Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN
Paradigma Ilmiah Sosiologi Pendidikan
Paradigma ilmiah sosiologi pendidikan sebagaimana telah disebutkan sosiologi
pendidikan adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial manusia pendidikan
para sosiolog pendidikan berusaha mencari tahu tentang hakikat dan sebab
tindakan kelompok orang yang teratur dan berulang dalam kegiatan pendidikan.
berbeda dengan psikolog pendidikan yang memusatkan perhatiannya pada
karakteristik pikiran dan tindakan orang perorang sosiolog pendidikan tertarik
pada tindakan real yang dimunculkan seseorang sebagai anggota kelompok
pendidikan.
secara konvensional ada dua tipe penting sosiologi pendidikan yaitu sosiologi
pendidikan mikro dan sosiologi pendidikan makro sosiologi pendidikan mikro
menyelidiki berbagai pola pikiran dan perilaku yang muncul dalam kelompok-
kelompok pendidikan terbatas para sosiolog mikro menelaah diantaranya gaya
komunikasi verbal dan nonverbal dalam hubungan sosial secara perseorangan
dalam lingkungan pendidikan tertentu integrasi kelompok, perkawanan, dan
pengaruh keanggotaan seseorang adapun sosiologi pendidikan makro mengkaji
berbagai pola sosial manusia pendidikan dalam skala besar sosiologi pendidikan
makro memusatkan perhatiannya pada manusia pendidikan sebagai keseluruhan
dan berbagai unsur pentingnya seperti ekonomi, sistem politik pola kehidupan
keluarga dan bentuk sistem keagamaan nya juga sosiologi pendidikan makro
memusatkan perhatiannya pada jaringan kerja pendidikan dari berbagai
masyarakat yang saling berinteraksi.
A. Peran ilmu dalam kajian sosial
karakteristik ilmu yang paling efektif adalah pendekatannya yang bersifat empiris
para ilmuwan menuntut agar semua pernyataan yang diklaim sebagai kebenaran
tunduk pada pengujian yang cermat dan diuji dengan fakta yang yang diperoleh
melalui observasi terhadap suatu objek ke atas kebenaran dikatakan shahih dalam
arti ilmiah bukan karena ia mempunyai alasan yang secara intuitif masuk akal atau
bukan karena disampaikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang terhormat
dan memiliki otoritas melainkan kesahihan itu terkait dengan kecocokan pada
fakta yang sudah diketahui.
tidak sedikit ilmuwan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
melakukan pekerjaan dasar yang bersifat deskriptif yaitu melakukan identifikasi
karakterisasi dan klasifikasi terhadap gejala yang sedang diamati sekalipun
demikian jangan lantas beranggapan bahwa tujuan ilmu sekedar membuat
deskripsi kegiatan itu hanyalah tahap awal dari penelitian ilmiah tujuan akhir ilmu
adalah menjelaskan identifikasi pada sebab-sebab dasar gejala yang diteliti.
penjelasan ilmiah dalam sosiologi dilakukan melalui konstruksi strategi teoritis
dan teori strategi teoritis adalah rangkaian global yang terdiri atas asumsi-asumsi
dasar konsep dan prinsip-prinsip yang mengarahkan ia dirancang untuk diterapkan
pada gejala sosial secara luas tujuannya adalah melahirkan teori-teori spesifik dan
mendorong berbagai macam penelitian untuk menguji teori tersebut adapun teori
adalah rangkaian pernyataan spesifik yang saling berhubungan serta dirancang
untuk menjelaskan gejala tertentu.
teori lebih sempit daripada strategi teoritis strategi teoritis umumnya diterapkan
pada rangkaian gejala yang terdiri atas berbagai teori yang berkaitan walaupun
diterapkan pada gejala-gejala yang berbeda berbagai teori yang saling berkaitan
itu mempunyai banyak kesamaan sebab semua berasal dari rangkaian asumsi
konsep dan prinsip yang secara global memiliki kesamaan.
para sosiolog melakukan pengujian empiris baik terhadap strategi teoritis maupun
terhadap teori sebuah strategi teoritis dikatakan baik apabila melahirkan teori teori
spesifik yang didasarkan pada pengujian empiris yang cermat strategi teoritis yang
sekadar didukung teori-teori yang tidak kukuh dan tidak berlaku dinilai lemah
strategi teoritis semacam ini tidak cukup meyakinkan dan tidak akan banyak
membantu dalam teoretisasi dan penelitian lanjutan.
terdapat sejumlah strategi teoretis yang berbeda dalam sosiologi kontemporer
semua strategi teoritis ini mempunyai pendukung dan dasar masing-masing.
satu strategi idealis perdebatan tak henti-henti terjadi dikalangan para
sosiolog mereka mempermasalahkan keunggulan pendekatan idealisme yang
dipertentangkan dengan pendekatan materialisme dalam menelaah kehidupan
sosial manusia pendekatan-pendekatan idealis berusaha menjelaskan ciri dasar
kehidupan sosial dengan merujuk pada daya kreatif pikiran manusia para pakar
pendekatan ini percaya bahwa keunikan manusia terletak pada fakta bahwa
manusia memberikan makna makna simbolik terhadap tindakan-tindakan yang
dilakukannya ia menciptakan rangkaian gagasan dan cita-cita yang terperinci dan
menggunakan konstruk mental dalam mengarahkan perilakunya karakteristik-
karakteristik perilaku yang beragam dalam suatu masyarakat dilihat oleh para
idealis sebagai hasil serangkaian gagasan dan cita-cita yang beragam juga,
(Sanderson,2003)

versi idealisme kontemporer yang paling terkenal terdapat dalam karya antropolog
Perancis Claude Levi-Ctrauss(1963). dalam kajiannya ia mengajukan sebuah
pendekatan terhadap berbagai masyarakat pendekatan Levi dikenal dengan istilah
pendekatan strukturalisme gagasan utama pendekatan ini adalah bahwa manusia
dimanapun mempunyai kecenderungan untuk berpikir dalam bingkai pertentangan
kembar kecenderungan untuk berpikir dalam bingkai pertentangan kembar ini
sangat melekat dalam pikiran manusia organisasi masyarakat pada dasarnya
menurut Levi mengikuti pola pertentangan kembar yang sangat penting dalam
kebudayaan atau masyarakat yang ada saat ini pertentangan kembar dasar yang
dimaksud oleh Levi meliputi posisi alam yang secara pasti berpasang-pasangan
laki-laki-perempuan alam -kebudayaan bumi-langit mentah-matang dan
seterusnya.
