Anda di halaman 1dari 19

RANGKUMAN

Dosen Pengampu :

Drs. Setiajid, M. Si. Moh.


ArisMunandar, S. Sos., M.M.
Erisandi Arditama, S. IP., M.A.

Disusun Oleh :

Dwi Kamaratih 3312417009

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


JURUSAN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL
RANGKUMAN

1.Teori Struktur Fungsional

Selama beberapa dasawarsa yang lalu, teori struktural-fungsionalisme telah merajai kajian
antropologi dan sosiologi di Dunia Barat, sehingga Kingsley Davis berani mengatakan bahwa
struktural-fungsionalisme adalah sama dan sebangun dengan antropologi dan sosiologi (Davis
1959). Di Inggris, teori ini mencapai puncak pencapaiannya dalam dasawarsa 1930 dan 1950,
dalam masa mana struktural-fungsionalisme dikatakan sebagai identik dengan British Social
Anthropology. Pelopornya yang terkenal di sana adalah Radcliffe-Brown (R-B) dan Malinowski.
Dari Inggris, pendekatan ini dibawa oleh pelopornya, R -B, menyeberang ke Amerika dan
diperkenalkan ke Jurusan Sosiologi dan Antropologi di Chicago University. Dua di antara
pengikutnya yang terkenal di universi tas itu pada masa itu adalah Fred Eggan dan Robert
Redfield. Teori ini di Amerika mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1950-an, ketika Talcott
Parsons mengembangkannya dalam bentuk yang lebih cang- Jurusan Antropologi, Universitas
Indonesia.

gih dan kompleks di Department of Social Relations, Harvard University. Namun demikian,
sejak akhir 1960an, teori ini mulai mendapat banyak kritikan yang keras dan tajam, dan dari situ
muncul teori-teori sosiologi baru yang dianggap lebih canggih. Di Inggris, berdasarkan atas
kritik terhadap teori ini, para ahli antropologi telah mengembangkan teori action, sedangkan di
Amerika telah berkembang antara lain teori fenomenologi dan teori simbolik.

Struktural-fungsionalisme lahir sebagai reaksi terhadap teori evolusionari. Jika tujuan dari
kajian-kajian evolusionari adalah untuk mem bangun tingkat-tingkat perkembangan budaya
manusia, maka tujuan dari kajian-kajian struktural-fungsionalisme adalah untuk membangun
suatu sistem sosial, atau struktur sosial, melalui pengajian terhadap pola hubungan yang
berfungsi antara individu-individu, antara kelompok-kelompok, atau antara institusi-institusi
sosial di dalam suatu masyarakat, pada suatu kurun masa tertentu. Jadi pendekatan
evolusionari lebih bersifat historis dan diakronis, sedangkan pendekatan struktural-fungsional
lebih bersifat statis dan sinkronis. Struktural-fungsional adalah penggabungan dari dua
pendekatan, yang bermula dari pendekatan fungsional Durkheim, kemudian digabungkan
dengan pendekatan struktural R -B. Karena itu untuk memahami pendekatan struktural-
fungsional, orang harus melihat dulu sejarah perkembangan pendekatan fungsional.

Meskipun eksplanasi secara fungsional dalam kajian-kajian sosial telah terlihat dalam
karyakarya Spencer dan Comte, namun Durkheim lah yang telah meletakkan dasarnya secara

1
tegas dan jelas. Peranan Durkheim ini diakui secara eskplisit oleh R -B. Durkheim secara jelas
mengatakan bahwa fenomena sosial seharusnya diekpslain melalui dua pendekatan pokok
yang berbeda, yaitu pendekatan historis dan pendekatan fungsional. Analisa fungsional
berusaha menjawab pertanyaan mengapa suatu item-item sosial tertentu mempunyai
konsekuensi tertentu terhadap operasi keseluruhan sistem sosial. Sementara itu analisa historis
berusaha menjawab mengapa item sosial tersebut, bukan item-item sosial yang lain, secara
historis yang mempunyai fungsi tersebut. Para peneliti sosial, kata Durkheim, harus dapat
mengkombinasikan penelitian untuk mencari asal-usul dan sebab (pendekatan historis), di satu
pihak, dan penentuan fungsi fungsi dari suatu fenomena sosial (pendekatan fungsional), di
pihak lain. Kita harus menentukan apakah ada satu hubungan antara kenyataan sosial yang
diteliti dengan kebutuhan umum organisme sosial. Kaluu ada, maka hubungan tersebut terdiri
dari hal-hal apa saja, dan bagaimana prosesnya sehingga hubungan berfungsi tersebut
terjadi. Pendekatan fungsional dalam antropologi sosial dipelopori oleh dua orang sarjana
Inggris yang hidup sezaman, yaitu R -B dan Malinowski. Meskipun kedua mereka ini sama-
sama dipengaruhi oleh Durkheim, namun penafsiran dan pengembangan mereka atas konsep
fungsi adalah berbeda satu sama lain. R -B menolak setiap penggunaan konsep fungsi yang
tidak dikaitkan dengan struktur sosial, karena itulah pendekatan dasarnya adalah kombinasi
dari kedua konsep tersebut: fungsi dan struktur sosial, yang kemudian dikenal dengan nama
struktural-fungsionalisme. R-B dengan tegas membedakan konsep fungsionalnya dari konsep
fungsional Malinowski. Bagi R -B fungsi adalah "kontribusi yang dimainkan oleh sebuah item
sosial, atau sebuah institusi sosial, terhadap kemantapan suatu struktur sosial". Sementara itu
Malinowski melihat "fungsi" sama seperti "guna", yang dikaitkan dengan kebutuhan psikologis
dan biologis manusia. Fungsi dari sebuah item sosial, atau sebuah institusi sosial, menurut
Malinowski, adalah "kegunaan dari institusi tersebut dalam memenuhi kebutuhan psiko-biologis
individu-individu anggota sebuah masyarakat". Di bawah ini akan kita bahas perbedaan
pandangan kedua ahli antropologi Inggris ini secara lebih rinci.

