Anda di halaman 1dari 103

 

2014  
 

TOERI KOMUNIKASI
GENERAL THEORY

 
 
 
 

DISUSUN OLEH :
FITRIA ADIANTI PUTRI 210 110 120 321
TALITHA SABELLA 210 110 120 388
DESTIKA GITANIA 210 110 120 451
KHANZA P 210 110 120 459
GHEA SM MELATI 210 110 120 476
SUSAN IMANNIAR 210 110 120 477
DINDA SEKAR P 210 110 120 479
MATA KULIAH TEORI KOMUNIKASI HUMAS G

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT


 
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
 
UNIVERSITAS PADJADJARAN  
GENERAL THEORIES
Perkembangan teori-teori komunikasi dilatarbelakangi dengan keragaman gagasan tentang
komunikasi dalam kehidupan. Bahkan dalam ilmu sosial, ada kecenderungan ideologi dan cara
pandang epistemologis teori komunikasi yang ada. Littlejohn (2005) menyebut klasifikasi
pembagian ini sebagai genre sementara Miller (2005) menyebutnya Conceptual Domains of
Communication Theory. Menurut Littlejohn (2005), berdasarkan metode penjelasan serta cakupan
objek pengamatannya, secara umum teori-teori komunikasi dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu teori-teori umum dan kontekstual. Teori-teori Umum (general theories) merupakan genre
yang fokus bagaimana menjelaskan fenomena komunikasi, sementara teori-teori kontekstual
(contextual theories), diklasifikasikan berdasarkan konteks dan tingkatan analisis.
General Theories terbagi menjadi 6 teori yaitu :
1. Teori Sistem
2. Teori Struktural dan Fungsional
3. Teori Kognitif dan Tingkah Laku
4. Teori Interaksi
5. Teori Interpretasi
6. Teori Kritis
(Tambahan)
7. Teori Pragmatis
8. Covering Laws Theory
(Tambahan)
9. Perspektif psikologis Audrey Fisher
1. SYSTEM THEORY
Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma), dapat diartikan sebagai
kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur (elemen). Unsur, komponen atau bagian yang
banyak ini satu sama lain berada dalam keterkaitan yang mengikat dan fungsional. Masing-masing
kohesif satu sama lain, sehingga ketotalitasannya unit terjaga utuh eksistensinya. Tinjauan
tersebut adalah pandangan dari segi bentuknya. Jadi pengertian sistem, disamping dapat
diterapkan pada hal yang bersifat “immaterial” atau suatu proses “immaterial”, juga dapat
diterapkan pada hal yang bersifat material. Untuk yang bersifat “immaterial” penguraian atau
penentuan “model”-nya lebih cenderung berfungsi sebagai alat analisis dan merupakan cara, tata,
rencana, skema, prosedur atau metode. Sistem adalah suatu cara yang mekanismenya berpatron
(berpola) dan konsisten, bahkan mekanismenya sering disebut otomatis.
Kata “sistem” banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi
maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula,
sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah
sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.
Sistem memiliki objek yang beragam, mulai dari hal fisik misalnya untuk organisme dan barang
elektronik, pada dunia sosial misalnya untuk menyebut sebuah organisasi, sampai ke dunia ide
misalnya “sistem nilai”. Konsep “pemikiran sistem” lahir dari dunia ilmu alam yang digeluti Herbert
Spencer dan penerusnya, serta bidang biologi oleh HJ Henderson dan pengikutnya. Konsep
sistem telah digunakan dalam ilmu ekonomi, antropologi, psikologi, ilmu politik, sosiologi, dan
terutama dalam teori organisasi.
Sistem terdapat dalam tubuh manusia sebagai unit fungsi fisiologis, dalam suatu organisme berupa
fungsi dan proses vital di dalamnya, dalam sekumpulan komponen mekanik dan elektrik pada
benda elektronik, dalam suatu jaringan saluran sehingga memungkinkan untuk berkomunkasi, atau
dalam suatu jaringan komputer yang saling terhubung dalam satu kantor misalnya. Sistem juga
dapat bemakna sejumlah ide dan prinsip yang saling berhubungan yang terorganisasi, sebagai
suatu bentuk organisasi sosial-ekonomi-politik, atau sebagai sejumlah objek dan fenomena yang
terkelompok bersama.
Dalam makna sistem sebagai suatu organisasi dari sejumlah elemen dan bagian yang bekerja
sebagai sebuah unit, maka beberapa kata yang dekat dengan pengertian ini adalah entity, integral,
sum, totality, dan whole. Sistem juga dapat bermakna sebagai sejumlah bagian yang berkomposisi
saling terkoneksi, atau disebut sebagai kompleks (complex). Dan, dalam makna sebagai susunan
dan desain yang sistematis, maka ia dekat dengan kata-kata: method, order, orderliness,
organization, pattern, plan, systematization, dan systemization. Sedangkan, sebagai pendekatan
yang digunakan untuk melihat sesuatu, makna sistem tergambar dalam kata-kata: fashion, manner,
method, mode, modus operandi, style, dan way.
Sebuah sistem, adalah sebuah komposisi dari sejumlah element yang saling berinteraski sehingga
membentuk sebuah kesatuan yang padu (a unified whole). Kata “sistem” berasal dari bahasa Latin
dan Yunani ini bermakna sebagai “combine, to set up, to place together”. Jadi, sebuah sistem
berisi komponen atau elemen, yang saling terkoneksi secara bersama-sama dalam tujuan untuk
memfasilitasi aliran informasi, materi, maupun energi. Setiap objek mestilah merupakan sebuah
sistem.
A. ELEMEN DALAM SISTEM
Pada prinsipnya, setiap sistem selalu terdiri atas empat elemen:

• Objek, yang dapat berupa bagian, elemen, ataupun variabel. Ia dapat benda fisik,
abstrak, ataupun keduanya sekaligus; tergantung kepada sifat sistem tersebut.
• Atribut, yang menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan objeknya.
• Hubungan internal, di antara objek-objek di dalamnya.
• Lingkungan, tempat di mana sistem berada.
B. JENIS SISTEM
Ada berbagai tipe sistem berdasarkan kategori:
• Atas dasar keterbukaan:
• Sistem terbuka, dimana pihak luar dapat mempengaruhinya.
• Sistem tertutup.
Atas dasar komponen:

• Sistem fisik, dengan komponen materi dan energi.


• Sistem non-fisik atau konsep, berisikan ide-ide.
Teori sistem telah berumur seratus tahun lebih. Pada teori sosiologi dan politik, yang menonjol
adalah David Easton dan Talcott Parsons. Parsons melahirkan Teori Sistem yang berkaitan
kemudian dengan perspektif “struktural fungsional”. Dalam pandangan ini, sejumlah kebutuhan
harus dipenuhi kalau suatu masyarakat ingin hidup. Kebutuhan tersebut adalah untuk penyesuaian,
pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola-pola. Maka itu, perlu empat subsistem dalam
masyarakat, yaitu ekonomi, politik, kebudayaan, dan sosialisasi (melalui keluarga dan sistem
pendidikan). Masyarakat berkembang bila terjadi pertukaran yang kompleks di antara subsistem-
subsistem. Subsistem politik menghasilkan sumber-sumber, kekuasaan otoritas, yang kemudian
melahirkan ekonomi berdasarkan uang. Dengan otoritas yang diperoleh dari negara, ekonomi
menciptakan modal, yang pada gilirannya menjalankan politik.
Dalam pendekatan sistem, organisasi dibangun oleh individu dan kepribadian, struktur
formal, pola interaksi yang informal, pola status dan peranan-peranan yang menimbulkan
pengharapan-pengharapan, dan lingkungan fisik pekerjaan.
Bagian-bagian ini yang selanjutnya tersusun menjadi sebuah konfigirasi sistemik. Setiap bagian
dalam organisasi saling berhubungan dan berinteraksi. Setiap bagian memberikan makna bagi
yang lainnya. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan dalam penjelasan berikut ini.
Pengertian sistem
Ada 4 hal untuk menjelaskan tentang sistem:

• Pertama adalah objek, yakni bagian-bagian, elemen-elemen dan variable dalam sebuah
system.
• Kedua adalah system yang terdiri hubungan-hubungan, yakni kualitas atau sifat dari
system dan objeknya.
• Ketiga adalah system yang mempunyai hubungan internal diantara objek-objenya
• Keempat adalah system yang berada didalam lingkungan, yakni sebuah system yang
kemudian sesuatu didalamnya mempengaruhi satu sama lain dalam lingkungan dengan
bentuk yang berbeda dari bentuk-bentuk yang lain.
Konsep Teori Sistem
Scott menyatakan bahwa ”satu-satunya cara yang bermakna untuk mempelajari organisasi adalah
sebagai suatu sistem”. Ia mengemukakan bahwa bagian-bagian penting organisasi sebagai sistem
adalah individu dan kepribadian setiap individu dalam organisasi. Struktur formal, pola interaksi
informal, pola status dan peranan menimbulkan pengharapan-pengharapan.
Bagian-bagian inilah yang merupakan konfigurasi yang disebut sistem organisasi. Semua bagian
saling berinteraksi dan berhubungan satu dengan lainnya. Proses penghubung utamanya adalah
komunikasi.
Inti dari pemahaman teori sistem adalah setiap bagian berpengaruh pada keseluruhan atau
sesuatu tidak dapat ada tanpa keberadaan yang lain. Ketika organisasi dipandang sebagai sebuah
sistem sosial, maka seluruh aspek harus diperhatikan atau dianggap penting.
Menurut Fisher, teori sistem adalah seperangkat prinsip yang terorganisasikan secara longgar dan
sangat abstrak, yang berfungsi mengarahkan pikiran kita namun terikat pada berbagai penafsiran.
Pemahaman atas konsep interdependensi ini merupakan bagian integral dari pendefinisian sistem
dan teori sistem :
1. Nonsumativas
Nonsumativas menunjukkan bahwa suatu sistem tidak sekedar jumlah dari bagian-
bagiannya. Ketika komponen tersebut saling berhubungan satu sama lainnya dalam
sebuah interdependensi, sistem tersebut memperoleh suatu identitas yang terpisah
dari masing-masing komponen.
2. Unsur struktur, fungsi dan evolusi
Struktur menunjukkan hubungan antar komponen dalam suatu sistem. Struktur
mencerminkan keteraturan. Tindakan yang dilakukan seseorang dalam hubungannya
dengan orang lain dianggap sebagai bagian dari unsur fungsional suatu sistem.
Evolusi (beubah atau tidak berubahnya suatu sistem akan mempengaruhi struktur dan
fungsional dalam suatu sistem
3. Keterbukaan
Organisasi adalah sistem sosial. Sehingga memungkinkan organisasi untuk
berinteraksi dengan lingkungannya, sehingga memperoleh energi dan informasi.
4. Hierarkhi
Suatu sistem mungkin merupakan suprasistem bagi sistem-sistem yang lain
didalamnya atau merupakan subsistem bagi sistem yang lebih besar. Arus informasi
yang melintasi batas-batas suatu sistem dapat mempengaruhi perilaku struktural-
fungsional sistem tersebut.
Fisher membedakan sistem menjadi 2 yaitu :
System tertutup tidak ada pertukaran dengan lingkungan. Sedangkan system terbuka, menerima
energy dari lingkungannya dan mengirimkannya kembali ke lingkungannya.
Sistem terbuka yaitu sistem yang menerima masukan (input) dari lingkungannya. Input tersebut
bisa berupa aspirasi, kepentingan atau tuntutan maupun dukungan (suport). Misalnya, sebuah
perusahaan tidak saja memikirkan atau memperhitungkan lingkungan internalnya (pegawai,
struktur, pola komunikasi, tujuan, dll), tetapi juga harus memikirkan lingkungan eksternalnya
(kebijakan pemerintah, masyarakat, pesaing, sosial dan budaya yang berkembang, dll).
Dalam system terbuka sebagai contoh keluarga dimana anggota dalam keluarga adalah objek-
objek. Dan karakter mereka adalah attribute (sifat), sistem keluarga dibentuk oleh interaksi diantara
anggota-anggotanya. Keluarga juga berada dalam lingkungan sosial dan budaya. Keluarga dan
lingkungannya mempengaruhi satu sama lain. Pengertian ini yang dinamakan sebagai unit.
Perusahaan yang memilih sistem yang tertutup, cenderung menutup diri dari perkembangan
disekitarnya. Mereka membuat batas-batas yang ttegas dengan lingkungannya. Sebuah organisasi
atau apapun namanya akan tetap bisa hidup (survive) apabila mampu menselaraskan
organisasinya dengan tuntutan yang terus berkemban, namun bila organisasi tersebut tidak
merasa mampu mengimbangi perkembangan sekitarnya lebih memilih aman dengan kondisi
sistem mereka yang tertutup, dalam rangka menjaga kelangsungan hidupnya (survive).
Dalam teori ini menyangkut dua hal, yakni Cybernetic dan Teori informasi. Cybernetic lebih
bersangkutan dengan control dan regulasi dalam sistem, sedangkan teori informasi lebih fokus
kepada pengukuran dan pengiriman dari sinyal.
Kualitas-kualitas sistem
1. Kesatuan dan saling ketergantungan
Sistem adalah kesatuan yang unik, yakni terdiri dari bentuk-bentuk yang salng
berhubungan yang berbeda-beda dari sistem yang lain. Dalam konsep interdependensi,
satu variable kadang-kadang menyebabkan variabel yang lain. Variable A menyebabkan B
dan menyebabkan C dan seterusnya dalam proses sirkular dan kembali lagi ke variabel A.
2. Herarki
Sistem cenderung untuk melekatkan satu dengan yang lain. Maksudnya suatu sistem
adalah bagian dari sistem yang lebih besar. Sistem yang lebih besar kemudian disebut
sebagai Suprasystem dan yang lebih kecil di sebut dengan subsistem. Contohnya
keluarga, dimana keluarga besar merupakan suprasistem, dimana dirinya merupakan
bagian dari sistem yang lebih besar dari masyarakat. Subsistem dari keluarga besar
adalah keluarga inti, dan subsistem dari keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Gambaran ini menunjukkan adanya herarki diantara sistem yang lebih kecil dalam sistem
yang lebih besar.
3. Pengaturan diri dan control
Banyak sistem yang berfokus pada tujuan dan mengatur perilakunya untuk mencapai
suatu tujuan.
4. Pertukaran dengan lingkungan
Sistem terbuka berinteraksi dengan lingkungan. Dalam kondisi ini mereka memasukan dan
mengeluarkan energy ke lingkungan.
5. Keseimbangan
Ini kadangkala mengacu pada Homeostatis, ini adalah bentuk dari pemeliharaan diri. Sistem
akan selalu mencari titik keseimbangan dan selalu memperbaiki diri jika ada subssistem
yang mengganggu sistem lain yang akan mempengaruhi sistem yang lebih besar.
6. Kemampuan berubah dan beradaptasi.
Sistem harus bisa beradaptasi karena berada dalam lingkungan yang berubah setiap saat.
Sehingga selain mempunyai keseimbangan, sistem juga harus mempunyai kemampuan
untuk berubah.
7. Equifinality
Berarti usaha untuk menyelesaikan dengan cara-cara yang berbeda dan dari permulaan
yang berbeda. Dalam sistem adaptasi dapat mencapai tujuan dengan kondisi lingkungan
yang berbeda.
1.1 TEORI INFORMASI
Teori informasi menyangkut studi kuantitatif dari sinyal-sinyal. Informasi merupakan sebuah
ukuran dari ketidakpastian atau entropy dalam sebuah situasi. Sehingga ketika situasi dapat
diprediksi secara lengkap maka informasi tidak ada, kondisi ini dikenal dengan negentropy.
Informasi sebagai pilihan-pilihan atau aternatif-alternatif, menyediakan seseorang untuk
memprediksi hasilnya. Dengan kata lain seseorang membutuhkan fakta-fakta untuk memprediksi
hasil dari situasi yang komplek daripada mempresiksi hasil dari sesuatu yang sedarhana. Sehingga
dapat disimpulkan dengan kalimat, informasi lebih dalam sebuah informasi akan membuat pilihan-
pilihan lebih banyak dapat diambil dalam situasi. Ada istilah yang dikenal sebagai redudansi,
dimana keseluruhan pengaturan dari sebuah kalimat sudah terbentuk dan perbagiannya sudah
terprediksi. Kalimat dalam hal ini mengandung ketidakpastian karena tidak dapat diprediksi dengan
tepat secara lengkap.
Transmisi Informasi
Secara khusus transmisi informasi penting digunakan dalam komunikasi elektronik, dimana sinyal
dikirimkan melalui sebuah media. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi akurasi transmisi.
Yakni Kapasitas Chanel yaitu jumlah maksimal dari informasi yang dapat dikirimkan melalui sebuah
chanel dalam waktu tertentu. Sedangkan Throughput merupakan jumlah actual dari informasi
dalam sebuah chanel.

1.2 CYBERNETIC
Yakni kajian dari regulasi dan kontrol dalam sebuah sistem. Sistem diatur, mencapai tujuan-tujuan
dan dan penuh tujuan. Ini merupakan subyek cybernetic atau kajian tentang feedback. Cybernetics
berhubungan dengan cara sebuah sistem mengukur efeknya dan membuat penyesuaian yang
dibutuhkan. Ide paling simple dari cybernetic terdiri dari sebuah sensor, komparator dan activator.
Sensor menghasilkan feedback kepada komparator dan kemudian komparator mengahasilkan
panduan kepada activator yang mengasilkan output yang mempengaruhi lingkungan dengan
beberapa cara. Proses dasar dari Output-feedback-adjustment adalah dasar dari cybernetic.

1.3 TEORI DYNAMIC SOCIAL IMPACT


Teori ini mengibaratkan masyarakat sebagai sistem komunikasi yang besar terdiri dari subsistem
budaya yang banyak, termasuk interaksi individu dengan yang lain. Dimana elemen dasarnya
memang individu. Individu berinteraksi dengan yang lain dalam ruang sosial (tempat dmana individu
bertemu, berkomunikasi dan bersosialisasi dan mempengaruhi satu sama lain.
Ruang sosial dipengaruhi oleh berbagai macam media komunikasi yang menjadikan orang-orang
dapat berkomunikasi dalam jarak, seoerti telep

1.4 TEORI SOSIAL SISTEM DARI ELIHU KATZ DAN KAHN


Teori-teori klasik dan behavioral seringkali merujuk komunikasi dalam bentuk aktivitas daripada
proses penyatuan (a lingking process). Komunikasi sebagai proses penyatuan memiliki makna
yang spesial dalam apa yang dikemukakan Katz dan Kahn, yaitubahwa struktur sosial berbeda
dari struktur mekanik dan biologi.Ketika sistem sosial berhenti berfungsi, ia tidak lagi memiliki
struktur yang bisadiidentifikasi karena sistem sosial adalah struktur dari peristiwa-peristiwa
ataukejadian daripada bagian-bagian fisik dan tidak memiliki struktur selain fungsinya.
Komunikasi sebagai suatu proses penghubung, akan mempunyai arti khusus bila kita menerima
pendapat Katz dan Kahn, bahwa struktur sosial berbeda dengan struktur mekanis dan struktur
biologis. Bila suatu sistem sosial berhenti berfungsi, ia tidak lagi mempunyai struktur yang dapat
diidentifikasi. Sebab sistem sosial merupakan struktur peristiwa bukannya bagian-bagian fisik.
Suatu sistem sosial, secara keseluruhan terdiri dari manusia-manusia. Ia tidak sempurna, namun
kesinambungan hubungan manusianya begitu baik. Hubungan-hubungan antara orang-orang,
bukan orang-orang itu sendiri. Hal ini mengandung pengertian apabila ada seseorang yang tidak
bisa menjalankan fungsinya dapat diganti.
Katz dan Khan menerangkan bahwa kebanyakan interaksi kita dengan orang-orang merupakan
tindakan komunikatif (verbal dan nonverbal, bicara dan diam). Komunikasi pertukaran informasi
dan transmisi makna - adalah inti dari sistem sosial atau organisasi. Komunikasi merupakan
penghubung di antara orang-orang dalam organisasi. Pencapaian tujuan organisasi akan sangat
tergantung kepada bagaimana komunikasi berjalan dengan efektif dan tanpa mengalami hambatan
yang berarti.
Teori sistem menyadari bahwa suatu keadaan yang terorganisasi perlu mengenal berbagai
hambatan untuk mengurangi komunikasi acak ke saluran-saluran yang sesuai untuk pencapaian
tujuan organisasi. Katz dan Khan berpendapat bahwa watak suatu sistem sosial mengisyaratkan
selektivitas saluran dan tindakan komunikatif.
Scott mengatakan bahwa organisasi terdiri dari bagian-bagian yang berkomunikasi antara yang
satu dengan yang lainnya, menerima pesan-pesan dari dunia luar dan menyimpan informasi.
Fungsi komunikasi bagian-bagian ini merupakan konfigurasi yang menggambarkan sistem secara
keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa dari sudut pandang sistem, komunikasi adalah organisasi.
Hawes menyatakan ”suatu kolektivitas sosial adalah perilaku komunikatif yang terpolakan; perilaku
komunikatif tidak terjadi dalam jaringan hubungan tetapi merupakan jaringan itu sendiri”

1.5 AD-HOCRACY & TEORI BUCK ROGERS DARI ALFIN TOFFLER


Buck Rogers merupakan karakter fiksi yang melakukan ekplorasi luar angkasa.Terinspirasi dari
cerita petualangan tokoh fiksi tersebut, Alfin Toffler menulis mengenai future shock dan
konsekuensi yang tak terhindarkan yang diakibatkanoleh perubahan yang begitu cepat di seluruh
aspek kehidupan. Tulisan Tofflertersebut diberi judul “Organizations: The Coming Ad-hocracy.”Ciri-
ciri birokrasi baru yang disebut sebagai ad-hocracy, seperti: bergerak cepat,kaya informasi, sangat
aktif, berubah secara konstan, diisi oleh unit-unit yang tidakabadi dan individu yang sangat mobile.
Di dalam ad-hocracy, adalah kerja itusendiri, masalah yang diatasi, tugas yang diselesaikan yang
menarik komitmenpegawai, daripada organisasi. Beberapa ad-hocracies diawali dengan istilah
associate (siapa yang bekerja sama dengan). Ad-hocracy meningkatkan kemampuan adaptasi
organisasi; namun merengangkan kemampuan adaptasi orang. (Pace & Fauler, 1994. Hal. 45-48)
Sebagian visi kita tentang penjelajahan luar angkasa yang paling mustahil berasal dari fantasi-
fantasi para penciptafigur fiksi terkenal, Buck Rogers. Teori Buck Rogers yang lazim dan
kontemporer mengenai organisasi adalah organisasi matriks, yaitu suatu organisasi yang
berlapiskan organisasi fungsional yang lebih tradisional. Kepala-kepala bagian fungsional
membawahi proyek-proyek yang mamang cocok bekerja sama antara manajer-manajer
fungsional.
Organisasi matriks dan organisasi ad-hokrasi adalah organisasi-organisasi komunikasi saat ini dan
masa depan. Studi komunikasi adalah studi organisasi. Praktek organisasi masa kini menegaskan
prediksi teoritis terdahulu, fungsi pertama seorang eksekutif, memang, adalah menciptakan dan
memelihara suatu sistem komunikasi. Komunikasi sistem adalah organisasi. Komunikasi organisasi
adalah teori Buck Rogers mengenai organisasi.
Berdasarkan petunjuk Buck, Alvin Toffler, 1970 menulis tentang future shock dan akibat-akibat tak
terelakkan yang disebabkan perubahan dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Organisasi
formal disinggung dalam analisis ini. Hal ini menunjukkan bahwa kita sedang bergerak menuju era
pascabirokratik dalam teori organisasi yang berdasarkan konsep futuristik tentang struktur
organisasi yang berubah cepat.
Toffler melukiskan, “apa yang kita lihat di sini tidak kurang dari penciptaan suatu bagian yang dapat
dibuang...” Menurut Bennis (1966), struktur sosial birokrasi baru akan bersifat temporer. Organisasi
akan terdiri dari satuan-satuan tugas (task forces) yang diciptakan guna mengatasi suatu program
khusus.
Manajer di suatu organisasi yang strukturnya terus menerus berubah, menjadi seorang kordinator,
seorang penghubung antara berbagai kelompok proyek. Keterampilan komunikasi dan interaksi
manusia akan sangat berharga, karena sebagian dari tugas-tugas utama akan berkenaan dengan
bagaimana meneruskan informasi dan menjembatani pengertian serta perbedaan antara
kelompok-kelompok. Bennis berpendapat bahwa orang-orang ”harus belajar mengembangkan
hubungan yang cepat dan intens dalam pekerjaan, dan belajar menanggung kehilangan hubungan
kerja yang lebih kekal”.
Toffler lebih lanjut mengemukakan ciri-ciri birokrasi baru yang disebut ad-hokrasi (ad-hocracy)
sebagai:

• Bergerak cepat
• Kaya dengan informasi
• Aktif
• Selalu berubah
• Berisi unit-unit yang selalu bersifat sementara
• Individu-individu yang selalu bergerak
Dalam ad-hokrasi, bukanlah organisasi yang menarik komitmen pegawai, melainkan pekerjaan,
problem yang harus dipecahkan, dan tugas yang harus dilakukan. Masih menurut Toffler, bahwa
gelar-gelar jabatan dalam beberapa ad-hokrasi didahului dengan sebutan associate. Sebutan itu
menberi kesan kesederajatan yang merupakan ciri khas organisasi baru--- associate berarti
teman sejawat, bukan atasan atau bawahan dalam organsasi.
Pemakaian istilah tersebut mencerminkan pergeseran dari hirarki vertikal ke pola-pola komunikasi
lateral (ke samping). Di sebuah perusahaan konsultasi dan pelatihan, digunakan istilah
organizational associates yang menunjukkan bahwa para kolega mempunyai hak yang sama
dalam memecahkan masalah organisasi. Staf profesional yang terdiri dari para associate itu
berorientasi ke tugas-tugas mereka, memperoleh kepuasan dan pengharapan menangani masalah
di manapun masalah itu terjadi.
Namun Toffler mengingatkan bahwa ad-hokrasi menambah adaptabilitas organisasi, terutama
adaptabilitas manusia. Setiap perubahan hubungan dalam organisasi membawa serta kerugian
dalam penyesuaian pribadi, hubungan, dan kepuasan. Ketegangan sosial, ketegangan psikologis,
dan usaha individu untuk mengatasi masalah semakin bertambah banyak karena perubahan yang
cepat, kondisi kerja yang kontemporer, dan kurangnya komitmen kepada organisasi. Perubahan
yang konstan dalam hubungan organisasi menjadi beban yang berat bagi orang-orang untuk
melakukan penyesuaian diri.

1.6 TEORI CHAOS


Chaos menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan atau kebetulan, yaitu: gerakan acak
tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu. Alam semesta yang bersifat dinamis ini kelihatannya
bekerja melalui system yang linier, tetapi banyak juga yang tidak bekerja secara linier dan tidak
dapat dipahami melalui system linier, seperti awan, pohon, garis pantai, ombak dan lain
sebagainya, yang secara sekilas menampakkan acak dan tidak teratur. Sistem seperti inilah yang
dinamakan dengan teori chaos, yaitu suatu teori yang berkaitan dengan proses alam yang
nampaknya kacau, acak dan tidak linier (system yang tidak dapat diprediksi berdasarkan kondisi
awal). Seperti yang dikemukakan Dhani bahwa teori chaos adalah teori yang menjelaskan gerakan
atau dinamika yang kompleks dan tidak terduga dari sebuah system yang tergantung dari kondisi
awalnya. Lebih lanjut Dhani mengemukakan bahwa walaupun berlangsung acak, system chaotic
dapat ditentukan secara matematis, hal ini disebabkan system chaotic mengikuti hukum-hukum
yang berlaku di alam. Hanya saja, karena sifatnya yang tidak teratur maka dilihat sebagai peristiwa
yang acak. Chaotik dapat ditemukan pada berbagai system umum, mulai dari system yang
sederhana seperti gerak pendulum sampai system yang kompleks seperti: irama detak jantung,
aktivitas listrik pada otak, dan lain sebagainya. Bahkan system ekonomi seperti: pergerakan harga
di bursa saham, kurs mata uang sampai harga minyak mentah merupakan system chaotic.
Jacques Hadamard pada tahun 1898 menerbitkan suatu tulisan tentang gerakan yang tidak stabil
atau acak dari suatu “arah peluru”. Ia menunjukkan bahwa semua arah peluru yang ditembakkan
dari senapan memiliki arah yang berbeda dan menyimpang satu sama lainnya. Sementara itu
istilah “chaos” dirumuskan pertama kali oleh Henri Poincaré (1854 1912), seorang ahli matematika
Perancis. Ia menemukan bukti bahwa system tata surya tidak bekerja secara teratur dan dapat
diprediksi dengan pasti. Ia mengungkapkan bahwa “dapat terjadi perbedaan kecil pada kondisi
awal menghasilkan peristiwa yang berdampak sangat besar. Sebuah kesalahan kecil pada
permulaannya akan menghasilkan penyimpangan yang lebih besar. Prediksi akan menjadi hal yang
mustahil. Semula gagasan Henri Poincaré tidak terlalu dihargai oleh para ilmuwan pada saat itu,
sampai penemuan computer yang memungkinkan para ahli membuat model dan menggambarkan
system chaostik.
Teori chaos pertama kali dicetuskan oleh seorang meteorologis bernama Edward Lorenz pada
tahun 1961. Teori chaos berusaha mencari bentuk keseragaman dari data yang kelihatannya acak.
Teori ini ditemukan secara tidak sengaja, Lorenz pada saat itu sedang mencari penyebab
mengapa cuaca tidak bisa diramalkan. Ia menggunakan bantuan computer dan menggunakan 12
model rumusan. Program yang ia ciptakan tidak bisa memprediksi cuaca, tetapi dapat
menggambarkan seperti apa cuaca tersebut jika diketahui titik awalnya. Suatu saat Lorenz ingin
melihat hasil urutan model cuaca. Ia memulai dari bagian tengah dan tidak dari awal.

1.7 TEORI SISTEM GEORGE RITZER PADA PARADIGMA FAKTA SOSIAL


Maksudnya adalah penggunaan teori ini dikhususkan pada masalah-masalah sosial yang berkaitan
dengan nilai-nilai, institusi/pranata-pranata sosial yang mengatur dan menyelenggarakan
eksistensi kehidupan bermasyarakat. Sistem sendiri merupakan suatu kesatuan dari elemen-
elemen fungsi yang beragam, saling berhubungan dan membentuk pola yang mapan. Hubungan
antara elemen-elemen sosial tersebut adalah hubungan timbal-balik atau hubungan dua arah.
Sebagai contoh, misalnya masalah hukum adat yang mempengaruhi segi kehidupan ekonomi
masyarakat atau nelayan tradisional, atau lebih konkrit lagi misalnya bila kita ingin mengetahui
bagaimana pengaruh dari nilai-nilai dalam hukum adat "nedosa" terhadap persepsi masyarakat
tentang perkawinan dalam masyarakat adat Sangihe, sehingga dengan adanya fenomena dalam
satu aspek akan mempengaruhi aspek-aspek lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Masih
banyak permasalahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dsb yang dapat dikaji dengan
menggunakan teori sistem.