seorang antropolog kenamaan Sheryy Ortner (1974), menerapkan pendekatan
strukturalisme Levi untuk menjelaskan peranan jenis kelamin dalam berbagai
kebudayaan dunia secara khusus dengan pendekatan ini ini menjelaskan alasan
wanita secara universal merupakan jenis kelamin yang tersubordinasi artinya
dalam setiap masyarakat manapun wanita dan aktivitas yang dilakukannya dinilai
rendah kenyataan ini menurut masuk pada bingkai pertentangan kembar alam
kebudayaan dalam pikiran manusia wanita diasosiasikan sebagai alam sedangkan
laki-laki diasosiasikan sebagai kebudayaan wanita dipandang lebih dekat dengan
alam baik kaitannya dengan proses fisiknya maupun dalam aktivitasnya wanita
mengalami menstruasi hamil menyusui dan mempunyai hubungan dekat dengan
anak-anak ini menjadikan wanita tampak lebih dekat dengan alam dibandingkan
laki-laki sebaliknya laki-laki dipandang lebih dekat dengan kebudayaan sebab
mereka lebih dekat dengan berbagai aktivitas budaya seperti aktivitas politik dan
agama secara umum manusia meletakkan kebudayaan di atas alam akibatnya
secara umum wanita dipandang rendah seperti posisi alam yang sering diubah
oleh kebudayaan.
teori serupa tetapi dengan penekanan tertentu dikembangkan juga oleh Marshall
Sahlin (1976), seorang antropolog Amerika kenamaan ia membuat penjelasan
provokatif tentang kebiasaan makan daging sapi yang dilakukan orang Amerika
sekalipun demikian teori sahlins tentang ini masih harus ditimbang ulang dan
memerlukan pembuktian lebih lanjut.
sahlins menyatakan bahwa daging sapi adalah makanan yang bernilai paling
tinggi hal ini berkaitan dengan asosiasi indo Eropa kuno yang mengaitkan sapi
dengan kejantanan ini dipertahankan selama ribuan tahun dan terus mengarahkan
pikiran kita tentang daging yang tepat mengaku heran karena orang Amerika tidak
memakan daging anjing padahal masyarakat lain memakannya seperti Cina kita
tidak memakan daging anjing kata sahlins karena anjing-anjing itu
mengingatkannya kita pada manusia karena kita mengembangkannya hubungan
yang dekat dengan anjing pikiran kita menolak untuk menjadikannya sebagai
santapan makanan malam sangat mengerikan makan malam dengan daging teman
dekat yang terkadang kita gendong cium dan tidur bersama.
idealisme versi lainnya terdapat pada tulisan-tulisan sosiologi kontemporer
Amerika Tarcott Persons (1937-1966). person menyatakan bahwa inti setiap
masyarakat adalah jalinan makna kepercayaan dan nilai yang dianut bersama
kepercayaan dan nilai suatu masyarakat dapat membentuk struktur dasar mereka
dalam mengorganisasikan kehidupan sosialnya masyarakat modern menurut
parsons sangat terorganisasi dengan bingkai dasar-dasar nilai kekristenan dan
demokrasi liberal sangat yakin bahwa karena orang barat mengembangkan sistem
nilai keagamaan dan politik ini mereka mampu memecahkan problem
kemasyarakatan tertentu yang masih menimpa masyarakat lain yang sistem nilai
dan kepercayaannya berbeda.
dua strategi materialis bahkan para pendukung parsons dan kawan-kawannya
ditolak mentah-mentah oleh penganut strategi materialis bagian terpenting dari
kehidupan manusia menurut para materialis adalah adaptasi terhadap lingkungan
fisik tingkat teknologi dan sistem organisasi ekonomi faktor-faktor ini merupakan
pembentuk persyaratan dasar eksistensi manusia.
bagi para materialis bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah adaptasi
terhadap lingkungan fisik adaptasi ini harus dilakukan dengan menciptakan
teknologi dan sistem ekonomi setelah teknologi dan sistem ekonomi diciptakan ia
akan menentukan sifat pola-pola sosial lain yang dilahirkan masyarakat manusia
jenis teknologi dan sistem ekonomi yang berbeda akan melahirkan jenis pola-pola
sosial yang berbeda pula.
para materialis umumnya menganggap gagasan dan cita-cita manusia berasal dari
pola-pola sosial yang diciptakan sebelumnya sebagaimana para idealis mereka
juga mengakui kapasitas kreatif pikiran manusia akan tetapi mereka berpendapat
bahwa gagasan dan cita-cita bukan sesuatu yang lahir dengan sendirinya ia lahir
sebagai respon terhadap berbagai kondisi materi dan sosial yang dihadapinya.
Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895) adalah 2 sosiolog
Jerman yang pertama kali memunculkan pendekatan materialis terhadap
kehidupan sosial kedua sosiologi ini satu persepsi dalam mengembangkan sebuah
klaim yang disebut materialis sejarah (historical materialism). klaim ini
dikembangkan sebagai perlawanan langsung terhadap idealisme yang saat itu
banyak mewarnai filsafat Jerman walaupun materialis sejarah dibangun untuk
memahami masyarakat kapitalis modern, Marx dan Engels menganggap bahwa
materialis sejarah dapat diterapkan terhadap seluruh kehidupan masyarakat
manusia baik masa lalu maupun masa kini.
Marx dan Engels membagi komponen pokok masyarakat pada dua jenis
pertama komponen infrastruktur paling riil dari komponen ini adalah pola
produksi komponen infrastruktur dibagi menjadi dua kategori yaitu 1 kekuatan-
kekuatan produksi yang terdiri atas bahan-bahan mentah yang diperlukan
masyarakat dalam produksi ekonomi dan 2 tingkat teknologi yang tersedia
termasuk kategori kedua adalah sifat khusus dari berbagai sumber daya alam
seperti kualitas tanah. Marx dan Engels menyatakan bahwa pada sebagian
masyarakat kekuatan-kekuatan produksi dimiliki secara komunal oleh seluruh
masyarakat akan tetapi dalam masyarakat lain pemilikan dan dominasi pribadi
atas kekuatan produksi tampak dan terjadi kelompok yang memegang kekuatan-
kekuatan produksi dapat memaksa kelompok-kelompok lain bekerja untuk
mereka.
