang bebas tanpa
hambatan dan tanpa merasa diremehkan. Teori ini merupakan turunan dari teori sosial
konflik, yakni melawan apa yang dianggap tidak adil dan memperbaiki keadaan yang ada.
Pemikiran utama teori ini adalah memang memberdayakan perempuan.Membebaskan
perempuan untuk bersikap bebas sebebas-bebasnya. Teori feminisme memfokuskan diri
pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki
dalam semua bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi atas fakta yang terjadi di
masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, ras, dan terutama adanya konflik gender.
Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah
yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai
akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat
pada laki-laki.
Isu-isu tentang perempuan yang diusung oleh feminisme di dalam teorinya
sebenarnya bukanlah gagasan baru, namun tidak dapat juga dikatakan sebagai ide yang
telah ada sejak awal mula perkembangan teori sosial. Teori feminis ini turut
menyemarakkan modernitas dan menyeruak di dunia akademis Barat sejak tahun 60-an
dalam nuansa borjuis liberal, dimana masyarakat mau tak mau harusmengubah
pemahamannya tentang konsep gender dan “warga negara” dalam menjawab tuntutan-
tuntutan kaum feminis. Bersamaan dengan berkembangnya kondisi sosial.
Dalam kenyataannya proses menjadi perempuan disebabkan oleh nilai-nilai kultural
dan bukan oleh hakikatnya. Oleh karena itu, gerakan dan teori feminisme berjuang agar
nilainilai kultural yang menempatkan perempuan sebagai Liyan, sebagai kelompok `yang
lain`, yang termarginalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara
perempuan dan laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan
masalah gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis
feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya untuk menuntut
persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi. Tujuan pokok dari teori feminisme
adalah memahami penindasan perempuan secara ras, gender, kelas dan pilihan seksual,
serta bagaimana mengubahnya.
Secara pribadi, saya menganggap teori ini sebagai pemikiran yang amat bagus dan
dapat memajukan nilai ekonomi dan kesejahteraan tiap individual di Indonesia. Hanya
saja dalam pelaksanaannya, teori ini cenderung melupakan hakikat wanita, yakni 3M;
Menstruasi, Melahirkan dan Menyusui. Apabila kita perhatikan, sekarang ini banyak
sekali fenomena Baby Blues, dimana perempuan lebih memilih menjadi wanita karir dan
mengabaikan memiliki anak ataupun menikah. Hal ini dapat kita kerucutkan sebagai buah
tangan dari pemikiran feminisme ini.
Pemikiran ini mengarahkan wanita untuk berpikir bahwa dirinya cukup dengan hidup
sendiri tanpa berkeluarga. Ataupun menghasilkan tingkat perceraian yang tinggi karena
perasaan mampu untuk hidup tanpa bantuan suami. Menyalahi perannya sebagai
Caregiver, pemikiran feminisme ini memberikan berbagai dampak dalam kehidupan
berkeluarga.
Pemikiran yang saya pikir ‘egosentris’ ini hanya menyejahterakan individual tanpa
memikirkan efeknya bagi lingkungan. Kurangnya waktu yang ibu habiskan bersama anak,
akan mengurangi rasa kelekatan antara anak dan orangtua dan dapat berdampak besar
bagi masa depannya. Begitupun hubungan antara suami-istri, dengan status istri sebagai
career woman, maka akan terdapat kerenggangan antara keduanya, dan dapat
menimbulkan masalah kecurigaan, direndahkan, dan sebagainya.