1.8 WALTER BUCKLEY (1967)


Melalui karyanya yang berjudul: Sociology and Modern Systems Theory. (Ritzer & Goodman,
2009:351).
Menurut Buckley, ada beberapa manfaat menggunakan teori sistem, yakni:
1. Dapat diterapkan pada semua ilmu perilaku dan ilmu sosial
2. Memiliki beragam level yg dapat diterapkan pada semua skala terbesar sampai skala
terkecil atau yang paling objektif sampai yang paling subjektif.
3. Membahas beragam hubungan antar aspek sosial, tidak parsial.
4. Keseluruhan aspek dipandang dalam konteks proses khususnya terkait dengan
jaringan informasi dan komunikasi.
5. Bersifat integratif.
Buckley memperkenalkan tiga jenis sistem, yaitu: 1) Sistem sosial budaya, 2) Sistem mekanis dan
3) Sistem organis. Dalam sistem mekanis, kesalingketerkaitan antar bagian didasarkan pada
transfer energi, dalam sistem organis kesalingketerkaitan antar bagian lebih didasarkan pada
pertukaran informasi ketimbang pertukaran energi. Dalam sistem sosial budaya,
kesalingketerkaitan lebih didasarkan pada pertukaran informasi.
Dalam memahami sistem sosial, dikenal dua pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan sibernetis dan 2)
Pendekatan Ekuilibrium. Umpan balik merupakan aspek esensial dari pendekatan sibernetis. Friksi,
pertumbuhan, evolusi dan perubahan sosial dapat dipelajari dengan pendekatan sistem sibernetis.
Sedangkan keseimbangan fungsi merupakan esensi dasar pendekatan ekuilibrium.
Teori sistem mengenal dua konsep krusial yaitu: entropi dan negentropi. Entropi adalah
kecenderungan sistem berhenti bekerja dan negentropi adalah kecenderungan sistem pada
struktur yang lebih besar. Sistem dalam suatau masyarakat yang tertutup cenderung entropis,
sementara sistem pada masyarakat yang terbuka cenderung negentropis.
Melalui karyanya yang berjudul: Sociology and Modern Systems Theory. (Ritzer & Goodman,
2009:351).
Ada berbagai manfaat yang diambil dari teori sistem sosiologis Buckley, termasuk kosakata umum
antar berbagai ilmu alam dan ilmu sosial, kemampuannya untuk diaplikasikan (applicability) pada
level mikro maupun makro analisis dunia sosial secara keseluruhan, fokus pada proses, perspektif
integratif, dan orientasi dinamis. Lebih lanjut, variasi dari prinsip-prinsip teori sistem didiskusikan,
termasuk sejauh mana sistem itu terbuka atau tertutup, cenderung surut (entropy), cenderung
mengelaborasi struktur (negentropy), dicirikan oleh umpan balik (feed-back), dan ciri-ciri proses
yang membantu sistem mempertahankan diri (morphotasis) dan tumbuh (morphogenesis). Buckley
mengaplikasikan teori sistem untuk kesadaran, interaksi, dan domain sosiokultural.
Isu utama yang dibahas oleh Buckley adalah apa yang didapatkan sosiologi dari teori sistem.
Pertama, karena teori sistem diturunkan dari ilmu pasti (hard sciences) dan karena teori ini,
setidaknya di mata pendukungnya, dapat diaplikasikan ke semua ilmu sosial dan behavioral, maka
ia mengandung harapan bisa menyatukan ilmu-ilmu itu.
Kedua, teori sistem mengandung banyak tingtkatan dan dapat juga diaplikasikan pada aspek dunia
sosial berskala terbesar dan terkecil, ke aspek yang paling subjektif dan objektif.
Ketiga, teori sistem tertarik dengan keragaman hubungan dari berbagai aspek dunia sosial dan
karena beroperasi terhadap berbagai analisis dunia sosial. Argumen dari teori sistem adalah
bahwa hubungan dari bagian-bagian tidak dapat diperlakukan di luar konteks keseluruhan. Teoritisi
sistem menolak ide bahwa masyarakat atau komponen masyarakat berskala luas lainnya harus
diperlakukan sebagai fakta sosial yang menyatu. Sebaliknya, fokusnya adalah pada hubungan dari
proses-proses pada tingkat yang bervariasi di dalam sistem sosial. Buckley mendeskripsikan
fokus tersebut : Jenis sistem yang kami minati bisa dideskripsikan secara umum sebagai susunan
elemen-elemen atau komponen-komponen yang secara langsung atau tak langsung berkaitan di
dalam jaringan kausal sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen dikaitkan dengan
setidaknya beberapa komponen lain dalam cara yang kurang lebih stabil di dalam periode waktu
(Buckley, 1967:41).
Keempat, pendekatan sistem cenderung menganggap melihat semua aspek sistem sosiokultural
dari segi proses, khususnya sebagai jaringan informasi komunikasi. Kelima, dan mungkin yang
terpenting, teori sistem secara inheren bersifat integratif. Buckley, dalam definisinya tentang
perspektif, memandang perspektif melibatkan integrasi struktur objektif berskala besar, sistem
simbol aksi dan interaksi, serta “kesadaran dan kesadaran diri”.
Dalam kenyataannya, teori sistem sangat akrab dengan integrasi sehingga Buckley mengkrtik
tendensi para sosiolog lainnya yang membuat perbedaan analisis antar-level : kami melihat
kecenderungan dalam kebanyakan sosiologi untuk menekankan pada apa yang dinamakan
“perbedaan analitis” (analytic distinction) antara personalitas” (yang dianggap intracranial), sistem
simbol (kultur), dan matriks sosial (sistem sosial), meski karya aktual dari proponen pembedaan
analisa itu tampak menyesatkan dan atau sering kali tak bisa bertahan dalam praktik (Buckley,
1967:101).
Terakhir, teori sistem cenderung melihat dunia sosial dari sudut dinamis, dengan perhatian yang
berlebihan pada “kemunculan sosiokultural dan dinamika secara umum” (Buckley, 1967:39).
Prinsip Umum
Buckley mendiskusikan hubungan antarsistem sosiokultural, sistem mekanis, dan sistem organis.
Buckley memfokuskan pada penjelasan perbedaan esensial antara sistem-sistem tersebut. Pada
sejumlah dimensi ada suatu kontinum mulai dari sistem mekanis ke sistem organis ke sistem
sosiokultural yang bergerak dari bagian yang kompleksitasnya kecil sampai yang paling besar, dan
dari tingkatan terendah sampai tertinggi yang mana bagian-bagiannya dapat dinisbahkan pada
sistem secara keseluruhan.
Pada dimensi lain, sistem lebih berbeda secara kualitatif ketimbang kuantitatif. Dalam sistem
mekanis, kesalinghubungan dari bagian-bagian tersebut didasarkan pada transfer energi. Dalam
sistem organik, kesalinghubungan dari bagian-bagian tersebut lebih didasarkan pada pertukaran
informasi ketimbang pertukaran energi. Dalam sistem sosiokultural, kesalinghubungan itu bahkan
lebih banvak didasarkan pada pertukaran informasi.
Tiga tipe sistem itu juga berbeda dalam derajat keterbukaan dan ketertutupannya yakni, dalam
derajat pertukaran (interchange) dengan aspek dari lingkungan yang lebih besar. Sistem yang lebih
terbuka lebih mampu merespon secara selektif terhadap lingkungan yang lebih luas dan bervariasi.
Dari sisi ini, sistem mekanis cenderung tertutup, sistem organik cenderung terbuka, dan sistem
sosiokultural adalah yang paling terbuka
Aplikasi untuk Dunia Sosial
Buckley (1967) berpindah dari diskusi prinsip umum ke aspek khusus dari dunia sosial untuk
menunjukkan aplikasi teori sistem. Dia mulai pada tingkat individual, di mana dia sangat terkesan
dengan karya Mead, di mana kesadaran dan tindakan saling berkaitan. Dalam kenyataannya,
Buckley menyusun ulang problematik Meadian dari sudut pandang teori sistem. Tindakan (action)
dimulai dengan sinyal dari lingkungan, yang ditransmisikan ke aktor. Akan tetapi, transisi mungkin
diperumit oleh kekacauan (noise) dalam lingkungan. Saat ia bergerak, sinyal memberi informasi
kepada aktor. Berdasarkan informasi ini, aktor bisa memilih respon. Kuncinya di sini adalah
mekanisme mediasi yang dimiliki aktor yakni kesadaran diri (self-consciousness). Buckley
mendiskusikan kesadaraan diri dalam terminologi teori sistem:
Dalam bahasa sibernetika (cybernetics), kesadaran diri adalah mekanisme umpan balik internal
milik sistem itu sendiri yang bisa dipetakan atau dibandingkan dengan informasi lain dari situasi dan
dari memori, mengizinkan seleksi dari perulangan (repertoire) tindakan yang dilakukan berdasarkan
tujuan dengan mempertimbangkan diri dan perilaku diri sendiri secara implisit (Buckley, 1967:100).
Buckley memandang bahwa kesadaran dan interaksi saling berkaitan dan bahwa levelnya tidak
boleh dipisahkan, dia tetap bergerak dari domain kesadaran ke domain interaksional. Pola interaksi
yakni imitasi dan respon jelas sesuai dengan pandangan sistemik tentang dunia. Yang lebih
penting, Buckley mengaitkan dunia interpersonal secara langsung dengan sistem personalitas; dia
memandang keduanya saling menentukan satu sama lain, Terakhir, Buckley beralih ke organisasi
masyarakat berskala besar, khususnya peran dan institusi, yang dia lihat dari sudut sistemik dan
berhubungan dengan level realitas sosial lainnya.
Buckley menarik kesimpulan dengan mendiskusikan beberapa prinsip umum dari teori sistem
sebagaimana diaplikasikan pada domain sosiokultural. Pertama, teoritisi sistem menerima ide
bahwa ketegangan adalah normal, senantiasa hadir, dan merupakan realitas yang diperlukan
sistem sosial.
Kedua, ada fokus pada sifat dan sumber dari variasi dalam sistem sosial. Penekanan pada
ketegangan dan variasi membuat perspektif sistem menjadi dinamis.
Ketiga, ada perhatian pada proses seleksi di tingkat individual maupun interpersonal di mana
beragam alternatif yang terbuka untuk sistem akan disortir dan disaring. Ini memperbesar
dinamismenya.
Keempat, level interpersonal dipandang sebagai basis pengembangan dari struktur yang lebih
besar. Proses transaksional dari pertukaran, negosiasi, dan tawar-menawar (bargaining) adalah
proses-proses yang memunculkan struktur sosial dan kultural yang relatif stabil.
Terakhir,kendati ada dinamisme di dalam pendekatan sistem, ada pengakuan terhadap proses
pengekalan (perpetuation) dan transmisi. Seperti dikatakan oleh Buckley, “dari transaksi yang
terus-menerus muncullah penyesuaian dan akomodasi yang relatif stabil” (1967:160).
1.9 TALCOTT PARSON
Mengemukakan bahwa sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang
berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Untuk mempelajari
tindakan sosial, maka Parson mendefenisikan empat sistem tindakan, sebagai berikut:
1. Sistem budaya, disebut juga sistem simbolik yang menganalisis "arti", seperti
kepercayaan, agama, bahasa dan nilai-nilai dan konsep sosialisasi. Sosialisasi
mempunyai kekuatan integratif yang sangat tinggi dalam mempertahankan kontrol
sosial dan keutuhan masyarakat.
2. Sistem sosial, yang memandang masyarakat berada dalam interaksi berdasarkan
peran. Sistem sosial selalu terarah pada ekuilibrium.
3. Sistem kepribadian, kesatuan yang paling kecil dipelajari adalah individu yang menjadi
aktor. Fokus kajian disini adalah kebutuhan, motif dan sikap.
4. Sistem organisme, kesatuan yang mendasar pada sistem ini adalah manusia dalam
arti biologis dan lingkungan fisik dimana manusia itu hidup, juga sistem syaraf yang
berkaitan dengan kegiatan motorik dan sistem organ manusia.
Teori Parson di atas dikembangkan oleh Luhmann yang dikenal dengan Teori Sistem Umum
(TSU), sambil mengkritik beberapa hal yang sangat prinsip.
Sejarah
Talcott Parson mempunyai teori yang mengemukakan tentang social cybernatic yang
awalnya di kemukakan oleh Durkheim. Menurut Talcott Parson, masyarakat bukan persamaan
tetapi dapat dikatakan sebagai masyarakat jika mereka dapat mengintegrasikan suatu perbedaan-
perbedaan. Didalam integrasi itu terdapat suatu proses-proses dalam perbedaan. Masyarakat ada
jika sudah terbentuk suatu sistem. Manusia menciptakan suatu hubungan yang bertujuan
menciptakan hal-hal yang terdapat didalam benak kita yang biasa dikatakan dengan super ego.
Tallcot parson mengadakan suatu penelitian yaitu tentang perkembangan masyarakat Eropa.
Dalam hal adanya kekuasaan terhadap gereja. Didalam kekuasaan gereja kelompok yang satu
menghancurkan yang lain. Kekuasaan gereja itu muncul satu mekanisme yang terdapat dalam
hukum dan hukum tersebut telah diterapkan dalam negara tersebut.
Tallcot parson juga berbicara tentang kondisi prasyarat yang artinya menggambarkan
masyarakat melalui proses-proses. Kondisi prasyarat merupakan gambaran yang berjaring-jaring
yang biasa disebut dengan Cyber. Parson sebagai sistem sosial. Esensi sistem sosial menurut
Tallcot Parson disebut dengan Cybernatic. Menurut Tallcot Parson, walaupun kita mempunyai
sebuah konflik tetapi tetap mempunyai tujuan yang jelas.
Menurut pendapat dari Tallcot Parson, masyarakat itu saling keterkaitan dalam menjalankan suatu
hubungan atau interaksi, sehingga kondisi satu merupakan prasyarat dalam kehidupan. Esensi
masyarakat itu berawal dari yang kecil menuju yang lebih besar kemudian menjadi prasyarat.
Terdapat proses-proses yang ditandai dalam 4 fungsi, yaitu sumber ekonomi atau fungsi adaptasi,
yang mendorong fungsi adaptasi adalah menyesuaikan dengan kemampuan. Fungsi adaptasi ini
dijalankan oleh sistem ekonomi. Jika individu mau berkorban maka suatu integrasi membutuhkan
sumber daya.
Yang kedua adalah pencapaian tujuan. Didalam pencapaian tujuan terdapat beberapa suatu tujuan
yang harus dijalankan misalnya menentukan tujuan bersama dari suatu kelompok. Mencari
persamaan visi dan misi didalam suatu kelompok. Misalnya saja negara yang mempunyai fungsi
politik.
Yang ketiga adalah integrasi. Integrasi sebagai hukum yang terdiri dari suatu teks yang tertulis dan
terdapat bukti, kemudian setelah disepakati akan muncul suatu aturan-aturan yang berlaku.
Yang terakhir adalah pemeliharaan pola-pola yang sudah ada. Didalam pemeliharaan pola-pola ini
terdapat fungsi-fungsi yang harus dijalankan. Misalnya dalam sistem budaya yaitu sistem cara
hidup bersama dengan pendidikan yang sudah ada.
Asumsi Parsons terkait dengan tatanan sistem:
Sistem memiliki bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain, sehingga suatu sistem tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Sebagai contoh, sistem tindakan itu mendapat
pengaruh maupun dapat memberi pengaruh pada sistem kepribadian.
Sistem cenderung menjadi tatanan yang memelihara dirinya, dapat menjadi statis/mengalami
proses perubahan secara tertata. Sifat satu bagian sistem berdampak pada bagian yang lain.
Sistem memelihara batas dengan lingkungan mereka. Alokasi & Integrasi adalah 2 proses
fundamental bagi kondisi ekuilibrium sistem. Sistem cenderung memelihara dirinya yang meliputi
pemeliharaan batas & hubungan bagian-bagian dengan keseluruhan, kontrol variasi lingkungan,
dan kontrol kecendrungan untuk mengubah sistem dari dalam.
Sistem harus terstruktur agar dapat menjaga kelangsungan hidupnya dan juga harus harmonis
dengan sistem lain. Sistem juga harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem lain,
artinya suatu sistem tidak dapat berdiri sendiri. Tetapi antara satu sistem dengan sistem lainnya
akan saling terkait. Sistem juga dituntut untuk mampu mengakomodasi para aktornya secara
proporsional (imbang), melahirkan partisipasi yang memadai dari para aktornya, Mampu untuk
mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu, dapat dikendalikan bila terjadi konflik atau
menimbulkan kekacauan dan memiliki bahasa dan aktor sosial.
Menurutnya persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai dan norma ke dalam sistem
ialah dengan sosialisasi dan internalisasi. Pada proses Sosialisasi yang sukses, nilai dan norma
sistem sosial itu akan diinternalisasikan. Artinya ialah nilai dan norma sistem sosial ini menjadi
bagian kesadaran dari aktor tersebut. Akibatnya ketika si aktor sedang mengejar kepentingan
mereka maka secara langsung dia juga sedang mengejar kepentingan sistem sosialnya.
Talcott Parson mengatakan seperti halnya teoretisi neoevolusi lainnya, menunjukkan adanya
perkembangan masyarakat tradisional. Menurut Parsons, masyarakat akan berkembang melalui
tiga tingkatan utama yaitu primitif, intermediate, dan modern.
Dari tiga tahapan ini, oleh Parsons dikembangkan lagi ke dalam sub klasifikasi evolusi sosial
sehingga menjadi lima tingkatan yaitu primitif, advanced primitif and archaic, historic intermediate,
seedbed societies, dan modern societies.
Parsons meyakini bahwa perkembangan masyarakat berkaitan dengan perkembangan keempat
unsur sub-sistem utama yaitu kultural (pendidikan), kehakiman (integrasi), pemerintahan (pencapain
tujuan), dan ekonomi (adaptasi).
Tolak ukur yang digunakan Parsons untuk mendeteksi dan sekaligus membedakan tingkatan
perubahan masyarakat (5 tingkatan) adalah artikulasi pengembangan fungsi integrasinya. Puncak
perkembangan terpenting terhadap fungsi integrasi ini adalah ditemukan bahasa tulisan dan kunci
terhadap sambungan proses evolusi sosial. Penemuan simbol komunikasi bahasa menandai fase
transisi dari masyarakat primitif ke tingkat intermediate. Sedangkan penemuan hukum formal
menandai fase transisi dari intermediate ke masyarakat maju (advanced).
Menurut Talcott Parson, sistem adalah interdepedensi antar bagian, komponen & proses yang
mengatur hubungan-hubungan tersebut. Interpedensi berarti tanpa satu bagian atau komponen
maka akan mengalami guncangan. Suatu sistem akan terintegrasi ke suatu equilibrium.
Teori Sibenertika Parson yaitu sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem
sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Adanya hubungan yang saling
keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.
Gambaran Sistem Sosial
Menurut Talcott Parson, ada 4 syaraf fungsional agar sistem sosial bertahan yaitu Adaptation
(Adaptasi), Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), Integration (Integrasi), dan Latent Pattern
Maintenance (Pemeliharaan Pola Latent).

• Adaptasi atau Penyesuaian : Sistem Sosial harus mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang dihadapi.
• Pencapaian Tujuan Yang Diharapkan : Tujuan individu harus menyesuaikan dengan tujuan
sosial yang lebih besar agar tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan lingkungan sosial.
• Integrasi atau Kebersamaan : Menunjukan adanya solidaritas sosial dari bagian-bagian
yang membentuknya, serta berperannya masing-masing unsur tersebut sesuai dengan
posisinya. Integrasi hanya bisa terwujud jika semua unsur yang membentuk sistem
tersebut saling menyesuaikan.
• Pemeliharaan Pola Latent : Sebagai pemeliharaan pola yang tersembunyi, yang biasanya
berwujud sistem nilai budaya yang selalu mengontrol tindakan-tindakan individu
• Nilai-nilai yang telah disepakati oleh suatu masyarakat akan dapat mengendalikan
keutuhan solidaritas sosial.
Parson mengemukakan bahwa sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang
berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Untuk mempelajari
tindakan sosial, maka Parson mendefenisikan empat sistem tindakan, sebagai berikut:
1. Sistem budaya, disebut juga sistem simbolik yang menganalisis "arti", seperti
kepercayaan, agama, bahasa dan nilai-nilai dan konsep sosialisasi. Sosialisasi
mempunyai kekuatan integratif yang sangat tinggi dalam mempertahankan kontrol
sosial dan keutuhan masyarakat.
2. Sistem sosial, yang memandang masyarakat berada dalam interaksi berdasarkan
peran. Sistem sosial selalu terarah pada ekuilibrium.
3. Sistem kepribadian, kesatuan yang paling kecil dipelajari adalah individu yang menjadi
aktor. Fokus kajian disini adalah kebutuhan, motif dan sikap.
4. Sistem organisme, kesatuan yang mendasar pada sistem ini adalah manusia dalam
arti biologis dan lingkungan fisik dimana manusia itu hidup, juga sistem syaraf yang
berkaitan dengan kegiatan motorik dan sistem organ manusia.
Teori Parson di atas dikembangkan oleh Luhmann yang dikenal dengan Teori Sistem Umum
(TSU), sambil mengkritik beberapa hal yang sangat prinsip.
Tiga Isu Teoritis Talcott Parson
a. Konsepsi Parsons tentang teori induk (grand theory) sebagaimana yang diwantahkan oleh
teori bertindak (action theory)
Bagi Parsons teori sosiologis tidak berdiri sendiri tetapi sangat erat berkaitan dangan ilmu-ilmu
perilaku (behavioral), termasuk ilmu ekonomi dan ppolitik serta beberapa aspek dari biologi,
antropologi serta psikologi.
Parsons setuju terhadap kesatuan ilmu-ilmu perilaku, yang keseluruhannya merupakan suatu studi
tentang sistem yang hidup (living system). Dia mengakui bahwa sistem yang tidak hidup (non-living
system), misalnya kimia-fisika memiliki beberapa ketersendirian indentitas (property) dari sistem
yang hidup itu, tetapi Parsons memilih untuk tidak mengembangkan perbedaan dan kesamaannya.
Dia bergerak terus dengan analisa sistem yang hidup dan menyatakan bahwa “konsep fungsi
merupakan inti untuk memahami semua sistem yang hidup”
b. Kedudukan masyarakat dalam teori bertindak (action theory)
Parsons melihat sistem sosial sebagai komponen dari sistem bertindak yang lebih umum.
Masing-masing dari keempat subsistem tersebut harus memenuhi salah satu dari kebutuhan
fungsional.
Sebagai masalah pokok sosiologi makro, masyarakat hanya merupakan contoh dari sistem sosial,
tetapi merupakan substansi yang paling penting untuk dianalisa; ‘kita membahas masyarakat
sebagai suatu tipe sosial yang ditandai oleh tingkat swadaya tertinggi dalam lingkungannya’.
Parsons menyebut teorinya sebagai teori bertindak, yang menganalisa struktur dan proses
dengan mana manusia membentuk maksud-maksud yang penuh arti dan melaksanakannya.
c. Pemasukan unsur perubahan ke dalam model
Modifikasi yang diterapkan oleh parsons ialah perpindahan dari pengembangan keseimbangan
(yang menekankan stabilitas sistem) ke konsep keseimbangan yang dinamis yang akhirnya
kepada model sibernetika teori sistem yang umum.
Dalam model sibernetika itu Parsons memajukan teori evolusioner yang menjelaskan gerakan
masyarakat dari primitive ke modern melalui 4 proses perubahan structural yang utama yaitu:
diferensiasi, pembaharuan bersifat penyesuaian, adaptif upgrading (pemasukan), dan generalisasi
nilai.
1.10 MENURUT DAVID EASTON (1984:395)
Teori sistem adalah:
“Teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem
dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh,
organisasi pemerintah)”
Easton juga meringkas ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Sistem mempunyai batas yang didalamnya ada saling hubungan fungsional yang terutama
dilandasi oleh beberapa bentuk komunikasi.
2. Sistem terbagi kedalam sub-sub sistem yang satu sama lainnya saling melakukan
pertukaran (seperti antara desa dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah
dengan pemerintah pusat).
3. Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan
masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output).
Menurut Carl. D. Friedrich, dalam buku “Man and His Government” mengemukakan definisi sistem,
yaitu :
Apabila beberapa bagian yang berlainan dan berbeda satu sama lain membentuk suatu kesatuan,
melaksanakan hubungan fungsional yang tetap satu sama lain serta mewujudkan bagian-bagian itu
saling tergantung satu sama lain. Sehingga kerusakan suatu bagian mengakibatkan kerusakan
keseluruhan, maka hubungan yang demikian disebut sistem. (Sukarna, 1981:19).
Michael Rush dan Phillip Althoff (1988:19):
Gejala sosial merupakan bagian dari politik tingkah laku yang konsisten, internal dan reguler dan
dapat dilihat serta dibedakan, karena itu kita bisa menyebutnya sebagai: sistem sosial, sistem
politik dan sejumlah sub-sub sistem yang saling bergantung seperti ekonomi dan politik.
Sebenarnya tiap-tiap sistem yang ada dalam masyarakat itu tidak otonom atau tertutup tetapi
terbuka, dalam arti suatu sistem akan dipengaruhi oleh sistem yang lain. Setiap sistem akan
menerima input dari sistem lainnya dan sistem akan memproses input tersebut dalam bentuk
output bagi sistem lainnya.
Sistem secara luas digunakan dalam ilmu manajemen. Analisa sistem pada konteks manajemen
didasarkan atas penentuan informasi yang terperinci yang dihasilkan setahap demi setahap dari
proses, sehingga diketahui bagaimana sistem bekerja agar memenuhi kebutuhan yang telah
ditentukan, dengan membangun kriteria jalannya sistem agar mencapai optimasi. Dari proses
identifikasi sistem dihasilakan spesifikasi yang terperinci tentang peubah yang menyangkut
rancangan dan proses kontrol. Identifikasi sistem ditandai dengan adanya determinasi kriteria
jalannya sistem yang akan membantu dalam evaluasi alternatif sistem. Kriteria tersebut meliputi
pula penentuan output yang diharapkan, dan mungkin juga perhitungan rasio biaya dan manfaat .
Satu istilah yang sering digunakan masyarakat umum, yang erat kaitannya dengan sistem adalah
“Model”. “Model” adalah rancangan struktur dalam bentuk kecil (small scale representation of
something) yang dapat diperbanyak dan dikembangkan, merupakan suatu abstraksi,
penyederhanaan suatu sistem, atau tiruan yang sederhana dari suatu sistem yang nyata. Model
seringkali digunakan untuk mempelajari sistem .
Dalam konteks pendekatan sistem, dikenal pula “Pendekatan Analitis”. Meskipun bagi sebagian
orang terlihat sebagai “lawan”, namun sesungguhnya pendekatan analitis (the analytic approach)
dan pendekatan sistem (the systemic approaches) lebih sebagai saling melengkapi
(complementary) daripada berlawanan . Pendekatan analitis berupaya memecah suatu sistem ke
dalam elemen-elemen dasar dalam upaya mempelajari secara detail dan memahami tipe dan
interaksi yang ada di antara mereka. Dengan memodifikasi satu variabel, dicoba menduga sifat
umum untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada seluruh sistem dalam satu kondisi yang
berbeda. Sedangkan menurut Prof. Wagiono Ismagil, (1982) mengatakan pendekatan sistem adalah
suatu pendekatan analisis organisasi yang mempergunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak
analisis.
Saat ini telah dikembangkan beberapa metode yang populer yang sesungguhnya diturunkan dari
Teori Sistem, misalnya Analisa Jaringan (network analysis) dan “ECCO analysis”. ECCO adalah
singkatan dari “Episodic Communication Channels in Organization”, yang menganalisis dari
sekumpulan data yang dikumpulkan. Metode ini didesain untuk menganalisa dan memetakan
jaringan komunikasi, mengukur kecepatan alirannya, mempelajari distrosi pesan yang mngkin
terjadi, dan masalah kesia-siaan (redundancy).
CONTOH SISTEM
Sistem juga terjadi di laut yaitu pada saat pasang surut air laut . Sistem ini terbentuk dari kejadian
dalam alam . Pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan
air laut secara berkala yang diakibatkan oleh adanya sistem kombinasi gaya gravitasi dan gaya
tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan.
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal
adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa
tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya
tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan
pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi.
Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari sistem karena dilihat dari proses kejadiannya pasti
menggunakan suatu sistem yang mengakibatkan dapat terjadinya pasang surut air laut. Hal
tersebut juga saling berhubungan dan memiliki tujuan atau fungsi yaitu pasang surut sangat
diperlukan dalam transportasi laut, kegiatan di pelabuhan, pembangunan di daerah pesisir pantai,
dan lain-lain.
Teori sistem sangat berguna dalam public relations karena memberi kita sebuah cara untuk
memikirkan tentang hubungan. Secara umum, teori sistem memandang organisasi sebagai suatu
wadah yang tercipta dari bagian yang saling terkait, yang dapat beradaptasi serta menyesuaikan
diri terhadap perubahan dalam bidang politik, ekonomi, dan lingkungan sosial di mana organisasi itu
beroperasi. Organisasi biasanya memiliki batas yang jelas, di mana di dalamnya harus ada struktur
komunikasi yang mengarahkan setiap bagian organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Pemimpin organisasi bertugas menciptakan dan memelihara struktur internal ini. Grunig, Grunig,
dan Dozier menyatakan bahwa perspektif sistem menekankan adanya saling ketergantungan
organisasi dengan lingkungan mereka, baik lingkungan internal maupun eksternal.
Menurut perspektif sistem, organisasi bergantung pada sumber daya dari lingkungan mereka,
seperti “bahan mentah, sumber pekerja, klien atau konsumen dari layanan yang diberikan, atau
produk yang mereka hasilkan.” Organisasi dengan sistem terbuka menggunakan orang-orang
public relations untuk mencari informasi tentang seberapa produktifkah hubungan mereka dengan
klien, nasabah, dan stakeholder lainnya. Sementara organisasi dengan sistem tertutup tidak
berusaha mencari informasi baru. Pengambil keputusan beroperasi dengan mendasarkan pada
apa yang terjadi pada masa lalu atau berdasarkan keinginan pribadi saja. Organisasi merupakan
bagian yang lebih besar dari lingkungan yang terbuat dari banyak sistem.
Dalam lingkungan sistem akan terdiri komunitas yang berkaitan. Kelompok inilah yang disebut
dengan stakeholder karena “mereka dan organisasi memiliki konsekuensi satu sama lain” mereka
menciptakan masalah dan kesempatan satu sama lain. Kita bisa menggunakan teori sistem ini
tidak hanya untuk menguji kualitas hubungan dengan stakeholder eksternal, tetapi juga untuk
melihat fungsi internal dan stakeholder organisasi kita. Organisasi menyusun pegawai mereka
dengan fungsi dan pekerjaan yang spesifik. Banyak departemen yang berbeda, seperti akuntansi,
hukum, dan public relations membuat sendiri fungsi manajerialnya. Fungsi produksi dari sebuah
organisasi adalah karya dari semua pekerja, termasuk pekerja yang cakap atau kurang cakap,
yang menghasilkan sesuatu atau memberikan layanan kepada konsumen. Sementara fungsi
pemasaran dilakukan oleh para staf penjualan. Semua pekerja dari unit yang berbeda ini
sesungguhnya saling bergantung satu sama lain.
2. TEORI STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL
Asumsi teori struktural fungsional adalah masyarakat pada dasarnya merupakan suatu sistem
yang terdiri dari bagian-bagian (sub-sistem) yang saling berhubungan satu sama lain. Teori
struktural fungsional mula-mula tumbuh dari cara melihat masyarakat yang dianalogikan dengan
organisme biologis. Masyarakat maupun organisme biologis sama-sama mengalami pertumbuhan.
Tiap bagian yang tumbuh di dalam masyarakat memiliki fingsi dan tujuan tertentu. Pendekatan
struktural fungsional dalam kaitannya dengan perilaku manusia, menolak gagasan-gagasan
tentang jiwa, spirit, kemauan, pikiran, introspeksi, kesadaran, subjektivitas, dan sebagainya, karena
konsep-konsep itu tidak dapat diamati secara objektif. Dengan kata lain, pendekatan ini terhadap
manusia berusaha mengukur pengaruh struktur sosial terhadap identitas, respons dan perilaku
manusia melalui peran (role), sosialisasi, dan keanggotaan kelompok mereka. Pendekatan ini jelas
menekankan orientasi peran dalam arti bahwa teori itu memandang manusia pada dasarnya
ditentukan secara sosial (socially-determined).
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam
ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu
August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat
dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis
yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan
hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan
pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan
sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana
pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan
pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer
dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga
akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi
panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh
kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim
mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian
bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing masing
yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain
dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem.
Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai
struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga
membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber.
Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

• Visi substantif mengenai tindakan sosial dan


• Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons
dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
Teori fungsionalisme struktural mengutarakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem sosial yang
terdiri dari bagian dan struktur-struktur yang saling berkaitan dan saling membutuhkan
keseimbangan, fungsionalisme struktural lebih mengacu pada keseimbangan. Teori ini menilai
bahwa semua sistem yang ada di dalam masyarakat pada hakikatnya mempunyai fungsi
tersendiri. Suatu struiktur akan berfungsi dan berpengaruh terhadap struktur yang alin. Maka dalam
hal ini, semua peristiwa pada tingkat tertentu seperti peperangan, bentrok, bahkan sampai
kemiskinan pun mempunyai fungsi tersendiri, dan pada dasarnya dibutuhkan dalam masyarakat .
Pelopor teori ini adalah Robert K. Merton, beliau berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi
adalah fakta sosial, seperti proses sosial, organisasi kelompok, pengendali sosial, dan sebagainya.
Suatu pranata atau sistem tertentu bisa dikatakan fungsional bagi suatu unit sosial tertentu, dan
sebaliknya, suatu institusi juga bisa bersifat disfungsional bagi unit sosial yang lain
Penganut teori fungsional ini memandang bahwa segala pranata sosial yang ada dalam
masyarakat itu bersifat fungsional dalam artian positif dan negatif. Sebagai contoh: lembaga
pendidikan, ini berfungsi dan sangat penting dalam masyarakat, terutama untuk memajukan
kualitas pendidikan di negeri ini. Lembaga pendidikan memberikan pengajaran dan ilmu-lmu
pengetahuan untuk para generasi muda penerus bangsa. Dalam hal ini, lembaga pendidikan
bersifat fungsional, dan manjurus pada artian yang positif. Kemudian perampok, dan pelaku
kriminalitas, pada dasarnya pelaku kriminalitas selain merugikan masyarakat, juga mempunyai
fungsi tersendiri. Bayangkan saja jika tidak ada pelaku kriminalitas, apa yang akan dikerjakan dan
ditangani oleh para polisi? Otomatis mereka juga tidak mempunyai job untuk menghasilkan
tambahan uang. Meskipun bagi orang yang menjadi korban juga merupakan suatu kerugian
tersendiri. Bagitulah dalam kehidupan masyarakat, memang saling berkesinambungan, mempunyai
suatu akibat dan fungsi-fungsi tersendiri.
Ciri dari jenis teori ini (meskipun istilah fungsional dan struktural barangkali tidak tepat) adalah
adanya kepercayaan atau pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yg berada di
luar diri pengamat. Menurut pandangan ini, seorang pengamat adalah bagian dari struktur. Oleh
karena itu cara pandangnya juga akan dipengaruhi oleh struktur yg berada di luar dirinya.
CIRI- CIRI STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL
Menurut Sendjaja (1994: 32) mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri
sebagai berikut:
1. sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling
berkaitan;
2. adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa
mempengaruhi sistem;
3. adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem;
4. adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan
5. adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-
cirinya untuk menjaga eksistensi sistem.