kedua, komponen suprastruktur komponen ini terdiri atas semua aspek
kehidupan masyarakat yang tidak termasuk dalam infrastruktur seperti politik
hukum kehidupan keluarga agama serta gagasan dan cita-cita. Marc dan Engels
berpendapat bahwa infrastruktur dan suprastruktur masyarakat saling berkaitan
walaupun dinyatakan bahwa suprastruktur terkadang dapat mempengaruhi
infrastruktur mereka menegaskan bahwa arus utama hubungan kasual itu bergerak
dari infrastruktur menuju suprastruktur dengan kata lain mereka percaya bahwa
pikiran dan tindakan manusia yang terdapat dalam suprastruktur masyarakat pada
umumnya dibentuk oleh ciri-ciri infrastrukturnya mereka juga memandang bahwa
perubahan sosial dalam suprastruktur terjadi karena adanya perubahan dalam
infrastruktur masyarakat inilah esensi materialisme Marx dan Engls.
materialisme Marx dan Engels, dinyatakan oleh banyak sosiolog terutama
para idealis sebagai strategi yang tidak kuat dalam mengkaji kehidupan sosial dan
harus ditolak akan tetapi akhir-akhir ini pandangan ini bangkit kembali secara
meyakinkan dan banyak sosiologi kontemporer mengikuti prinsip dasar hubungan
kausal materialistis yang diajukan oleh Marx dan Engels para penolak Marx dan
Engels dari kalangan idealis kontemporer hampir rata-rata menolak secara total
akan tetapi sebagian mereka ada yang menolak sebagiannya saja mereka
menyatakan bahwa pandangan Marx dan Engels bukan tidak valid tetapi terlalu
menyederhanakan realitas sosial para sosiolog ini sering mengusulkan
penggabungan strategi materialis dan strategi idealis mereka berpendapat bahwa
kehidupan sosial adalah hasil bersama dari kondisi material gagasan dan cita-cita.
tiga strategi fungsionalisme strategi yang dikenal dengan fungsionalisme
muncul menjadi bagian dari analisis sosiologi pada tahun 1940-an strategi teoritis
ini mencapai kejayaannya pada tahun 1950-an. pada masa jayanya fungsionalisme
menjadi strategi teoritis standar yang diikuti mayoritas sosiolog dan hanya
sebagian kecil yang menentangnya mulai tahun 1960-an, dominasi teoritis
fungsionalisme mendapat tantangan keras dan validitas teoritisnya banyak
dipertanyakan strategi teoritis ini segera memasuki masa kerontokan meskipun
mayoritas sosiolog saat ini sepertinya tidak menganjurkan pendekatan
fungsionalis dalam mengkaji kehidupan sosial fungsionalisme masih tetap
didukung secara serius oleh kelompok minoritas yang masih memiliki kekuatan
secara sosiologis
pemikiran pokok fungsionalisme adalah sebagai berikut
a. masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri atas bagian-bagian
yang saling berhubungan dan saling bergantung setiap bagian tersebut
berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
b. setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki
fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara
keseluruhan.
c. semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya
sebagai satu dengan yang lain salah satunya mekanisme ini adalah komitmen para
anggota masyarakat terhadap serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama.
d. masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan equilibrium dan
homeostatis gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan
penyesuaian pada bagian lain dalam upaya mencapai harmoni atau stabilitas.
e. perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat
apabila terjadi perubahan itu pada umumnya akan membawa konsekuensi
konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara umum.
para penganut fungsionalisme menampakan minat pada perdebatan antara
penganut materialisme dan idealisme meskipun sebagian kecil dari mereka secara
eksplisit berpihak kepada salah satunya mereka berpihak pada idealisme meskipun
sebagian fungsionalis berpihak pada pandangan idealis kebanyakan mereka
mengambil posisi tengah-tengah dengan berargumentasi bahwa baik faktor
materiil maupun faktor gagasan dan cita-cita keduanya mempunyai pengaruh yang
krusial terhadap sifat dan an-nas ar-raudhah pola sosial posisi ini konsisten
dengan klaim fungsionalisme bahwa masyarakat merupakan sistem yang terdiri
atas bagian-bagian yang saling bergantung yang selalu sama lainnya saling
mempengaruhi.
pada tahun 1960 and fungsionalisme mendapat kritik tajam secara
sederhana kritik-kritik penting yang diarahkan pada fungsionalisme adalah
sebagai berikut.
a. fungsionalisme cenderung terlalu menekankan pada tingkat ketika masyarakat
manusia bersifat harmonis stabil dan merupakan sistem yang terintegrasi dengan
baik
b. fungsionalis yang berlebihan pada harmoni dan stabilitas cenderung
mengabaikan konflik sosial yang merupakan ciri dasar kebanyakan masyarakat
titik
c. dengan terlalu mengutamakan harmoni sosial dan mengabaikan konflik sosial,
fungsionalis cenderung mengarahkan pada di konservatif dalam mengkaji
kehidupan sosial. artinya, mereka cenderung mendukung perlunya
mempertahankan segala pengaturan yang ada dalam sebuah masyarakat.
d. dalam mengkaji sebuah masyarakat, mereka pada umumnya hanya mengkaji
satu titik massa tertentu (masa kini), sehingga menerapkan pendekatan yang jelas-
jelas ahistoris dalam mengkaji kehidupan sosial.
e. karena fungsionalis mengabaikan dimensi historis dalam mengkaji kehidupan
sosial mereka kesulitan menerangkan perubahan sosial.
Perbedaan antara fungsionalisme dan analisis fungsional adalah
fungsionalisme mencakup pemikiran dasar yang telah disebutkan di atas,
sedangkan analisis fungsional menyajikan taktik metodologis dasar yang
mengasumsikan bahwa fenomena tertentu harus dianalisis dan dipahami dari
sudut pandang signifikansi adaptasinya.
Analisis fungsional sering digunakan dalam ilmu-ilmu sosial secara
terlepas dari prinsip-prinsip fungsionalisme. Karl marx, misalnya, sering
menggunakan sebuah tipe analisis fungsional. Ketika menegaskan bahwa gagasan
dan cita-cita suatu masyarakat harus dipahami dalam kaitannya dengan tujuan-
tujuan yang mendukung kelompok sosial yang kuat, dia jelas menggunakan
analisis fungsional. Contoh lain, sejumlah sosiolog modern berusaha menjelaskan
alasan bangsa Israel kuno berpantang memakan daging babi, pantangan yang juga
masih diikuti oleh kalangan Yahudi ortodoks. Sebagian sosiolog ini memahami
masalah tersebut dengan melihat kegunaan pantangan ini bagi bangsa Israel kuno.