2.6 Teori Gender


Gender bukanlah berdasarkan apa yang kita terlahir dengannya, bukan berdasarkan
apa yang kita miliki, tapi berdasarkan perilaku, berdasarkan apa yang kita tampilkan.
(Butler 1990)
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa seks lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh,
anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Seks atau jenis kelamin
adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender lebih
berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologi, dan aspek-aspek non biologis
lainnya. Gender ini digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi sosial budaya.
Gender menjelaskan semua atribut, peran dan kegiatan yang terkait dengan “menjadi
lakilaki” atau “menjadi perempuan”.
Kajian gender lebih memperhatikan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau
feminitas (feminity) seseorang. Peran gender tidak berdiri sendiri melainkan terkait
dengan identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki
dan perempuan sebab terjadinya ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan lebih
dari sekedar perbedaan fisik biologis tetapi segenap nilai sosial budaya yang hidup dalam
masyarakat turut memberikan andil. Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan
gender dan perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang
menyebabkan ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan
secara sosial dan budaya. Ketidakadilan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya hak-hak
dasar manusia bagi perempuan atau laki-laki. Hak yang dimaksud adalah hak untuk
menentukan diri sendiri secara mandiri.
Jadi keadilan gender berarti suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan
laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda,
subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Sedangkan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesampatan serta hak-haknya sebagai manusia. Sedangkan keadilan
dan kesetaraan gender yaitu terciptanya kesamaan kondisi dan status laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan dan menikmati hak-haknya sebagai manusia
agar sama-sama berperan aktif dalam pembangunan. Dengan kata lain, penilaian dari
penghargaan yang sama oleh masyarakat terhadap persamaan dan perbedaan laki-laki dan
perempuan serta pelbagai peran mereka.
Dalam cakupannya, terdapat 2 pemikiran berupa Nature dan Nurture;
1. Nature
Karakteristik yang melekat pada individu sejak lahir.
Bersifat kodrati dan datangnya dari Tuhan.
2. Nurture
Karakteristik yang terbentuk akibat stereotype masyarakat.
Dapat berubah sesuai lingkungan hidup sedar kecil.

2.7 Teori Perkembangan

Setiap keluarga harus berkembang untuk mencapai kesejahteraan dalam


hidupnya. Perkembangan yang dimaksud disini adalah ketika keluarga dapat melalui
masalah dengan baik tanpa hambatan berarti. Menurut Duvall, terdapat 8 tahapan
perkembangan yang harus dilalui keluarga (Eight-Stage Family Life Cycle), yaitu;

a) “Married couples (without children)” (Pasangan nikah dan belum memiliki


anak).

b) “Childbearing Family (oldest child birth-30 month)” (Keluarga dengan


seorang anak pertama yang baru lahir).
c) “Families with preschool children (oldest child 2,5- 6 years)” (Keluarga
dengan anak pertama yang berusia prasekolah).
d) “Families with School Children (Oldest child 6-13 years )” (Keluarga dengan
anak yang telah masuk sekolah dasar).
e) “Families with teenagers (oldest child 13- 20 years)” (Keluarga dengan anak
yang telah remaja).
f) “Families launching young adults (first child gone to last child’s leaving
home)” (Keluarga dengan anak yang telah dewasa dan telah menikah).
g) “Middle Aged Parents (empty nest to retirement)” (Keluarga dengan orang tua
yang telah pensiun).
h) “Aging family members (retirement to death of both spouse)” (Keluarga
dengan orang tua yang telah lanjut usia).

Tugas Perkembangan Setiap Tahapan Keluarga

Terdapat perbedaan tugas perkembangan keluarga pada setiap tahap perkembangan


keluarga:

a. Tahap “Married couples (without children)” (pasangan nikah dan


belum memiliki anak).
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:

1. Membina hubungan intim dan memuaskan.

2. Membina hubungan dengan keluarga lain, teman dan kelompok sosial.

3. Mendiskusikan rencana memiliki anak. Keluarga baru ini merupakan anggota


dari tiga keluarga, yakni: keluarga suami, keluarga istri, dan keluarga sendiri.

b. Tahap Keluarga “Child bearing” (kelahiran anak pertama) Tugas


perkembangan keluarga yang penting pada tahap ini adalah:
1. Persiapan menjadi orang tua.

2. Adaptasi dengan perubahan anggota keluarga, peran, interaksi, hubungan


seksual, dan kegiatan.
3. Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan.
c. Tahap Keluarga dengan anak pra sekolah

Tugas perkembangan pada tahap ini ialah:

1. Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti kebutuhan tempat tinggal,


privasi dan rasa aman.
2. Membantu anak untuk bersosialisasi

3. Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan anak lain juga
harus terpenuhi.
4. Mempertahankan hubungan yang sehat baik di dalam keluarga maupun dengan
masyarakat.
5. Pembagian waktu untuk individu, pasangan, dan anak.

6. Pembagian tanggung jawab anggota keluarga.

7. Kegiatan dan waktu untuk stimulasi tumbuh kembang.

d. Keluarga dengan anak sekolah

Tugas perkembangan pada tahap ini yakni:

1. Membantu sosialisasi anak dengan tetangga, sekolah dan lingkungan.

2. Mempertahankan keintiman pasangan.

3. Memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang semakin meningkat, termasuk


kebutuhan untuk meningkatkan kesehatan anggota keluarga.
Pada tahap ini anak perlu berpisah dengan orang tua, memberi kesempatan pada
anak untuk bersosialisasi dalam aktivitas baik di sekolah maupun di luar sekolah.

e. Keluarga dengan anak remaja

Tugas perkembangan pada tahap ini yaitu:

1. Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab.