Teori Radcliffe-Brown

Kata R -B, peneliti sosial tidak pernah melihat "hubungan sosial", "norma", "masyarakat", dan
"budaya". Yang nyata terlihat dalam mata peneliti sosial adalah perilaku manusia. Melalui
proses pengelompokkan, pengklasifikasian, penggolongan, dan generalisasi (abstraksi),
kenyataan-kenyataan mengenai perilaku manusia tersebut terbentuk menjadi konsep. Jadi
"hubungan sosial", "masyarakat", "norma", dan "budaya" adalah konsep-konsep yang lahir dari
abstraksi terhadap kenyataan perilaku manusia. Persoalan muncul ketika peneliti sosial

2
mencoba menghubungkan jurang antara kenyataan dan konsep. Apakah yang diperlukan? Kata
R -B, yang diperlukan adalah model. Dalam konsep "struktural-fungsionalisme" model yang
dapat digunakan adalah model organisme tubuh manusia. Dalam model ini, R -B
mengumpamakan sebuah masyarakat sebagai sebuah organisme lubuh manusia, dan
kehidupan sosial adalah seperti kehidupan organisme tubuh tersebut. Satu organisme tubuh
terdiri dari sekumpulan sel dan cairan yang tersusun dalam suatu jaringan hubungan,
sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah keseluruhan kehidupan yang terintegrasi.
Susunan hubungan antara unit-unit dalam organisme tersebut, atau sistem hubungan yang
mengikat keseluruhan unit, disebut struktur dari organisme tersebut. Sepanjang hidupnya
organisme tubuh ini menjaga kesinambungan strukturnya. Meskipun selama perjalanan hidup
organisme ini terjadi pergantian sel, bagian, dan cairan tertentu, namun susunan hubungan
antar unit tetap sama. Jadi struktur dari organisme tubuh tersebut relatif tidak berubah. Proses
pembinaan kesinambungan struktur ini disebut proses kehidupan, yaitu kegiatan dan interaksi
antara unit-unit dalam organisme, sedemikian rupa, sehingga unitunit tersebut tetap bersatu.
Adanya proses kehidupan menjadi tanda dari berfungsinya struktur organisme tersebut. Jadi
fungsi dari sebuah unit sel adalah peranan yang dimainkan, atau kontribusi yang diberikan, oleh
unit sel tersebut bagi .kehidupan organisme secara keseluruhan. Fungsi perut, misalnya, adalah
untuk mengolah makanan menjadi zat-zat kimia tertentu yang kemudian dialirkan oleh darah ke
seluruh tubuh sehingga menjamin kehidupan tubuh tersebut. Sekarang mari kita terapkan
model organisme tubuh ini terhadap masyarakat. Ambil contoh sebuah masyarakat dusun di
Jawa. Dalam sebuah masyarakat dusun kita mengenal adanya struktur sosial. Unitnya adalah
individu-individu warga dusun tersebut. Mereka berhubungan satu sama lain dalam satu pola
hubungan yang diatur oleh norma-norma hubungan sosial, sedemikian rupa, sehingga
masyarakat dusun tersebut membentuk sebuah keseluruhan yang terintegrasi. Susunan
hubungan sosial yang sudah mapan antara warga dusun itu disebut struktur sosial masyarakat
dusun tersebut. Kesinambungan struktur masyarakat dusun tidak rusak oleh adanya warga
yang meninggal, lahir, atau pindah. Karena kesinambungan tersebut dijaga oleh proses
kehidupan sosial atau kegiatan dan interaksi antarwarga dusun. Jadi kehidupan sosial adalah
struktur sosial yang berfungsi atau bekerja. Fungsi dari setiap kegiatan warga desa yang
berulang-ulang adalah peranan yang dimainkannya dalam kehidupan masyarakat dusun secara
keseluruhan, atau kontribusi yang diberikannya untuk pembinaan kesinambungan struktur
masyarakat dusun tersebut. Di sinilah kita melihat bahwa konsep "fungsi" tidak dapat
dipisahkan dari konsep "struktur".

3
Konsep Struktur Sosial

Bila kita berbicara mengenai struktur berarti kita mengacu kepada semacam susunan hubungan
antar komponen-komponen. Musik, kalimat, gedung adalah sama seperti tubuh manusia, yaitu
memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan, jadi mereka memiliki struktur.
Masyarakat sebagai sebuah struktur sosial terdiri atas jaringan hubungan sosial yang kompleks
antara anggota-anggotanya. Satu hubungan sosial antara dua orang anggota tertentu pada
suatu waktu tertentu, di tempat tertentu, tidak dipandang sebagai satu hubungan yang berdiri
sendiri, tetapi merupakan bagian dari satu jaringan hubungan sosial yang lebih luas, yang
melibatkan keseluruhan anggota masyarakat tersebut. Hubungan kedua orang di atas harus
dilihat sebagai bagian dari satu struktur sosial. Inilah prinsip dan objek kajian ilmu sosial,
menurut R-B. Individu-individu yang menjadi kom ponen dari sebuah struktur sosial bukanlah
dilihat dari sudut biologis, yaitu yang terdiri dari sel -sel dan cairan, tetapi sebagai person yang
menduduki posisi, atau status, di dalam struktur sosial tersebut.