4. Strategi Teoretis Evolusioner


Strategi teoritis evolusioner adalah strategi yang berusaha menjelaskan
rangkaian perubahan sosial yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Para
evolusionis berpendapat bahwa banyak masyarakat yang telah mengalami
perubahan-perubahan yang umumnya serupa dari zaman dahulu sampai sekarang.
Para evolusionis berusaha keras mengidentifikasi sifat-sifat perubahan ini dan
menjelaskan alasan terjadinya perubahan tersebut.
Erik Olin wright(1983) mengkonsepkan teori evolusioner secara sangat
tepat. Menurutnya, semua teori evolusioner mengandung beberapa karakteristik
berikut.
a. Mereka mengorganisasikan sejarah ke dalam sebuah tipologi tahap-tahap.
b. Mereka mengasumsikan bahwa penyusunan tahap ini menunjukkan arah
kecenderungan perkembangan yang dialami masyarakat.
c. Mereka memos tuliskan bahwa probabilitas terjadinya gerakan ke tahap
yang lebih lebih maju melebihi probabilitas terjadinya gerakan ke tahap
rendah.
d. Mereka mengidentifikasi adanya mekanisme atau serangkaian mekanisme
yang konon dapat menjelaskan gerakan dari satu tahap ke tahap lainnya.
B. Model-Model Analisis Sosiologi Pendidikan
Dalam mempelajari pendidikan, para sosiolog merumuskan model-model
analisis. Ada beberapa model analisis yang digunakan oleh para sosiolog dalam
meneliti pendidikan. Akan tetapi, sebelum berbicara tentang model analisis
tersebut, kita akan membahas pandangan para sosiolog terhadap sosiologi
pendidikan.
Para sosiolog hampir sepakat bahwa sosiologi pendidikan merupakan
cabang atau bagian ilmu sosiologi yang memusatkan perhatiannya dalam
mempelajari struktur dan organisasi pendidikan berikut proses sosial yang ada
didalamnya. Cakupan sosiologi pendidikan, seperti yang telah disebutkan,
sangatlah luas titik oleh sebab itu, seorang sosiolog tidak mungkin dapat
mengcover seluruh cakupan itu. Ia harus dapat memfokuskan perhatiannya pada
salah satu cakupan tersebut. Selain itu, terdapat banyak teori yang dipakai dalam
menganalisis sosiologi pendidikan yang terkadang saling bertentangan.
Perbedaan teori atom model analisis sangat bergantung pada asumsi yang
digunakan. Begitu juga sudut pandang yang digunakan. Hal ini mirip dengan
cerita beberapa orang yang melihat cahaya terang di tengah hutan pada malam
hari. Orang pertama menyebutkan bahwa cahaya itu adalah batu yang bersinar
oleh sinar bulan dan memantulkan cahaya. Orang ini beralasan karena dirinya
pernah masuk ke tempat itu dan disana ada batu. Orang kedua menyebutkan
bahwa cahaya itu adalah seekor kijang yang bulunya bersinar oleh sorotan
matahari. Sebab, ketika dirinya mencari kayu bakar, di tempat itu selalu ada
kijang. Orang ke-3 menyebutkan bahwa cahaya itu bersumber dari sebuah jamur
yang tumbuh di sana. Sebab, di tempat itu, saat ia menyabit rumput, iya pernah
menemukan jamur yang tumbuh di kala menyambut rumput.
Tiga orang di atas berbeda pandangan dan asumsi, walaupun sudah pasti
bahwa benda bercahaya itu satu. Seperti itulah pendekatan dan teori sosiologi
pendidikan. Beberapa pandangan sangat beragam, padahal obyeknya hanya satu.
Model analisis yang digunakan dalam mempelajari pendidikan sangat
beragam. Dengan tidak menyederhanakan model-model yang lain, berikut ini
akan dijelaskan beberapa teori atau model analisis pokok.
1. Model struktural fungsional
Model struktural fungsional adalah model analisis yang
memusatkan perhatian pada integrasi sosial, stabilitas sosial, dan
konsensus nilai. Model ini tidak lepas dari nama seorang tokoh sosiologi
yang bernama Emile Durkheim.
Durkheim memandang bahwa pendidikan adalah suatu fakta sosial
(social fact). Oleh karena itu, pendidikan menjadi objek studi sosiologi.
Fakta sosial, menurut durkheim, memiliki tiga ciri utama.
Pertama, ia berada diluar individu, tidak menyatu dalam individu.
Karena berada di luar individu, fakta sosial bersifat langgeng. Artinya,
fakta sosial telah ada sebelum individu lahir dan tetap ada walaupun
individu telah meninggal. Contoh fakta sosial adalah agama, adat, bahasa
dan pendidikan. Pendidikan telah ada sebelum kita lahir dan tidak akan
berhenti karena kita meninggal. Kedua, memiliki daya paksa terhadap
individu untuk melaksanakan dan menaati nya. Seseorang merasa wajib
untuk berpendidikan agar ia bisa beradaptasi dengan yang lain. Ia merasa
wajib menggunakan bahasa tertentu agar ia dapat berkomunikasi dengan
orang lain. Ketiga, fakta sosial tersebar di kalangan warga masyarakat titik
ini menjadi milik masyarakat. Contohnya pendidikan. Sebagai fakta sosial,
iya tersebar di masyarakat dan masyarakat merasa memilikinya.
Selanjutnya, durkheim menyatakan bahwa ketika pertama kali
lahir, seseorang belum berpengetahuan, tidak mampu berbahasa, dan
belum bisa berbuat apa-apa. Untuk bisa bertahan hidup ia harus
mempelajari segala hal yang ia perlukan dari lingkungannya. Itulah
sebabnya, menurut durkheim, seseorang dibentuk oleh lingkungan atau
masyarakatnya menjadi makhluk sosial. Sebelumnya, iya bukan makhluk
sosial. Proses yang mengubah dirinya dari bukan makhluk sosial menjadi
makhluk sosial disebut proses sosialisasi.
Suatu masyarakat akan terus ada, apabila di kalangan warganya
terdapat homogenitas tertentu) sudardja adiwikarta,1988). Tanpa adanya
homogenitas atau keseragaman, mustahil akan ada masyarakat. Bahkan
masyarakat yang telah ada pun bisa musnah.
Pendidikan adalah proses homogenisasi sosial yang
diselenggarakan untuk menyiapkan suatu masyarakat. Dengan demikian,
pada dasarnya pendidikan adalah proses mempengaruhi yang dilakukan
oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang belum siap untuk
melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan dan
mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan
tuntutan lingkungannya. Jadi, pendidikan adalah sarana persiapan untuk
hidup bermasyarakat yang disiapkan oleh masyarakat itu sendiri.