2.1 TEORI FUNGSIONALISME PARSONS


Suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya
merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi
oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan setelah
depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan
kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons
dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): untuk melihat
masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti
yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif,
dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki. Talcott Parsons
melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya, Parsons menganalogikan
perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen
utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berpendapat bahwa setiap
masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun
berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah,
umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk
menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang
memandang optimis sebuah proses perubahan.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi suatu
kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu
mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem
yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat
adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling
memiliki ketergantungan.
Sejarah
Suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu,
teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu
dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan
setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan
kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons
dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): untuk melihat
masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti
yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif,
dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki.
Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para
pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya
pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses
diferensiasi.
Tokoh
Fungsionalisme struktural diperkenalkan dan dikembangkan oleh Talcot Person dan Robert
K. Merton sebagai tradisi teoritik dalam kajian-kajian kemasyarakatan khususnya yang
menyangkut sturktur dan fungsi masyarakat.
Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori stratifikasi sosial yang
diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert Moore (1945). Namun dalam perkembangannya teori
ini telah mengalami kemerosotan khususnya pada empat dekade terakhir dan akhirnya hanya
bermakna historis, untuk kemudian dikembangnya menjadi neo-fungsionalime oleh Zevry
Alexander pada tahun 1980an.
Buah Pikir
Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang
berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat
yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan
kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan
Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan. Asumsi
dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi suatu kesatuan atas
dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi
perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang
secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah
merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling memiliki
ketergantungan.
Perkembangan
Teori Fungsionalisme Struktural mempunyai latar belakang kelahiran dengan
mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial
dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat. Teori
Fungsionalisme Struktural Parsons mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap
perubahan dan kelangsungan suatu sistem. Akan tetapi optimisme Parson itu dipengaruhi oleh
keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi yang
parah itu. Parson memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme structural
dengan menjelaskan beberapa asumsi yaitu system mempunyai property keteraturan dan bagian-
bagian yang saling tergantung, system cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan
diri atau keseimbangan., system bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses perubahan
yang teratur., sifat dasar bagian suatu system akan mempengaruhi begian-bagian lainnya, system
akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya, alokasi dan integrasi merupakan ddua hal
penting yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan system, system cenderung menuju
kerah pemeliharaan keseimbangan diri.
Teori fungsional ini menganut faham positivisme, yaitu suatu ajaran yang menyatakan
bahwa spesialisasi harus diganti dengan pengujian pengalaman secara sistematis, sehingga dalam
melakukan kajian haruslah mengikuti aturan ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian, fenomena
tidak didekati secara kategoris, berdasarkan tujuan membangun ilmu dan bukan untuk tujuan
praktis. Analisis teori fungsional bertujuan menemukan hukum-hukum universal (generalisasi) dan
bukan mencari keunikan-keunikan (partikularitas). Dengan demikian, teori fungsional berhadapan
dengan cakupan populasi yang amat luas, sehingga tidak mungkin mengambilnya secara
keseluruhan sebagai sumber data. Sebagai jalan keluarnya, agar dapat mengkaji realitas universal
tersebut maka diperlukan representasi dengan cara melakukan penarikan sejumlah sampel yang
mewakili.
Dengan kata lain, keterwakilan (representatifitas) menjadi sangat penting.Walaupun
fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli
pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan
suatu kajian tentang struktur-struktur sosial sebagai suatu unit-unit yang terbentuk atas bagian-
bagian yang saling terkait.
Pendekatan fungsionalisme-struktural dapat dikaji melalui anggapan-anggapan dasar berikut :
a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain.
b. Hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik
c. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapi dengan sempurna, namun secara
fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah keseimbangan yang
bersifat dinamis.
d. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan,
disfungsi dan penyimpangan.
e. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahan-lahan atau
bertahap), melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
f. Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah konsensus
atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu.
Demi memudahkan kajian teori-teori yang digagas oleh Parsons, Peter Hamilton
berpendapat bahwa Teori Parsonian dapat dibagi kedalam 3 fase:

• Fase Permulaan. Fase ini berisi tahap-tahap perkembangan atas teori Voluntaristik (segi
Kemauan) dari tindakan sosial dibandingkan dengan pandangan-pandangan sosiologi
yang positivistis, utilitarian, dan reduksionis.
• Fase Kedua. Fase ini berisi gerakannya untuk membebaskan diri dari kekengan teori
tindakan sosial yang mengambil arah fungsionalisme struktural ke dalam pengembangan
suatu teori tindakan kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting.
• Fase Ketiga. Fase ini terutama mengenai model sibernetik (elektronik pengendali) dari
sistem-sistem sosial dan kesibukannya dengan masalah empiris dalam mendefinisikan dan
menjelaskan perubahan sosial.

Dari ketiga fase tersebut, dapat dinyatakan bahwa Parsons telah melakukan tugas penting, yaitu:
Ia mencoba untuk mendapatkan suatu penerapan dari sebuah konsep yang memadai atas
hubungan-hubungan antara teori sosiologi dengan ekonomi. Ia juga mencari kesimpulan-
kesimpulan metodologis & epistemologis dari apa yang dinamakan sebagai konsep sistem
teoretis dalam ilmu sosial. Ia mencari basis-basis teoretis dan metodologis dari gagasan tindakan
sosial dalam pemikiran sosial.
Dalam mengkategorikan tindakan atau menggolongkan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial,
Parsons mengembangkan 5 buah skema yang dilihat sebagai kerangka teoritis utama
dalam analisa sistem sosial. 5 buah skema itu adalah:
Affective versus Affective Neutrality, maksudnya dalam suatu hubungan sosial, orang
dapat bertindak untuk pemuasan Afeksi (kebutuhan emosional) atau bertindak tanpa unsur
tersebut (netral).
Self-orientation versus Collective-orientation, maksudnya, dalam berhubungan,,
orientasinya hanya pada dirinya sendiri atau mengejar kepentingan pribadi. Sedangkan dalam
hubungan yang berorientasi kolektif, kepentingan tersebut didominasi oleh kelompok.
Universalism versus Particularism, maksudnya, dalam hubungan yang universalistis, para
pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat diterapkan kepada semua orang.
Sedangkan dalam hubungan yang Partikularistis, digunakan ukuran/kriteria tertentu.
Quality versus Performance, maksudnya variable Quality ini menunjuk pada Ascribed
Status (keanggotaan kelompok berdasarkan kelahiran/bawaan lahir). Sedangkan Performance
(archievement) yang berarti prestasi yang mana merupakan apa yang telah dicapai seseorang.
Specificity versus Diffusness, maksudnya dalam hubungan yang spesifik, individu
berhubungan dengan individu lain dalam situasi terbatas .
Fungsi dikaitkan sebagai segala kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi kebutuhan
atau kebutuhan-kebutuhan dari sebuah sistem. Ada empat persyaratan mutlak yang harus ada
supaya termasuk masyarakat bisa berfungsi. Keempat persyaratan itu disebutnya AGIL. AGIL
adalah singkatan dari Adaption, Goal, Attainment, Integration, dan Latency. Demi keberlangsungan
hidupnya, maka masyarakat harus menjalankan fungsi-fungsi tersebut, yakni, Adaptasi
(adaptation): supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya, Pencapain tujuan (goal attainment):
sebuah sistem harus mampu menentukan tujuannya dan berusaha mencapai tujuan-tujuan yang
telah dirumuskan itu, Integrasi (integration): masyarakat harus mengatur hubungan di antara
komponen-komponennya supaya dia bisa berfungsi secara maksimal, dan Latency atau
pemeliharaan pola-pola yang sudah ada: setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki,
dan membaharui baik motivasi individu-individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan
mepertahankan motivasi-motivasi itu.
Sistem Tindakan. Sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang
berhubungan satu sama lain. Kesatuan antara bagian itu pada umumya mempunyai tujuan
tertentu. Dengan kata lain, bagian-bagian itu membentuk satu kesatuan (sistem) demi tercapainya
tujuan atau maksud tertentu, seperti halnya, Sistem organisme biologis (aspek bilogis manusia
sebagai satu sistem), dalam sistem tindakan berhubungan dengan fungsi adaptasi yakni
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan kebutuhan, Sistem
kepribadian, melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan merumuskan tujuan dan
menggerakkan seluruh sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan itu, Sistem sosial berhubungan
dengan fungsi integrasi dengan mengontrol komponen-komponen pembentuk masyarakat itu, dan
Sistem kebudayaan berhubungan dengan fungsi pemeliharaan pola-pola atau struktur-struktur
yang ada dengan menyiapkan norma-norma dan nilai-nilai yang memotivasi mereka dalam
berbuat sesuatu.
Didalam skema tindakan, terdapat empat komponen skema tindakan yang di kemukakan
oleh Talcott Parsons, yang pertama yaitu Pelaku atau actor, dalam artian aktor atau pelaku ini
dapat terdiri dari seorang individu atau suatu koletifitas. Parsons melihat aktor ini sebagai
termotivisir untuk mencapai tujuan.
Yang kedua yaitu Tujuan (goal) dalam artian tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras
denga nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.
Yang ketiga yaitu Situasi dalam artian tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi
dalam situasi. Hal-hal yang termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi.
Yang ke empat yaitu Standar-standar normative dalam artian ini adalah skema tindakan
yang paling penting menurut Parsons. Guna mencapai tujuan, aktor harus memenuhi sejumlah
standar atau aturan yang berlaku. Perubahan Sosial. Konsep perubahan sosial Parsons bersifat
perlahan-lahan dan selalu dalam usaha untuk menyesuaikan diri demi terciptanya kembali
equilibrium. Dengan kata lain, perubahan yang dimaksudkan oleh Parsons itu bersifat evolusioner
dan bukannya revolusioner.
Pendekatan fungsionalisme-struktural dapat dikaji melalui anggapan -anggapan dasar yaitu,
Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu
sama lain, Hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal
balik, Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapi dengan sempurna, namun secara
fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah keseimbangan yang bersifat dinamis,
Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan
penyimpangan, Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahan-lahan
atau bertahap), melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner, Faktor paling
penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah konsensus atau mufakat di antara
para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Fungsionalisme Struktural Talcot Person
Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi penting untuk
semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil ini kemudian dikembangkan
pemikiran mengenai struktur dan sistim.
Menurut Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan
tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person yakin bahwa ada empat fungsi penting
yang diperlukan semua sistim yang dinamakan AGIL yang antara lain adalah :
Adaptation (adaptasi).
Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
Goal attainment (pencapaian tujuan).
Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya.
Integration (integrasi).
Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistim
juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).
Latency (pemeliharaan pola
Sebuah sistim harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu
maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Agar dapat tetap bertahan, maka suatu sistim harus mempunyai keempat fungsi ini.
Parson mendisain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam sistim teorinya, yang
aplikasinya adalah sebagai berikut :

• Organisme perilaku adalah sistim tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan
menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal.
• Sistim kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan
sistim dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya.
• Sistim sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang
menjadi komponennya.
• Sistim kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor
seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.
Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang diciptakannya.
Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah lingkunagn fisik dan organisma,
meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi, dan fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi
dalam sistim tindakan adalah realitas terakhir yang mungkin dapat berupa kebimbangan, ketidak
pastian, kegelisahan, dan tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di antara
dua lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh Parson meliputi
organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim kultutral. Semua pemikiran Parson
tentang sistim tindakan ini didasarkan pada asumsi-asumsi beikut :
1. Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling bergantung.
2. Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan.
3. Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4. Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
5. Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya.
6. Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk
memelihara keseimbangan sistim.
7. Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi
pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan
kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan
kecenderungan untuk merubah sistim dari dalam.
Dari asumsi-asumsi inilah Parson menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada
prioritas utama. Parson sedikit sekali memperhatikan masalah perubahan sosial. Keempat sistim
tindakan ini tidak muncul dalam kehidupan nyata; tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk
menganalisis kehidupan nyata.
Secara umum semua teori Parson dianggap pasif dan konservatif. Untuk menepis semua tuduhan
yang dialamatkan kepadanya, Parson memperlihatkan sisi dinamis yang berubah-ubah ke dalam
teorinya melalui gagasannya tentang media pertukaran umum di dalam dan di antara empat sistim
tindakannya. Media pertukaran umum itu bisa berujud material maupun simbolik, di antaranya
adalah uang, kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen terhadap nilai. Namun Parson lebih
menekankan pada kualitas simbolik daripada aspek materialnya. Uang sebagai media pertukaran
umum, sangat berperan sebagai medium di dalam perekonomian, dan juga dalam membangun
hubungan sosial sistim kemasyarakatan, termasuk juga membangun kekuasaan politik melalui
sistim politik. Inilah yang memberikan dinamisme terhadap sebagian besar analisis struktural
Parson.

2.2 TEORI STRUKTURAL FUNGSIONALISME EMILE DURKHEIM


Menurut Emile Durkheim fungsionalisme struktural lahir sebagai perspektif yang berbeda
dalam sosiologi, karena masyarakat modern memiliki seperangkat kebutuhan dan fungsi-fungsi
tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan
normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang
suatu keadaan yang bersifat "patologis".
Dalam analisa fungsionalis nya, Durkheim mendasarkan teori nya pada kohesi sosial atau
solidaritas dan pada dua kebutuhan sosial yang khusus, yakni peraturan dan integrasi].
Hipotesanya adalah bahwa masyarakat yang ditandai oleh terlalu banyak atau terlalu sedikit
peraturan dan integrasi akan memperoleh tingkat bunuh diri yang agak tinggi. Karena ikatan yang
terlalu kuat terhadap integrasi yang terlau tinggi bisa menyebabkan bunuh diri. Misalnya, di dalam
suatu masyarakat yang sederhana, seorang pemuda dianggap pengecut oleh teman-temannya,
dan angapan-anggapan itu memalukan anak muda itu, ia malu terhadap masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai keberanian. Oleh karena rasa malu itu, ia akhirnya bunuh diri.
Teori struktural fungsionalis ini pada awal nya memang pemikiran Durkheim, akan tetapi di
pengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai
analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan
dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang
menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism. Karena dipengaruhi oleh comte dan
herbert, maka Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di
dalamnya terdapat bagian bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut
mempunyai fungsi masing masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut
saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka
akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam
teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional.
Fokus Durkheim pada fakta-fakta sosial level makro merupakan salah satu alasan kenapa
karyanya memiliki peran sentral dalam perkembangan fungsionalisme struktural. Akan tetapi,
apakah Durkheim seorang fungsionalis atau tidak, masih bisa di perdebatkan dan tergantung pada
bagaimana kita mendefinisikan Fungsionalisme.
Fungsionalisme bisa di definisikan dalam dua cara yang berbeda, yaitu pengertian yang
lemah dan pengertian yang kuat. Kingsley Davis merujuk pada pengertian yang lemah "bahwa
fungsionalisme adalah suatu pendekatan yang menyatukan masyarakat secara keseluruhan dan
menyatukan antara satu dengan yang lainnya". Sementara pengertian yang kuat di berikan oleh
Turner dan Maryanski "bahwa fungsionalime adalah sebuah pendekatan yang berdasarkan pada
analogi masyarakat dengan organisme biologis, dan menjelaskan struktur sebagian masyarakat
berdasarkan kebutuhan secara menyeluruh".
Dalam pengertian kedua nya, Durkheim menjadi fungsionalis secara tidak langsung dan
bisa dikatakan kebetulan. Durkheim tidak menolak analogi antara organismebiologis dan struktural
sosial, akan tetapi, ia tidak percaya bahwa sosiolog bisa menyimpulkan hukum sosiologis dengan
analogi biologi, Durkheim menyebutnya dengan kesimpulan yang tidak berguna.
Durkheim berpendapat bahwa membedakan fungsi-fungsi berdasrkan sebab-sebab
historis fakta sosial. Hipotesis awal Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial mungkin memiliki
fungsi-fungsi tertentu dan ia mengakui bahwa beberpa fakta sosial adalah kebetulan sejarah. Oleh
karena itu, kebutuhan sebagian masyarakat bisa ditentukan dengan memepelajari masyarakat
dengan pendekatan fungsionalis walaupun mesti didahului oleh studi historis.
Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki
realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi
tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan
normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang
suatu keadaan yang bersifat patologis. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi
merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu
fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan
akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem
politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan.
Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada
akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan.
Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu
sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau
perubahan sosial.

2.3 BRONISLAW MALINOWSKI DAN A.R. RADCLIFFE-BROWN


Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai
organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa
fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa konsep
dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai
fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer : Fungsi dari
setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan,
adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan,
karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural
(Radcliffe-Brown (1976:505).
Fungsionalisme-Struktural Radcliffe-Brown, adalah teori yang menggagasan mengenai sebuah
kerangka kerja yang menggambarkan konsep-konsep dasar yang berkaitan dengan struktur sosial
dari peradaban masyarakat tertentu.
Gagasan mengenai teorinya tersebut terlihat pada karangannya “The Andaman Islanders”(1922),
yang berbicara mengenai gagasan dan pandangannya terhadap kehidupan sosial kebudayaan.
Dalam karyanya tersebut ia menggunakan suatu diskripsi etnografi yang terintegrasi secara
fungsional, deskripsi etnografi The Andaman Islanders merupakan suatu contoh dari suatu
deskripsi terintegrasi secara fungsional, di mana berbagai upacara agama dikaitkan dengan
mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, dan di mana pengaruh dan efeknya
terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu komunitas desk Andaman yang kecil,
menjadi tampak jelas. Ia merumuskan metode pendiskripsian terhadap karangan etnografi. Salah
satunya ialah melalui aspek upacara, yang dirumuskan kedalam beberapa bagian seperti berikut:
Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sintimen dalam jiwa
warganya yang merangsang mereka untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan mereka.Tiap
unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek
pada solidaritas masyarakat menjadi pokok orientasi dari sentimenn tersebut.
Sentimen itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai pengaruh hidup warga
masyarakat.Adat istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat
diekspresikan secara kolektif dan berulang pada saat tertentu. Ekspresi kolektif dari sentimen
memelihara intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat dan bertujuan meneruskan kepada warga
generasi berikutnya.
Brown juga menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu
keyakinan, adat, atau pranata kepada solidaritas sosial dalam masyarakat tersebut. Dengan
demikian pendirian Radcliffe-Brown mengenai fungsi sosial, pada dasarnya sama dengan
pendapat yang dikemukakan Malinowski mengenai fungsi dalam tingkat abstraksi ketiga, yaitu
pengaruh efek dari suatu upacara keagamaan atau dongeng mitologi terhadap kebutuhan mutlak
untuk berlangsungnya secara berintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
2.4 COSER DAN ROSENBERG (1976: 490)
Melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan
konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu
batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk
pada seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola, atau suatu sistem dengan pola-
pola yang relatif abadi.Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama, atau pemerintahan,
termasuk struktur kelembagaan partai politik adalah contoh dari struktur atau sistem sosial yang
masing-masing merupakan bagian yang saling bergantungan satu sama lain (norma-norma
mengatur status dan peranan) menurut beberapa pola tertentu.
Coser dan Rosenberg (1976: 490) membatasi fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi dari setiap
kegiatan sosial yang tertuju pada adaptasi penyesuaian suatu struktur tertentu dari bagian-bagian
komponennya. Dengan demikian fungsi menunjuk kepada proses dinamis yang terjadi di dalam
struktur itu. Hal ini melahirkan masalah tentang bagaimana berbagai norma sosial yang mengatur
status-status, ini memungkinkan status-status tersebut saling berhubungan satu sama lain dan
berhubungan dengan sistem yang lebih luas.

2.5 DI TAHUN 1959 KINGSLEY DAVIS


Dalam pidato kepemimpinannya di hadapan anggota American Sociological Association, bahkan
melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi
dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori fungsionalisme
struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa para pendukungnya untuk
mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang potensi teori tersebut sebagai teori
pemersatu dalam sosiologi. Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme struktural telah
berkuasa sebagai suatu paradigma atau model teoritis yang dominan di dalam sosiologi
kontemporer Amerika.
Kingsley Davis dan Wilbert Moore
Menurut mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial merupakan
fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua
masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga memerlukan stratifikasi.
Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada
stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).
Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan
bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana
cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat. Secara
stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu dan
membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.
Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,

• Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain


• Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi
yang lain
• Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting
untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik.
Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang menempati
posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka
masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-
berainya masyarakat.
Adapun kritik terhadap Teori Stratifikasi Struktural-Fungsional ialah :

• Teori ini menolak keberadaan masyarakat tanpa kelas pada waktu kapanpun.
• Teori ini melanggengkan orang yang pada keadaan awal telah memiliki kekuasaan, prestise
dan uang.
• Posisi penting yang disebutkan dalam teori ini merupakan sesuatu yang relatif satu dengan
yang lain.
2.6 TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL ROBERT K. MERTON
Sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan
pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang
mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah
membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme
struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada
saat yang sama Merton tetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya
mampu melahirkan suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap
lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan (Merton, 1975: 30). Di
dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model fungsionalisme struktural Merton ini
adalah merupakan pernyataan yang paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia
dewasa ini.Model analisa fungsional Merton merupakan hasil perkembangan pengetahuan yang
menyeluruh dari teori-teori klasik yang menggunakan penulis besar seperti Max Weber.
Pengaruh Weber dapat dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton
(1957: 195-196) mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern :
(1). Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal;
(2). Meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas;
(3). Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi;
(4). Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis;
(5). Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis;
(6). Berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang
terbatas serta terperinci;
(7). otoritas pada jabatan, bukan pada orang;
(8). hubungan-hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal. Organisasi-organisasi
yang berskala besar, termasuk universitas atau akademi, memberikan ilustrasi yang baik
tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton.
Paradigma analisa fungsional Merton, mencoba membuat batasan-batasan beberapa konsep
analitis dasar dari bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang
terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga postulat yang terdapat
di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu.
Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu
keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan
atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang
tidak dapat diatasi atau diatur (Merton, 1967: 80). Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsioanal
yang sempurna dari suatu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Sebagai contoh dia
mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok
(menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional (mempercepat
kehancuran) bagi kelompok lain. Para sesepuh sosiologi melihat agama, misalnya, sebagai suatu
unsur penting (kalau tidak esensial) di dalam masyarakat. Kita memiliki banyak contoh di mana
agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, kita juga mempunyai banyak kasus
di mana agama memiliki konsekuensi disintegratif.
Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya
karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Sebagai contoh, beliau
juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok (masyarakat Katolik atau
Protestan di kota Belfast, misalnya) dapat tidak fungsional bagi keseluruhan bagi kota Belfast. Oleh
karena itu batas-batas kelompok yang dianalisa harus diperinci.
Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal, terkait dengan postulat pertama. Fungsionalisme
universal menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki
fungsi-fungsi positif (Merton, 1967: 84), seperti apa yang telah kita ketahui Merton memperkenalkan
konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsioanal.
Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria
keseimbangan konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences), yang menimbang
fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama yang dicontohkan
tadi, seorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan
kemudian menetapkan keseimbangan di antara keduanya.
Postulat ketiga melengkapi trio postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability. Ia
menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan
kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan,
dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai
keseluruhan (Merton, 1967: 86).

2.7 TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL SEBAGAIMANA GARNA (1996: 54)


Mmengemukakan, Pertama, bahwa fungsionalisme sebagai kaidah atau teori dapat menjelaskan
gejala-gejala dan institusi sosial dengan memfokuskan kepada fungsi yang dibentuk dan disusun
oleh gejala sosial dan institusi sosial tersebut. Dari sisi kaidah tersebut, maka fungsional
memperhatikan sistem dan pola komunikasi sebagai fakta sosial (social facts). Kedua, struktur
sosial merujuk pada pola hubungan dalam setiap satuan sosial yang mapan dan sudah memiliki
identitas sendiri; sedangkan fungsi merujuk pada kegunaan atau manfaat dari tiap satuan sosial
tadi.
Garna mengemukakan bahwa konsep struktur sosial merupakan dasar atau teras bagi
pendekatan struktural-fungsional, yang diajukan oleh para antropolog Inggris. Aliran struktural
fungsional dalam antropologi yang dikembangkan oleh A.R. Radcliffe Brown, mengembangkan
aliran ini dengan pra anggapan bahwa masyarakat analogi dengan organisme yang bekerja secara
mekanik. Menurut Radcliffe Brown15, bahwa masyarakat itu semacam organisme yang bagian-
bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan,
stabilitas dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan demikian masyarakat itu mempunyai syarat-
syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Syarat-syarat tersebut adalah:
1) Jaminan adanya hubungan yang memadai dengan lingkungan dan adanya rekruitmen
seksual;
2) Diferensiasi peran dan pemberian peran;
3) Komunikasi;
4) Perangkat tujuan yang jelas dan disangga bersama;
5) Pengaturan normatif atas sarana-sarana;
6) Pengaturan ungkapan efektif;
7) Sosialisasi; dan
8) Kontrol efektif atas perilaku disruptif.
Salah satu konsep yangmMenurut Garna, dasar penting dalam struktur sosial adalah relasi-relasi
sosial yang apabila relasi-relasi tersebut tidak dilakukan maka masyarakat itu tidak akan berwujud
lagi. Lebih lanjut Garna menyatakan bahwa struktur sosial juga dapat ditinjau dari segi status,
peranan, nilai-nilai, norma-norma dan institusi sosial dalam suatu sistem relasi. Brown23
menyatakan bahwa struktur sosial adalah keseluruhan relasi sosial yang terwujud dalam suatu
masyarakat. Brown menganalogikan struktur sosial dengan organisme biologis yang memiliki
kesatuan yang sungguh ada yang dipersatukan oleh seperangkat relasi.
Hal yang paling esensial dalam organisasi sosial adalah proses pemben tukan kelompok sosial
serta sistem dan fungsi interelasi yang terkandung di dalamnya. Organisasi sosial adalah
penyusunan dari aktivitas dari dua orang atau lebih yang disesuaikan n untuk menghasilkan
kesatuan aktivitas yang merupakan satu kerjasama. Garna menjabarkan organisasi sosial sebagai:
9) Suatu tindakan yang tertata melalui aktivitas sosial, tindakan itu terkait satu sama lainnya;
10) Susunan kerja suatu masyarakat atau dapat dikatan proses penyusunan suatu tindakan
dan hubungannya menurut tujuan sosial yang dapat diterima oleh umum atau
masyarakat; dan
11) Aspek kerjasama yang mendasar yang menggerakkan tingkah laku individu pada tujuan
sosial dan ekonomi tertentu.
2.8 MENURUT SANDJADJA (1994: 32)
Mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut:
(1). Sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling
berkaitan;
(2). Adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa
mempengaruhi sistem;
(3). Adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem;
(4). Adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan
(5). Adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-
cirinya untuk menjaga eksistensi sistem.
2.9 FRANCESCA CANCIAN
Memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan
persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang
sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk
sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau
keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa
depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan
dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa
waktu lampau.