Orang sebagai organisme biologis, yang terdiri dari sel-sel dan cairan, tidak menjadi perhatian
utama ilmu sosial. Yang diperhatikan ilmu sosial adalah orang sebagai status sosial; orang
berhubungan dengan orang lain dalam kapasitasnya sebagai sebuah status sosial, misalnya
sebagai ayah, ibu, buruh, majikan, penjual, pembeli, dan seterusnya. Perbedaan di dalam
status sosial menentukan bentuk hubungan sosial, dan karena itu mempengaruhi struktur
sosial. Di dalam masyarakat tradisional, status para anggotanya terutama dibedakan menurut
jenis kelamin (status sosial pria berbeda dari status sosial wanita), tingkatan umur (orang tua
berbeda dari anak muda), dan hubungan kekerabatan (ibu, ayah, anak, saudara adalah
berbeda dari "orang lain"). Karena itu perilaku seorang pria ketika berhubungan dengan pria lain
adalah berbeda dengan ketika dia berhubungan dengan seorang wanita, perilaku seorang tua
terhadap seorang tua yang lain adalah berbeda dari perilakunya terhadap seorang muda, dan
seterusnya. Dengan memahami konsep "fungsi", "struktur", dan "proses sosial", kita akan
sampai kepada tiga perangkat masalah sosial, kata R -B. Masalah tersebut adalah yang
berhubungan dengan: "morfologi sosial", "fisiologi sosial", dan "perkembangan struktur sosial".
Dalam masalah yang berhubungan dengan morfologi sosial (bentuk-bentuk struktur sosial)
peneliti sosial menghadapi kenyataan tentang variasi dan aneka warna struktur sosial. Ada
struktur sosial masyarakat Mi nangkabau, yang berbeda dari struktur sosial masyarakat Jawa,
berbeda dari struktur sosial masyarakat Dayak, seterusnya berbeda lagi dari struktur sosial
masyarakat Bugis, dan seterusnya. Tugas seorang peneliti sosial adalah membanding-
bandingkan berbagai struktur sosial tersebut, sedemikian rupa, sehingga dia dapat membuat

4
klasifikasi tipe-tipe struktur sosial. Tipe-tipe ini akan menjadi pedoman bagi para peneliti untuk
menilai sebuah struktur sosial.

Di dalam masalah yang berhubungan dengan fisiologi sosial, tugas seorang peneliti adalah
mendeskripsikan fungsi struktur sosial: bagaimana sistem sebuah struktur sosial bekerja,
mekanisme apa yang menjaga jaringan hubungan sosial tetap hidup, dan bagaimana
mekanisme itu bekerja. Dalam masalah fisiologi sosial ini peneliti tidak hanya memperhatikan
struktur sosial, tetapi juga setiap institusi sosial (seperti agama, ekonomi, politik, pemerintahan),
dan kemudian mengkaji hubungan institusi-institusi ini dengan struktur sosial. Terakhir, dalam
masalah yang berhubungan dengan perkembangan struktur sosial, peneliti mengkaji sejarah
asal-mula terbentuknya sebuah struktur sosial.

Teori Malinowski

Apabila R -B lebih tertarik meninjau individu sebagai person yang menduduki status tertentu di
dalam sebuah struktur sosial, maka Malinowski lebih memperhatikan individu sebagai sebuah
realitas psiko-biologis di dalam sebuah masyarakat (kebudayaan). Malinowski lebih
menekankan aspek manusia sebagai makhluk psiko-biologis yang mempunyai seperangkat
kebutuhan psikologis dan biologis yang perlu dipenuhi. Selanjutnya, berbeda dari R -B yang
tertarik dan menganggap penting struktur sosial, Malinowski lebih tertarik kepada "budaya" atau
culture. Bagi Malinowski, dalam rangka memenuhi kebutuhan psiko-biologis individu dan
menjaga kesinambungan hidup kelompok sosial, beberapa kondisi minimum harus dipenuhi
oleh individu-individu anggota kelompok sosial tersebut. Kondisi minimum terse-But terdiri dari 7
kebutuhan pokok, yaitu nutrition, reproduction, bodily conforts, .safety, relaxation, movement,
dan growth. Semua kegiatan yang dilakukan oleh individu adalah dalam rangka memenuhi ke 7
kebutuhan pokok di atas.

Di bawah ini dikutipkan bagaimana fungsi budaya dalam memenuhi 7 kebutuhan pokok
manusia yang dikutip dari Malinowski, "The Group and the Individual in Functional Analysis",
dalam American Journal of Sociology 44 (1939). Namun demikian, kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan pokok tersebut tidaklah langsung dilakukan begitu saja sebagaimana halnya dengan
binatang, tetapi telah "dimodified" oleh pengaruh-pengaruh sosial. Dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan nutrition (makanan) misalnya, manusia tidak begitu saja memukan apa
yang dilihatnya, dengan cara semaunya. Manusia akan memilih di antara benda-benda yang
dapat dimakan; ada yang ditolak dan ada yang diterima, ada yang lebih disukai dan ada yang
kurang disukai, ada yang dianjurkan dan ada yang dilarang, dan seterusnya. Begitu juga,

5
manusia tidak hanya memakan apa yang disediakan alam, tetapi sebagian diproduksi.
Sebagian dari makanan itu dimasak sedangkan yang lain dimakan mentah, dan seterusnya.
Manusia tidak langsung makan begitu mereka lapar; tetapi ada waktu tertentu yang ditetapkan
untuk itu. Jadi singkatnya, manusia dilatih untuk makan makanan tertentu, pada waktu tertentu,
dengan cara tertentu, dan seterusnya. Jadi tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan
akan makanan tersebut telah terbentuk oleh cara-cara yang lazim sesuai dengan adat
kelompok mereka, sesuai dengan agama mereka, sesuai dengan kelas sosial mereka, dan
seterusnya. Kelompok, golongan, dan kelas sosial telah membentuk pilihan selera individu, tabu
makanan, nilai simbolik dan nilai gizi makanan, dan gaya dan cara makan. Pola kegiatan yang
telah terbentuk seperti itu disebut "kegiatan kultural", yaitu kegiatan yang telah "di-modi fied",
telah "di-molded", oleh adat kebiasaan yang hidup dalam lingkungan masyarakatnya. Jadi
"budaya" (culture), pada tingkat pertama, adalah alat atau "instrumen"; alat yang muncul dalam
rangka memenuhi kebutuhan psiko-biologis manusia. Itulah fungsi dari budaya. Itulah terutama
acuan dari konsep "fungsi" dalam pengertian Malinowski.