Pandangan lain yang dikemukakan oleh durkheim dan sangat
berpengaruh adalah penekanannya pada pembagian kerja (division of
labor) dan solidaritas sosial. Salah satu bukunya, the division of labor in
society (terjemahan George Simpson), merupakan bukti penekanannya
pada dua hal tersebut. Menyebutkan bahwa semakin maju suatu
masyarakat, semakin tajam lah pembagian kerja diantara warganya. Oleh
karena itu, pada masyarakat terdapat spesialis spesialis untuk bidang-
bidang yang sangat khusus.
Sejalan dengan meningkatnya pembagian kerja (Durkheim,1933),
terjadilah perubahan dalam solidaritas, yaitu ikatan emosional antara
warga suatu masyarakat. Menurut durkheim, pada masyarakat yang belum
memiliki pembagian kerja, solidaritas sosial bersifat mekanis. Adapun
pada masyarakat yang memiliki pembagian kerja lebih lanjut, solidaritas
sosial itu didasari oleh adanya rasa saling memerlukan atau saling
bergantung. Solidaritas ini disebut dengan solidaritas organik.
Berhubungan dengan pembagian kerja, pendidikan berfungsi untuk
masyarakat, baik fungsi maupun peran. Masyarakat memerlukan
heterogenitas tertentu. Tanpa heterogenitas, masyarakat tidak akan ada.
Sementara itu, spesialisasi dalam kondisi heterogen bermakna seleksi.
Sebab, spesialisasi adalah proses penempatan orang pada posisi tertentu
sesuai dengan bakat, minat, dan kesempatan yang tersedia di masyarakat.
Makna lainnya bahwa spesialisasi adalah alokasi dan distribusi sumber
daya yang ada dalam masyarakat. Seleksi pun menunjukkan makna alokasi
dan distribusi sumber kemakmuran (sudardja,1988)
Emile durkheim memandang pendidikan memiliki peran dalam
proses sosialisasi, homogenisasi, seleksi, heterogenisasi, alokasi, dan
distribusi peran-peran social. Selanjutnya, ia menekankan pentingnya
pendidikan moral berbasis kedisiplinan dalam setiap lingkungan
pendidikan. Sanksi dan penghargaan merupakan salah satu alat untuk
pendidikan disiplin. Sanksi dalam pendidikan, sebagai pembanding
penghargaan, mutlak harus ditegakkan. Sekalipun demikian, durkheim
menyatakan bahwa sanksi dalam bentuk hukuman fisik bertentangan
dengan prinsip moral modern. Ia pun memandang bahwa pendidikan
memiliki peran besar dalam memelihara ketertiban dan keseimbangan
sosial.
Guru dalam pandangan Durkheim adalah wakil negara, bangsa,
dan orang dewasa dalam menyiapkan generasi yang mampu berperan
sebagai warga penuh dalam masyarakatnya.
Penganut struktural fungsional angkatan baru yang meneruskan
Durkheim adalah Talcott Parsons. Parsons menyatakan bahwa tindakan
semua orang dipengaruhi oleh dua macam orientasi, yaitu orientasi
motivasional yang bersifat pribadi dan orientasi nilai yang bersifat sosial.
Artinya, tindakan setiap orang dipengaruhi oleh kehendak pribadinya dan
dikontrol oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.
Sementara itu, berkaitan dengan pendidikan, Parsons memandang
pendidikan sebagai pemegang peran sosialisasi dan seleksi. Sosialisasi
meliputi aspek nilai, kognisi, maupun motorik (Sudardja, 1988: 17). Di
antara tiga aspek tersebut, yang paling diutamakan oleh Parsons adalah
aspek nilai. Sebab, konsensus terhadap nilai merupakan faktor yang
disyaratkan bagi timbul dan terpeliharanya integritas sosial. Melalui
sosialisasi, nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat diubah menjadi
nilai yang dihayati atau diinternalisasi oleh warga masyarakat secara
individual.
Menurut Parsons, masyarakat terdiri atas tiga subsistem, yaitu
subsistem budaya, subsistem sosial, dan subsistem kepribadian. Pandangan
ini dipengaruhi oleh Durkheim yang menyatakan bahwa masyarakat
merupakan suatu sistem organis yang terdiri atas sejumlah subsistem yang
saling memengaruhi dan saling bergantung.
Subsistem budaya, menurut Parsons, berisi nilai-nilai, norma,
pengetahuan, dan kepercayaan atau keyakinan hidup yang dianut secara
komunal. Sementara itu, dalam subsistem sosial terdapat struktur peran,
yaitu perilaku yang diharapkan akan dilakukan seseorang sesuai dengan
status sosialnya. Adapun dalam sistem kepribadian, individu-individu
memiliki keperluan yang lahir atau dibentuk pada saat berlangsungnya
proses sosialisasi bagi dirinya.
Dalam analisis Parsons, pendidikan adalah proses sosialisasi yang
memungkinkan setiap individu mengembangkan rasa tanggung jawab dan
berbagai kemampuan. Melalui pendidikan, seseorang memperoleh
kemampuan teknis. Akan tetapi, kemampuan teknis tidaklahcukup. Oleh
karena itu, ia dituntut untuk memiliki kemampuan sosial dan rasa
tanggung jawab mengenai terselenggaranya kehidupan yang bernilai
budaya sesuai dengan pegangan masyarakatnya.
Tampak sekali Parsons sangat menekankan proses sosialisasi. Ada
sebagian penganut fungsionalisme struktural yang lebih menekankan pada
fungsi seleksi. Ralph Turner memandang bahwa kita hidup dalam
masyarakat yang memiliki sistem stratifikasi sosial. Tidak ada masyarakat
yang kosong dari stratifikasi. Untuk menempati setiap strata dan status
sosial, setiap orang harus menempuh sistem seleksi.
Turner membagi masyarakat pada dua bentuk. Pertama,
masyarakat yang menganut sistem pelapisan sosial tertutup. Kedua,
masyarakat yang menganut sistem pelapisan terbuka. Dalam masyarakat
yang menganut sistem pelapisan terbuka, terdapat kesempatan bagi warga
masyarakat untuk naik dalam tangga sosial, sekalig terdapat kesempatan
untuk bergerak turun dalam tangga sosial. Dalam masyarakat yang
menganut sistem pelapisan terbuka, pendidikan dipandang sebagai suatu
sarana mobilitas sosial penting.
Fungsi seleksi dikumandangkan secara lantang oleh Earl Hopper.