2.10 TEORI STRATIFIKASI STRUKTURAL FUNGSIONAL KINGSLEY DAVIS


DAN WILBERT MOORE
Menurut mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial merupakan
fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua
masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga memerlukan stratifikasi.
Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada
stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).
Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan
bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana
cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat. Secara
stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu dan
membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.
Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,

• Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain


• Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi
yang lain.
• Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting
untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik.
Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang menempati
posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka
masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-
berainya masyarakat.
2.11 HERBERT SPENCER
Herbert Spencer (1820-1903) adalah seorang filsuf Inggris yang terkenal untuk menerapkan teori
seleksi alam kepada masyarakat . Dia dalam banyak hal pertama fungsionalis sejati sosiologis.
Bahkan, sementara Durkheim secara luas dianggap sebagai fungsionalis paling penting di antara
teori positivis, hal ini juga diketahui bahwa banyak dari analisis nya diambil dari membaca karya
Spence , khususnya Prinsip tentang Sosiologi (1874-1896). Spencer menyinggung masyarakat ke
analogi tubuh manusia. Sama seperti bagian struktural dari tubuh manusia - kerangka , otot , dan
berbagai organ internal - fungsi independen untuk membantu seluruh organisme hidup , struktur
sosial bekerja sama untuk melestarikan masyarakat.
Sementara sebagian besar menghindari tugas-tugas membosankan membaca volume besar
Spencer ( diisi seperti mereka dengan ayat-ayat yang panjang memberi penjelasan analogi organik
, dengan mengacu pada sel-sel , organisme sederhana , hewan , manusia dan masyarakat ) , ada
beberapa informasi penting yang telah diam-diam mempengaruhi banyak kontemporer teori ,
termasuk Talcott Parsons , dalam karya awalnya The Structure of Social Action ( 1937) .
Antropologi budaya juga konsisten menggunakan fungsionalisme .
Model evolusi ini , tidak seperti kebanyakan teori evolusi abad ke-19 , adalah siklus, dimulai dengan
diferensiasi dan meningkatkan komplikasi dari ( istilah Spencer untuk sistem sosial ) "super -
organik" organik atau badan , diikuti oleh negara fluktuasi keseimbangan dan ketidakseimbangan (
atau keadaan penyesuaian dan adaptasi ) , dan , akhirnya , tahap disintegrasi atau pembubaran .
Mengikuti prinsip-prinsip populasi Malthus Thomas ' , Spencer menyimpulkan bahwa masyarakat
terus menghadapi tekanan seleksi ( internal dan eksternal ) yang memaksanya untuk beradaptasi
struktur internal melalui diferensiasi .
Setiap solusi , bagaimanapun, menyebabkan satu set baru tekanan seleksi yang mengancam
kelangsungan hidup masyarakat . Perlu dicatat bahwa Spencer bukan determinis dalam arti bahwa
ia tidak pernah mengatakan bahwa

• Tekanan seleksi akan dirasakan pada waktunya untuk mengubah mereka ;


• Mereka akan merasa dan bereaksi terhadap ; atau
• Solusi akan selalu bekerja .
Bahkan , ia dalam banyak hal seorang sosiolog politik, dan diakui bahwa tingkat otoritas terpusat
dan konsolidasi dalam pemerintahan yang diberikan bisa membuat atau menghancurkan
kemampuannya untuk beradaptasi. Dengan kata lain, ia melihat kecenderungan umum ke arah
sentralisasi kekuasaan sebagai menyebabkan stagnasi dan akhirnya, tekanan untuk
mendesentralisasikan.
Lebih khusus, Spencer diakui tiga kebutuhan fungsional atau prasyarat yang menghasilkan tekanan
seleksi : mereka regulasi , operasi ( produksi ) dan distributif . Dia berargumen bahwa semua
masyarakat harus memecahkan masalah kontrol dan koordinasi , produksi barang , jasa dan ide-
ide , dan , akhirnya , untuk menemukan cara mendistribusikan sumber daya tersebut.
Awalnya , dalam masyarakat suku , tiga kebutuhan ini tidak dapat dipisahkan , dan sistem
kekerabatan adalah struktur dominan yang memuaskan mereka . Seperti banyak sarjana telah
mencatat , semua lembaga yang dimasukkan di bawah organisasi kekerabatan, tetapi , dengan
meningkatnya populasi ( baik dari segi angka yang jelas dan densitas ) , masalah muncul berkaitan
dengan individu makan , menciptakan bentuk-bentuk baru dari organisasi - pertimbangkan muncul
yang pembagian dan mengendalikan berbagai unit sosial dibedakan , dan mengembangkan sistem
distribusi sumber daya koordinasi tenaga kerja .
Solusinya , sebagai Spencer melihatnya , adalah untuk membedakan struktur untuk memenuhi
fungsi yang lebih khusus ; demikian seorang kepala atau " orang besar " muncul , segera diikuti
oleh sekelompok letnan , dan raja-raja berikutnya dan administrator . Bagian-bagian struktural dari
masyarakat ( keluarga ex. , pekerjaan ) fungsi interdependently untuk membantu fungsi
masyarakat . Oleh karena itu , struktur sosial bekerja sama untuk melestarikan masyarakat.
Mungkin kendala terbesar Spencer yang sedang banyak dibahas dalam sosiologi modern adalah
kenyataan bahwa sebagian besar filsafat sosialnya berakar dalam konteks sosial dan sejarah
Mesir Kuno . Dia menciptakan istilah " survival of the fittest " dalam membahas fakta sederhana
bahwa suku-suku kecil atau masyarakat cenderung dikalahkan atau ditaklukkan oleh yang lebih
besar . Tentu saja, banyak sosiolog masih menggunakan dia ( sadar atau tidak ) dalam analisis
mereka , terutama karena munculnya kembali baru-baru teori evolusi.
2.12 TEORI SEMIOTIKA
Teori Semiotika ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik
dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda
dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda
dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nilai yang terkandung
didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda
berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda
yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi
tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.
Beberapa ahli/pemikir teori semiotika dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan dan kepalsuan
sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya sejenis,
yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian
disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics).
Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika. “ pada
prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
berdusta (lie).” Definisi Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara eksplisit menjelaskan
betapa sentralnya konsep dusta didalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi
prinsip utama semiotika itu sendiri.
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah
semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan
Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam
bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan
sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a
general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code
systems which are used to communicate information.
Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals
which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems
which systematically communicate information or massages in literary every field of human
behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang
berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang
digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal
serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh
seluruh indera yang kita miliki ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara
sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku
manusia).
Macam-macam Semiotik
Hingga saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang
(Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis-jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal
zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
1. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan
bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide
dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam
lambang yang mengacu pada obyek tertentu
2. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami
sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang
3. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem
tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus
menelaah system tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat
4. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud
mitos dan cerita lisan (folklore)
5. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh
alam. Semiotik normative merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang
dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norman.
Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh
manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa
kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah system tanda yang
dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Metode Semiotika
Metode semiotika secara prinsip bersifat kualitatif-interpretatif dan dapat diperluas sehingga
bersifat kualitatif-empiris. Metode kualitatif-interpretatif lebih berfokus kepada teks dan kode yang
nampak secara visual sedang metode kualitatif-empiris membahas pada subyek pengguna teks
(Yusita Kusumarini,2006).
Sistem Tanda (Semiotik)
Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik
digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik
sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic) (Wikipedia, 2007).
Semiotika Teks
Pengertian teks secara sederhana adalah “kombinasi tanda-tanda” (Piliang, 2003). Dalam
pemahaman yang sama, semua produk desain (termasuk arsitektur dan interior) dapat dianggap
sebagai sebuah teks, karena produk desain tersebut merupakan kombinasi elemen tanda-tanda
dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan
berfungsi (Yusita Kusumarini,2006). Dalam menganalisis dengan metode semiotika, pada
prinsipnya dilakukan dalam dua tingkatan analisis, yaitu :
Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna
tanda secara individual
Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang
membentuk teks), biasa disebut analisis teks
Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi
semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain :
1. MEDIA
Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa
jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan
pemikiran kita sendiri. Dalam konteks media massa, khususnya media cetak kajian semiotika
adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan. Untuk teknik teknik analisnya sendiri,
secara garis besar yang diterapkan adalah :
1. Teknik kuantitatif
Teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang
mantap. Ciri ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian
ini.Menurut Van Zoest, 19993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun
sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode metode yang digunakan
2. Teknik kualitatif
Pada analisis kualitatif, data data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini
sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang
digunakan.
Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)
1. Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan
politik di luar pengelolaan media
2. Pendekatan Organisasi
Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi
media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal di luar diri pengelola media
3. Pendekatan Kulturalis
Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat
sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada dasarnya
memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola
yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan kekuatan
politik-ekonomi di luar media.Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi
dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai
kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan
Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak
penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebar
luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi
suatu kemasan yang layak disebar luaskan.
Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :
1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik praktik signifikasi
2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik praktik kekuasaan
3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik praktik produksi
Praktik-praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk (John B. Thomson, 1994) antara lain:

• Kekuasaan Ekonomi : di lembagakan dalam industri dan perdagangan


• Kekuasaan Politik : dilembagakan dalam aparatur negara
• Kekuasaan Koersif : dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter
2. PERIKLANAN
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas dua
lambang yakni; lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang
disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain
(Berger) :
g. Penanda dan petanda
h. Gambar, indeks, simbol
i. Fenomena sosiologi
j. Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
k. Desain dari iklan
l. Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi
tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya
yaitu :

• Pesan Linguistik : Semua kata dan kalimat dalam iklan


• Pesan yang terkodekan : Konotasi yang muncul dalam foto iklan
• Pesan ikonik yang tak terkodekan : Denotasi dalam foto iklan
3. TANDA NONVERBAL
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata-kata dan bahasa.Tanda-tanda
digolongkan dalam berbagai cara :
a. Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya
b. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang
c. Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal
Namun tidak keseluruhan tanda-tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini
dikarenakan tanda-tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain. Dalam
hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah
pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata dan dapat
dibuktikan melalui indera manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari
dan menemukan makna yang terdapat pada benda-benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal.
Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah
yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :

• Langkah Pertama : Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan objek
penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti
• Langkah Kedua : Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep-konsep pada
tanda nonverbal
• Langkah Ketiga : Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap objek
yang ditelitinya
• Langkah Keempat : Merupakan langkah terpenting menentukan model semiotika yang
dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu adalah
pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut
dapat terjaga
4. FILM
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.
Van Zoest
film dibangun dengan tanda semata-mata. Pada film digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-
tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi
realitas yang dinotasikannya. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting
dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri
yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan
layar.
Sardar & Loon
Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film
pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan
pesan yang sedang disampaikan. Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga
sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS)
Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan
dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk.
Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.
Teori-teori Semiotika
C.S PEIRCE
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen
utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan
merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda
menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul
dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan
acuan tanda ini disebut objek.
Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu
yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda
dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang
tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi
mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian.
Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan
fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik
dan menggairahkan.
FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda,
dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan
orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”.
Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk
signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai
unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier)
dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah,
menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua
sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
ROLAND BARTHES
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik
pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada
orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan
pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan
“order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi
(makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan
Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang
diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.
“Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda
kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi
mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena
dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang
menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang
keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan
tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah
Mitos.
BAUDRILLARD
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-
usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas
yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya
hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang
palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin,
seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya
‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat
luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin
yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek.
Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau
hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan
pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional
melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan
khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar
terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai
membeli obatnya.
JACQUES DERRIDA
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah
sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang
baku. Konsep Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk
pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas pada dasarnya dimaksudkan
menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified).
Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-
tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun,
1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-
menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan
demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi
fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan
ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-
gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan.
Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung
‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral
keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di
altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan
kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji
zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.
Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke
atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang
indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan.
Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru
mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan
(“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga
menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.
Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas,
Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi
yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar
melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda
tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
UMBERTO ECO
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan
salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn,
teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa
semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan
perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep
fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar,
melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem
berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan
pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur
bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam
pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila
suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam
pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco
ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada
yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa
kini.
2,13 TEORI KOMUNIKASI NON-VERBAL
Prosemik
Menurut Hall, manusia dapat berkomunikasi dengan berbagai macam cara, tidak hanya dengan
bahasa verbal. Meskipun Hall juga mengakui peranan bahasa salam komunikasi, hanya bahasa
yang memberikan peluang bagi pembentukan variasi-variasi komunikasi antarbudaya.
Namun menurut Hall, banyak kasus belum tentu semua konsep pesan dapat diwakili oleh kata-
kata dalam bahasa verbal. Kebebasan manusia telah memungkinkan setiap kelompok budaya
untuk menentukan bermacam-macam cara penyampaian pesan. Diantaranya melalui “bahasa”
jarak dan ruang antar tubuh di saat berkomunikasi. Proksemik adalah studi tentang sistematika
keterlibatan seorang dalam struktur ruang, atau jarak antara manusia dalam pergaulan sehari hari .
Definisi tersebut sekaligus menggambarkan bahwa studi tentang ruang atau jarak berkaitan erat
dengan interaksi antarmanusia yang berlandaskan pada ciri-ciri budaya tertentu.
Ada tiga bentuk dasar ruang antarpribadi yang dikemukakan Hall, yakni :
a. Fixed Feature Space:
Suatu struktur yang tidak dapat digerakan tanpa persetujuan manusia. Struktur tetap itu hendak
dimanfaatkan dalam konteks pengembangan variasi perilaku komunikasi (kebebasan gerakan dan
jarak antar fisik) maka kita dapat mengubah struktur tetap tersebut sesuai dengan kehendak
budaya tertentu. Pola-pola perilaku komunikasi antarmanusia senantiasa disesuaikan dengan
struktur ruang tersebut.
b. Semi Fixed Feature Space:
Struktur ruang yang sebagiannya bisa digerakkan atas kemauan manusia. Misalnya kita dapat
menata ruang kita disesuaikan dengan pemilikian alat-alat rumah tangga sehingga masih tersedia
ruang untuk berkomunikasi antarpribadi.
c. Informal Space
Ruang atau wilayah di antara dua orang tak kala komunikasi berlangsung. Besar atau jarak ruang
sangat ditentukan oleh konsep kebudayaan suatu masyarakat tertentu. Di Amerika, lebih tepatnya
Amerika Utara bagian Timur Laut, dikenal empat jenis jarak atau ruang antar pribadi, yakni :
1) Jarak Intim
Zona ini mencakup perilaku yang ada pada jarak antara 0 sampai 18 inchi (46 sentimeter). Hall
(1966) mengamati bahwa perilaku-perilaku ini termasuk perilaku yang bercariasi mulai dari
sentuhan (misalnya, berhubungan intim) hingga mengamati bbentuk wajah seseorang. Bisikan
yang biasanya digunakan dalam kisaran jarak intim (intimate distance) ini dapat menjadi sangat
berpengaruh. Hall menganggapnya sebagai suatu hal yang menarik bahwa ketika warga Amerika
Serikat sedang berada dalam suasana dan lingkungan yang intim tetapi sedang tidak bersama
pasangan yang dekat dengan mereka sering kali berusaha menciptakan pengalaman yang tidak
intim. Coba ingat kembai apa yang terjadi di dalam sebuah lift. Melewati lantai demi lantai. Orang
biasanya melihat kelangit-langit, kancing baju, atau kea rah pintu ketika lift melewati lantai demi
lantai. Orang berdiri dengan lengan disamping tubuh mereka, atau memegang beda tertentu. Hall
menganggap hal ini menarik, ketika orang menghabiskan bbegitu banyak energy untuk
mengalihkan diri mereka dari jarak intim.sangat penting untuk diingat bahwa invasi terhadap ruang
personal dapat dianggap sebagai pelecehan seksual, tana memerhatikan apa tujuan sebenarnya.
Karena alas an inilah, kita harus tetap peka terhadap berbagai macam persepsi mengenai jarak
intim.
2) Jarak personal
Zona ini mencakup perilau yang terdapat pada are yang berkisar antara 18 inci (46 centimeter)
sampai 4 kaki (1,2 meter). Menurut Hall (1966), perilaku dalam jarak personal (personal distance)
termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan seseorang sejauh panjang lengan.
Anda mungkin telah mengamati bahwa hamper semua, jika tidak semua, hubungan dekat anda
dengan seseorang berada paling banyak dalam zona personal. Jarak personal seringkali
digunakan untuk keluarga dan teman-teman anda. Titik yang terjauh 4 kaki biasanya digunakan
untuk hubungan yang kurang personal, seperti karyawan penjualan. Hall mengatakan bahwa dalam
zona jarak personal, volume suara yang digunakan biasanya sedang, panas tubuh dapat
dirasakan, bau napas dan bau badan dapat tercium.
3) Jarak Sosial
Dengan range proksemik yang berkisar antara 4 12 kaki (1,2 3,6 meter), kategori jarak social
(social space) menggambarkan banyak percakapan dalam budaya Amerika Serikat, COntohnya,
percakapan di antara percakapan diantara rekan kerja. Hall (1966) menyatakan bahwa jarak social
yang terdekat biasanya digunakan di dalam latar social yang kasual, contohnya pesta koktail.
Walaupun jarak ini tampak sedikit jauh, Hall mengingatkan kita bahwa kita masuh dapat melihat
tekstur rambut dan kulit pada fase dekat dari kategori ini. Fase yang jauh biasanya dikaitkan
dengan orang yang harus berbicara lebih keras dibanding dengan mereka yang ada di dalam fase
deat selain itu, fase jauh dapat dianggap sebagai fase yang lebih formal dari fase dekat. Fase jauh
dari jarak social memungkinkan seseorang untuk menjalankan berbagai pekerjaan sekaligus.
Misalnya, seorang resepsionis dapat meneruskan ekerjaannya sembari berbicara dengan orang
asing yang mendekat. Leh karenanya, sangat mungkin untuk memerhatikan orang lain sembari
menyelesaikan suatu pekerjaan.
4) Jarak Publik
Jarak yang melampaui 12 kaki (3,7 meter) dan selebihnya biasanya dianggap sebagai jarak public
public space). Titik terdekat dari jarak public biasanya digunakan untuk diskusi formal, contohnya,
diskusi di dalam kelas antara guru dan murid. Figure public biasanya berada pada fase jauh
(sekitar 25 kaki [7,7 meter] atau lebih). Sebagaimana telah anda ketahui, sangat sulit utuk
membaca ekspresi wajah dalam jarak ini, kecuali penggunaan media (seperti pryektor layar lebar)
digunakan dalam sebuah presentasi. Jika fase dekat menunjukan jarak antara dosen dan
mahasiswa di dalam kelas, fase jauh biasanya juga menggunakan jarak public dalam pertunjukan
mereka. Sebagai akibatnya, semua tindakan dan perkataan mereka selalu dilebih-lebihkan. Dose
dan actor hanya dua dari banyak tipe orang yang menggunakan jarak public dalam kehidupan
mereka.
Hall mengemukakan masih ada delapan kemungkinan kategori utama dari proksemik, yakni :
(1) Posture-Sex Factors:
Jarak antara pria dan wanita pada waktu berhubungan sex melalui posisi dasar tidur, berdiri,
duduk dan menungging.
(2) Sociofugal-Sociopetal Axis:

• Sociofugal Axis: hambatan ruang antarpribadi dalam komunikasi.


• Sociopetal Axis: tingkat keluasan ruangan antarpribadi dalam berkomunikasi (tidak atas
hambatan). Dimensi ini memperkenankan jenis-jenis ruang kedekatan antarpribadi yang
diharuskan atau yang dilarang. Apakah jarak fisik sepanjang satu bahu, berhadap-hadapan
atau membelakangi dan lain-lain.
(3) Kinesthetic factors:
Perilaku proksemik yang memperkenankan kebiasaan menyentuh tubuh sebagai bukti tingkat
keakraban antarpribadi. Dalam kontak fisik, setiap individu harus memperhatikan dengan teliti jarak
anggota tubuh, apakah harus bersinggungan atau bersentuhan atau tidak boleh bersentuhan sama
sekali.
(4) Meraba dan menyentuh:
Perilaku yang diperkenankan oleh suatu kebudayaan tertentu untuk meraba-raba, menyentuh,
memegang, mengusap, menyinggung orang lain dengan tangan. Termasuk di dalamnya adalah
kebiasaan mengecapi makanan, minuman, memperpanjang pegangan, membuat tekanan-tekanan
pada pegangan, sentuhan mendadak, atau kebetulan menyentuh.
(5) Visual Code:
Kebiasaan kontak mata (langsung atau tidak langsung) yang diperkenankan oleh kebudayaan
tertentu.
(6) Thermal Code:
Kebiasaan untuk mengamati atau menikmati kehangatan antarpribadi.
(7) Olfactory Code:
Tatanan jenis dan tingkat kehangatan yang terlihat pada waktu orang bercakap-cakap.
(8) Voice Loudness:
Kekuatan suara waktu berbicara dan dihubungankan secara langsung dengan ruang antarpribadi.
Kinesik
1. Teori Kinesik dari Birdwhistell
2. Manusia telah memakai banyak saluran pengalihan pesan antara lain melalui
sensoris-sensoris tubuh, yang dalam banyak hal sangat dipengaruhi oleh oleh latar
belakang kebudayaan manusia. Menurut dia, komunikasi nonverbal merupakan
suatu proses berkesinambungan karena manusia tidak menggunakan satu saluran
secara tetap, yang pasti manusia selalu menggunakan lebih dari satu saluran untuk
komunikasi antar pribadi.
3. Ray Birdwhistell dalam karyanya kinesik dan konteks menggarisbawahi tujuh
asumsi yang melandasi teori yang dibangunnya itu. Tujuh asumsi itu adalah :
4. Semua kejadian alam mempunyai arti dan makna tertentu, sama dengan setiap
gerakan tubuh atau setiap pernyataan manusia tidak mungkin tidak mewakili dan
menampilkan makna tertentu.
5. Sama seperti aspek-aspek perilku manusia yang lain yang telah terpola, maka
penampilan tubuh, gerakan tubuh dan anggota tubuh, pernyataan wajah juga
merupakan suatu pola yang mempunyai reguralitas sehingga dapat dijadikan
sebagai objek penelitain yang dapat ditelaah secara sistematis.
6. Semua gerakan tubuh dan anggota tubuh dapat dijelaskan secara biologis. Namun
karena gerakan-gerakan itu dilakukan oleh manusia yang mempunyai relasi sosial
dan budaya, maka sistematika gerakan-gerakan tersebut dapat dijelaskan dari
sudut pandang sosial dan budaya. Sistematika gerakan tubuh dan anggota tubuh
dipandang sebagai fungsi sosialisasi dan pembudayaan yang berlaku pada
kelompok tertentu.
7. Ada kesamaan antara aktivitas tubuh dengan aktivitas gelombang suara. Secara
sistematis dua bentuk aktivitas tersebut berpengaruh terhadap pola-pola aktivitas
tubuh dan suara dari para anggota suatu kelompok sosial dan budaya tertentu.
8. Demikian pula, apabila masih ada bentuk-bentuk perilaku lain manusia yang belum
ditampilkan maka hal itu dapat dijelaskan melalui penelitian yang mendalam tentang
fungsi komunikasi dan perilaku tersebut.
9. Makna suatu pesan dapat diperoleh dari fungsi-fungsi perilaku yang ditampilkan
manusia, makna tersebut masih bisa dijadikan sebagai objek penyelidikan lanjutan.
10. Sebagian sistem biologis dan pengalaman khusus manusia menentukan unusr-
unusr ideosinkratik pada sistem kinesik.
Ada tiga tingkat penggunaan kinesik, yaitu :
1. prekinesik, merupakan studi psikologis tentang aktivitas gerakan tubuh. Aktivitas-
aktivitas tersebut merupakan representasi dari perilku satu kelompok sosial tertentu;
2. mikrokinesik, merupakan studi yang khusus mengkaji unit-unit perilaku kinesik;
3. kinesik sosial, merupakan studi tentang perilkau kinesik dalam konteks sosial tertentu.
Petunjuk Kinesik (Kinesic Cues)
Persepsi yang didasarkan kepada gerakan orang lain yang ditunjukkan kepada kita. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa persepsi yang cermat tentang sifat-sifat dari pengamatan petunjuk
kinesik. Begitu pentingnya petunjuk kinesik, sehingga apabila petunjuk-petunjuk lain (seperti ucapan)
bertentangan dengan petunjuk kinesik, orang mempercayai yang terakhir. Mengapa? Karena
petunjuk kinesik adalah yang paling sukar untuk dikendalikan secara sadar oleh orang yang
menjadi stimuli (selanjutnya disebut persona stimuli-orang yang dipersepsi;lawan dari persona
penanggap).
Petunjuk ini terdiri dari tiga kompunen utama yaitu:
a. Pesan Fasial
Pesan ini menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna :
kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat,
ketakjuban, dan tekad. Leathers (1976) menyimpulkan penelitian tentang wajah sebagai berikut:

• Wajah mengkomunikasikan penilaian tentang ekspresi senang dan tak senang, yang
menunjukkan komunikator memandang objek penelitiannya baik atau buruk.
• Wajah mengkomunikasikan minat seseorang kepada orang lain atau lingkungan.
• Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi.
• Wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya sendiri.
• Wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian.
b. Pesan gestural
Menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk
mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway, pesan ini berfungsi untuk
mengungkapkan:

• Mendorong/membatasi.
• Menyesuaikan/mempertentangkan.
• Responsif/tak responsif.
• Perasaan positif/negatif.
• Memperhatikan/tidak memperhatikan.
• Melancarkan/tidak reseptif.
• Menyetujui/menolak.
Pesan gestural yang mempertentangkan terjadi bila pesan gestural memberikan arti lain dari pesan
verbal atau pesan lainnya. Pesan gestural tak responsif menunjukkan gestur yang yang tidak ada
kaitannya dengan pesan yang diresponnya. Pesan gestural negatif mengungkapkan sikap dingin,
merendahkan, atau menolak. Pesan gestural tak responsive mengabaikan permintaan untuk
bertindak.
c. Pesan postural
Berkaitan dengan keseluruhan anggota badan. Mehrabian menyebutkan tiga makna yang dapat
disampaikan postur:

• Immediacy
Merupakan ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu yang lain. Postur
yang condong kea rah lawan bicara menunjukkan kesukaan atau penilaian positif.
• Power
Mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator.
• Responsiveness
Individu mengkomunikasikannya bila ia bereaksi secara emosional pada lingkungan, baik
positif maupun negatif.
KEKURANGAN TEORI STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL
Walaupun teori struktural fungsional banyak manfaatnya, namum kritik dan revisi atas teori ini
masih terus berlangsung, diantaranya kekurangan teori ini dikemukakan oleh Garna (1996: 114-117)
sebagai berikut:
(2) keyakinan bahwasanya ada masyarakat yang tanpa lapisan sosial harus diabaikan;
(3) beberapa tindakan dan institusi sosial tampak tidak nyata hubungannya dengan tindakan
dan institusi sosial lainnya;
(4) teori ini beranjak dari pengalaman lapangan formatif untuk menemukan bahwa masyarakat
itu dapat dipahami sebagai suatu sistem yang berkaitan dan rasional, tanpa melihat kaitan
unsur-unsur budaya yang diteliti masa silam;
(5) pertimbangan teori ini sebagian terletak hanya pada gambaran eksplanasi yang
memerlukan fakta yang diketahui dan mampu diobservasi, terutama kebudayaan material
atau benda-benda yang tampak.
3. TEORI KOGNITIF DAN PERILAKU
Teori - Teori Behavioral dan Cognitive. Teori - teori ini merupakan gabungan dari dua tradisi yg
berbeda. Asumsinya tentang hakikat dan cara menentukan pengetahuan juga sama dengan aliran
strukturalis dan fungsional.
Teori Belajar

3.1 TEORI BELAJAR KOGNITIF


Model belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku
yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa mahasiswa
memproses informasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisisr, menyimpan, dan kemudian
menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama.
Prinsip teori psikologi kognitif adalah bahwa setiap orang dalam bertingkah laku dan mengerjakan
sesuatu segala sesuatu senantiasa di pengaruhi oleh tingkat tingkat perkembangan dan
pemahaman atas dirinya sendiri. Seseorang memiliki kepercayaan, ide ide dan prinsip yang dipilih
untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal belajar, aspek psikologis ini memandang bahwa
proses belajar yang terjadi pada seseorang tidak tampak dari luar dan sifatnya kompleks.
Psikologi kognitif lebih menekankan pada proses internal atau proses mental mahasiswa daripada
tampak luarnya. Teori belajar kognitif adalah proses internal yang tidak tampak secara langsung.
Adapun perubahan tingkah laku yang tampak sesungguhnya adalah refleksi dari perubahan
interaksi persepsi dirinya terhadap sesuatu yang diamati dan dipikirkan.(Andriyani:2007:33)
Teori belajar kognitif adalah sebuah teori yang lebih menekankan proses belajar daripada hasil
belajar itu sendiri. Bagi penganut teori ini, belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan
stimulus respon. Belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Teori ini sangat erat
kaitannya dengan teori sebernetika. Pada awal diperkenalkan teori ini, para ahli mencoba
menjelaskan bagaimana mahasiswa mengolah stimulus dan bagaimana mahasiswa tersebut dapat
sampai pada respon tertentu. Namun lambat laun perhatian tersebut mulai bergeser. Saat ini
perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru dapat berasimilasi
dengan ilmu yang sebelumnya lebih dikuasai oleh mahasiswa. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan
yang dibangun dalam diri seseorang individu melalui proses interaksi yang berkesinabungan
dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan dengan sendirinya atau terpisah pisah. Tetapi proses
ini suatu rangkaian yang saling terkait.
Ciri Ciri teori belajar kognitif adalah sebagai berikut :
(1). Mementingkan apa yang ada pada diri si anak (nativistik)
(2). Mementingkan keseluruhan (holistic)
(3). Mementingkan peranan kognitif
(4). Mementingkan keseimbangan dalam diri si pelajar (dynamic equilibrium)
(5). Mementingkan kondisi pada waktu sekarang
(6). Mementingkan pembentukan struktur kognitif
(7). Dalam pemecahan masalah, cirri khasnya adalah insight
Beberapa teori yang dapat dimasukkan ke dalam teori belajar kognitif adalah sebagai berikut :
Teori Gestalt (Belajar Kognitif)
(Koffka 1935, Kohler 1925, 1947, 1969 Wertheimer 1945)
Gestalt menekankan pada proses proses intelektual yang komplek seperti bahasa, pikiran,
pemahaman, pemecahan, masalah sebagai aspek utama dalam proses belajar. Dasar pemikiran
yang dikemukan oleh Wartneimer ketika memunculkan teori ini adalah keseluruhan yang
terorganisir adalah lebih bermakna dari bagian bagian. Keseluruhan bukan pula penjumlahan dari
bagian atau unsur unsur. Menurutnya belajar adalah proses penguatan dan pemahaman
terhadap stimulasi dan bagaimana reaksinya yang secara prisip disebutkan sebagai law of effect.
Tingkah laku terutama dipengaruhi oleh efek, yakni tindakan yang membawa kesenangan
bertambah dan yang mengganggu berkurang. Ia menganggap bahwa proses belajar yang komplek
dapat dimengerti dengan melihat proses belajar yang paling sederhana yang dianggap sebagai
dasar proses belajar.
Para ahli psikolog Gestalt berpendapat bahwa “hokum hokum dan prinsip prinsip yang berlaku
dalam bidang pengamatan itu juga berlaku dalam bidang belajar dan berfikir”. Pendapat yang
demikian itu dikemukan karena apa yang dipelajari dan dipikirkan itu bersumber dari apa yang
dikenal lewat fungsi pengamatan, belajar dan berfikir itu pada hakikatnya adalah melakukan
pengubahan struktur kognitif.