2. Mempertahankan hubungan yang intim dengan keluarga.


3. Mempertahankan komunikasi yang terbuka antara anak dan orang tua. Hindari
perdebatan, kecurigaan dan permusuhan.
4. Perubahan sistem peran dan peraturan untuk tumbuh kembang keluarga.

Tahap ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan
membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang
tua dan anaknya yang berusia remaja.

f. Tahap Keluarga dengan anak dewasa

Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:

1. Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar.

2. Mempertahankan keintiman pasangan.

3. Membantu orang tua memasuki masa tua.

4. Membantu anak untuk mandiri di masyarakat.

5. Penataan kembali peran dan kegiatan rumah tangga.

g. Keluarga usia pertengahan

Tugas perkembangan pada usia perkawinan ini adalah:

1. Mempertahankan kesehatan.

2. Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan teman sebaya dan anak-


anak.

3. Meningkatkan keakraban pasangan.

Fokus utama dalam usia keluarga ini antara lain: mempertahankan kesehatan
pada pola hidup sehat, diet seimbang, olah raga rutin, menikmati hidup,
pekerjaan dan lain sebagainya.

h. Keluarga usia lanjut

Tugas perkembangan pada tahap usia perkawinan ini ialah:

1. Mempertahankan suasana rumah yang menyenangkan.


2. Adaptasi dengan perubahan kehilangan pasangan, teman, kekuatan fisik dan
pendapatan.
3. Mempertahankan keakraban suami/istri dan saling merawat.