Dikatakan olehnya bahwa seleksi dilaksanakan dalam berbagai tahapan.
Ketika anak akan masuk sekolah, ia mengalami seleksi yang ketat melalui
tes masuk. Kemudian, dalam lembaga pendidikannya, ia harus memilih
jurusan tertentu menurut berbagai kriteria yang ditetapkan oleh lembaga.
Ketika memasuki dunia kerja pun, ia akan menghadapi proses seleksi yang
tidak mudah. Pada dasarnya, memasuki suatu lapangan kerja tertentu
adalah memenangkan seleksi untuk memperoleh pendidikan lanjutan.
Tokoh fungsionalisme angkatan baru setelah -bahkan murid -
Parsosn adalah Merton. Ia banyak menyoroti dampak tindakan manusia
terhadap masyarakat. Merton memandang bahwa dampak suatu tindakan
bersifat fungsional dan disfungsional. Artinya, tindakan seseorang dapat
meningkatkan fungsi masyarakat (bermanfaat), sekaligus merugikan.
Contohnya adalah dalam bidang pendidikan. Keberhasilan kita mendirikan
lembaga pendidikan yang berjumlah ribuan telah menyebabkan
meningkatkan angka sarjana. Akan tetapi, ketika dulu kita disudutkan
karena sedikit sekali orang-orang yang menyandang predikat sarjana,
sekarang tingkat pengangguran berdasi semakin banyak dan hal ini tidak
kurang berat dibanding kekurangan sarjana.
Merton menekankan pentingnya waspada pada sebuah tindakan
sebelum dilakukannya. Bisa saja suatu tindakan berhasil dilakukan oleh
seseorang, tetapi menimbulkan masalah di sisi lain. Kita berhasil menekan
angka kematian dengan program kesehatan, tetapi kita pun direpotkan
dengan masalah kelebihan jumlah penduduk yang tidak kalah berat dengan
problem tingginya angka kematian.
2. Analisis Model Konflik
Fokus analisis model konflik adalah pertentangan kepentingan,
dominasi, pemaksaan, dan perubahan. Para penganut model konflik
memandang bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada kelompok kecil
yang mendominasi kelompok mayoritas. Dalam setiap masyarakat,
menurut mereka, selalu ada kelompok kepentingan yang terus-menerus
bersaing dan bertentangan satu sama lain.
Persaingan terjadi ketika di suatu lingkungan terdapat sumber daya
yang terbatas jumlah dan kapasitasnya, sementara jumlah yang
membutuhkan sangat banyak. Mereka yang membutuhkan sumber daya
tersebut akan berebut untuk memperoleh dan menguasainya. Ketika
mereka yang bersaing tidak lagi memfokuskan diri pada usaha untuk
mendapatkan apa yang direbutkan, melainkan beralih pada usaha untuk
menjatuhkan pesaingnya, persaingan tersebut berubah menjadi konflik.
Para penganut model konflik yakin sekali bahwa kelompok yang
didominasi oleh kelompok yang lain akan berusaha membebaskan diri dari
dominasi tersebut. Menurut penganut model konflik, pendidikan
merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai yang dianut kelompok
dominan kepada generasi mudanya dalam rangka mempertahankan
struktur sosial yang ada atau melanggengkan posisi dominan mereka.
Prinsip-prinsip sosialisasi dan seleksi yang dikhotbahkan secara
menggebu-gebu oleh Durkheim dan Parsons dianggap oleh penganut
model konflik sebagai sebuah prinsip yang dipegang oleh para pelaku
sosial sebagai bahan mempertahankan posisi dominan mereka. Menurut
mereka, sosialisasi adalah proses mewariskan nilai-nilai dari suatu
generasi kepada generasi berikutnya dalam mempertahankan posisi
dominan yang selama ini mereka nikmati. Generasi yang digembleng oleh
mereka pada dasarnya adalah kelompok yang sengaja dicetak untuk
menggantikan mereka.
Begitu pula, pendidikan dan guru yang terlibat di dalamnya,
Menurut penganut model konflik, meskipun dikatakan mewakili negara,
guru berposisi sebagai agen untuk mempertahankan dominasi melalui
pengajaran nilai-nilai kepada anak muda. Guru memaksa anak-anak
didiknya agar mengikuti nilai-nilai yang dianutnya. Jadi, guru yang
berhasil, menurut para penganut model konflik, adalah mereka yang
berhasil menanamkan posisi dominan pada murid muridnya.
Tokoh-tokoh penting penganut model konflik adalah S. Bowles, H.
Gintis, Louis Althusser, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan Ivan Illich.
Bowles menyatakan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk
mengekalkan dominasi, baik di masyarakat liberal Barat, seperti Amerika
Serikat, atau masyarakat sosialis Timur, seperti Uni Soviet Hal senada
diungkapkan oleh Gintis. Keduanya sepakat bahwa melalui pendidikan,
orang dewasa bertarget untuk tetap menjadi kelompok dominan yang
selama ini menikmati dominasinya.
Bagi masyarakat Barat, menurut Gintis dan Bowles, pendidikan
adalah sarana mempertahankan dominasi liberal mereka. Adapun bagi
masyarakat Timur, pendidikan adalah sarana mempertahankan dominasi
sosialis mereka. Menurut Bowles dan Gintis, pendidikan tidak berperan
sebagai kekuatan sosial untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan,
tetapi untuk mempertahankan status quo.
Tampak sekali pemikiran Bowles dan Gintis sangat dipengaruhi
oleh pemikiran Marx. Menurut mereka, orang yang mendengungkan
bahwa pendidikan dapat membantu memecahkan masalah sosial, jelas
sekali tidak memahami sistem ekonomi. Pemikiran ini merupakan
tamparan terhadap konsep Lester Frank Ward yang meyakini bahwa
masalah sosial bisa dijawab dengan pendidikan.
Pendidikan adalah faktor pelanggeng struktur kelas di masyarakat.
Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, menanamkan keyakinan
bahwa sukses di bidang ekonomi bergantung pada kemampuan yang
dihasilkan melalui pendidikan. Kedua, menyiapkan anak didik untuk
ditempatkan pada posisi tertentu dalam sistem kelas di masyarakat, sesuai
dengan kepentingan yang menempatkan.
Berbicara tentang sosialisasi dalam sekolah, Gintis dan Bowles
menyebutkan bahwa sekolah mencetak konsep diri, cita-cita, dan lain-lain
sesuai dengan tuntutan pembagian kerja di masyarakat. Pendidikan,
menurut mereka, pasti disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dengan
basis ideologinya. Contohnya di Amerika yang kapitalis, pendidikan
disesuaikan dengan kepentingan kapitalistik.