3.2 TEORI PERILAKU


Menurut Thorndike dalam (Nursalam, :18) yang merupakan salah satu pendiri dari teori perilaku,
belajar adalah proses tingkah laku antara stimulus (berupa pikiran, perasaaan atua gerakan) dan
respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan dan gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike
perubahan perilaku itu boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati) atau nonkonkret (tidak
dapat diamati). Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku
yang nonkonkret itu (pengukuran adalah salah satu hal yang menjadi obsesi semua penganut teori
tingkah laku), tetpai teori Thorndike ini telah banyak memberikan inpirasi pakar lain yang datang
sesudahnya. Teori Thorndike ini juga dikenal dengan teori koneksionis (connetionism).

3.3 TEORI MEDAN KOGNITIF (KURT LEWIN)


Teori belajar kognitif ditarik dari piper psikologi medan (field psychology) Kurt Lewin (1890 1947).
Psikolog Jerman Amerika ini menaruh perhatian terhadap motivasi manusia. Konsekuensinya
teori medan telah berkembang tidak sebagai teori belajar, tetapi lebih banyak sebagai teori
motivasi dan persepsi. Namun demikian mereka menerapkan teorinya kepada situasi belajar,.
Konsep utamanya adalah life space sebagai model dasar untuk belajar, termasuk segala sesuatu
yang dibutuhkan seseorang untuk tahu mengenai pribadi agar dapat memahami tingkah lakunya
yang konkrit dalam situasi psikologis yang spesifik pada suatu waktu tertentu.
Thesis dasar psikologi medan kognitif adalah bahwa setiap pribadi, sesuai dengan tingkat
perkembangnya yang telah dicapai tahu bahwa bagaimana dan untuk apapun yang ia pikirkan
adalah dirinya. Dalam proses ini ia berhubungan dengan tingkah laku yang membawa kearah
tujuan paling kuat. Dalam teori medan kognitif, belajar dapat didefinisikan sebagai proses
interaksional diman pribadi menjangkau wawasan wawasan baru dan atau merubah sesuatu
yang lama. Untuk meningkatkan belajar secara efektif, para dosen harus peduli terhadap mereka
sendiri dan orang lain.

3.4 TEORI BELAJAR COGNITIVE DEVELOPMENTAL DARI PIAGET


Dalam teorinya, piaget memandang bahwa proses berfikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi
intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah seorang psikolog Developmental karena
penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umum yang
mempengaruhi kemampuan belajar individu. Dia adalah salah seorang psikolog suatu teori
komprehensif tentang perkembangan intelegensi atau proses berfikir. Pertumbuhan kapasitas
mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada.
Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Apabila ahli biologi
menekankan penjelasan tentang pertumbuhan struktur yang memungkinkan individu mengalami
penyesuaian diri dengan lingkungan, maka piaget tekanan penyelidikannya lain. Piaget menyelidiki
masalah yang sama dari segi penyesuaian/adaptasi manusia serta meneliti perkembangan
intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur intelektual terbentuk di dalam individu
akibat interaksinya dengan lingkungan.
Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably, dengan istilah struktur. Scheme adalah
pola tingkah laku yang dapat diulang. Scheme berhubungan dengan :
a. Refleks-refleks pembawaan, misalnya bernapas, makan, minum.
b. Scheme mental, misalnya scheme of classification, scheme of operation (pola tingkah laku
yang masih sukar diamati seperti sikap), dan scheme of operation (pola tingkah laku yang
dapat diamati).
Menurut Piaget, inteligensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek, yaitu :
(a) Struktur disebut juga scheme seperti yang dikemukakan di atas.
(b) Isi disebut juga content yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu
masalah.
(c) Fungsi disebut juga fungtion, yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai
kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri tediri dari dua macam fungsi invariant, yaitu
organisasi dan adaptasi.
Dengan penjelasan seperti di atas dapatlah kita ketahui tentang bagaimana terjadinya
pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses
yang kontinu dari adanya equilibrium-equilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium,
individu dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi. Pengaplikasian di
dalam belajar perkembangan kognitif bergantung pada akomodasi kepada siswa harus diberikan
suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak dapat belajar dari apa yang
telah diketahuinya saja. Ia tak dapat menggantungkan diri pada asimilasi. Dengan adanya area
baru ini siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan. Situasi atau area itulah
yang akan mempermudah pertumbuhan kognitif.
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek,
yaitu structure, content, dan fungtion. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan
konten intelektualnya berubah/berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga
melahirkan suatu rangkaian perkembangan; masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus
yang menetukan kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah
strukur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.
Tahap-tahap perkembangan
Piaget mengidentifikasi 4 (empat) faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan anak,
yaitu:
1. Kematangan
2. Pengalaman fisik/lingkungan
3. Transmisi sosial
4. Equilibrium atau self regulation
3.5 DAVID AUSUBEL
Sebagai pelopor aliran kognitif, David Ausubel mengemukakan teori belajar bermakna (meaningfull
learning). Belajar bermakana adalah proses mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep
konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dapat dikatakan sebagai
belajar bermakna apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Materi yang dipelajari melakasanakan belajar bermakna secara potensial
2) Anak yang belajar bertujuan melaksanakan bermakna
Berdasarkan pandangan tentang belajar bermakna, maka David mengajukan empat prinsip
pembelajaran yaitu :
Menurut Ausubel, mahasiswa akan belajar dengan baik apabila apa yang disebut pengatur
kemajuan belajar (advance organizer) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat
kepada mahasiswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep informasi umum yang mewadahi
mencangkup semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada mahasiswa. Ausubel paercaya
bahwa advance organizer dapat memberikan tiga manfaat yaitu :
1) Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi pelajaran yang akan dipelajari
oleh mahasiswa
2) Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari
mahasiswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari
3) Mampu membantu mahasiswa untuk memahami bahan ajar secara lebih mudah.Untuk itu,
pengetahuan dosen terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan cara
tersebut seorang dosen mampu menemukan informasi yang menurut Ausubel sangat
abstrak, umum dan inklusif mewadahi apa yang akan diajarkan. Selain itu, logika berfikir
dosen juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika yang baik, maka dosen akan
kesulitan memilah pelajaran serta merumuskan dalam rumusan yang singkat dan padat
dan mengatur materi demi materi itu ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah
dipahami.
Empat tipe belajar menurut Ausubel yaitu :
1) Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, mahasiswa terlebih
dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru
tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada
2) Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan
sendiri oleh mahasiswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang dimilikinya kemudian
dihafalkan
3) Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun
secara logis disampaikan kepada mahasiswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan
yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan yang lain yang telah ada.
4) Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah
tersusun secara logis disampaikan kepada mahasiswa sampai bentuk akhir, kemudian
pengetahuan yang baru ia peroleh dihafalkan tanpa mengaitkan dengan pengetahuan lain
yang telah dimilikinya.
3.6 JEROME BRUNER
Jerome Bruner dilahirkan pada tahun 1915. Jerome Bruner seorang ahli psikolog yang terkenal dan
telah banyak menyumbang penulisan tentang pembelajaran, beliau bertugas sebagai professor
psikologi di Universiti Harvard di Amerika Serikat dan dilantik sebagai pengarah dipusat pengajaran
kognitif tahun 1961 1972. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai proses,
pencipta, dan pemikir. Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif yaitu :
memperoleh informasi baru, tranformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan
pengetahuan. Pandangan terhadap belajar konseptualisme instrumental ini didasarkan pada dua
prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model model mengenai
kenyataan yang dibangunnya, dan model model itu diadaptasikan kegunaan bagi orang itu.
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan
yang diperoleh melalui belajar penemuan akan bertahan lama, dan mempunyai efek transfer yang
baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir secara bebas dan
melatih ketrampilan ketrampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah.
Bruner mengusulkan teori yang disebut free discovery learning. Menurut teori ini proses belajar
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika dosen memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk
dapat menemukan suatu aturan, seperti konsep, teori, definisi dan sebagainya melalui contoh
contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain mahasiswa
dibimbing secara indukatif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep
kejujuran mahasiswa tidak semata mata menghafal definisi kata kejujuran, melainkan dengan
mempelajari contoh contoh konkret dari kejujuran. Dari contoh contoh itulah mahasiswa
dibimbing untuk mendefinisikan kata jujur. Lawan dari pendekatan ini disebut ekspositon (belajar
dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini mahasiswa disodori sebuah informasi umum dan diminta
untuk menjelaskan informasi tersebut melalui contoh contoh khusus dan konkret. Berdasarkan
contoh di atas, mahasiswa pertama tama diberi definisi tentang kejujuran, dari definisi itulah
mahasiswa diminta untuk mencari contoh contoh konkret yang dapat menggambarkan makna
kata tersebut. Proses belajar ini jelas berjalan secara deduktif.
Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa “kegiatan belajar akan berjalan dengan
baik dan mahasiswa kreatif jika mahasiswa menemukan sendiri suatu aturan dan kesimpulan.
Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap yaitu :
2) Tahap infomasi yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru
3) Tahap tranformasi yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru
serta mentranformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal hal lain
4) Tahap evaluasi yaitu tahap untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua
tadi benar atau tidak”.
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak
harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa
yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari
dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan reception learning atau expository
teaching, dimana guru menerangkan semua informasi dan murid harus mempelajari semua
bahan/informasi itu.
Banyak pendapat yang mendukung discovery learning itu, di antaranya J. Dewey (1933) dengan
complete art of reflective activity atau terkenal dengan problem solving. Ide bruner itu di tulis
dalam bukunya Process of Education. Di dalam buku itu Ia melaporkan hasil dari konferensi di
antara para ahli science. Dalam hal ini Ia mengemukakan pendapatnya, bahwa mata pelajaran
dapat di ajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan
anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat diberikan melalui cara-cara yang
bermakna, dan makin meningkat ke arah yang abstrak.
Bruner mendapatkan pertanyaan, bagaimana kita mengembangkan program pengajaran yang lebih
efektif bagi anak yang muda? jawaban bruner adalah dengan mengkoordinasikan metode
penyajian bahan dengan cara dimana anak dapat mempelajari bahan itu, yang sesuai dengan
tingkat kemajuan anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dari tingkat representasi sensory (enactive)
ke representasi konkret (iconic) dan akhirnya ke representasi yang abstrak (symbolic). Bruner
menyebutkan hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientist, historin, atau ahli matematika. Biarkanlah muri-murid
kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri. Dan memungkinkan mereka untuk mempelajari
konsep-konsep di dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh mereka.
Bruner mengungkapkan perlunya seorang guru mengembangkan insight (wawasan) atau
pengetahuan ynag tidak hanya sekedar siswa mampu mengorganisasi materi dan memahami
hubungan-hubungan tetapi mengajak siswa memanipulasi lingkungan secara lebih aktif untuk
menemukan sesuatu yang baru (pengetahuan, keahlian atau keterampilan, sikap dan atau nilai).
Tujuan dari teori Bruner ini adalah individu dapat memperoleh dari pengetahuan melalui keaktifan
dari belajarnya untuk pengembangan dirinya. (Tingginya volume kegiatan berpikir kognitif akan
melahirkan dampak negatif bagi individu). Ia menikmati peran belajarnya. [8]
Saat ini model belajar penemuan menduduki peringkat atas dalam dunia pendidikan modern. Salah
satu yang banyak diterapkan dalam pembelajaran di Indonesia adalah konsep belajar siswa aktif
atau cara belajar siswa aktif (CBSA). Dalam menerapkan model belajar penemuan ini, seorang
guru dianjurkan untuk tidak memeberikan materi pelajaran secara utuh. Siswa cukup diberikan
konsep utama, untuk selanjutnya siswa dibimbing agar dapat menemukan sendiri sampai akhirnya
dapat mengorganisasikan konsep tersebut bsecara utuh. Untuk itu guru perlu memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mendapatkan konsep-konsep yang belum
disampaikan oleh guru dengan pendekatan belajar problem solving.

3.7 TEORI KOGNITIF SOSIAL


Teori ini dikembangkan oleh L.S. Vygotsky, yang didasari oleh pemikiran bahwa budaya berperan
penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap individu dipengaruhi
oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa dan
bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai berikut:

• Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2 cara, yaitu


melalui budaya dan lingkungan budaya. Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan)
individu diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan budaya sarana adaptasi intelektual
bagi individu berupa proses dan sarana berpikir bagi individu dapat tersedia.
• Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (proses percakapan) dengan cara
berbagi pengalaman belajar dan pemecahan masalah bersama orang lain, terutama
prangtua, guru, saudara sekandung dan teman sebaya.
• Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab membimbing
pemecahan masalah, lambat-laun tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh individu yang
bersangkutan.
• Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk menyalurkan sebagian besar
pembendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.
• Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi
intelektual, ia berbahasa batiniah (internal language) untuk mengendalikan perilaku.
• Internalisasi merujuk pada proses belajar. Menginternalisasikan pengetahuan dan alat
berpikir adalah hal yang pertama kali hadir ke kehidupan individu melalui bahasa.
• Terjadi zone of proximal development atau kesengajaan antara sanggup dilakukan individu
sendiri dengan yang dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa. Konsep zone of
proximal development merujuk pada zona yang mana individu memerlukan bimbingan
guna melelanjutkan belajarnya
• Karena apa yang dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak di antara pemecahan
masalahnya ditopang orang dewasa, maka pendidikan hendaknya tidak berpusat pada
individu dala isolasi dari budayanya.
• Interaksi dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga sosial sebagaimana orangtua,
saudara sekandung, individu dan teman sebaya yang lebih cakap sangat memberi
sumbangan secara nyata pada perkembangan intelektual individu.
3.8 TEORI PEMROSESAN INFORMASI
Berdasarkan temuan riset linguistik, psikologi, antropologi dan ilmu komputer, dikembangkan model
berpikir. Pusat kajiannya dalam proses belajar dan menggambarkan cara individu memanipulasi
simbol dan memproses informasi. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses
penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil
belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan
untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses
pembelajaran.
Ketika individu belajar, di dalam dirinya berlangsung proses kendali atau pemantau bekerjanya
sistem yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk menyimpan informasi ke dalam long-term
memory (materi memory atau ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah (materi
kreativitas).

3.9 TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF, DIKEMBANGKAN OLEH ROBERT


M. GAGNE
Menurut gagne belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia.
Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Pengolahan otak manusia :
a) Reseptor
b) Sensory register
c) Short-term memory
d) Long-term memory
e) Response generator
Salah satu teori yang berasal dari psikolog kognitiv adalah teori pemrosesan informasi yang
dikemukakan oleh Robert M. Gagne. Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses
pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat
dijelaskan sebagai berikut:
b. Reseptor (alat indera) : menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi
rangsaangan neural, memberikan symbol informasi yang diterimanya dan kemudian di
teruskan.
c. Sensory register (penempungan kesan-kesan sensoris) : yang terdapat pada syaraf pusat,
fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi sehingga terbentuk
suatu kebulatan perceptual. Informasi yang masuk sebagian masuk ke dalam memori
jangka pendek dan sebagian hilang dalam system.
d. Short term memory ( memory jangka pendek ) : menampung hasil pengolahan perceptual
dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan untuk menentukan maknanya. Memori
jangka pendek dikenal juga dengan informasi memori kerja, kapasitasnya sangat terbatas,
waktu penyimpananya juga pendek. Informasi dalam memori ini dapat di transformasi
dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya diteruskan ke memori jangka panjang.
e. Long Term memory (memori jangka panjang) :menampung hasil pengolahan yang ada di
memori jangka pendek. Informasi yang disimpan dalam jangka panjang, bertahan lama, dan
siap untuk dipakai kapan saja.
f. Response generator (pencipta respon) : menampung informasi yang tersimpan dalam
memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban.
3.10 TEORI BELAJAR COGNITIVE FIELD LEWIN
Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin (1989) mengembangkan suatu teori
belajar cognitivefield dengan menaruh perhatian kepada keperibadian dan psikologi sosial. Lewin
memandang masing-masing individu berbeda di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat
psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut life space. Life space
mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya : orang-orang yang Ia
jumpai, objek materil yang Ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang Ia miliki. Lewin
berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang
dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan maupun dari luar luar individu
seperti tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari
perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam
kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi
internal individu. Lewin memberikan peranan yang lebih penting pada motivasi dari reward.
Teori Behavioristik (tingkah laku)
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu
apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal
penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin
kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
(1). Reinforcement and Punishment;
(2). Primary and Secondary Reinforcement;
(3). Schedules of Reinforcement;
(4). Contingency Management;
(5). Stimulus Control in Operant Learning;
(6). The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie,
dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta
peranannya dalam pembelajaran.

3.11 THORNDIKE
Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui
alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang
dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat
kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang
tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak
dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori
Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan
dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal
tertentu dapat memperkuat respon.

3.12 TEORI BELAJAR MENURUT WATSON


Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses
belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena
tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

3.13 TEORI BELAJAR MENURUT CLARK HULL


Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,
seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan
pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud
macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan
kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

3.14 TEORI BELAJAR MENURUT EDWIN GUTHRIE


Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang
disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama
(Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan
mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar
hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan
respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat
akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat.
Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak
boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

3.15 TEORI BELAJAR MENURUT SKINNER


Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi
munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang
secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul
akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-
perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
4. TEORI INTERAKSI
4.1 TEORI PERBANDINGAN SOSIAL
Teori ini di kemukakan oleh Festinger (1950, 1954). Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa
proses saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interaksi sosial ditimbulkan oleh
adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi
dengan memebandingkan diri dengan orang lain.

• Dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuan


Festinger mempunyai hipotesa bahwa setiap orang mempunyai dorongan (drive) untuk
menilai pendapat dan kemampuan diri sendiri dengan cara membandingkan dengan
pendapat atau kemampuan orang lain.
Akan tetapi Festinger mengingatkan bahwa dalam menilai kemampuan ada 2 macam
situasi. Situasi pertama adalah dimana kemampuan orang dinilai berdasarkan ukuran yang
objektif. Situasi kedua adalah situasi dimana kemampuan dinilai berdasarkan pendapat.
• Sumber-sumber penilaian
Orang yang akan menggunakan ukuran-ukuran yang objektif (realitas obyektif) sebagai
dasar penilaian-penilainnya selama ada kemungkina untuk melakuukan hal itu. Tetapi kalau
kemungkinan itu tidak ada maka orang akan mempergunakan pendapat atau kemampuan
orang lain sebagai ukuran. Dari kenyataan ini Festinger sampai kepada hipotesisnya yang
kedua yaitu bahwa jika tidak ada cara-cara yang nonsosial, maka orang akan mengunakan
ukuran-ukuran yang melibatkan orang lain.
• Memilih orang untuk perbandingan
Dalam membuat perbandingan dengan orang-orang lain, setiap orang mempunyai banyak
pilihan. Tetapi setiap oarng cenderung memilih oarng-orang yang sebaya taua rekan-
rekannya sendiri untuk dijadikan perbandingan.
Hipotesa 3 : Kecendrungan untuk membandingkan diri dengan orang lain menurun jika
perbedaan pendapat dengan orang lain itu meningkat.
Corollary 3 A : Kalau ia boleh memilih, seseorang akan memilih oarng yang pendapat atau
kemampuannya mendekati pendapat atau kemampuannya sendiri untuk dijadikan
pembanding.
Corollary 3 B : Jika tidak ada kemungkinan lain keculai membandingkan diri dengan
pendapat atau kemampuan orang lain yang jauh berbeda, maka seseorang tidak akan
mampu membuat penilaian yang tepat tentang pendapat atau kemajuannya sendiri.
• Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
Festinger mengajukan hipotesis 4 sebagai berikut : Dalam hal ini perbedaan kemampuan,
terdapat desaka untuk perubahan searah, yaitu perubahann ke atas, yang tidak terdapat
dalam dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesa 4 ini menurut Festinger setidak-tidaknya
berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika serikat dimana prestasi yang tinggi sangat
dihargai.
Hipotesa berikut adalh Hipotesa 5 : Ada faktor-faktor nonsosial yang menyulitkan atau
tidak memungkinkan perubahan kemampuan pada seseorang, yang hampir-hampir tidak
ada pada perubahan pendapat.
• Berhentinya perbandingan
Deriviasi D3 : Jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang-orang lain dalam
kelompok terlalu besar, maka akan terdapat kecendrungan untuk menhentikan
perbandingan-perbandingan.
Hipotesis 6 : sejauh perbandingan yang berkepanjangan dengan orang lain menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan, perhatian perbandingan akan diikuti
oleh persaan bermusuhan dan kebencian.
• Desakan kearah keseragaman
Corollary 7 A : Desakan ke arah keseragaman pendapat atau kemampuan tergantung dari
daya tarik kelompok itu.
Corollary 7 B : Desakan kearah kseragaman bervariasi, tergantung pada relevansi
pendapat atau kemampuan bagi kelompok.
Hipotesis 8 : kecendrungan untuk memperkecil kemungkina perbandingan makin besar jika
orang-orang yang pandangan atau kemampuannya berbeda dari diri tersebut, dianggap
juga berbeda dalam sifat-sifat lain.
• Pengaruhnya terhadap pembentukan kelompok
Karena perbandingan hanya bisa terjadi dalam kelompok, maka untuk menilai diri sendiri
orang terdorong untuk berkelompok dan menghubungkan dirinya sendiri dengan orang
lain.
Kelompok yang paling memuaskan adalah yang pendapatnya paling dekat dengan
pendapat sendiri.
• Konsekuensi-konsekuensi dari perbandingan yang dipaksakan
Jika perbedaan pendapat dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan mengatur
dirinya sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan itu dapat didekatkan dan
perbandingan-perbandingan dapat dilakukan.
4.2 TEORI INFERENSI KORESPODENSI
Teori ini dikembangkan oleh Jones & davis (1965). Teori ini pada dasarnya mencoba untuk
menernagkan kesimpulan yang ditarik oleh seorang pengamat (perceiver) dari pengamatannya
atas perilaku tertentu dari orang lain. Dengan perkataan lain pengamat mengadakan peramalan
(inferences) terhadap niat (intention) orang lain dari perilaku orang lain tersebut.
Tesis utama dari teori ini adalah sebagai berikut : perkiraan tentang intensi dari suatu perbuatan
tertentu bisa ditarik dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat
dilakukan oleh si pelaku.
Konsep Korespondensi
Istilah korespondensi digunakan oleh Jones & Davis jika suatau perilaku dari intensi yang
mendasari tingkah laku itu diperkirakan sama.
Dengan perkataan lain, korespondensi dari hubungna anatara suatu perbuatan dan niat yang
mendasari perbuatan itu akan meningkat jika si pengamat menilai bahwa ciri-ciri perilaku tersebut
berbeda atau menyimpang dari ciri-ciri perilaku orang lain pada umumnya yang berada pada posisi
yang sama.
Tindakan dan Efek
Tindakan (act) oleh Jones &Davis diberi definisi yang luas, yaitu keseluruhan respons (reaksi) yang
mencerminkan piligan si pelaku dan yang mempunyai akibat (efek) terhadap lingkungannya.
Efek diartikan oleh Jones & Daivis sebagai perubahan-perubahan yang nyata yang dihasilkan oleh
tindakan. Efek dari suatu tindakan bisa satu bisa bermacam-macam. Kalau suatu tindakan
mempunyai efek ganda, maka inferensi akan jadi lebih sulit.
Faktor-faktor yang menentukan korespondensi

• Bila suatu tindakan mengakibatkan efek ganda, maka si pengamat pertama-tama


memperkirakan bahwa ada beberapa efek tertentu yang lebih merupakan tujuan dari
pelaku. Jika dari berbagai efek itu ternyata hanya satu yang dianggap merupakan
tujuan pelaku oleh pengamat, maka ia dikatakan probabilitas.
• Aspek lain dari proses interferensi adalah signifikansi dari efek tindakan yang
menjadi tujuan kator bagi pengamat.
Faktor-faktor yang menentukan assumed desirability
Assumed desirability adalah perkiraan pengamat bahwa perilaku tertentu akan dilakukan oleh
orang-orang lain pada posisi perilaku dan bahwa pelaku mengharapkan efek yang tidak berbeda
dari orang-orang lain pada posisinua.
Yang mempengaruhi assumed desirabillity adlah hal-hal seperti penampilan pelaku, stereotipi
pengamat dan lain-lain.
Memperhitungkan kebiasaan efek
Di atas telah disebutkan bahwa pengamat harus memperhitungkan apakah suatu efek biasa terjadi
atau tidak bisa terjadi. Ada 2 masalh yang menyangkut proses memperhitungkan kebiasaan dari
efek-efek :
Masalah yang menyangkut identifikasi dan penentuan biasa atau tidaknya efek-efek
Memilih efek-efek yang tida biasa dan memisahkanny dari efek-efek lain dari suatu tindakan
tertentu.
Korespondensi dan Keterlibatan Pribadi
Keterlibatan ini ada 2 macam yaitu : relevansi hedonik dan personalisme. Suatu tindakan
mempunyai relevansi hedonik buat pengamat jika tindakan itu mendorong atau menghambat
tercapainya tujuan-tujuan pengamat sendiri, jika tindakan itu menyenangkan atau mengecewakan
pengamat.
Di lain pihak, suatu tindakan adalah personalistik jika pengmat merasa yakin bahwa dirinya
sendirilah yang dijadikan sasaran dari tindakan termaksud.

4.3 TEORI ATRIBUSI EKSTERNAL.


Teori atribusi eksternal adalah teori yang membahas tentang prilaku seseorang. Apakah itu di
sebabkan karena faktor internal, misalnya sifat, karakter, sikap, dan sebagainya. Atau karena
faktor eksternal, misalnya tekanan situasi atau keadaan tertentu yang memaksa seseorang
melakukan perbuatan tertentu. Sehingga pengamat dapat mengambil kesimpulan atas prilaku yang
sedang di tampilkan orang lain. Ini berarti setiap individu pada dasarnya adalah seorang ilmuan
semu yang berusaha mencari sebab kenapa seseorang berbuat dengan cara tertentu.
Contoh:
Seorang siswa, yang bernama topan, bertengkar dengan seorang guru matematikanya, begitu
pula dengan siswa lainnya. Hal ini menunjukkan konsensus yang tinggi. Topan pernah juga
bertengkar dengan guru matematika itu sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi yang
tinggi. Kemudian topan tidak bertengkar dengan guru lainnya , Topan hanya bertengkar dengan
guru matematikanya saja. Maka kita akan menyimpulkan bahwa Topan marah kepada guru
matematikanya itu karena ulah gurunya sendiri, bukan karena watak topan yang pemarah. Ini
sebagai salah satu contoh atribusi eksternal yang merupakan proses pembentukan kesan
berdasarkan kesimpulan yang kita tafsirkan atas kejadian yang terjadi.
Sementara menurut Weiner (Weiner, 1980, 1992) attribution theory is probably the most influential
contemporary theory with implications for academic motivation. Artinya Atribusi adalah teori
kontemporer yang paling berpengaruh dengan implikasi untuk motivasi akademik. Hal ini dapat
diartikan bahwa teori ini mencakup modifikasi perilaku dalam arti bahwa ia menekankan gagasan
bahwa peserta didik sangat termotivasi dengan hasil yang menyenangkan untuk dapat merasa
baik tentang diri mereka sendiri.
Teori yang dikembangkan oleh Bernard Weiner ini merupakan gabungan dari dua bidang minat
utama dalam teori psikologi yakni motivasi dan penelitian atribusi. Teori yang diawali dengan
motivasi, seperti halnya teori belajar dikembangkan terutama dari pandangan stimulus-respons
yang cukup popular dari pertengahan 1930-an sampai 1950-an.
Sebenarnya istilah atribusi mengacu kepada penyebab suatu kejadian atau hasil menurut persepsi
individu. Dan yang menjadi pusat perhatian atau penekanan pada penelitian di bidang ini adalah
cara-cara bagaimana orang memberikan penjelasan sebab-sebab kejadian dan implikasi dari
penjelasan-penjelasan tersebut. Dengan kata lain, teori itu berfokus pada bagaimana orang bisa
sampai memperoleh jawaban atas pertanyaan “mengapa”? (Kelly 1973).
Komponen dan Karakteristik Atribusi
Model Atribusi mengenai motivasi mempunyai beberapa komponen, yang terpenting adalah
hubungan antara atribusi, perasaan dan tingkah laku. Menurut Weiner, urutan-urutan logis dari
hubungan psikologi itu ialah bahwa perasaan merupakan hasil dari atribusi atau kognisi. Perasaan
tidak menentukan kognisi, misalnya semula orang merasa bersyukur karena memperoleh hasil
positif dan kemudian memutuskan bahwa keberhasilan itu berkat bantuan orang lain. Hal ini
merupakan urutan yang tidak logis (weiner, 1982 hal 204).
Hubungan antara kepercayaan, pada reaksi afektif dan tingkah laku. Penyebab keberhasilan dan
kegagalan menurut persepsi menyebabkan pengharapan untuk terjadinya tindakan yang akan
datang dan menimbulkan emosi tertentu. Tindakan yang menyusul dipengaruhi baik oleh perasaan
individu maupun hasil tindakan yang diharapkan terjadi.
Menurut teori atribusi, keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat dianalisis dalam tiga
karakteristik, yakni :
Penyebab keberhasilan atau kegagalan mungkin internal atau eksternal. Artinya, kita mungkin
berhasil atau gagal karena factor-faktor yang kami percaya memiliki asal usul mereka di dalam diri
kita atau karena factor yang berasal di lingkungan kita.
Penyebab keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat berupa stabil atau tidak stabil.
Maksudnya, jika kita percaya penyebab stabil maka hasilnya mungkin akan sama jika melakukan
perilaku yang sama pada kesempatan lain.
Penyebab keberhasilan atau kegagalan dapat berupa dikontrol atau tidak terkendali. Faktor
terkendali adalah salah satu yang kami yakin kami dapat mengubah diri kita sendiri jika kita ingin
melakukannya. Adapun factor tak terkendali adalah salah satu yang kita tidak percaya kita dengan
mudah dapat mengubahnya.
Merupakan factor internal yang dapat dikontrol, yakni kita dapat mengendalikan usaha dengan
mencoba lebih keras. Demikian juga factor eksternal dapat dikontrol , misalnya seseorang gagal
dalam suatu lembaga pelatihan , namun dapat berhasil jika dapat mengambil pelatihan yang lebih
mudah. Atau dapat disebut sebagai factor tidak terkendali apabila kalkulus dianggap sulit kareba
bersifat abstrak, akan tetap abstrak, tidak akan terpengaruh terhadap apa yang kita lakukan.
Secara umum, ini berarti bahwa ketika peserta didik berhasil di tugas akademik, mereka
cenderung ingin atribut keberhasilan ini untuk usaha mereka sendiri, tetapi ketika mereka gagal,
mereka ingin atribut kegagalan mereka untuk factor-faktor dimana mereka tidak memiliki kendali,
sepeti mengajarkan hal buruk atau bernasib buruk.
Menurut Weiner, factor paling penting yang mempengaruhi atribusi ada empat factor yakni antara
lain :
Ability yakni kemampuan, adalah factor internal dan relative stabil dimana peserta didik tidak
banyak latihan control langsung.
Task difficulty yakni kesulitan tugas dan stabil merupakan factor eksternal yang sebgaian besar di
luar pembelajaran control.
Effort yakni upaya, adalah factor internal dan tidak stabil dimana peserta didik dapat latihan banyak
control.
Luck yakni factor eksternal dan tidak stabil dimana peserta didik latihan control sangat kecil.
Untuk memahami seseorang dalam kaitannya dengan suatu kejadian, Weiner menunjuk dua
dimensi yaitu :
a. Dimensi internal-eksternal sebagai sumber kausalitas
b. Dimensi stabil-tidak stabil sebagai sifat kausalitas

4.4 TEORI PENILAIAN SOSIAL


Teori penilaian sosial adalah suatu teori yang memusatkan bagaimana kita membuat penilaian
tentang opini atau pendapat yang kita dengar dengan melibatkan ego dalam pendapat tersebut.
Teori ini dikemukakan oleh Sherif dan Hovland (1961)mencoba menggabungkan sudut pandangan
psikologi, sosiologi dan antropologi.mereka mengatakan bahwa dalil yan mendasar dari teorinyaini
adalah oan yang membentuk situasi yang penting buat dirinya. Jadi ia tidak ditentukan oleh factor
intern (sikap, situasi dan motif) maupun ekstern (obyek, orang-orang dan lingkungan fisik). Interaksi
dan factor intern dan ekstern inilah yang menjadi kerangka acuan dari setiap perilaku. Pasokan-
[sokan inilah yang dianalisis oleh Sherif dalam teorinya dan dicari sejah mana pengaruhnya
terhadap penilaian social dilakukan oleh individu.
Jadi teori penilaian social ini khususnya mempelajari proses psikologis yang mendasari
pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi. Anggapan dasarnya adalah bahwa
dalam menilai manusia membuat deskripsi dan kategorisasi khusus. Dalam kategorisasi manusia
melakukan perbandingan-perbandingan diantara berbagai alternatifyang disusun oleh individu untuk
menilai stimulus-stimulus yang datang dari luar.
Oleh karena itu kita harus memahami penilaian social dari segi
Dalam hal ini bagaimana terjadinya penilaian pada diri individu, Sherf mengemukakan bahwa dalam
percobaannya dia memerikkan sejumlah benda dan setiap benda itu menyatakan mana yang lebih
berat dan mana yang lebih ringan. Disitlah jelas sifat yang akan dinilai dan makin jelas patokan-
patokan yang akan disusun agar penilaiana makin mantap. Misalnya orang diberikan
barang/benda yang dapat ditimabang yang beratnya bervariasi antara 5-100gram. Dan orang
percobaan tersebut disuruh menetapkan 50 gram sebagai patokannya, maka menggolongkan
benda yang brat dan yang ringan ini.stabil. sebaliknya kalau sifat yang ditimbang itu meragukan
dantidaka ada patokan jelas, maka penilaian akan labil.
Komunikasi menurut Sherif dan holand bisamendekatkan sikap individu dengansikap orang
lain.tetapi bias juga menjahui orang lain. Hal ini tergantung dari posisi awal tersebut terhadap
individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan semakin memperjelas
persamaan-persamaan diantara mereka dan sehingga terjadilah pendekatan. Tetapi sebaliknya,
jika posisi awal saling berjauhan, maka komuniksi akan mempertegas perbedaan dan posisi
mereka akan saling menjahui.