4. Mempertahankan hubungan dengan anak dan sosial masyarakat.

5. Melakukan life review.

6. Mempertahankan penataan yang memuaskan merupakan tugas utama keluarga


pada tahap ini.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ilmu keluarga merupakan disiplin ilmu yang terdiri dari berbagai ilmu. Karena itu,
terdapat banyak ahli dari berbagai latar belakang yang berbeda mngutarakan
pendapatnya. Diantara berbagai teori yang disampaikan, ada 7 perspektifyang paling
terkenal yang dapat membantu kita untuk memahami tentang keluarga dan bagaimana
manajemen sumber daya dalam keluarga.
Yang pertama adalah teori Struktural Fungsional, teori ini menjelaskan bahwa tiaptiap
anggota keluarga harus menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan yang semestinya.
Lalu ada juga teori Sosial Konflik, teori ini berbanding terbalik dengan teori Struktural,
teori ini berpendapat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam
dinamika dan perubahan seiring berjalannya waktu, sebab itu, perubahan atau pergantian
fungsi dan peran sangatlah maklum terjadi dalam keluarga.
Yang ketiga adalah teori Ekologi, di teori ekologi ini, dibahas bahwa anggota
keluarga dapat dipengaruhi oleh lingkungan dalam kehidupannya. Selanjutnya adalah
teori Pertukaran Sosial. Di dalam teori ini dijelaskan bahwa setiap hubungan dalam
keluarga dipengaruhi oleh pemikiran cost and benefit. Bahwa semua koneksi dapat
diakhiri apabila salah satu pihak sudah merasa tidak diuntungkan lagi.
Yang kelima adalah teori Feminis. Teori ini adalah teori yang paling sensitif untuk
dibahas karena terdapat perbedaan pandangan besar dalam masyarakat. Di satu sisi teori
ini memberikan kebahagiaan dan kebebasan kepada wanita, namun di lain sisi, teori ini
memberikan dampak buruk bagi ketahanan keluarga.
Turunan dari teori feminis ada teori Gender. Di teori Gender ini dibahas tentang
ketidaksetaraan yang dianggap tidak adil oleh kedua belah pihak. Dan yang terakhir
terdapat teori Perkembangan atau teori Development. Duvall sebagai penggagasnya,
menganggap bahwa keluarga harus melewati 8 tahapan dalam keluarga, barulah dapat
disebut keluarga yang sejahtera.
3.2 Saran
Penulis menyadari masih banyaknya kesalahan yang terdapat di dalam makalah ini,
sebab itu diharapkan saran dan kritik yang membangun. Dan dimohon kesediaannya
untuk memaklumi kesalahan kata, ataupun pendapat yang diutarakan penulis.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. N., Putri, U. V., & Mulyati. (2018). Pengaruh Manajemen Waktu Ibu
Bekerja Terhadap Kecerdasan Emosional Anak. JKKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga
dan Pendidikan, 38-43.
Anderson, K. L. (1997, August). Gender, Status, and Domestic Violence: An
Integration of Feminist and Family Violence Approaches. Journal of Marriage and
Family, 59 No.3, 655-669.
Anindani, D. G., Hasanah, U., & Cholilawati. (2018). Hubungan Konformitas Peer
Group Dengan Perilaku Berpacaran Pada Remaja. JKKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga
dan Pendidikan, 21 No.8, 58-67.
Butler, & Judith. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity.
New York and London: Routledge.
Cook, K. S., & Rice, E. (2003). Social Exchange Theory. Dalam S. U. Department of
Sociology, Handbook of Social Psychology (hal. 52-55). New York: Kluwer
Academic/Plenum Publisher.
Handayani, A., Setiawan, A., & Yulianti, P. D. (2018). Individual Adaptation Based
on Family Development Stage. Advances in Social Science, Education and Humanity
Research, 287, 185-189.
Hidayati, N. (2018). Teori Feminisme: Sejarah, Perkembangan dan Relevansinya
dengan Kajian Keislaman Kontemporer. Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 14
No.1, 21-29.
Homans, G. C. (1961). Social Behavior: Its Elementary Forms. (Brace, Penyunt.)
Oxford, England: Harcourt.
Izzaty, R. E. (2008). Peran Aktivitas Pengasuhan pada Pembentukan Perilaku Anak
sejak Usia Dini (Kajian Psikologis berdasarkan Teori Sistem Ekologi). Jurnal Fakultas
Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta, 1-14.
Juju, J. (2009). HUBUNGAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN
DAMPAK DARI TAYANGAN TELEVISI PADA ANAK USIA SEKOLAH
(KELAS I, II, DAN III) DI SDN BAROS MANDIRI 2 CIMAHI TENGAH. Jurnal
Penelitian, 18-27.
Khuza, M. (2013). Problem Definisi Gender: Kajian atas Konsep Nature dan Nurture.
Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 101-118.
Mahoney, J. L., & Ettekal, A. V. (2017). Ecological Systems Theory. Dalam J. L.
Mahoney, The SAGE Encyclopedia of Out-of-School Learning (hal. 239-241). Thousand
Oaks:
SAGE Publications, Inc.
Maulida, S., Nurlaila, & Hasanah, U. (2018). Hubungan Kelekatan Orangtua dengan
Kemandirian Remaja. JKKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan.
Nauly, M. (2002). Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik.
Bukittinggi: Universitas Sumatera Utara.
Puspiitawati, H. (2013). KONSEP, TEORI DAN ANALISIS GENDER . Bogor: PT IPB
Press.
Salsabila, U. H. (2018). TEORI EKOLOGI BRONFENBRENNER SEBAGAI
SEBUAH PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM. Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, 7 No.1, 139-158.
Schwarz, F. (1996). You Can Trust the Communists (to be Communist). Long Beach,
Chantico: Publishing Co.
Syahri, M. (2014). Teori Pertukaran Sosial George C.Homans dan Peter M. Blau.
Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya.
Tittenbrun, J. (2013). Ralph Dahrendorf's Conflict Theory of Social Differentiation
and Elite Theory. Innovative Issues and Approaches in Social Science, 6 No.3.
Tualeka, M. N. (2017). Teori Konflik Sosiologi Klasik dan Modern. Jurnal Al-
Hikmah, 32-
48.
Tyas, F. P., Herawati, T., & Sunarti, E. (2017). Tugas Perkembangan Keluarga dan
Kepuasan Pernikahan Pada Pasangan Menikah Usia Muda. Jurnal Ilmu Keluarga dan
Konsumen, 10 No.2, 83-94.
Wardani. (2016, Maret). MEMBEDAH TEORI SOSIOLOGI: Teori Pertukaran
(Exchange Theory) George Casper Homans. Jurnal Studia Insania, 4 No.1, 19-38.
Winkler, C. (2010). Feminist Sociological Theory. Dalam C. Crothers, HISTORICAL
DEVELOPMENTS AND THEORETICAL APPROACHES IN SOCIOLOGY (hal. 47-
69). Montana, USA: Eolss Publisher Co.Ltd.

View publication stats


Anda mungkin juga menyukai