Budaya sebagai alat adalah bersifat conditioning, yaitu memberikan batasan-batasan terhadap
kegiatan manusia. Budaya, melalui latihan, ajaran, nilai, dan seterusnya, memodified kegiatan
manusia. Budaya, dengan demikian, telah menghasilkan manusia-manusia dengan pola tingkah
laku yang khas. Karena itu pola tingkah laku yang khas ini tidak akan dapat dipahami kalau
peninjauan hanya dilakukan dari sudut fisiologis. Pola tingkah laku manusia harus dikaji melalui
pembahasan terhadap penentu-penentu kebudayaan: bagaimana proses pembentukan pola
tingkah laku tersebut, proses pembatasannya, dan proses pencetakannya. Jadi, tingkah laku
kebudayaan (cultural behavior) adalah pelaksanaan, penyesuaian, dan penerapan aturan
organisasi sosial, nilai, adat, ide, kepercayaan, dan seterusnya.

Dalam bentuk yang lebih kongkrit, budaya, kata Malinowski, adalah mencakup ". . .
inherited artifacts, goods, technical processes, ideas, habits and values". Organisasi sosial juga
termasuk ke dalam budaya, karena dia tidak dapat dipahami tanpa memandangnya sebagai
produk dari tingkah laku kebudayaan. Meskipun secara formal definisi budaya dari Malinowski
tidak jauh berbeda dari definisi Tylor, yang berbunyi "that complex whole which includes
knowledge, belief, art, law, morals, customs and all other capabilities and habits acquired by
man as a member of society", namun dalam penerapannya Malinowski adalah lebih maju yang
lebih sistematik. \

Pertama, Malinowski mengacukan konsep budaya terhadap mikrokosmos masyarakat tribe


(masyarakat sederhana, small scale, isolated, illiterate, "primitif", dan seterusnya), yaitu suatu

6
masyarakat dimana unsur-unsurnya (komponen-komponennya) berfungsi sebagai sebuah
keseluruhan yang terintegrasi (the functioning whole). Konsepsi yang melihat budaya dari
sebuah masyarakat tribe sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi adalah sebuah
pemikiran baru dalam ilmu antropologi 1920an. Dalam hal ini pandangan Malinowski bertemu
dengan pandangan R-B. Dari pandangan yang seperti inilah kemudian kita mengenal istilah
seperti, misalnya, "budaya Minangkabau", "budaya Jawa", "budaya Jepang", dan seterusnya.
Tylor, sebelumnya (1877), melihat budaya sebagai satu konsep dengan acuan pengertian yang
bersifat universal. Budaya, menurut Tylor, adalah setiap "capability" dan "habit" manusia yang
diperoleh melalui proses sosialisasi dalam masyarakat. Budaya menurut pengertian Tylor ini
disebut "Budaya/Culture" (dengan huruf besar), sedangkan budaya menurut pengertian R-B
dan Malinowski disebut "budaya/culture" (dengan huruf kecil). Kedua, Malinowski menekankan
betapa pentingnya mengkaji fungsi, atau guna, dari unsur-unsur suatu budaya terhadap budaya
masyarakat tersebut secara keseluruhan. Jadi di sini Malinowski juga mengacukan konsep
fungsi terhadap suatu sistem, bukan hanya terhadap pemenuhan atas kebutuhan psikobiologis
manusia. Unsur-unsur penting dari budaya sebuah masyarakat adalah, misalnya sistem politik,
sistem ekonomi, sistem kepercayaan, dan sistem kekerabatan. Dalam hal ini, Malinowski
menekankan betapa pentingnya meneliti fungsi dari suatu sistem lersebut di atas bagi keutuhan
kerja masyarakat/ budaya secara keseluruhan. Fakta-fakta antropologis, kata Malinowski, hams
dieksplain menurut fungsinya, yaitu peranan yang dimainkan oleh fakta tersebut dalam menjaga
sistem masyarakat/kebudayaan satu keseluruhan yang terintegrasi.

Ketiga, sebagaimana ahli-ahli Psikologi dan sosiologi zaman itu, Malinowski juga tertarik pada
persoalan perbedaan antara warisan sosiologis dan biologis, dan Malinowski beranggapan
bahwa budaya adalah warisan sosiologis, bukan warisan biologis. Dengan dernikian,
Malinowski menolak konsepsi determinisme ras, yang mengatakan bahwa perilaku manusia
ditentukan oleh turunan biologisnya. Sebaliknya, dia berpendapat bahwa perilaku manusia
diturunkan secara sosial antar generasi; lingkungan sosial-lah yang membentuk perilaku
manusia. Warisan sosial ini merupakan kekuatan-kekuat-an yang mempengaruhi dan
membentuk personaliti setiap individu yang lahir ke dalam masyarakat tersebut. Kekuatan-
kekuatan tersebut antara lain adalah kepercayaan atau agama, adat-adat tradisional, struktur
sosial, dan seterusnya. Warisan kebudayaan adalah konsep kunci dalam antropologi
kebudayaan, kata Malinowski.

Dalam buku Sex and Repression in Savage Society (1927), Malinowski mempertentangkan
dasar instinctive kebinatangan dalam perkawinan dan memproduksi keturunan (warisan

7
biologis) dengan bentuk-bentuk ikatan sosial, aturan-aturan hukum perkawinan, dan
kepercayaan dan upacara yang mengelilingi proses perkawinan tersebut (warisan sosial).
Dalam memenuhi dorongan dan emosi seksual untuk memproduksi keturunan, tingkah laku
manusia diatur oleh seperangkat norma tentang perkawinan. dan keluarga. Normanorma
tersebut adalah warisan sosial. Warisan sosial ini tidak hanya menetapkan hambatan-hambatan
dan peluang-peluang, memberi anjuran tentang hal yang ideal dan hal yang tidak elok,
meletakkan nilai-nilai, tetapi juga mempengaruhi sikap fisiologis lelaki terhadap wanita melalui
sistem hukum, etika, prinsip agama, konsep kehormatan, kesucian, dan dosa. Warisan sosial ini
di paksakan oleh masyarakat kepada setiap anggotanya.