4.5 TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK


Ada tiga konsep penting yang dibahas dalam teori interaksi simbolik. Hal ini sesuai dengan hasil
pemikiran George H. Mead, yang dibukukan dengan judul Mind, Self and Society. Konsep pertama
adalah pikiran (mind). Mead mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan
simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Mead juga percaya bahwa manusia harus
mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak akan berinteraksi dengan
orang lain sampai ia mempelajari bahasa atau simbol-simbol baik verbal maupun nonverbal yang
diatur dalam pola-pola untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan dan dimiliki bersama.
Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran.
Jadi pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat. Akan tetapi
pikiran tidak dapat hanya tergantung pada masyarakat.
Terkait dengan konsep pikiran, ada pemikiran (thought), yang merujuk pada percakapan di dalam
diri sendiri. Mead berpandangan bahwa tanpa rangsangan sosial dan interaksi dengan orang lain,
orang tidak akan mampu mengadakan pembicaraan dalam dirinya sendiri atau mempertahankan
pemikirannya.
Salah satu aktivitas penting yang digunakan orang melalui pemikiran adalah pengambilan peran
(role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri
khayalan dari orang lain. Kapan pun kita selalu berusaha untuk membayangkan bagaimana orang
lain mungkin melihat kita, kita sebagai mereka. Kita selalu mengambil peran orang lain dalam diri
kita. Pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan
perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk
berempati dengan orang lain.
Konsep penting yang kedua adalah diri (self). Mead mendefinisikan diri sebagai kemampuan untuk
merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Diri bukan berasal dari intropeksi atau dari
pemikiran sendiri yang sederhana. Namun diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran
khusus maksudnya, membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Mead menyebut istilah
ini sebagai cermin diri (loking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam
pantulan dari pandangan orang lain.
Mead mengamati bahwa bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek
bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, ia bertindak dan sebagai objek kita mengamati diri kita sendiri
bertindak. Mead menyebut subjek atau diri yang bertindak sebagai I. sementara objek atau diri
yang mengamati adalah Me. I bersifat spontan, impulsif dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif
dan peka secara sosial. I mungkin berkeinginan untuk pergi keluar jalan-jalan malam, sementara
Me mungkin lebih berhati-hati dan menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Diri adalah sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me.
Konsep penting yang ketiga adalah masyarakat (society). Mead berargumen bahwa interaksi
mengambil tempat di dalam sebuah struktur sosial yang dinamis budaya, masyarakat dan
sebagainya. Individu-individu lahir dalam konteks sosial yang sudah ada. Mead mendefinisikan
masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di
dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat
menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh
individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi diciptakan dan dibentuk oleh individu.
4.6 KONSEP DEFINISI SITUASI (THE DEFINITION OF THE SITUATION)
Konsep definisi situasi (the definition of the situation) merupakan implikasi dari konsep interaksi
simbolik mengenai interaksi sosial yang dikemukakan oleh William Isac Thomas (1968)dalam
Hendariningrum (2009). Konsep definisi situasi merupakan perbaikan dari pandangan yang
mengatakan bahwa interaksi manusia merupakan pemberian tanggapan (response) terhadap
rangsangan (stimulus) secara langsung. Konsep definisi situasi mengganggap bahwa setiap
individu dalam memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan dari luar, maka perilaku dari individu
tersebut didahului dari suatu tahap pertimbangan-pertimbangan tertentu, dimana rangsangan dari
luar tidak ”langsung ditelan mentah-mentah”, tetapi perlu dilakukan proses selektif atau proses
penafsiran situasi yang pada akhirnya individu tersebut akan memberi makna terhadap
rangsangan yang diterimanya.
Menurutnya tindakan seseorang selalu didahului suatu tahap penilaian dan pertimbangan;
rangsangan dari luar diseleksi melalui proses yang dinamakannya definisi atau penafsiran situasi.
Dalam proses ini orang yang bersangkutan memberi makna pada rangsangan yang diterimanya
itu. Misalnya dalam proses ini orang yang memberi salam, maka rangsangan yang berupa ucapan
“selamat pagi” diseleksi dan diberi makna. Bila menurut definisi situasi seorang gadis ucapan
“selamat pagi” dari seorang pria yang belum dikenalnya tidak dilandasi itikad baik, ia akan
cenderung memberikan reaksi berupa tindakan yang sesuai dengan penafsirannya-misalnya
mengabaikan salam tersebut.
Dalam kaitannya dengan definisi situasi ini, Thomas terkenal karena ungakpannya : “when men
define situations as real, they are real in the consequnces” bila orang mendefinisikan situasi
sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata. Yang dimaksudkannya di sini ialah bahwa
definisi situasi yang dibuat orang akan membawa konskeunsi nyata.
Thomas membedakan antara dua macam definisi situasi : definisi situasi yang dibuat secara
spontan oleh individu, dan definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (definisi situasi yang
mengatur interaksi manusia). Definisi situasi dibuat oleh masyarakat keluarga, teman, komunitas.
Thomas melihat adanya persaingan antara kedua macam definisi situasi tersebut. Menurutnya
moralitas yang berwujud aturan atau hukum muncul untuk mengatur kepentingan pribadi agar tidak
bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
4.7 TEORI KOMUNIKASI : DRAMATISME (KENNETH BURKE)
Teori dramatisme adalah teori yang mencoba memahami tindakan kehidupan manusia sebagai
drama. Dramatisme, sesuia dengan namanya, mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah
drama, menempatkan suatu focus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain.
Seperti dalam drama, adegan dalam kehidupan adalah penting dalam menyingkap motivasi
manusia. Dramatisme memberikan kepada kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas
tindakan komunikasi antara teks dan khalayak untuk teks, serta tindakan di dalam teks itu sendiri.
Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan: (1) drama
menghasilkan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang terbatas; tujuannya adalah
untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna
dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. (2)
drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musical,
melodrama dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa
dapat berhubungan dengan cara drama manusia ini dimainkan. (3) drama selalu ditujukan pada
khalayak. Drama dalam hal ini bersifat retoris. Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk
hidup”, artinya bahwa literature atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah
serta memberikan reaksi untuk menghadapi pengalaman ini. Dengan demikian, kajian dramatisme
mempelajari cara-cara dimana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan khalayak.
Asumsi Dramatisme
1. Manusia adalah hewan yang menggunakan symbol. Beberapa hal yang dilakukan manusia
dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh
symbol-simbol. Dari semua symbol yang digunakan manusia yang paling penting adalah bahasa.
2. Bahasa dan symbol membentuk sebuah system yang sangat penting bagi manusia. Sapir dan
Whorf (1921; 1956) menyatakan bahwa sangat sulit untuk berfikir mengenai konsep atau objek
tanpa adanya kata-kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi (dalam batas tertentu) dalam apa yang
dapat mereka pahami oleh karena batasan bahasa mereka. Ketika manusia menggunakan bahasa,
mereka juga digunakan oleh bahasa tertentu. Ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai
symbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung
untuk tidak memiliki motif tersebut. Kata-kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang
sangat dekat satu sama lain.
3. Manusia adalah pembuat pilihan. Dasar utama dari dramatisme adalah pilihan manusia. Hal ini
ada keterikatannya dengan konseptualisasi akan agensi (agency), atau kemampuan actor sosial
untuk bertindak sebagai hasil pilihannya.
Dramatisme sebagai Retorika Baru
Dramatisme merupakan retorika baru. Bedanya dengan retorika lama adalah retorika baru lebih
menekankan pada identifikasi dan hal ini dapat mencakup faktor-faktor yang secara parsial “tidak
sadar” dalam mengajukan pernyataannya disamping retorika yang lama menekankan pada
persuasi dan desain yang terencana.
Identifikasi dan Substansi
Substansi (sifat umum dari sesuatu) dapat digambarkan dalam diri seseorang dengan mendaftar
karakteristik demografis serta latar belakang dan fakta mengenai situasi masa kini, seperti bakat
dan pekerjaan. Burke berargumen bahwa ketika terdapat ketumpangtindihan antara dua orang
dalam hal substansi mereka, mereka mempunyai identifikasi (ketika dua orang memiliki
ketumpangtindihan pada substansi mereka). Semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin
besaridentifikasi yang terjadi. Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan
individu, makin besar pemisahan (ketika dua orang gagal untuk mempunyai ketumpangtindihan
dalam substansi mereka). Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat
sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan lainnya. Burke sadar akan hal ini dan
menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak
pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah-masalah substansi
tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan dipisahkan” (Burke,
1950). Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani
pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi (ketika
permohonan dibuat untuk meningkatkan ketumpangtindihan antara orang), atau meningkatkan
identifikasi mereka satu sama lain.
Proses Rasa Bersalah dan Penebusan
Konsubstansiasi, atau masalah mengenai identifikasi dan substansi, berhubungan dengan siklus
rasa bersalah/penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan
pemisahan. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep
simbolisasi. Rasa bersalah (tekanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang
menyebalkan lainnya) adalah motif utama untuk semua aktifitas simbolik, dan Burke mendefinisikan
rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah,
rasa jijik, atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Hal yang sama dalam teori Burke
adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsic yang ada dalam kondisi manusia. Karena it
uterus merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari
ketidaknyamanan rasa bersalah. Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya
ada di dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi:
1. Tatanan atau hierarki (peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kempuan kita
untuk menggunakan bahasa).
2. Negatifitas (menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial; memperlihatkan resistensi).
3. Pengorbanan (cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri kita dari rasa bersalah yang
kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia). Ada dua metode untuk memurnikan diri
dari rasa bersalah, dengan menyalahkan diri sendiri) dan pengkambinghitaman (salah satu
metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan orang lain).
4. Penebusan (penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah
rasa bersalah diampuni sementara).
Pentad
Selain mengembangkan teori dramatisme, Burke (1954) menciptakan suatu metode untuk
menerapkan teorinya terhadap sebuah pemahaman aktifitas simbolik. Metode tersebut adalah
pentad (metode untuk menerapkan dramatisme). Hal-hal ini yang diperhatikan untuk menganalisis
teks simbolik, yaitu:
1. Tindakan (sesuatu yang dilakukan oleh seseorang).
2. Adegan (konteks yang melingkupi tindakan).
3. Agen (orang yang melakukan tindakan).
4. Agensi (cara-cara yang digunakan untuk melakukan tindakan).
5. Tujuan (hasil akhir yang dimiliki agen dari suatu tindakan).
6. Sikap (cara dimana agen memosisikan diri relative terhadap elemen lain).
Kita menggunakan pentad untuk menganalisis sebuah interaksi simbolik, penganalisis pertama-
tama menentukan sebuah elemen dari pentad dan mengidentifikasi apa yang terjadi dalam suatu
tindakan tertentu. Setelah memberikan label pada poin-poin dari pentad dan menjelaskannya
secara menyeluruh, analisis kemudian mempelajari rasio dramatistik (proporsi dari satu elemen
pentad dibandingkan dengan elemen lainnya).
4.8 TEORI SELF CARL ROGERS
A. ORGANISME
Organisme adalah keseluruhan indifidu. Organisme memiliki sifat-sifat senbagai berikut :
1. Organisme bersaksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan maksud
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
2. Organisme memiliki satu motif dasar yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan dan
mengembangkan diri.
3. Organisme mungkin melambangkan pengalaman pengalamannya sehingga itu disadari
atau mungkin tidak disadari.
B. MEDAN PHENOMENAL
Medan phenomenal adalah “frame of reference” dari individu yang hanya diketahui oleh orang itu
sendiri. Medan phenomenal mempunyai sifat disadari atau tidak disadari, tergantung apakah
pengalaman yang mendasari medan phenomena hal itu dilambangkan atau tidak.
C. THE SELF
Carl Rogers mendeskripsikan the self sebagai sebuah konstruk yang menunjukan bagaimana
setiap individu melihat dirinya sendiri. Konsep pokok dari teori kepribadian Rogers adalah self,
sehingga dapat dikatakan self merupakan satu-satunya sruktur kepribadian yang sebenarnya. Self
ini dibagi 2 yaitu : Real Self dan Ideal Self. Real Self adalah keadaan diri individu saat ini,
sementara Ideal Self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa
yang ingin dicapai oleh individu tersebut. Perhatian Rogers yang utama adalah bagaimana
organisme dan self dapat dibuat lebih kongruen.
Self atau konsep self adalah konsep menyeluruh yang ajeg dan terorganisir tersusun dari persepsi
ciri-ciri tentang “I” atau “me” (aku sebagai subyek atau aku sebagai obyek) dan persepsi hubungan
“I” atau “me” dengan orang lain dan berbagai aspek kehidupan, berikut nilai-nilai yang terlibat
dalam persepsi itu. Konsep self menggambarkan konsepsi orang tentang dirinya sendiri, ciri-ciri
yang dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Konsep self juga menggambarkan pandangan diri
dalam kaitannya dengan berbagai perannya dalam kehidupan dan dalam kaitannya dengan
hubungan interpersonal.
SIFAT-SIFAT SELF
1. SELF berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungannya.
2. SELF mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan mengamatinya dalam
cara(bentuk) yang tidak wajar.
3. SELF mengejar konsistensi(kebutuhan/kesatuan), keselarasan.
4. Organisme bertingkah laku dalam cara yang selaras atau konsisten dengan SELF
5. Pengalaman-pengalaman yang tidak selaras dengan struktur SELF diamati sebagai
ancaman.
6. SELF mungkin berubah sebagai hasil dari pematangan dan belajar.
4.9 TEORI KONSTRUKSI SOSIAL
Konstruksi sosial (social construction) merupakan teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan
oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Menurut kedua ahli sosiologi tersebut, teori ini
dimaksudkan sebagai satu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan
(penalaran teoritis yang sistematis), dan bukan sebagai suatu tinjauan historis mengenai
perkembangan disiplin ilmu. Oleh karena itu, teori ini tidak memfokuskan pada hal-hal semacam
tinjauan tokoh, pengaruh dan sejenisnya. Tetapi lebih menekankan pada tindakan manusia sebagai
aktor yang kreatif dan realitas sosialnya.
Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia
bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi
penentu dalam dunia sosialyang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah sosok
korban sosial, namun merupakan sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam
mengkonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2001:4)
Teori konstruksi sosial yang dicetuskan oleh Berger & Luckmann ini banyak dipengaruhi oleh
pemikiran sosiologi yang lain. Terutama terpengaruh oleh ajaran dan pemikiran Schutzian tentang
fenomenologi, Weberian tentang makna subjektif (melalui Carl Meyer), Durkhemian Parsonian
tentang “struktur” (melalui Albert Solomon), dan Marxian tentang “dialektika”, serta Herbert Mead
tentang “interaksi simbolik”.
Pijakan Teori Konstruksi Realitas Sosial
Berger & Luckmann berusaha mengembalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam
kerangka mengembangkan teori sosiologi. Beberapa usaha tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut :
Pertama, mendefinisikan kembali pengertian “kenyataan” dan “pengetahuan” dalam konteks sosial.
Dalam hal ini teori sosiologi harus mampu memberikan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat
itu dikonstruksi secara terus menerus. Oleh karena itu pusat perhatian seharusnya tercurah pada
bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan masyarakat secara menyeluruh dengan segala
aspeknya (kognitif, afektif dan konatif). Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pergaulan sosial
yang termanifestasikan dalam tindakan. Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pengalaman
intersubjektif dan melalui pengalaman ini pula masyarakat terbentuk secara terus menerus
(unlimited).
Kedua, menemukan metodologi atau cara meneliti pengalaman intersubjektif dalam kerangka
mengkonstruksi realitas. Yakni menemukan “esensi masyarakat” yang implisit dalam gejala-gejala
sosial itu. Dalam hal ini memang perlu ada kesadaran bahwa apa yang dinamakan masyarakat
pasti terbangun dari “dimensi objektif” dan sekaligus “dimensi subjektif” sebab masyarakat itu
sendiri sesungguhnya buatan kultural dari masyarakat (yang didalamnya terdapat hubungan
intersubjektifitas) dan manusia adalah sekaligus pencipta dunianya sendiri (Poloma, 1994)
Ketiga, memilih logika yang tepat dan cocok karena realitas sosial memiliki ciri khas seperti
pluralis, dinamis dan memiliki proses perubahan terus menerus. Sehingga diperlukan pendekatan
akal sehat “common sense “ untuk mengamati. Maka perlu memakai prinsip logis dan non logis.
Dalam pengertian berpikir secara dialektis. Kemampuan berpikir secara dialektis tampak dalam
pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan beberapa filosof eksistensial yang
menyadari manusia sebagai makhluk paradoksial. Oleh karena itu kenyataan hidup sehari-hari
memiliki dimensi objektif dan subjektif (Berger & Luckmann, 1990)
Arah Pemikiran Teori Konsruksi Realitas Sosial
Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam
pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat. Maka
pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Berger memandang manusia
sebagai pencipta kenyataan sosial yang objketif melalui tiga momen dialektis yang simultan yaitu
eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.
1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik
dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan
eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia
(Society is a human product ).
2. Objektifikasi, adalah hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan
eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu berupa realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi
si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang
menghasilkannya (hadir dalam wujud yang nyata). Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan
subjketif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Pada
tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif ( Society is an objective reality), atau
proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi.
3. Internalisasi, lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai
macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas
diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia
menjadi hasil dari masyarakat ( Man is a social product ).
Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi adalah tiga dialektis yang simultan dalam proses
(re)produksi. Secara berkesinambungan adalah agen sosial yang mengeksternalisasi realitas
sosial. Pada saat yang bersamaan, pemahaman akan realitas yang dianggap objektif pun
terbentuk. Pada akhirnya, melalui proses eksternalisasi dan objektifasi, individu dibentuk sebagai
produk sosial. Sehingga dapat dikatakan, tiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial
sesuai dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya.
Dalam kehidupan masyarakat, adanya aturan-atauran dan hukum yang menjadi pedoman bagi
institusi sosial adalah merupakan produk manusia untuk melestarikan keteraturan sosial. Sehingga
meskipun peraturan dan hukum itu terkesan mengikat dan mengekang, tidak menutup adanya
kemungkinan terjadi pelanggaran sosial. Hal itu dikarenakan ketidakmampuan individu untuk
menyesuaikan dengan aturan yang digunakan untuk memelihara ketertiban sosial. Dalam proses
eksternalisasi bagi masyarakat yang mengedepankan ketertiban sosial individu berusaha sekeras
mungkin untuk menyesuaikan diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan.
Masyarakat dalam pandangan Berger & Luckmann adalah sebuah kenyataan objektif yang
didalamnya terdapat proses pelembagaan yang dibangun diatas pembiasaan (habitualisation),
dimana terdapat tindakan yang selalu diulang-ulang sehngga kelihatan polanya dan terus
direproduksi sebagai tindakan yang dipahaminya. Jika habitualisasi ini telah berlangsung maka
terjadilah pengendapan dan tradisi. Keseluruhan pengalaman manusia tersimpan dalam kesadaran,
mengendap dan akhirnya dapat memahami dirinya dan tindakannyadidalam konteks sosial
kehidupannya dan melalui proses pentradisian. Akhirnya pengalaman yang terendap dalam tradisi
diwariskan kepada generasi penerusnya. Proses transformasi pengalaman ini salah satu
medianya adalah menggunakan bahasa.
Menurut Berger dan Luckmann , realitas sosial tidak berdiri sendiri melainkan dengan kehadiran
individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna
ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain
sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan
merekonstruksinyadalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu
lain dalam institusi sosialnya.
Lebih lanjut Berger dan Luckmann mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan
institusi soaial terlihat nyata secara objektif, pada kenyataanyasemua dibangun dalam definisi
subjketif melalui proses interaksi. Objektifitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang
yang diberikan oleh orang lainyang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas
yang paling tinggi manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu
pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk
sosial serta membri makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Institusionalisasi muncul bersamaan dengan munculnya tipifikasi (typification : proses
menggolongkan sesuatu menjadi tipe-tipe tertentu) oleh orang-orang tertentu yang disebut
sebagai aktor. Tipifikasi inilah yang disebut institusi. Tipifikasi ini selalu dibagi oleh sesama anggota
kelompok sosial. Tiap institusi ini memilih mekanisme kontrolnya masing-masing. Mekanisme
kontrol ini sering dilengkapi dengan sanksi. Tiap anggota wajib untuk meraih penghargaan sosial
bila menaati realitas dalam institusinya atau menanggung resiko mendapat konsekuensi hukuman
bila menyimpang dari kontrol yang ada.
Institusionalisasi, secara manifest, mengikutsertakan sejumlah orang, di mana setiap orang
bertanggung jawab atas “pengkonstruksian dunia”-nya karena merekalah yang membentuk dunia
tersebut. Mereka memahami dunia yang sebenarnya mereka bentuk sendiri.
Dari penjelasan di atas, dap dapat diketahui bahwa pemahaman individu terhadap dunia sekitarnya
dan bagaimana perilaku individu yang dianggap sesuai dengan harapan masyarakatnya merupaka
sebuah proses dialektis yang terjadi terus menerus diantara mereka. Selain itu, mereka tidak
hanya hidup dalam dunia yang sama, masing-masing dari mereka juga berpartisipasi dalam
keberadaan pihak lain (Bungin, 2001 : 19-20). Baru setelah mencapai taraf internalisasi semacam
ini, individu menjadi anggota masyarakat.
Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger & Luckmann terdiri atas tiga bagian dasar yaitu :
1. Realitas Sosial Objektif
Realitas sosial objektif adalah gejala-gejala sosial yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan
sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.
2. Realitas Sosial Subjektif
Realitas sosial subjektif adalah realitas sosial yang terbentuk pada diri khalayak yang berasal dari
realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik
3. Realitas Sosial Simbolik
Realitas sosial simbolik adalah bentuk bentuk simbolik dari realitas sosial objektif, yang biasanya
diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta isi media (Bungin,2011 : 24)
Setiap peristiwa merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta yang benar-benar terjadi.
Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan sebagai realitas sosial subjektif dalam diri
pekerja media dan individu yang menyaksikan peristiwa tersebut. Pekerja media mengkonstruksi
realitas subjektif yang sesuai dengan seleksi dan preferensi individu menjadi realitas objektif yang
ditampilkan melalui media dengan menggunakan simbol-simbol. Tampilan realitas di media inilah
yang disebut realitas sosial simbolik dan diterima pemirsa sebagai realitas sosial objektif karena
media dianggap merefleksikan realitas sebagaimana adanya.
Konsep ketiga ini memperjelas konsep yang dikemukakan oleh Berger & Luckmann, yang hanya
menyebutkan adanya penggambaran realitas melalui proses sedimentasi dan penjelasan sebuah
realitas melalui proses legitimasi. Sedimentasi adalah proses dimana beberapa pengalaman
mengendap dan masuk ke dalam ingatan, memori ini selanjutnya menjadi proses yang
intersubjektif bila individu-individu yang berbeda berbagi pengalaman dan gambaran yang sama.
Legitimasi memiliki dua fungsi yaitu sebagai landasan untuk menginterpretasi realitas objektif dan
untuk membantu membuat interpretasi yang dapat diterima secara luas. Dalam proses ini , individu
tidak hanya membutuhkan “ a common stock of knowledge “ (sedimentasi), tetapi juga harus
belajar untuk menerima dan menjalankannya sebagai sebuah kenyataan objektif sebagaimana
adanya (Berger & Luckmann, 1967).
Jika konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut
Gramsci, negara melalui alat pemaksa seperti birokrasi, administrasi maupun militer yang berada
lebih tinggi dari masyarakat akan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara
konstektual. Sistem hukum pada negara-negara Barat telah lama mengasumsikan bahwa individu
tahu perilaku apa yang diharapkan oleh penegak masyarakatnya dan bila mereka melanggarnya
secara sengaja, merke akan dihukum (Defleur & Ball- Rokeach). Inilah yang menjadi dasar
diberlakukannya hukum dan aparat
Penegak hukum sebagai pengawas ketertiban dalam masyarakat.
4.10 TEORI ROLE (PERAN)
Teori peran (Role Theory)Teori ini merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik menurut
pandangan Mead (West-Turner 2008: 105). dimana, salah satu aktivitas paling penting yang
dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan peran (role taking).
Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik dalam menempatkan diri
diantara individu lainnya ditengah interaksi sosial masyarakat.
Ketidak berhasilan peran :
Dalam kaitannya dengan peran yang harus dilakukan, tidak semuanya mampu untuk menjalankan
peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi kekurangberhasilan dalam
menjalankan perannya. Dalam ilmu sosial, ketidakberhasilan ini terwujud dalam role conflict dan
role strain.
Role Conflict
Setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan kadang-kadang peran-peran tersebut
membawa harapan-harapan yang bertentangan. Menurut Hendropuspito [1989], konflik peran (role
conflict) sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda macamnya,
kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling berlawanan meski subjek atau
sasaran yang dituju sama. Dengan kata lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu
pola, seseorang harus melanggar pola lain. Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni,
konflik antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal. Pertama, satu
atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian dari seperangkat peran)
mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam
peran tunggal mungkin ada konflik inheren.
Role Strain
Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama ini dinamakan role
strain. Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain adalah karena peran apapun sering
menuntut adanya interaksi dengan berbagai status lain yang berbeda. Sampai tingkatan tertentu,
masing-masing interaksi ini merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan
yang berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam sejumlah
aspek sebenarnya adalah beberapa peran. Misalnya, status sebagai karyawan bagian pemasaran
(sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti tertentu sebenarnya membawa beberapa peran:
sebagai bawahan (terhadap atasan di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap
karyawan-karyawan lain di perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan
masyarakat yang ditawari produk perusahaan tersebut).
Stres Peran
Posisi dimasyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang
menimbulkan kesukaran, atau tuntutan posisi yang tidak mungkin dilaksanakan. Stres peran terdiri
dari :
Konflik peran, dialami jika peran yang diminta konflik dengan sistem individu atau dua peran yang
konflik satu sama yang lain.
Peran yang tidak jelas, terjadi jika individu yang diberi peran yang tidak jelas dalam hal perilaku dan
penampilan yang diharapkan.
Peran yang tidak sesuai, terjadi jika individu dalam proses transisi merubah nilai dan sikap.
Misalnya, seseorang yang masuk dalam satu profesi, dimana terdapat konflik antara nilai individu
dan profesi.
Peran berlebih, terjadi jika individu menerima banyak peran misalnya, sebagai istri, mahasiswa,
perawat, ibu. Individu dituntut melakukan banyak hal tetapi tidak tersedia waktu untuk
menyelesaikannya. (Keliat, 1992)
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang harus dilakukan,
yaitu :