Bowles-Gintis mengamati correpondence principle (prinsip
kecocokan atau keselarasan). Menurut mereka, bentuk, cara, dan proses
pendidikan sama dengan apa yang terjadi di dunia kerja. Ada empat hal
yang menunjukkan kesamaan antara pelajar dengan karyawan.
1.Dalam hal kekuasaan. Peran pelajar dalam menentukan isi
kegiatan kurikuler sangat minim, sama halnya dengan peran karyawan
dalam menentukan isi kegiatan.
2 Dalam hal pendidikan sebagai alat, tujuan. Pekerjaan dengan
belajar (pendidikan) sama-sama tidak menyenangkan dan dikerjakan demi
nilai dan upah.
3. Dalam hal spesialisasi dan persaingan. Di kalangan karyawan
terdapat sepesialisasi, begitu juga di kalangan pelajar. Di dunia kerja ada
spesialisasi, begitu juga di dunia pendidikan.
4. Tingkatan dalam pendidikan persis dengan tingkatan di dunia
pekerjaan. Kelas-kelas rendah menekankan pada disiplin dan ketaatan,
sedangkan kelas tinggi melakukan pada tugas mandiri.
Menurut Bowles dan Gintis, sistem yang ada dalam pendidikan di
sekolah tidak berbeda dengan sistem di dunia kerja masyarakat kapitalis.
Dalam kedua sistem tersebut terdapat usaha penekanan pada disiplin,
ketekunan, ketepatan, kebergantungan pada atasan, dan lain-lain, tidak
pada kemandirian dan kreativitas.
Menurut Gintis, kaum kapitalis berhasil mengukuhkan cakar cakar
dominasinya dalam masyarakat melalui pendidikan.
Anda mau percaya atau tidak pada pemikiran Gintis-Bowles, itu
urusan Anda. Secara ideal, menurut Anda pendidikan itu untuk
membebaskan orang dari dominasi yang lain. Itu, pandangan Anda dan
saya. Bahkan, bagi saya pendidikan massal yang sekarang menjamur di
mana-mana adalah sebuah usaha menghentikan dominasi kelas.
Tokoh analisis model konflik lainnya adalah Louis Althuser.
Pandangannya tidak berbeda dengan pandangan Bowles dan Gintis.
Althuser menyebutkan bahwa pendidikan adalah upaya mempertahankan
dan memerkuat hubungan produksi kapitalis.
Sebenarnya, ada perbedaan pandangan Althuser dengan Bowles
dan Gintis. Perbedaannya terletak pada pandangan Althuser yang
menyatakan bahwa pendidikan adalah perlengkapan negara pada
masyarakat kapitalis. Ia membagi perlengkapan negara menjadi dua
kelompok. Pertama, perlengkapan penekan, yaitu undang-undang, polisi,
angkatan perang, pemerintahan, dan administrasi. Kedua, perlengkapan
ideologis, yaitu pendidikan, agama, keluarga, termasuk undang-undang,
politik, budaya, sastra, olahraga, penerangan, dan organisasi perusahaan.
Dua perlengkapan negara ini bekerja sama untuk mewujudkan
direct reproduction. Jika pada masyarakat feodal, agama memiliki peran
sentral, pada masyarakat industri modern, pendidikan menempati posisi
sentral dan agama tergeser olehnya. Sementara itu, komponen komponen
lainnya hanya penunjang.
Undang-undang yang mewajibkan masyarakatnya untuk belajar
mampu menekan anak-anak untuk berpendidikan (sekolah). Pendidikan
menjadi satu-satunya alat untuk memenuhi kewajiban ini. Melalui
pendidikan, anak-anak dididik tentang kemampuan berbagai teknik yang
diperlukan dalam dunia kerja. Untuk menjadi karyawan yang baik, mereka
diajari cara bersikap patuh dan tunduk. Selain mengajarkan hal-hal
tersebut, pendidikan pun mengajarkan ideologi kekuasaan, baik secara
langsung maupun tidak. Pendidikan ideologi secara langsung adalah anak
didik diajari filsafat negara (Pendidikan Moral Pancasila [PMP], di
antaranya), etika, dan kewarganegaraan. Adapun pendidikan ideologi
secara tidak langsung dilakukan oleh para pendidik melalui sejarah, sastra,
dan lain-lain.
Bagi Althusser, pendidikan sama sekali tidak netral. Pendidikan
sudah diarahkan oleh para pendidiknya untuk tujuan di atas. Tidak ada
pendidikan unak pembebasen. Menurutnya, hanyalah omong kosong,
kalau orang menyatakan bahwa pendidikan adalah sarana pembebasan.
Tokoh model konflik selanjutnya adalah Pierre Bourdieu. Konsep
yang paling terkenal dari Bourdieu adalah konsep pertimbangan budaya
(cultural arbitraries). Menurutnya, setiap masyarakat mempunyai
pertimbangan budaya yang tidak bisa dijelaskan dengan menggunakan
kemampuan logika. Contohnya, pada sebagian masyarakat, poligami
adalah kebanggaan (sehingga diterima secara terbuka), sedangkan pada
masyarakat lainnya, poligami adalah kehinaan (sehingga mendapat
celaaan). Hal ini tidak bisa dijelaskan secara logis, tetapi hal ini
merupakan pertimbangan budaya.
Pertimbangan budaya (cultural arbitraries) diwariskan melalui
proses sosialisasi. Dalam masyarakat yang heterogen (Sudardja, 1988: 24)
terdapat banyak pola pertimbangan budaya. Walaupun seperti itu, sistem
pendidikan menganut pola pertimbangan budaya milik kelas sosial
dominan. Karena standar penilaian yang digunakan adalah standar milik
kelas yang dominan, pendidikan selalu menguntungkan anak-anak dari
kelas dominan itu.
Bourdieu menyatakan bahwa pendidikan didirikan di atas kaki
kekuasaan. Hal ini tampak sekali ketika seorang anak menolak untuk
belajar. Guru merupakan pemegang kekuasaan dalam proses
pembelajaran. Kekuasaan guru diperoleh dari dua sumber. Pertama,
pertimbangan budaya. Kedua, dari kesediaan yang ada pada pihak pelajar.
Secara budaya, guru berwenang mengajar, sedangkan di dalam kelas,
pelajar berkewajiban menerima hak guru.