Melalui pengkajian terhadap instink seksual manusia, para ahli tidak akan mampu menjelaskan
mengapa terdapat berbagai adat, undang-undang dan ide-ide mengenai perkawinan dan
keluarga. Semua itu baru bisa dijelaskan bila diacukan kepada warisan sosial. Warisan sosial
yang seperti inilah yang dimaksudkan oleh Malinowski sebagai budaya. Demikian, kita melihat
bagaimana pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan hidup yang mendasar dari manusia oleh
institusi institusi tradisional telah menjadi tema yang konstan dalam tulisan-tulisan Malinowski.
Apabila budaya, atau warisan sosial, dilihat sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan psiko-
biologis individu dalam satu bentuk hubungan yang fungsional (guna), maka di sini berarti
budaya dipandang sebagai hal imperatives, hal -hal yang maha penting dalam hidup manusia.
Budaya menurut katakata Malinowski adalah: "conditions which must be fulfilled if the
community is to survive". Malinowski membedakan dua macam imperatif, yaitu instrumental
imperatives yang terdiri dari hal-hal semacam ekonomi, hukum, dan pendidikan, dan integrative
imperatives yang terdiri dari hal-hal seperti ilmu gaib, agama, pengetahuan, dan kesenian.

2. Teori Konflik

Ralf Dahrendorf

Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan
akibat berbagai kritik, yang berasal dari sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik
sosial dari Simmel. Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakan landasan untuk
teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik
adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsionalnya.
Teori konflik Ralf Dahrendorf menarik perhatian para ahli sosiologi Amerika Serikat sejak
diterbitkannya buku “Class and Class Conflict in Industrial Society”, pada tahun 1959.
Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada

8
proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen
kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk
keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang
memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang dikenal
dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi menjadi
dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus menguji konflik
kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus
harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa
konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan
demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas
terhadap posisi yang lain.
Dahrendorf mengemukakan teorinya dengan melakukan kritik dan modifikasi atas pemikiran
Karl Marx, yang berasumsi bahwa kapitalisme, pemilikandan kontrol atas sarana-sarana
produksi berada di tangan individu-individu yang sama, yang sering disebut kaum borjuis dan
kaum proletariat.
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena
setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya bahwa perubahan
sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan
konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan,
karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.

George Huaco

George Huaco (1986) mengaitkan pertumbuhan dan kemerosotan fungsionalisme struktural


dengan posisi masyarakat Amerika dalam tatanan dunia. Ketika Amerika mencapai dominasi di
dunia setelah tahun 1945, fungsionalisme struktural mencapai hegemoni dalam sosiologi.
Fungsionalisme struktural mendukung posisi dominasi Amerika di dunia melalui dua cara.
Pertama, pandangan struktural-fungsional yang menyatakan bahwa setiap pola mempunyai
konsekuensi yang berperan dalam pelestarian dan bertahannya sistem yang lebih luas tak lebih
dari “sekadar merayakan kemenangan Amerika dan hegemoninya di dunia” (Huaco, 1986:52).
Kedua, teori struktural-fungsional yang menekankan pada keseimbangan (perubahan terbaik
adalah tak adanya perubahan) berkaitan erat dengan kepentingan Amerika, kemudian berkaitan
erat dengan kepentingan Amerika “kekaisaran terkaya dan terkuat di dunia”. Kemerosotan

9
dominasi Amerika di dunia pada 1970-an bertepatan benar dengan hilangnya posisi dominan
fungsionalisme struktural di dalam teori sosiologi.3 Serangan terhadap fungsionalisme struktural
beraneka ragam, fungsionalisme struktural dituduh bersifat politik konservatif, tak
mampumenjelaskan perubahan sosial karena perhatiannya tertuju pada struktur statisdan tak
mampu menganalisis konflik sosial. Salah satu hasil dari kritik tersebutadalah upaya dari
sejumlah pemikir sosiologi untuk menanggulangi masalahfungsionalisme struktural dengan
menyatukan perhatian pada struktur dan padakonflik. Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal
lahirnya teori konflik sebagaialternatif terhadap teori struktural-fungsional. Sayangnya, teori
konflik seringdilihat sebagai cerminan dari fungsionalisme struktural dengan sedikit integritas
intelektual di dalamnya. Upaya penting pertama adalah karya Lewis Coser (1956) tentang
fungsi konflik sosial (Jaworski, 1991). Karya ini dengan jelas mencoba menerangkan konflik
sosial di dunia menurut kerangka pandangan struktural-fungsional. Meski bermanfaat untuk
melihat fungsi konflik, namun masih lebih banyak yang perlu dikaji tentang konflik ketimbang
menganalisis fungsi positifnya itu. Masalah terbesar yang dihadapi oleh kebanyakan teori
konflik adalah kekurangan landasan kuat dalam teori Marxian -teori Marxian berkembang
dengan baik di luar sosiologi dan seharusnya dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan
teori sosiologi yang lebih baik tentang konflik. Perkecualian disini adalah karya Ralf Dahrendorf.
Akhirnya, teori konflik harus dilihat sebagai perkembangan transisional dalam sejarah teori
sosiologi, kegagalannya karena tak cukup jauh mengikuti teori Marxian. Di era 1950-an dan
1960-an, nampaknya masih terlalu dini bagi pemikir-pemikir sosiologi Amerika untuk menerima
pendekatan Marxian sepenuhnya, tetapi teori konflik telah membantu membuka jalan
penerimaan teori Marxian di penghujung tahun 1960-an. Teori konflik merupakan model pluralis
yang berbeda dengan model dua kelas dari Marx. Unit analisis Marx menggunakan seluruh
masyarakat, manusia dibagi ke dalam kelompok yang mengendalikan sarana produksi lewat
pemilikan sarana tersebut dan kelompok yang tidak ikut dalam pemilikan. Pertentangan antara
buruh dan manajemen, yang merupakan topik permasalahan utama bagi Marx, misalnya, akan
terlembaga lewat serikat-serikat buruh. Pada saatnya, serikat buruh tersebut akan terlibat
dalam pertentangan yang mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta ekonomi dan
perubahan-perubahan konkret dalam sistem pelaisan masyarakat. Timbulnya kelas menengah
baru sebenarnya merupakan suatu perubahan struktural yang berasal dari institusionalisasi
pertentangan kelas. Dalam menggantikan hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan
kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf menyatakan bahwa model dua kelas ini
tidak dapat diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya pada asosiasi-
asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Biasanya dalam masyarakat historis