• -Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran


• -Konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan
• -Kesesuaian dan keseimbangan antar peran yang diemban
• -Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran
• -Pemisahan perilaku yang akan menciptakan ketidak sesuaian perilaku peran
Proses Yang Umum Untuk Memperkecil Ketegangan Peran Dan Melindungi Diri Dari Rasa
Bersalah
Menurut Horton dan Hunt [1993], seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara
yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi
bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran
merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran
lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang
memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama.Ada beberapa proses yang
umum untuk memperkecil ketegangan peran dan melindungi diri dari rasa bersalah, yaitu antara
lain:
Rasionalisasi
Rasionalisasi yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang
menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima.
Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah kesadaran bahwa ada konflik.
Misalnya, orang yang percaya bahwa “semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa
memiliki budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah “manusia” tetapi “benda milik.”
Pengkotakan (Compartmentalization)
Pengkotakan (Compartmentalization) yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari
peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang hanya
menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi yang
di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri
ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.
Ajudikasi (Adjudication)
Ajusikasi yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit
kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa.
Kedirian (Self)
Kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self),
sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran.
Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa
mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung
mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan
tindakan-tindakan mereka itu.Konflik-konflik nyata antara peran dan kedirian itu dapat dianalisis
dengan konsep jarak peran (role distance) yang dikembangkan Erving Goffman. “Jarak peran”
diartikan sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya
atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan
komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa
ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli
untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan
tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi. Penampilan “jarak
peran” menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain, “penyatuan
diri” dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari “jarak peran.” Penyatuan diri terhadap
peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang
dilakukannya. Seorang individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan
yang diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut.
TEORI INTERPRETASI
Hermenetik - Teori Interpretasi
Hermeneutics’ adalah studi teori interpretasi; bisa jadi seni interpretasi maupun praktek
interpretasi. Traditional hermeneutics -- dimana Biblical hermeneutics termasuk di dalamnya
mengacu ke studi interpretasi teks-teks tertulis, terutama di bidang kesusastraan, agama, dan
hukum. Modern hermeneutics melingkupi tidak hanya teks-teks tertulis, namun segala sesuatu
yang mengalami proses diinterpretasi. Hal ini termasuk komunikasi verbal dan non verbal. Ketika
kita membaca sesuatu, kita akan mendapatkan sebuah interpretasi. Ketika membacanya kembali,
akan selalu mungkin terjadi bahwa kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam lagi
dimana akhirnya akan membawa kita ke sebuah interpretasi yang jauh lebih menyeluruh. Tatkala
kita sampai ke interpretasi yang menyeluruh ini, sangatlah mungkin bahwa hasil interpretasi
tersebut dipengaruhi oleh apa yang kita simpan dalam otak maupun memori kita: bacaan-bacaan
yang telah kita baca, interpretasi-intepretasi yang kita hasilkan sendiri dari kegiatan membaca atau
mengamati segala hal yang terjadi di sekitar kita, pengalaman kita sendiri maupun pengalaman
orang lain yang kita dengar atau lihat, dll. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian muncullah
pertanyaan: adakah suatu interpretasi yang objektif, lepas dari segala yang telah kita simpan
dalam otak maupun memori kita, lepas dari segala indoktrinasi yang telah dia terima sepanjang
hidupnya, juga lepas dari segala pengalaman hidupnya. Tentu saja jawabannya adalah TIDAK.
Dalam bidang kesusastraan, teori hermeneutics ini tentu sangat mendukung adanya multi-
interpretasi dari sebuah karya sastra. Apalagi dengan sangat luwesnya sebuah karya sastra
dianalisis, tergantung teori mana yang kita gunakan, mulai dari teori klasik yang diajukan oleh
Aristotle expressive theory: berdasarkan pemikiran pengarang; pragmatic theory: berdasarkan
pemikiran pembaca; mimetic theory: pemikiran bahwa karya sastra merupakan tiruan apa yang
terjadi di masyarakat; dan objective theory: teori yang berdasarkan semata-mata pada karya
sastra itu sendiri sampai ke teori-teori sastra yang lebih modern, seperti Historical & Biographical
Criticism, New Criticism, Russian Formalism, Structuralism, sampai ke Marxism, Feminism,
Reader-Response Theory, Deconstruction, Psychoanalytic Criticism, Postcolonialism, etc. Dengan
pemaparan yang sangat kuat, berdasarkan teori yang kita pilih, hampir tidak mustahil kita bisa
menghasilkan interpretasi apa pun yang kita ingini. Bahkan, dengan teori The Death of the Author
milik Roland Barthes, seorang kritikus sastra bisa menafikan keberadaan seorang pengarang di
balik karya sastra yang dihasilkannya. ”The essential meaning of a work depends on the
impressions of the reader, rather than the “passions” or “tastes” of the writer, “a text’s unity lies
not in its origins, or its creator”, but in “its destination” or it audience.”
Dalam ranah spiritualitas, hal ini pun berlaku. ‘Kedewasaan’ spiritualitas seseorang tentu amatlah
ditentukan oleh seberapa banyak seseorang membaca, seberapa banyak variasi bahan
bacaannya, seberapa banyak seseorang mengalami ‘guncangan-guncangan’ spiritualitas, yang
bisa jadi disebabkan oleh pengalaman bergaul dengan orang-orang yang memiliki pengalaman
spiritualitas yang berbeda, bahkan mungkin kontradiktif, kesediaan diri untuk membuka otak dan
mata hati bahwa tidak ada interpretasi tunggal dalam memahami Kitab Suci, (contoh yang paling
‘mudah’ dalam hal ini misalnya pemahaman seseorang atas ayat ‘lakum dinukum waliyadin’ bisa
jadi menghasilkan interpretasi yang berbeda dengan orang lain, yang disebabkan oleh pengalaman
spiritualitas yang berbeda). Maka, tidaklah mengherankan jika seorang Amina Wadud berani
mengutarakan pendapatnya bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam shalat Jumat, meski
ditentang oleh banyak ulama; seorang Irshad Manji dengan berani mengaku sebagai seorang
lesbian padahal dia adalah seorang Islam scholar; seorantg Siti Musdah Mulia membolehkan
seorang perempuan Muslim untuk menikah dengan lelaki non Muslim, dlsb. Pengalaman
spiritualitas yang berbeda, didukung dengan teori hermeneutics tatkala menafsirkan suatu ayat
sangat memungkinkan hal ini terjadi.
Gagasan-gagasannya banyak berasal dari berbagai tradisi seperti sosiologi interpretif (interpretive
sociology), pemikiran Max Weber, phenomenology dan hermeneutics Marxisme dan aliran
”Frankfurt School”, serta berbagai pendekatan kelompok teori ini terutama sekali populer di
negara-negara Eropa.
Interpretif berarti pemahaman (verstechen) berusaha menjelaskan makna dari suatu tindakan.
Karena suatu tindakan dapat memiliki banyak arti, maka makna idak dapat dengan mudah
diungkap begitu saja. Interpretasi secara harfiah merupakan proses aktif dan inventif.
Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan
oleh pelaku. Jadi interpretasi adalah suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-
kemungkinan makna.
Implikasi social kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik, tetapi banyak
diantaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan komunikasi dalam masyarakat.
Meskipun demikian teoritisi kritis biasanya enggan memisahkan komunikasi dan elemen lainnya
dari keseluruhan system. Jadi, suatu teori kritis mengenai komunikasi perlu melibatkan kritik
mengenai masyarakat secara keseluruhan.
Pendekatan kelompok ini terutama sekali popular di Negara-negara Eropa. Karakteristik
umum yang mencirikan teori ini adalah:

• Penekanan terhadap peran subjektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual.


• Makna merupakan konsep kunci dalam teori-teori ini. Pengalaman dipandang sebagai
meaning centered.
• Bahasa dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia.
Di samping karakteristik di atas yang menunjukan kesamaan, terdapat juga perbedaan mendasar
antara teori-teori interpretif dan teori-teori kritis dalam pendekatannya. Pendekatan teori interpretif
cenderung menghndarkan sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolute tentang
fenomena yang diamati. Pengamatan menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu yang bersifat
tentative dan relative. Sementara teori-teori kritis lazimnya cenderung menggunakan keputusan-
keputusan absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori interpretif ditujukan untuk memahami pengalaman hidup
manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks. Sedangkan teori kritis berkaitan
dengan cara-cara di mana kondisi manusia mengalami kendala dan berusaha menciptakan
berbagai metode untuk memperbaiki kehidupan manusia.
A. TEORI PERSPEKTIF INTERPRETASI
Tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori Post Positivis, karena dianggap terlalu umum,
terlalu mekanis dan tidak mampu menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dari interaksi
manusia.
Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan
melaui interaksi dan bagaimana kita berprilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu. Dalam
pencarian jenis pemahaman ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan yang sangat
berbeda dengan cara teori post positivis.
Pandangan dasar Perspektif Interpretif
Meliputi tiga bagian utama yakni :
1. Kajian Fenomenologi;
Dunia kehidupan (lebenswelt) adalah dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan.
Begitulah ujar Hussel[14]. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan
kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita meneorikan atau
mereflesikannya sehari-hari. Jadi pemikirannya bukan merupakan sebuah gerakan yang kohern. Ia
mungkin lebih merfleksikan pemikiran dari beberapa filsuf, termasuk didalamnya Edmund Husselr,
Maurice Marleu Ponty, Martin Haidger dan Alfred Schutz.
Secara singkat dapat dikatakan, fenomenolgi adalah kajian pemaknaan berdasaran kehidupan
sehari-hari. Terbagi atas dua bagian, yakni Klasik (trasendantal) dan Modern.
2. Kajian Hermeuneutika;
Adalah kajian yang menunjukkan para ilmuwan pada pentingnya teks dalam dunia sosial dan pada
metode analisis yang menekankan keterhubungan antara teks, pengarang, konteks dan kalangan
teorisi. Dengan demikian Heurmeneutika pada dasarnya menyediakan suatu jalan untuk
menghindar dari tekanan dalam penjelasan dan kontrol pada kalangan positivis serta pemahaman
subjektif atas penelitian sosial.
Sebagai salah seorang tokoh filsafat yang memusatkan perhatiannya pada hermeneutika, Paul
Ricoeur berpandangan bahwa hermeneutika merupakan suatu teori mengenai aturan-aturan
penafsiran terhadap suatu teks atau sekumpulan tanda maupun simbol yang dipandangnya atau
dikelompokkan sebagai teks juga. Ricoeur menganggap bahwa tidak ada pengetahuan langsung
tentang diri sendiri, oleh sebab itu pengetahuan tentang diri sesungguhnya hanya diperoleh melalui
kegiatan penafsiran. Melalui kegiatan ini, setiap hal yang melekat pada diri (yang bisa dianggap
sebagai teks) harus dicari makna yang sesungguhnya/objektif agar dapat diperoleh suatu
kebenaran (pengetahuan) yang hakiki tentang diri tersebut.
Hermeneutika bertujuan untuk menggali makna yang terdapat pada teks dan simbol dengan cara
menggali tanpa henti makna-makna yang tersembunyi ataupun yang belum diketahui dalam suatu
teks. Penggalian tanpa henti harus dilakukan mengingat interpretasi dalam teks bukanlah
merupakan interpretasi yang bersifat mutlak dan tunggal, melainkan temporer dan multi
interpretasi. Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dan tunggal dalam masalah interpretasi
atas teks karena interpretasi harus selalu kontekstual dan tidak selalu harus tunggal. Dalam
pengertian kontekstual, seorang interpreter dituntut untuk menerapkan hermeneutika yang kritis
agar selalu kontekstual. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah
pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis. Sementara itu, dalam
pengertian bahwa makna hasil dari interpretasi tidak selalu tunggal mengandung pengertian bahwa
suatu teks akan memiliki makna yang berbeda ketika dihubungkan dengan konteks yang lainnya,
sehingga akan membuat pengkayaan interpretasi dan makna.
Hermeneutika tidak dimaksudkan untuk mencari kesamaan antara maksud pembuat pesan dan
penafsir. Melainkan menginterpretasi makna dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang
diinginkan teks yang dikaitan dengan konteks. Seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada
dalam petunjuk teks. Suatu interpretasi harus selalu berpijak pada teks. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir
Pengkajian teks yang dianalis terus mengalami perkembangan dan kini stdui komunikasinya
meluas pada beberapa hal diantaranya, pidato, acara televisi, pertemuan bisnis, percakap
3. Kajian Interaksionis Simbolik;
Berorientasi pada prinsip bahwa orang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka
satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja
dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen penting dalam
produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang memengaruhi mereka[15].
B. TEORI KOMUNIKASI KRITIS
Kritik merupakan knsep kunci untuk memahami teori kritis. Teori ini dikembangkan oleh Mashab
Frankfrut. Konsep kritik dupergunakan mazhab ini memiliki kaitan dengan sejarah dengan konsep
kritik yang berkembang pada masa-masa Rennaisance.
(1) Teori Marxist
Tokohnya Karl Marx (1818-1883). Teorinya terus memberikan inspirasi bagi perkembangan ilmu
sosial juga ilmu komunikasi. Model analisisnya adalah model khas Marx atau Marxisme, yaitu
model analisis yang mencoba menemukan keuntungan pihak tertentu (dan kerugian pihak lain) di
balik fenomena yang dianggap biasa-biasa.
Marxisme mengembangkan dua istilah pokok yakni;
(1) substrkutur atau faktor ekonomi yang berkembang dimasyarakat.
(2) Superstruktur atau faktor nonekonomi seperti agama, politik, seni dan literatur. Maxs
berpendapat bahwa kondisi-kondisi ekonomi dipengaruhi faktor-faktor superstrukrur.
Atas dasar analisa ini, Marx mengarahkan pemikirannya untuk melakukan REVOLUSI (perubahan
secara mendasar dan cepat) struktur masyarakat.
(2). Frankfrut School
Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi
dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang
dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini
adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut.
Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor
Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah
mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau 'mazhab', dan bahwa
penamaan ini diberikan secara retrospektif. Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah
ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di
kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir
mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.
Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara lain oleh
ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain,
yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx.
Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan 'jawaban' terhadap situasi
mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik
Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx.
Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk
bisa menjawab tantangan zaman.
Patut dicatat bahwa beberapa pemikir utama Mahzab Frankfurt beragama Yahudi, dan terutama di
perioda awal secara langsung menjadi korban Fasisme Nazi. Yang paling tragis ialah kematian
Walter Benjamin, yang dicurigai melakukan bunuh diri setelah isi perpustakaannya disita oleh
tentara Nazi. Beberapa yang lainnya, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer terpaksa
melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat.
(2) Teori Feminist Media
Menurut Stephen W. Littlejohn, studi-studi feminis merupakan sebuah sebutan generik bagi sebuah
perspektif yang menggali pengertian dari gender dalammasyarakat. Dimulai dengan asumsi bahwa
gender adalah kategori yang luas untuk memahami pengalaman manusia, pembahasan feminis
bertujuan untuk mengekspos kekuatan-kekuatan dan batasan-batasan dari pembagian dunia
berdasarkan gendernya.
Fatalnya, banyak teori feminis yang memberi penekanan pada sifat mengekang dari hubungan
jenis kelamin di bawah dominasi patriarki. Dengan sendirinya, feminisme dalam banyak hal
merupakan sebuah studi tentang distribusi kekuasaan di antara jenis-jenis kelamin.
Para feminis sepertinya meminta adanya persamaan hak bagi perempuan, sebuah pengakuan
publik bahwa perempuan memiliki kualitas dan kekuatan yang sama, yang dapat tampil sama
baiknya di segala bidang kehidupan. Di lain pihak, mereka sepertinya ingin mengatakan bahwa
perempuan berbeda dengan laki-laki, dan bahwa kekuatan dan bentuk2 ekspresi mereka harus
dihargai dalam sisi mereka sendiri. Hal tersebut menimbulkan sebuah paradoks murni, supaya
perempuan dihargai dan memiliki hak-hak yang sama, kekuatan perempuan harus diakui, tetapi
penyorotan pada kekuatan-kekuatan perempuan ternyata semakin memperkuat pandangan
patriarkis bahwa perempuan memiliki tempat sendiri.
(4). Teori Political Economi Media
Vincent Mosco dalam bukunya “The Political Economi of Communication” secara tersirat
menyebutkan bahwa Posmodernitas dengan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan
keberadaannya. Hal tersebut terbukti dari beberapa teori dalam buku Mosco yang mengupas
tentang adanya keterkaitan hal tersebut diatas. Diantara teori-teori tersebut adalah komodifikasi,
spasialisasi dan strukturalisasi[16].
Komodifikasi menurut Karl Marx ialah kekayaan masyarakat dengan menggunakan produksi
kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti “kumpulan komoditas (barang dagangan) yang banyak
sekali”; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti sebuah bentuk dasar. Oleh karena itu kami
mulai mengamati dengan sebuah analisis mengenai komoditi (barang-barang dagangan)
(Mosco,1996:140). Komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang dirubah ke
dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan
sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar.
Spasialisasi ialah sebuah sistem konsentrasi yang memusat. Dijelaskan jika kekuasaan tersebut
memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi
yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Sebagai contoh, media barat yang menyebarkan
budaya mereka melalui media elektronik. Dari adanya hal tersebut memunculkan translator (orang-
orang yang tidak dapat menyaring budaya) yang akirnya berakibat budaya barat menjadi budaya
dunia. Dan kelompok hegemoni itu sendiri adalah kelompok yang menguasai politik, media dan
teknologi sekaligus.
Strukturalisasi merupakan salah satu karakteristik yang penting dari teori struktural. Yang
didalammya menggambarkan tentang keunggulan untuk memberi perubahan sosial sebagai
proses yang sangat jelas mendeskripsikan bagaimana sebuah struktur diproduksi dan diproduksi
ulang oleh manusia yang berperan sebagai pelaku dalam struktur ini.
(5). Teori Cultural Studies
Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai
penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan
sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi
ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun
lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat
parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan
multidisipliner.
Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang
dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun
representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.
Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan,
teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak
mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa
hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial
Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari
sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan,
diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan
merupakan wilayah amatan cultural studies.
(6). Analisis Framing
Dalam analisis framing yang ditekankan adalah bagaimana berita dibingkai? sisi mana yang
ditekankan dan sisi mana yang hendak dilupakan analisis framing dapat digambarkan sebagai
analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, paktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai
oleh media.pembingkaian tersebut melalui proses yang disebut kontruksi. Disini, realitas sosial
dimaknai dan dikontruksi dengan makna tertentu.
Dalam ranah penelitian media, analisis framing masuk dalam pradikma kontruksionis. Pandangan
ini dipengaruhi oleh berger dan luckman.
Media bukanlah satu saluran yang bebas memberitakan sesuatu apa adanya.mediajustru bersipat
subyektip dan cenderung mengkonstruksi realitas. Analisis framing bertijuan untuk mengetahui
bagaimana realitas dikonstruksi oleh media.dengan cara dan teknik peristiwa itu ditekankan dan
ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, lupuk,atau sengaja
disembunyikan dalam pemberitaan.
Analisis framing adalah metode untuk melihat cara bercerita(histori telling)media atas suatu
peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada ’cara melihat’temadak realitas yang dijadikan berita.
Sebagai suatu metode, analis framing banyak mendapat pengaruh dari sosiologi dan pisiologi.dan
sosiologi, terutama sumbangan pemikiran dari peterberger dan erfing goffman. Dari psikologi
adalah sumbangan dari teori yang berhubungan deng skema dan kognisi,dalam ranah penelitia
media, analisis framing masuk dalam pradikma konstruksionis. Pandangan ini dipengaruhi oleh
berger dan lukman.
Media dan berita dilihat dari para dogma konstruksionis. Fakta peristiwa adalah hasil konstruksi
realitas itu bersifat subjektif. Realitas hadir karena konsep subjektif wartawan. Realitas hadir sudut
pandang tertera dari wartawan.
(7). Analisis Wacana
Banyak model dan teori analisis wacana yang dikembangkan oleh para ahli. Seperti yang
dijabarkan oleh Eriyanto (2001) dalam buku Analisis Wacana, ada beberapa model analisis wacana
yang populer dan banyak digunakan oleh para peneliti, diantaranya adalah model dan teori analisis
wacana yang dikembangkan oleh Roger Fowler dkk (1979), The van Leeuwen (1986), Sara Mills
(1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun A. Van Dijk (1998).
Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata,
karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Melalui berbagai
karyanya, van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan.
Van Dijk membaginya kedalam tiga tingkatan :
Stuktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami
dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu
dari suatu peristiwa.
Superstuktur, adalah kerangka suatu teks : bagaimana stuktur dan elemen wacana itu
disusun dalam teks secara utuh.
Stuktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisa kata,
kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya.
Hall menurunkan 3 intepretasi (Ida, 2010) yang digunakan individu untuk menafsirkan atau memberi
respons terhadap persepsinya mengenai kondisi dalam masyarakat, yaitu dominan/hegemonic
code adalah disini posisi audiens yang menyetujui dan menerima langsung apa saja yang disajikan
oleh televisi, menerima penuh ideology yang dari program tayangan tanpa ada penolakan atau
ketidaksetujuan terhadapnya. Negotiated code, penonton yang mencampurkan intepretasinya
dengan pengalaman-pengalaman sosial tertentu mereka. Penonton yang masuk kategori
negosiasi ini bertindak antara adaptif dan oposisi terhadap intepretasi pesan atau ideology dalam
televisi. Oppositional code adalah ketika penonton melawan atau berlawanan dengan representasi
yang ditawarkan dalam tayangan dengan cara yang berbeda dengan pembacaan yang telah
ditawarkan (Hall: 138). Tipe ini tidak merasakan kesenangan pada saat menonton televisi. Ia
menolak sajian atau ideology dominan dari televisi.
Studi khalayak ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode reception analysis. Penelitian
ini dilakukan untuk memfokuskan peneliti pada produksi tentang pemaknaan teks dan proses
negosiasi makna khalayak terhadap studi kasus penelitian pada penerimaan khalayak terhadap
konsep kecantikan dalam iklan Pond’s dan Pantene. Dengan menggunakan tipe penelitian
eksploratif dan teknik indepth interview, peneliti akan dapat menggali lebih dalam tentang
penerimaan yang dilakukan oleh informan. Pada penelitian ini transkrip wawancara yang dari
informan yang berjumlah 5 orang remaja yang berasal dari wilayah Indonesia Timur menjadi unit
yang dianalisis kemudian di tambahkan dengan interpretasi dari informan untuk memperkuat data
pada pembahasan.
5. TEORI KRITIS
Teori Kritis merupakan salah suatu perspektif teoritis yang bersumber pada berbagai pemikiran
yang berbeda seperti pemikiran Aristoteles, Foucault, Gadamer, Hegel, Marx, Kant, Wittgenstein
dan pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran-pemikiran berbeda tersebut disatukan oleh sebuah
orientasi atau semangat teoretis yang sama, yakni semangat untuk melakukan emansipasi.
Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan,
keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara
terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang
cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.]
Ciri khas Teori Kritis tidak lain ialah bahwa teori ini tidak sama dengan pemikiran filsafat dan
sosiologi tradisional. Singkatnya, pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif
murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori
yang menjadi emansipatoris.Selain itu, tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan,
merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah.

6.1 TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT


Teori kritis merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk
sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari
irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :
a) Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang
mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat
yang rapuh ini harus diubah.
b) Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang
historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi
sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.
c) Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk
ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran
filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi
ideologi kam kapitalis. Teori harus memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik
dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
d) Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio
teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh
dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau
sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai
adalah palsu.
Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat. Pada dasarnya Teori Kritis
Aliran Frankfurt ingin memperjelas struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri serta
melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan kebudayaan secara rasional.
Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio
instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi
masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.
Karya yang terkenal dari Horkheimer adalah buku berjudul Dialektika Pencerahan yang ditulis
bersama dengan Adorno pada tahun 1944. Isi buku tersebut adalah kritik terhadap modernitas,
yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer, sebagai sejarah dominasi atau penguasaan.
Pemikiran ini mirip dengan kritik Marx. Perbedaannya adalah Adorno dan Horkheimer tidak
menjelaskan sejarah penguasaan dari hubungan produksi, melainkan dari dorongan psikologis
manusia, yakni kehendak untuk berkuasa. Paham kehendak berkuasa tersebut diambil alih dari
Nietzsche. Karena itu, Adorno dan Horkheimer mengkritik kesadaran yang ada pada masyarakat
itu sendiri, yakni kesadaran modern dengan rasio sebagai alat utama dominasi. Selanjutnya,
mereka juga menyimpulkan bahwa Pencerahan yang dipandang sebagai kemajuan dari cara
pandang mitologis, sebenarnya telah menjadi mitos itu sendiri. Kemudian mitos itu juga
menghasilkan penindasan dan penguasaan manusia yang satu terhadap yang lainnya. Contoh
kongkret dari penindasan itu adalah munculnya ideologi fasisme Jerman serta kemajuan teknologi
yang memanupulasi manusia.
Dalam Dialectics of Enlightenment (1972), Horkheimer dan Adorno seolah memakai teori
sebelumnya (Marx dll) namun juga mengkritiknya. Jika Marx hanya pada kapitalisme, maka
Horkheimer dan Adorno memiliki lebih banyak aspek yang dipikirkan; politik, alam, kamausiaan
dsb.
Horkheimer dan Adorno mengkritik 'dominasi' yang biasa dilakukan olehj filsafat barat, bahkan
karena terlalu mementingkan kemajuan dan rasionalisasi, maka alam begitu saja menjadi obyek
untuk dikuasai. Walau pun demikian, Horkheimer dan Adorno tetap mengakui bahwa manusia
membutuhkan makanan, pertanian dan industri bagi teknologi, namun semua itu haruslah
dikendalikan agar tidak menjadikan martabat manusia mengalami kemunduran.
Namun yang terjadi adalah identitas manusia justru direndahkan karena keinginan para penguasa,
pada pemilik industri, manusia menjadi alat bagi kemajuan teknologi. Dalam hal ini, selain kemajuan
teknologi, kakuasaan manusia juga sudah mengalami kealpaan untuk menghargai martabat
manusia lain. Hal ini terjadi dalam peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Nazi di bawah
kekuasaan Hitler yang membantai manusia layaknya objek saja.
Aufklarung atau pencerahan sumbangan Kant dalam diri manusia dimanfaatkan sebagai optimisme
oleh Horkheimer. Manusia yang berakal budi dapat mengeluarkan dirinya sendiri dari keterpurukan
akibat pihak di luar dirinya. Di sini, akal budi dianggap sebagai bekal untuk mengentaskan manusia
yang menurut Horkheimer irasional, padahal manusia haruslah rasional. Lalu Horkheimer memulai
teori kritisnya dengan pertanyaan-pertanyaan; "dapatkan teori rasional tentang diri manusia dalam
lingkungannya?", "bagaimanakah teori ini menjadi emansipatoris?", "manakah teori yang mampu
mengembalikan manusia menjadi rasional kembali?", "di mana martabat dan kepenuhan individu
dapat terpenuhi?" dsb. Dari pertanyaan-pertanyaan inilah, dia berteori berbagai bidang sosial
dalam usaha menyadarkan manusia agar tidak terjerat proses kapitalisme yang sedang
memonopoli kemanusiaannya.
Kritik-kritik yang dipakai Horkheimer adalah kritik tradisional di mana terdapat tiga hal yang harus
dilakukan;
1. Dia harus curiga dan kritis terhadap masyarakat.
2. Ia harus berpikir historis.
3. Ia harus tidak memisahkan teori dan praksis.
Namun pada akhirnya terori ini gagal menurutnya. Kegagalan itu terletak pada ketidakmampuan
memberikan pengertian rasional tentang manusia dalam alam lingkungannya. Namun sebaliknya,
justru membiarkan individu terbelenggu dalam masyarakat irasional. Dari kegagalan inilah, maka
teori kritis haruslah menjadi emansipatoris.

6.2 TEORI KRITIS SIGMUND FREUD


Teori-teori psikoanalitis Sigmund Freud memberi pengaruh penting pada pengembangan pemikiran
postrukturalis. Adorno, Fromm, dan Marcus dari Mahzab Frankfurt atau pemikir berikutnya seperti
Butler, Lacan, dan Zizek mengakui utang intelektual mereka pada Freud, meskipun mereka telah
menjauh dari teori-teorinya.
CIVILIZATION AND ITS DISCONTENTS [1930]
Civilization And Its Discontents [1930] karya Freud menguraikan pandangannya tentang kondisi
manusia. Model dialektisnya tentang kemanusiaan melihat kemanusiaan itu di dorong oleh
kekuatan berlawanan, yakni cinta dan benci, altruisme dan egoisme, atau naluri Eros dan Kematian
(Freud, 1994; 46-49). Naluri altruistik dalam individu menarik orang untuk bersama-sama,
sementara Naluri Destruktif membawa orang untuk saling menolak (Freud, 1994; 49).
Model Dialektis Freud terhadap individu meliputi: id, Ego, dan Super-Ego, yang secara luas sebagai
berikut :
1. Id = Diri yang Naluriah
2. Ego = Rasa individual yang di kembangkan sebagai diri yang berbada dari dunia luar.
3. Super-Ego = Nrma-norma budaya atau Nurani yang sudah di internalkan.
Awalnya, ego seseorang adalah tidak beda dari dunia luar: seorang bayi yang masih tergantung
merasa menjadi satu dengan dunia. Lalu, ego anak berkembang melalui prinsip kesenangan atau
kebahagiaan. Saat anak menjadi lebih sadar diri, ia mengidentifikasi figur “ayah pelindung” yang
bisa bergantung dan menginternalkan norma-norma budaya dan mengembangkan hati nurani.
Ketergantungan individual pada figur ayah pelindung membuat individu takut pada hukuman atau
pencabutan cinta jika ia melakukan pelanggaran (Freud, 1994: 54). Ketakutan yang bersifat
antisifasi ini mengarah ke penolakan naluriah. Jadi, individu menginternalkan otorita pelarangan
eksternal. Ketakutan atau hukuman eksternal ini menjadi ketakutan dari hati nurani atau super-ego
internal, dan mengarah pada dinamika penolakan personal.
Oleh karena itu, bagaimana individu mengembangkan karakter atau kepribadian mereka itu
tergantung pada figur otorita. Otoritas eksternal bisa melindungi sekaligus mengekang individu,
oleh karena itu si individu merasa terpenuhi sekaligus terampas oleh otoritas eksternal. Akibatnya,
individu merasa cinta sekaligus benci terhadap otorita eksternal.
Konsep Freud tentang Oedifus complex mengacu pada bagaimana anak-anak mencintai dan
membenci figur ayah pelindung. Anak-anak mengidentifikasi diri dengan figur ayah pelindung itu,
tetapi ingin juga menghancurkan dan menggantikannya. Anak-anak mencintai orang tua mereka
karena mereka bergantung pada perawatan orang tua. Akan tetapi, anak-anak membenci orang
tua karena orang tua tidak dapat memnuhi semua keinginan mereka. Orang tua membatasi
rangsangan egoistis dan naluriah anak dan mengharuskan kepatuhan pada klaim orang lain
(keluarga, komunitas, dan lain-lain).
Ketegangan antara anak dan orang dewasa akan di ulang dalam ketegangan antara individu dan
masyarakat. Model dialektis Freud melihat ketegangan inheren antara individu dan masyarakat,
dan dalam individu (antara id, ego dan super-ego). Naluri Eros menarik orang bersama-sama
melawan alam dan dikaitkan ke pengembangan masyarakat dan budaya (Freud, 1994; 49). Naluri
merusak dalam individu menolak penggabungan antara orang dan program peradaban (Freud,
1994; 49), walau itu mungkin memiliki peran kreatif dalam menyerang tradisi dan memungkinkan
munculnya hubungan sosial baru.
Secara naluriah, orang terdorong untuk mencari kebahagiaan (Freud, 1994; 11). Akan tetapi, kondisi
manusia pati di tandai oleh tiga sumber dasar penderitaan: kematian dan penurunan kondisi tubuh;
subordinasi manusia terhadap alam; dan rasa sakit akibat hubungan manusia dengan manusia lain
(Freud, 1994; 19). Kebahagiaan individual manusia pada akhirnya adala ilusif atau menyesatkan
karena terdorong oleh rangsangan biologis bawaan lahir yang saling bertentangan, dan
ketegangan inheren yang ada di antara strategi-strategi untuk mengatasi sumber-sumber
penderitaan manusia.
Tidak ada “resep tertinggi”, atau resep psikologis, untuk mengatasi tragedi kondisi manusia (Freud,
1994; 17). Freud skeptis terhadap kemungkinan kemanusiaan menjadi lebih bahagia dibawah
kondisi-kondisi primitif. Ia lebih percaya bahwa kemajuan manusia mungkin mengurangi
penderitaan manusia dibawah subordinasi alam (Freud, 1994; 20-21). Akan tetapi, peradaban
mungkin merusak kebahagiaan individual karena pembatasan budayanya lebih berkembang bagi
naluri biologis yang di bawa manusia sejak lahir. Freud mengkritik peradaban modern karena
begitu parah membatasi naluri manusia, terutama pembatasan peradaban terhadap seksualitas.
Freud menulis:
“Kita mungkin berharap, dalam perjalanan waktu, perubahan akan dilaksanakan dalam peradaban
kita sehingga lebih memuaskan kebutuhan kitadan tidak lagi terbuka pada pencelaan yang kita
lawan. Akan tetapi, barang kali kita juga harus membiasakan diri pada gagasan bahwa ada tulisan
tertentu yang melekat pada hakikat kebudayaan yang tidak akan tunduk pada setiap reformasi.
Selain kewajiban untuk menempatkan pembatasan atas naluri kita, yang kita lihat menjadi hal yang
tak terelakan, kita juga terancam dengan bahaya dari keadaan yang disebut la misere
psychologique dari kelompok (Freud, 1994; 43)"
Penderitaan yang tak terhindarkan dalam kondisi manusia cenderung menurunkan tuntutan
manusia untuk mendapatkan kebahagiaan, dan membatasi harapan manusia untuk menghindari
penderitaan (Freud, 1994; 12). Freud berhati-hati tentang bagaimana kmencapai kesempurnaan
manusia, dan oleh itu ia mendiagnosis neurosis kolektif dan mengusulkan solusi terafi kolektif.
Proposal seperti itu melibatkan problem teoretis serius dan implikasi politik serius.
“Jika evolusi peradaban punya kesamaan sedemikian luas dengan perkembangan suatu individu,
dan jika metode yang sama di terapkan pada keduanya, apakah diagnosis tidak akan dapat di
benarkan bahwa banyak sistem peradaban atau epos tentang itu, bahkan mungkin seluruh umat
manusia telah menjadi neurotik di bawah tekanan tren pembudayaan? Untuk pembedahan analitik
atas neurosis ini, rekomendasi terapi mungkin mengikuti yang bisa mengklaim kepentingan besar
praktis. Saya tidak mengatakan bahwa upaya penerapa psikoanalisis pada masyarakat beradab
akan menyenangkan atau mungkin dikutuk menjadi tanpa hasil. Akan tetapi, ini mendorogn kita
untuk sangat berhati-hati, tidak melupakan bahwa kita hadapi hanya dengan analogi. Itu berbahaya,
tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan konsep, untuk menyeret keluar dari kawasan
tempat mereka berasal dan di matangkan. Selain itu, diagnosis neurosis kolektif akan dihadapkan
pada kesulitan khusus. Dalam neurosis, masing-masing individu dapat kita gunakan sebagai titik
awal kontras yang disajikan antara pasien dan lingkungannya yang di asumsikan normal.