Menurut Bourdieu, untuk keperluan sosialisasi, setiap masyarakat
memiliki pola induk. Arah dan isi sosialisasi harus tercakup dalam pola
induk ini (Sudardja, 1988). Guru tidak dibenarkan mengajarkan sesuatu
yang tidak diperoleh dalam pola induk budaya yang berlaku dalam
masyarakatnya.
Pemegang peran utama sosialisasi adalah bahasa. Sebuah keluarga
menggunakan bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan kelas sosialnya.
Adapun sekolah menggunakan bahasa yang lebih sesuai dengan bahasa
dalam kelompok dominan, yaitu golongan menengah. Oleh karena itu,
anak-anak dari kelas dominan mempunyai dukungan budaya untuk belajar.
Secara umum, budaya kelas dominan cocok dengan budaya sekolah.
Contohnya dalam hal pemilikan kebiasaan membaca, kontak dengan dunia
luar, dan lain-lain."
Bourdieu memandang bahwa proses pembelajaran dengan sistem
klasik di sekolah-sekolah yang ada memberi keuntungan kepada anak-
anak yang berasal dari keluarga dominan, yaitu mereka yang telah
memiliki modal dasar yang cukup, sesuai yang diperlukan.
Tokoh lain analisis model konflik adalah Paulo Freire. Freire
menyebutkan bahwa dalam pendidikan tradisional, guru sangat dominan
dalam interaksi dengan pelajar. Ia menggambarkan sistem pembelajaran
tradisional dengan sistem bank. Guru ibarat mencurahkan air ke dalam
gelas kosong yang pasif dan tidak bereaksi apa-apa. Adapun pelajar tidak
mempunyai kesempatan berdialog dengan guru. Cara pembelajaran
demikian akan menghasilkan pelajar yang menganut budaya diam.
Lulusan sekolah sistem tradisional bukan seorang alumni yang aktif,
kreatif, care, dan berani mengambil risiko. Lulusan yang dihasilkan adalah
manusia-manusia bergantung yang menyandarkan nasibnya kepada orang
lain. Menurut Freire, pendidikan harus membebaskan pelajar dari keadaan
demikian.
Tokoh terakhir yang teridentifikasi menganut model konflik adalah
Ivan Illich. Ia adalah seorang ekstremis yang terkenal lewat konsep
kontroversialnya yang berjudul Deschooling Society. Pada tahun 1972,
Ivan Illich menulis buku tersebut dan menuai protes yang tidak kecil.
Ivan Illich menyatakan bahwa sekolah adalah tempat anak-anak
ditekan dan dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka
kehendaki dan senangi. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang
berlangsung dalam suasana bebas, yang memungkinkan para pelajar
memilih pelajaran yang disukainya.
Ivan Illich menyarankan agar sekolah-sekolah dibubarkan sebab
tidak efektif. Anak-anak lebih banyak belajar pengetahuan di luar sekolah,
dari buku, koran, film, pergaulan, dan lain-lain dibanding dari sekolah.
Tokoh terkenal yang menganut gagasan Ivan Illich, bahkan lebih
ekstrem, adalah Lerry Ellison, CEO Oracle Corp. la adalah orang kedua
terkaya di dunia. Pada suatu kesempatan, ia diundang untuk memberi
pidato pembukaan wisuda kelas 2000 Universitas Yale. Dia diseret turun
dari podium oleh pihak keamanan karena pidatonya yang kontroversial.
Dengan lantang, dia menyatakan agar mahasiswa. mahasiswa di Yale
University segera meninggalkan kampus paling
bergengsi di seantero Amerika itu, dengan alasan bahwa sekolah
tidak efektif lagi dan tidak menghasilkan orang-orang yang berani. Sedikit
cuplikan pidatonya, saya kutip di sini.
Saya ingin memberikan harapan bagi semua yang masih sekolah di
sini (Yale University) sekarang. Saya katakan kepada Anda, saya tidak
bisa menekankan ini. Bubarlah! Kemasi barang barang dan ide Anda.
Jangan kembali lagi ke kampus ini. Kalian keluar dari kampus ini!

3. Analisis Model Terbaru


Sebuah pendekatan baru dalam mempelajari aspek-aspek sosial
pendidikan lahir di Inggris pada tahun 1960-an. Basil Bernstein, Neil
Keddie, dan M.F.D Young adalah tokoh-tokoh aliran baru tersebut.
Tiga tokoh di atas menerangkan pendidikan bukan pada tahap
makro yang abstrak, seperti hubungan pendidikan dengan lapisan sosial,
melainkan pada peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari di sekolah. Pusat perhatian mereka adalah kurikulum, isi
pendidikan, dan pelaksanaannya dalam kegiatan pembelajaran.
Dikatakan oleh Jack Demaine bahwa cara kerja di atas, pada
mulanya, dilakukan oleh orang-orang di luar lingkungan perguruan tinggi.
Dengan tidak melandaskan pada teori yang kuat, mereka memusatkan
perhatian pada masalah yang terjadi di sekolah terkait dengan praktik-
praktik kebijakan.
Dengan mengemukakan uraian-uraian tentang kenyataan yang
terdapat dalam kehidupan nyata di lapangan, para penganut analisis model
terbaru (new sociology of education) ini berusaha menarik perhatian pada
pengambil keputusan untuk memperbaiki keadaan. Jarome Karabel (1985:
125) menyebut cara kerja mereka sebagai istilah tidak teoretis, pragmatis,
deskriptif, dan fokus pada keputusan (atheoritical, pragmatic, descriptive,
dan policy focused).
Pokok-pokok persoalan pendidikan yang dimasalahkan oleh para
penganut aliran baru ini meliputi, antara lain tentang seleksi calon murid,
materi pembelajaran yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan dan
kepentingan pelajar, disiplin, guru, metode pembelajaran, dan lain-lain.
Dikatakan bahwa cara kerja mereka bersifat radikal dan keras.
Keradikalannya terdapat dalam penentangan mereka terhadap kondisi
pendidikan yang sedang berlaku, baik dalam teori maupun dalam
hubungan dengan kenyataan dalam praktik.
Metode kerja yang digunakan untuk memperoleh informasi
mengenai situasi yang dipelajari kebanyakan berbentuk observasi, baik
dengan partisipasi atau tidak. Cara kerja ini, pada umumnya, bersifat
subjektif dan kerap mengundang kritik pihak lain yang tidak setuju.
Para penganut analisis model baru ini bersikukuh untuk
mengalahkan dominasi pandangan makro (seperti model fungsionalisme,
konflik) yang dinilainya kurang menghasilkan tindakan konkret untuk
memperbaiki situasi problematik yang nyata.

Anda mungkin juga menyukai