10
tertentu pertentangan yang berbeda saling tumpang tindih. Fenomena ini mengandung makna
bahwa figur kekuasaan sebuah institusi (misalnya gereja) tidak perlu mengambil bagian dalam
kekuasaan institusi lain (misalnya negara). Bilamana pemisahan itu terjadi di sebagian besar
institusi, maka intensitas pertentangan akan meningkat. Pengucilan yang berganda dari struktur
kewenangan seperti itu dapat diamati di dalam sejarah hubungan-hubungan kelompok
minoritas, hubungan-hubungan perburuhan dan hubungan-hubungan antar bangsa.

Karl Marx

Teori konflik sosial yang muncul pada abad 18 dan 19 dapat di mengertisebagai respon dari
lahirnya sebuah revolusi, demokratisasi dan industrialisasi. Teori sosiologi konflik adalah
alternatif dari sebuah ketidakpuasan terhadap fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan
Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya. Dan
perspektif konflik dalam melihat masyarakat ini dapat dilihat pada tokoh-tokoh klasik seperti Kral
Marx, Max Weber, dan George Simmel. Teori konflik muncul sebagai bentuk reaksi atas
tumbuh suburnya teori fungsionalisme struktural yang dianggap kurang memperhatikan
fenomena konflik sebagai salah satu gejala di masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian.
“Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran
Karl Marx dan pada tahun 1950-an, teori konflik yang semakin mulai merebak.22” Teori ini
bertujuan untuk menganalisis asal usulnya suatu kejadian terjadinya sebuah pelanggaran
peraturan atau latar belakang seseorang yang berperilaku menyimpang. Konflik disini
menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang
terjadi di antara
berbagai kelompok, karena kekuasaan yang dimiliki kelompok-kelompok elit maka kelompok-
kelompok itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang
bisa melayani kepentingan-kepentingan mereka. “Konflik berasal dari kata kerja latin
“Configere” yang berarti ”saling memukul”. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih yang mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya”.23 Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-
perbedaan tersebut diantaranya menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan dan lain sebagainya. Dengan adanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, maka
konflik merupakan situasi yang wajar terjadi dalam setiap bermasyarakat dan tidak ada satu
pun masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok

11
masyarakat yang lain, konflik ini hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya sebuah
masyarakat itu sendiri. Perspektif sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem
yang terdiri dari bagian atau komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda
dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi
kepentingannya atau memperoleh keuntungan yangsebesar-besarnya. “Dalam pandangan ahli
sosiologi, masyarakat yang baik ialah masyarakat yang hidup dalam situasi konfliktual. Konflik
sosial dianggap sebagai kekuatan sosial utama dari perkembangan masyarakat yang ingin
maju ketahap – tahap yang lebih sempurna”. Teori konflik sosial memandang antar elemen
sosial memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda. Perbedaan kepentingan dan
pandangan tersebut yang memicu terjadinya konflik sosial yang berujung saling mengalahkan,
melenyapkan, memusnahkan diantara elemen lainnya. Konflik adalah sebuah fenomena sosial
dan itu merupakan kenyataan bagi setiap masyarakat. Dan merupakan gejala sosial yang akan
hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren yang artinya konflik akan
senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Kunci untuk
memahami Marx adalah idenya tentang konflik sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara
segmen-segmen masyarakat untuk merebut aset-aset bernilai. Bentuk dari konflik sosial itu bisa
bermacam-macam, yakni konflik antara individu, kelompok, atau bangsa. Marx mengatakan
bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun
memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi
prestise/status dan kekuasaan politik. Munculnya sebuah konflik dikarenakan adanya
perbedaan dan keberagaman. Dari pernyataan tersebut, maka diambil sebuah contoh
yangmana terdapat di negara Indonesia yang semakin lama menunjukkan adanya konflik dari
setiap tindakan-tindakan yang terjadi dan konflik tersebut terbagi secara horizontal dan vertikal.
Konflik horizontal adalah konflik yang berkembang di antara anggota kelompok, sepertinya
konflik yang berhubungan antara suku, agama, ras, dan antar golongan. Sedangkan konflik
vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan juga negara atau pemerintahan.
Umumnya konflik tersebut muncul karena masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintahan,
seperti konflik yang terjadi akhir-akhir ini yang menuntut adanya sebuah kebijakan dari
pemerintahan untuk menaikkan gajipara buruh.
Terdapat banyak konflik yang terjadi di kehidupan masyarakat, karena dari hal-hal kecil pun
bisa menimbulkan sebuah konflik yang berakhir dengan kerusuhan-kerusuhan yang besar bila
tidak ditanggapi dengan cepat dan serius. Tetapi konflik tersebut bisa membuat kehidupan
masyarakat bersatu apabila golongan-golongan bawah bisa membentuk sebuah kelompok
untuk membereskan permasalan dengan pikiran dingin. Dan tak banyak konflik yang bisa

12
mengakibatkan perpecahan yang merusak kehidupan masyarakat, perprcahan tersebut
membuat kehidupan tak berjalan dengan sangat baik. Konflik tentang buruh misalnya, yang
menginginkan upah minimum yang bisa menghidupi kebutuhan hidup layak keluarganya. Hal
tersebut bisa menjadi merambat menjadi besar dan membuat kericuhan yang berakibat fatal,
apabila pihak perusahaan atau pemerintah tidak bisa memberikan solusi yang terbaik buat
permasalahan tersebut dan memberikan pengertian yang bias dipahami oleh pihak-pihak buruh
dan tidak seenaknya memberikan tanggapan atau keputusan yang kurang bisa diterma oleh
pihak yang bersangkutan. Karl Marx mengemukakan beberapa pandangannya tentang
kehidupan sosial26 yaitu :
1. Masyarakat sebagai arena yang didalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan.
2. Negara dipandang sebagai pihak yang terlibat aktif dalam pertentangan dengan berpihak
kepada kekuatan yang dominan.
3. Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara
lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property), perbudakan (slavery), kapital yang
menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesempatan.
4. Negara dan hukum dilihat sebagai alat penindasan yang digunakan oleh kelas yang
berkuasa (kapitalis) demi keuntungan mereka.
5. Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang mempunyai kepentingan
sendiri yang bertentangan satu sama lain, sehingga konflik tak terelakkan lagi. Segi-segi
pemikiran Karl Marx berpusat pada usaha untuk membuka sebuah kedok sistem masyarakat,
pola kepercayaan, dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan
memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meski dalam pandangannya, tidak seluruhnya
kepetingan ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, tetapi hal tersebut sangat mempengaruhi
dan dipaksa oleh struktur tersebut. Pentingnya sebuah kondisi materiil yang terdapat dalam
struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu. Beberapa segi
kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun yaitu
pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang
saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas yang berbeda, pengaruh besar yang
berdampak pada kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan
berbagai konflik kelas yang muncul menimbulkan perubahan struktur sosial yang mana hal
tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting. Penyebab terjadinya konflik menurut Marx,
sejarah kehidupan masyarakat ditentukan oleh sebuah materi atau benda yang berbentuk alat
produksi, dan alat produksi ini untuk menguasai kehidupan masyarakat. Alat produksi adalah
setiap alat yang dihasilkan akan menghasilkan komoditas dan komoditas tersebut diperlukan

13
masyarakat secara sukarela. Bagi Marx fakta terpenting adalah materi ekonomi karena konflik
ini bisa terjadi ketika faktor ekonomi dijadikan sebagai penguasaan terhadap alat produksi.
Berdasarkan alat produksi Marx membagi perkembangan
masyarakat menjadi 5 tahap27 :
1. Tahap I : Masyarakat Agraris I Primitif. Dalam masyarakat agraris alat produksi berupa tanah.
Dalam masyarakat seperti ini penindasan akan terjadi antara pemilik alat produksi yaitu pemilik
tanah dengan penggarap tanah.
2. Tahap II : Masyarakat Budak. Dalam masyarakat seperti budak sebagai alat produksi tetapi
dia tidak memiliki alat produksi. Penindasan terjadi antara majikan dan budak.
3. Tahap III : Dalam masyarakat feodal ditentukan oleh kepemilikan tanah.
4. Tahap IV : Masyarakat borjuis. Alat Produksi sebagai industri. Konfik terjadi antara kelas
borjuis dan buruh. Perjuangan kelas adalah perjuangan kelas borjuis dan kelas proletar.
5. Tahap V : Masyarakat komunis. Dalam masyarakat ini kelas proletar akan menang.
4. Teori Konflik

Definisi Konflik
Konflik merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan seharihari. Istilah konflik sendiri
secara etimologis berasal dari bahasa Latin con yang berarti bersama dan figure yang berarti
benturan atau tabrakan. Adanya benturan atau tabrakan dari setiap keinginan atau kebutuhan,
pendapat, dan keinginan yang melibatkan dua pihak bahkan lebih. Menurut Degenova (2008)
konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak
pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985)
menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan di dalam diri
seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya. Menurut Richard E. Crable (1981)
“conflict is a disagreement or a lack of harmony”. Kalimat tersebut dapat diartikan dengan
konflik merupakan ketidaksepahaman atau ketidakcocokan. Weiten (2004) mendefenisikan
konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau dorongan berperilaku yang tidak
sejalan harus diekspresikan secara bersamaan. Hal ini sejalan dengan defenisi yang diuraikan
oleh Plotnik(2005) bahwa konflik sebagai perasaan yang dialami ketika individu harus memilih
antara dua atau lebih pilihan yang tidak sejalan. Berdasarkan beberapa defenisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu keadaan yang terjadi karena seseorang berada di
bawah tekanan untuk merespon stimulus-stimulus yang muncul akibat adanya dua motif yang
saling bertentangan dimana antara motif yang satu akan menimbulkan frustasi pada motif yang
lain.

14
5. Strukturalisme Konflik: Pemahaman Akan Konflik Pada Masyarakat Industri Menurut Lewis
Coser dan Ralf Dahrendorlf

Penekanan teori konflik ini adalah bahwa tingkat struktur sosial yang berada di masyarakat,
dimana susunan struktur yang tercipta merupakan suatu hasil persetujuan dan konsensus yang
sekaligus mengarah pada proses konflik sosial (Poloma, 1994:106 – 107). Pemahaman akan
konflik menurut Coser merupakan suatu kesadaran yang mencerminkan semangat
pembaharuan di dalam masyarakat yang mana nantinya mungkin akan dapat dijadikan sebagai
suatu alat yang sifatnya instrumentalis di dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan
atas struktur sosial yang ada. Selain itu konflik juga dapat menetapkan dan menjaga garis batas
antara dua atau beberapa kelompok yang akhirnya dengan adanya konflik inipun akan
membuat kelompok yang lain untuk memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya
agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik
(keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat struktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatu
kelompok yang sedang mengalami konflik denganout gr up. Konflik yang tercipta memiliki
muatan kepentingan yang sekaligus merupakan suatu kesepakatan pemegang kekuasaan
untuk menciptakan kerusuhan-kerusuhan, kondisi violence dalam bentuk penjarahan,
pemerkosaan, perampokan dan pembunuhan. Pada dasarnya penekanan dan penggambaran
atas pendekatan konflik yang diajukan oleh Coser sebagai fungsionalisme konflik (conflict
functionalism) yang tanpa melepaskan konsep-konsep serta asumsiasumsi fungsionalisme
strukturalnya dengan menambahkan konflik yang dinamis, perspektif integrasi dan perspektif
konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling bersaing. Melainkan justru dengan
adanya konflik, konsensus, integrasi dan perpecahan merupakan satu kesatuan yang utuh di
dalam menjalankan suatu proses yang fundamental, walaupun porsi setiap bagian memiliki
muatan yang berbeda merupakan bagian kesatuan dari setiap sistem sosial yang berkorelasi.
Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori ini
merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ia pun
menganggap masyarakat bersisi ganda memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama (kemudian
posisi ini disempurnakan menjadi segala sesuatu yang dapat dianalisa dengan fungsionalisme
struktural dan dapat pula dianalisa dengan teori konflik). Percepatan waktu dan perkembangan
yang terjadi di dalam masyarakat pada abad kesembilan belas yang mana pada
masyarakatindustri kecenderungannya mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-
perubahan itu antara lain: (1) dekomposisi modal, (2) dekomposisi tenaga kerja (3) timbulnya
kelas menengah baru. (Poloma, 1994: 130- 145) Pemilikan dan kontrol atas saranasarana
produksi berada di tangan individuindividu yang sama. Kaum industrialis atau borjuis adalah

15
pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja atau proletar demi
kelangsungan hidupnya tergantung pada sistem ini. Pemisahan antara pemilikan erta
pengendalian sarana-sarana produksi mengakibatkan adanya korporasikorporasi dengan
saham-saham yang dimiliki oleh banyak orang dimana tak seorang pun memiliki kontrol yang
eksklusif dan berperan sebagai dekomposisi modal. Penspesialisasian seperti memungkinkan
sekali seseorang atau beberapa orang untuk memiliki perusahaan tetapi tidak
mengendalikannya hal ini dikarenakan tuntutan zaman yang mengharuskan memiliki keahlian
dan tenaga kerja spesialisasi. Yang akhirnya manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai-
pegawai sebagaimana halnya dengan pekerja-pekerja pabrik. Para buruh maupun pegawai
kantor dapat memiliki saham perusahaan yang menjadikan mereka sebagai pemilik-pemilik
bagian. Menurut Dahrendorf dekomposisi modal ini melahirkan kesulitan untuk mengidentifikasi
kaum borjuis yang memiliki monopoli eksklusif atas modal maupun pengendali perusahaan,
pemilikan dan pengendalian tersebut mengalami apa yang disebut diversifikasi dan tidak lagi
berada dalam tangan satu individu atau keluarga saja. Kondisi d mikian terus berjalan secara
berkesinambungan, dan bukan hanya sisi modal saja melainkan juga dekomposisi tenaga kerja.
Kaum proletar tidak lagi sebagai suatu kelompok homogen yang tunggal, dimana para buruh
terampil berada di jenjang atas sedangkan buruh biasa berada di bawah. Kaum proletar bukan
lagi sebagaimassa yang tanpa perbedaan sebagaimana halnya yang terjadi pada kaum borjuis,
tukang kayu, tukang pipa serta pengemudi truk memperoleh gaji jauh lebih tinggi daripada
pelayan, operator dan sebagainya. Hal seperti ini akan berdampak pada buruh yang mana
nantinya akan menjurus kepada pembekakan jumlah kelas menengah dan memperkuat
terjadinya suatu revolusi kelas (Poloma, 1994: 132 – 133). Dimana pada saat revolusi tiba
sebagian besar kelompok kecil ini akan bergabung bersama kaum proletar untuk melawan
kaum borjuis yang sekaligus terciptanya serikat-serikat buruh yang diikuti oleh mobilitas sosial
yang cukup tinggi dari para pekerja. Mobilitas sosial inilah yang nantinya akan merintangi
gejolak revolusi y ng terjadi dalam kapitalis modern. Selain itu Dahrendorf menyatakan
bawasannya ada dasar baru bagi pembentukan kelas yaitu adanya hubungan-hubungan
kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dan atasan, adanya pendikotomian antara
mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam
stuktur kekuasaan yang ada dalam kelompok. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem
kelas sosial yaitu : mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan
dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas yang dibahas
Dahrendorf lebih berdasarkan pada kekuasaan dari pada pemilikan sarana-sarana produksi.
Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang

16
melaksanakan pengendalian atas sarana itu. Secara ringkas penggunaan teori konflik yang
dilontarkan oleh Ralf Dahrendorf adalah perjuangan kelas yang terdapat di dalam masyarakat
industri, yang mana tidak menekankan pada pemilikan atas sarana-sarana produksi melainkan
lebih merupakan pemilikan kekuasaan, yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain.
Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam perekonomian kapitalis maupun
komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada di seputar pengendalian kekuasaan.
Pada akhirnya dengan adanya konflik kelas (konflik mengenai hubungan kekuasaan atau yang
muncul di luar hubungan kekuasaan) menyebabkan adanya perubahan secara structural
(Perubahan nilai atau aturan social pada masyarakat). Pergesekan-pergesekan seperti ini
merembes akibat dari adanya hubungan kekuasaan. Pada masyarakat buruhpun demikian,
dimana hasil dari kekuatan industri membuat corak pada lingkungan masyarakat identik dengan
kekerasan. Akibat dari adanya kekuatan kekuasaan yang menimbulkan konflik baik yang
vertikal atau horisontal.

17
DAFTAR PUSTAKA

http://blog.unnes.ac.id/annisafella97/2017/12/04/503/

https://id.wikipedia.org/wiki/Fungsionalisme_struktural

http://sosiologis.com/teori-struktural-fungsional

Amri Marzali. Struktur Fungsionalisme. Jurnal Antropologi Universitas Indonesia. Antropologi


NO. 52. Hal: 33-43.

18

Anda mungkin juga menyukai