6.3 MARXISME
Tokohnya Karl Marx (1818-1883). Teorinya terus memberikan inspirasi bagi perkembangan ilmu
sosial juga ilmu komunikasi. Model analisisnya adalah model khas Marx atau Marxisme, yaitu
model analisis yang mencoba menemukan keuntungan pihak tertentu (dan kerugian pihak lain) di
balik fenomena yang dianggap biasa-biasa.
Marxisme mengembangkan dua istilah pokok yakni;
(2) substrkutur atau faktor ekonomi yang berkembang dimasyarakat.
(3) Superstruktur atau faktor nonekonomi seperti agama, politik, seni dan literatur. Maxs
berpendapat bahwa kondisi-kondisi ekonomi dipengaruhi faktor-faktor superstrukrur.
Atas dasar analisa ini, Marx mengarahkan pemikirannya untuk melakukan REVOLUSI (perubahan
secara mendasar dan cepat) struktur masyarakat.
Marxisme dianggap sebagai dasar pemikiran dari semua teori-teori yang ada dalam tradisi kritis.
Marxiesme ( dengan M besar) berasal dari pemikiran Karl Marx, seorang ahli filsafat, sosiologi dan
ekonomi dan Friedrich Engels, sahabatna. Marxisme beranggapan bahwa sarana produksi dalam
masyarakat bersifat terbatas. Ekonomi adalah basis seuruh kehidupan sosial. Saat ini, kehidupan
sosial dikuasai oleh kelompok kapitalis, atau sistem ekonomi yang ada saat ini adalah sistem
ekonomi kapitalis.
Dalam masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, profit merupakan faktor yang
mendorong proses produksi, dan menekan buruh atau kelas pekerja. Hanya dengan perlawanan
terhadap kelas dominan (pemilik kapital) dan menguasai alat-alat produksi, kaum pekerja dapat
memperoleh kebebasan. Teori Marxist klasik ini dinamakan ’The Critique of Political Economy’
(kritik terhadap Ekonomi Politik).
Marx ingin membangun suatu filsafat praxis yang benar-benar dapat menghasilkan kesadran untuk
merubah realitas, pada saat Marx hidup, yakni masyarakat kapitalis berkelas dan bercirikan
penghisapan. Teori Marx meletakkan filsafat dalam konteks yang historis, sosiologis dan
ekonomis. Teori Marx bukan sekedar analisa terhadap masyarakat. Teori Marx tidak bicara
eonomi semata tetapi ”usahanya untuk membuka pembebasan manusia dari penindasan
kekuatan-kekutan ekonomis”.
Menurut Marx, dalam sistem ekonomi kapitalis yang mengutamakan profit, masing-masing kapitalis
beruang mati-matian untuk mengeruk untuk sebanyak mungkin. Jalan paling langsung untuk
mencapai sasaran itu adalah dengan penghisapan kerja kaum pekerja. Namun kaum pekerja lama-
lama memiliki kesadaran kelas dan melawan kaum kapitalis.
Yang akan terjadi menurut ramalan Marx adalah penghisapan ekonomi dengan cara penciptaan
kebutuhan-kebutuhan artifisial (palsu) lewat kepandaian teknologi kaum kapitalis. Oleh karena itu
kaum kapitalis monopolis ditandai dengan kemajuan teknologi yang luar biasa. Dengan difasilitasi
teknologi, tidak lagi terjadi penghisapan pekerja oleh majikan di sebuah perusahaan, tetapi
penghisapan ekonomi ”si miskin” oleh ”si kaya” di luar jam kerja, di luar institusi ekonomi.
Kapitalisme dapat menimbun untung karena nilai yang diberikan oleh tenaga kerja secara gratis, di
luar waktu yang sebenarnya diperlukan untuk memproduksi suatu pekerjaan, Inilah salah satu kritik
ekonomi politik kapitalisme Marx.

6.4 FRANKFURT SCHOOL


Frankfurt School atau Sekolah Frankfurt merupakan aliran atau mazhab yang secara sederhana
sering dipahami sebagai ”aliran kritis”. Teori-teori kritis banyak dikembangkan oleh akademisi
dengan meninggalkan ajaran asli Marxisme, namun perlawanan terhadap dominasi dan
penindasan tetap menjadi ciri khas. Teori-teori kritis ini sering disebut neo marxist (amarxisme
baru) atau marxist (denan m kecil).
Farnkfurt School berasal dari pemikiran sekelompok ilmuwan German di bidang filsafat, sosiologi
dan ekonomi yang tergabung ”the Institute for Sosial Research” yang didirikan di Frankfurt,
Jerman pada tahun 1923. Anggota-anggotanya antara lain : Max Horkheimer, Theodor Adorno dan
Hebert Macuse.
Frankfurt School diilhami ajaran Karl Marx, namun sekaligus melampui dan meninggalkan ajaran
Marx secara baru dan kreatif. Cara pemikiran Sekolah Frankfurt mereka sebut sendiri sebagai
”Teori Kritik Masyarakat”. Teori Kritis memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai
teori yang emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya menjelaskan tetapi mengubah pemberangusan
manusia.
Maksud teori itu adalah membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern.
(Sindhunata, 1983 : xiii). Teori Kritik Masyarakat pada hakekatnya mau menjadi ”Aufklarung”.
Aufklarung berarti : mau membuat cerah, mau mengungkap segala tabir yang menutup tabir, yang
menutup kenyataan yang tak manusiawi terhadap kesadaran kita. Teori Kritik Masyarakat
mengungkapkan apa yang dirasakan oleh kelas-kelas tertindas, sehingga kelas-kelas ini menyadari
ketertindasannya dan memberontak.
Dalam Frankfurt School dikeal nama Jurgen Habermas, murid termasyhur Theodor W. Adorno,
yang membaharui Teori Kritis secara fundamental. Pokok pembaharuannya tersebut adalah :
1. Bila ajaran Marx menganggap basik seluruh kehidupan adalah ekonomi dan bekerja adalah
aktivitas pokok manusia, maka menurut Habermas pekerjaan hanya salah satu tindakan
dasar manusia saja.
2. Di samping pekerjaan masih terdapat tindakan yang sama dasariah, yaitu interaksi atau
komunikasi antarmanusia
Dalam konteks kedua ini kemudian nama Jurgen Habermas menjadi sangat terkenal di kalangan
akademisi komunikasi. Menurut Habermas penidasan tidak dapat bersifat total, tetapi masih ada
tempat di mana manusia dapat mengalami ide kebebasan, sehingga selalu masih ada tempat
berpijak untuk menentang penindasan. Tempat itu adalah komunikasi.
Temuan Habermas bahwa komunikasi adalah ”tempat ide kebebasan” dijelaskan Suseno sebagai
berikut :
”Habermas memperlihatkan bahwa komunikasi tidak mungkin tanpa adanya kebebasan, Kita dapat
saja dipaksa atau didesak untuk mengatakan ini atau itu, tetapi kita tak pernah dapat dipaksa untuk
mengerti. Manangkap maksud orang lain pun tak pernah dapat dipaksakan. Begitu pula orang tak
dapat dipaksa menyadari suatu kebenaran, untuk menyetujui suatu pendapat dalam hati, atau
untuk mencinta seseorang. Dalam pengalaman komunikasi sudah tertanam pengalaman
kebebasan”. (Sindhunata, 1983 : xxiii).

6.5 POSTMODERNISME
Postmodernisme adalah paham yang menolak bahwa proyek pencerahan yang dijanjikan
moderenitas. Menurut penganut posmodernisme, modernitas yang ditandai dengan munculnya
masyarakat industri dan banyaknya informasi telah memanipulasi berbagai hal termasuk
pengetahuan. Beberapa tokoh postmodernisme adalah :
Jean Fracois Lyotard, berpendapat bahwa postmodernime menolak janji besar modernisme,
bahwa modernisme membawa kemauan masyarakat.
Jean Baurillard, berpendapat bahwa dalam modernisme, realitas dan cerita tdak dapat dibedakan.
Maka budaya dalam masyarakat modern tidak dapat dipercaya karena merupakan realitas artifisal
atau realitas palsu. Misal : dengan kemauan teknologi, lukisan asli tidak dapat dibedakan dengan
lukisan pasu. Bahkan kadang yang palsu lebih bagus dari yang asli.
Postsrukturalis : adalah salah satu cabang postmodernisme yang secara khusus menolak makna-
makna tanda yang sudah terstruktur dalam pola pikir masyarakat. Setiap orang bebas menafsirkan
makna tanda yang ditemui. Roland Barthes tentang semiotika adalah salah satu contoh.
Postkolonialisme : juga merupakan salah satu anak cabang postmodernisme, tetapi yang secara
khusus mempelajari budaya-budaya yang ada saat ini sebagai akibat proses penjajahan masa lalu.

6.6 TEORI KRITIS KAJIAN BUDAYA


Teori-teori dalam Kajian Budaya berminat dalam mempelajari budaya-budaya yang terpinggirkan
oleh ideologi-ideologi dominan yang hidup pada sebuah budaya. Fokus Kajian Budaya adalah
perubahan sosial, yaitu munculnya atau diakuinya budaya-budaya yang termarginalkan tersebut.
Ini yang membedakan dengan Frankfur School yang melawan dominasi untuk merebut kekuasaan
dalam masyarakat. ”Arena bermain” Kajian Budaya antara lain : ras, gender, usia.
Kajian Budaya merupakan sebuah bidang studi interdisipliner. Kajian Budaya diakui sebagai bidang
studi secara resmi, ditandai dengan munculnya ”the Centre for Contempory Cultural Studies” di
Birmingham, Inggris tahun 1964.
Salah satu teori atau konsep baru postmodern khususnya postkolonialisme dan juga dapat
dikategorikan sebagai kajian Budaya adalah : Teori Identitas Budaya yang dibuat Stuart Hall. Teori
ini menolak identitas Afrika (orang-orang kulit hitam) seperti yang diberikan oleh Eropa (orang-
orang kulit putih).

Setidaknya ada 2 cara yang berbeda untu berpikir tentang ”identitas budaya” :
1. Cara pertama mendefinisikan ”identitas budaya” sebagai suatu kesatuan, sebuah
kumpulan tentang kebenaran seseorang, menyembunyikan atau menonjolkan sesuatu
tentang diri kita dimana usur sejarah bersatu di masa sekarang. Dengan definisi ini
identitas budaya kita merefesikan pengalaman sejarah dan kode-kode budaya memiliki
andil dalam membentuk kita menjadi ”seseorang:, dengan krangka yang stabil, tidak
berubah dan tetap tentang refernsi dan makna.
2. Cara kedua yang disusun Stuart Hall untuk melihat identitas budaya adalah melihat
beberapa kesamaan sekaligus perbedaan yang membentuk siapa diri kita sekaligus
perbedaan yang membentuk ”siapa diri kita sesungguhnya”, dibandingkan ”ita telah
menjadi apa”. Idenitas budaya dalam cara pandang kedua ini adalah masalah akan menjadi
apa ita kelak dan siapa kita sekarang. Identitas budaya menjadi bagian dari masa depan
juga masa lalu. Identitas budaya datang dari suatu tempat, meiliki sejarah, secara konstan
beruaha. Identitas budaya adalah permainan dari sejarah, budaya dan kekuasaan. Identitas
adalah nama yang kita berikan kepada kita dengan cara berbeda dimana kita diposisikan
dan posisi dimana kita berada di masa lalu.
Teori Stuart Hall menyusun teori yang menghasilkan konsep baru atau definisi baru berdasarkan
pemahaman tentang karakter traumatik pengalaman penjajahan. Cara dimana orang-orang kulit
putih hitam diposisikan dan diperlakukan dalam rezim dominan kulit putih, yang memiliki dampak
pada kekuatan budaya. Oang kulit hitam dikonstrusikan sebagai kelompok yang berbeda dalam
rezim barat.

6.7 FEMINISME
Menurut Stephen W. Littlejohn, studi-studi feminis merupakan sebuah sebutan generik bagi sebuah
perspektif yang menggali pengertian dari gender dalammasyarakat. Dimulai dengan asumsi bahwa
gender adalah kategori yang luas untuk memahami pengalaman manusia, pembahasan feminis
bertujuan untuk mengekspos kekuatan-kekuatan dan batasan-batasan dari pembagian dunia
berdasarkan gendernya.
Fatalnya, banyak teori feminis yang memberi penekanan pada sifat mengekang dari hubungan
jenis kelamin di bawah dominasi patriarki. Dengan sendirinya, feminisme dalam banyak hal
merupakan sebuah studi tentang distribusi kekuasaan di antara jenis-jenis kelamin.
Para feminis sepertinya meminta adanya persamaan hak bagi perempuan, sebuah pengakuan
publik bahwa perempuan memiliki kualitas dan kekuatan yang sama, yang dapat tampil sama
baiknya di segala bidang kehidupan. Di lain pihak, mereka sepertinya ingin mengatakan bahwa
perempuan berbeda dengan laki-laki, dan bahwa kekuatan dan bentuk2 ekspresi mereka harus
dihargai dalam sisi mereka sendiri. Hal tersebut menimbulkan sebuah paradoks murni, supaya
perempuan dihargai dan memiliki hak-hak yang sama, kekuatan perempuan harus diakui, tetapi
penyorotan pada kekuatan-kekuatan perempuan ternyata semakin memperkuat pandangan
patriarkis bahwa perempuan memiliki tempat sendiri.
Studi feminisme adalah label ”generik” bagi studi yang menggali makna penjenis kelaminan
(gender) dalam masyarakat. Perumus-perumus teori feminisme mengamati bahwa banyak aspek
dalam kehidupan memiliki makna gender. Gender adalah konstrusi sosial yang meskipun
bermanfaat, tetapi telah didominasi oleh bias laki-laki dan merugikan wanita. Teori Feminisme
bertujuan untuk terjadina kesetaraan antara laki-laki dan wanita di dunia.
Salah satu teori feminisme, khususnya teori komunikasi feminisme adalah tentang Representasi
yang disusun oleh Rakow dan Wackwitz. Rakow dan Wackwitz meneliti penggunaan-penggunaan
bahasa yang digunakan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Siapa dipilih untuk berbicara atau memutuskan sesuatu adalah merupakan pertanyaan
politis, yang menempatkan dimana posisi perempuan dan dimana laki-laki.
2. Siapa berbicara untuk siapa, atau suara siapa, yang dimuculkan dalam teks.
3. Satu bagian untuk mengungkapkan keseluruhan atau berbicara sebagai bagian dari
kelompok.
4. Siapa dapat berbiara dan merepresentasikan siapa?
5. Pemilihan penulis dan penerbit media.
Dalam kaitan dengan 5 pertanyaan di atas, penelitian Claire Johnson tentang film sejak 1970
menyimpulkan bahwa ”perempuan ditampilkan sebagaimana dikehendaki oleh laki-laki”, dan Mary
Ann Doane’s seorang analis film hollywood mengatakan bahwa ”perempuan harus ditampilkan
dalam sudut pandang perempuan, keinginan perempuan dan kegiatan perempuan”.
Salah satu teori feminisme itu adalah muted group theory, yang dirintis oleh antropolog Edwin
Ardener dan Shirley Ardener. Melalui pengamatan yang mendalam, tampaklah oleh Ardener
bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat di dalamya, yaitu bahwa laki-
laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas atau
dibugkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada
ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang
didominasi laki-laki.
Teori komunikasi feminisme Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini
dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi. Dia mengemukakan
asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut :
Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya
berbeda yang berakar pada pembagian kerja.
Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi dominan, menghambat ekspresi
bebas bagi pemikiran alternatif perempuan.
Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus menguah perspektif mereka ke
dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.
Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai perempuan berdasarkan beberapa
temuan penelitian :
Perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki.
Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata untuk pengalaman yang feminim, karena laki-laki
yang tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai.
Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna
perempuan. Bukti dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal : Laki-laki cenderung menjaga
jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut, perempuan
lebih sering menjadi obyek dari pengalaman daripada laki-laki, laki-laki dapat menekan perempuan
dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau
jelas. Jadi perempuan harus mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-aki
mengisolasi dirinyadari sistem perempuan.
Hipotesis ke-3 ini membawa pada asumsi yang ketiga, perempuan telah menciptakan cara-cara
ekspresinya sendri di luar sistem lak-laki dominan misalnya : diary, surat, kelompok-kelompok
penyadaran dan bentuk-bentuk seni alternatif.
Perempuan cenderung untuk mengekpresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi
dibanding laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai persoalan mereka
dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat komunikasi laki-
laki.
Perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam
rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional.
Secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer di masyarakat
luas, konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap bahasa.
Perempuan memiliki konsepsi huloris yang berbeda daripada laki-laki. Karena perempuan memiliki
metode konseptualisasi dan ekspresi yang berbeda, sesuatu yang tampak lucu bagi laki-laki
menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.

6.8 TEORI KRITIS HABBERMAS


Teori Kritis bukanlah suatu teori ‘ilmiah’ sebagaimana dikenal secara luas di kenal di kalangan
publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas melukiskan Teori Kritis sebagai suatu
metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan
(sosiologi). Dalam ketegangan itulah dimaksudkan bahwa Teori Kritis tidak berhenti pada fakta
obyektif seperti dianut teori-teori positivis. Teori Kritis hendak menembus realitas sebagai fakta
sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data
empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa Teori Kritis juga bersifat historis dan
tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontekstual. Degan demikian Teori Kritis
tidak hendak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis merupakan dialektika antara
pengetahuan yang bersifat transedental dan yang bersifat empiris.
Karena sifat dialektis itu Teori Kritis dimungkinkan untuk melakukan dua macam kritik. Di satu pihak
melakukan kritik transendental dengan menemukan syarat-syarat yang memungkinkan
pengetahuan dalam diri subyek sendiri. Di lain pihak melakukan kritik imanen dengan menemukan
kondisi-kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang memengaruhi pengetahuan menusia.
Dengan kata lain, Teori Kritis merupakan Ideologiekritik ( Kritik-Ideologi), yaitu suatu refleksi diri
untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah
satu kutub, entah transedental entah empiris.
Dalam konteks masyarakat industri maju, Teori Kritis sebagai kritik ideologi mengemban tugas
untuk membuka ‘kedok’ ideologis dari positivisme. Positivisme bukan sekedar pandangan
positivistis mengenai ilmu pengetahuan melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai ‘cara
berpikir’ yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri maju. Dari keseluruhan keprihatinannya
atas permasalahan rasionalitas zaman ini, dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mengarahkan diri
pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, Teori Kritis berusaha
untuk mengatasi saintisme atau positivisme. Pada taraf teori sosial, kritik itu dibidikkan ke arah
berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang
represif. Pada kedua taraf itu saling mengandaikan, seperti dinyatakan Habermas: “ suatu kritik
radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori social”. Pemahaman positivisme atas
ilmu-ilmu sosial mengandung relevansi politik yang sama beratnya dengan klaim-klaim politis lain
karena pemahaman itu berfungsi dalam melanggengkan status quo masyarakat. Sebaliknya,
interaksi social sendiri diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan positivistis yang pada
prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasionalitas teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah
Teori Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat
yang lebih rasional melalui refleksi diri. Di sini teori mendorong praxis hidup politis manusia.
Meskipun terdapat garis umum yang sama, Teori Kritis itu cukup bervariasi dalam gaya dan isinya
menurut pemikirannya masing-masing, entah itu Horkheimer, Adorno atau Marcuse. Sementara
Teori Kritis menurut Habermas secara khusus mempebaharui Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang
mengalami jalan buntu. Tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya, untuk mengadakan
perubahan-perubahan structural secara radikal, Habermas merumuskan kepribatinan itu secara
baru. Perubahan itu tidak dapat dipaksakan secara revolusioner melalui ‘jalan kekerasan’, juga tak
dapat dipastikan datangnya seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan revolusioner
melalui kekerasan hanyalah akan mengganti penindas lama dengan penindas baru, seperti terjadi
pada rezim Stalin. Di lain pihak, masyarakat memang tidak akan berubah selama angggota-
anggotanya menunggu datangnya perubahan bagaikan menunggu terjadinya gerhana. Menurut
Habermas dan inilah gagasan orisinalnya transformasi social perlu diperjuangkan melalui ‘
dialog-dialog emansipatoris’ . Hanya melalui ‘jalan komunikasi’ dan bukan melalui ‘jalan dominasi’
inilah diutopikan terwujudnya suatu masyarakat demokratis radikal, yaitu masyarakat yang
berinteraksi dalam susasana ‘komunikasi bebas dari penguasaan’.
Pandangan Habermas inilah yang kiranya menarik untuk kita simak lebih dalam. Di tengah derap
pembangunan dalam masyarakat kita, kontradiksi-kontradiksi yang diakibatkan oleh perubahan-
perubahan sosio-kultural menghasilkan tidak hanya kemajuan, tetapi juga kemajuan yang timpang.
Ketidakadilan sosial bukan hanya fakta yang sedang diusahakan perbaikannya melainkan pula
suatu keadaan yang terlestasikan secara tersamar dan menjadi suatu iklim. Situasi semacam itu
tidak hanya memerlukan penanganan teknis praktis, melainkan juga perlu menerima terang teoritis
yang bersifat kritis untuk mengoyak selubung ideologis yang menggelapkan pengetahuan para
anggota masyarakat mengenai realitas sosialnya. Dalam situasi semacam itulah diperlukan kritik
ideologi, baik terhdap ilmu-ilmu yang melukiskan fakta sosial itu maupun terhadap masyarakat itu
sendiri.
Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak terlepas dari zaman
Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yang universal. Pencerahan, bagi
Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan
manusia dari selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-
ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, karena pengaruh batas-
batas bahasa dan institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai wilayah publik luas. Untuk
itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu
begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan
prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral,
prosedur dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia harus saling
menghormati sebagai pribadi yang merdeka dan setara.
Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa dunia objektif, alih-alih kesepakatan
ideal, adalah penentu kebenaran. Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap benar, ternyata benar,
hal itu karena pernyataan itu dengan tepat merujuk pada objek yang ada atau dengan tepat
mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan tentang metafisika dan lebih
memilih berbicara tentang hal-hal yang praktis dan implikasinya untuk diskursus dan tindakan
keseharian.

6.9 TEORI KRITIS ADORNO


Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan di Frankfurt pada tahun 1903.
Dia adalah seorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial. Adorno meyakini bahwa
pemikiran konseptual muncul dari kebutuhan terhadap adaptasi dan, karenanya, selalu membawa
benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, dominasi pada wilayah materi
tercermin dengan dominasi pada tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel dengan
totalitarian fasisme dan totalitarianisme dalam industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak
sistem Hegelian dan pemikiran sistematis secara umum juga kecenderungan apapun terhadap
sintesis final. Dia menekankan hak untuk tidak sama.
Dalam karyanya bersama Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha
memberikan analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan
untuk mengamankan kebebasan dari ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa
bentuk dominasi politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan individualitas dan
masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif
konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat dalam konteks Weberian dimana dominasi
kapitalis merupakan bahaya terbesar yang muncul darinya.
Konsep sosiologi yang diformulasikan Adorno dimulai dengan usaha untuk memahami kaitan
antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian
Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yang
memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini penting karena analisis musik adalah
awal dari refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis
dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa yang disebut mediasi sosial,
yang berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; masyarakat dan individu.
Objek sentral dalam teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara
pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit
kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang
masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah teori menjadi ”kritis” dengan
menegasikan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah
ekonomi kapitalis.

6.10 TEORI CULTURAL STUDIES


Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai
penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan
sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi
ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun
lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat
parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan
multidisipliner.
Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang
dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun
representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.
Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan,
teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak
mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa
hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial
Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari
sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan,
diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan
merupakan wilayah amatan cultural studies.

6.11 TEORI KRITIS DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL


Dalam studi hubungan internasional terdapat teori kritis dimana teori ini dapat disebut sebagai neo
marxisme karena merupakan pengembangan dari pemikiran kaum marxis. Teori ini ada sebagai
proses pencerahan pada abad ke 14 hingga 15 (Wardhani 2013). Seperti namanya, teori ini
mengkritik perspektif-perspektif yang sudah ada sebelumnya. Baik berupa kritikan yang sifatnya
bertentangan dengan apa yang mereka pahami maupun kritikan yang sifatnya untuk membangun
atau menambahkan hal-hal yang kurang pada perspektif terdahulu. Walaupun teori ini banyak
mengkritik teori-teori yang ada sebelumnya, akan tetapi apa yang sudah dianggap benar kemudian
diberikan landasan filosofis kepada teori-teori hi tersebut, walaupun teori kritis sendiri bukan lahir
dari studi hubungan internasional (Wardhani 2013).
Teori kritis selalu memperbaharui diri karena ia selalu dianggap mampu mengisi kekurangan yang
terdapat dari perspektif sebelumnya. Teori kritis juga selalu ingin menjadi yang lebih baik, oleh
karena itu ia selalu mempermasalahkan kehidupan sosial politik yang pada saat itu terjadi hingga
tidak ada habisnya (Wardhani 2013). Teori ini selalu berusaha mengambil sikap kritis terhadap
dirinya sendiri sehingga mereka menggambarkan semua cabang keilmuan dan ahlinya tidak
terbatas pada satu bidang ilmu saja, sehingga banyak ahli yang datang dari berbagai disiplin ilmu.
Fokus pada teori ini juga tidak hanya terbatas pada ruang lingkup politik saja melainkan juga
lingkup sosial dimana teori ini harus bebas nilai.
Teori kritis seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan diatas, hadir untuk mengkritik teori-teori
yang sudah ada sebelumnya seperti liberalisme, realisme, marxisme, dan lain-lain. Ada asumsi
bahwa teori yang ada sebelumnya melihat hubungan internasional sebagai suatu fenomena yang
terjadi di negara-negara yang memiliki kekuatan lebih sebagai yang paling diuntungkan. Dan
negara-negara kecil disekitarnya hanya dapat merasakan dampak yang buruk dari penguasaan
negara-negara hegemon tersebut. Sehingga dari ketidakadilan tersebut, teori kritis muncul untuk
meluruskan apa yang seharusnya terjadi. Jadi tidak benar kita menganggap bahwa teori kritis
muncul hanya untuk memberikan komentar negatif untuk teori terdahulu saja, akan tetapi membuat
teori terdahulu lebih baik dan sempurna sehingga dapat dimengerti sebagai suatu saran yang
bernilai positif.
Teori yang terdapat dalam studi hubungan internasional dikondisikan oleh pengaruh sosial, budaya,
dan ideologi. Oleh karena itu, teori kritis memiliki tugas utama dalam mengungkapkan efek dari
pengkondisian di dalam teori hubungan internasional tersebut (Wardhani 2013). Teori kritis yang
mengandung utopianisme dapat memperbaharui teori terdahulu agar menjadi lebih sempurna.
Dimana adanya keingian teori kritis untuk menjadi penompang dari kritik-kritik sebelumnya.
Hubungan internasional harus diorientasikan pada unsur emansipatori. Kaum kritis menganggap
perdebatan yang terjadi pada teoritis tidak lebih dari sekedar perdebatan politik, yang sama halnya
dengan kaum idealis. Perbedaan kritis dengan idealis hanya pada kritis menolak kemungkinan
pengaitan akademik dan objektivitas (Jackson & Sorensen 1999).
Teori kritis yang merupakan turunan dari mazhab Frankfurt muncul sebagai teori yang reflektif
karena teori tersebut menganggap masyarakat sebagai objek analisis. Teori kritis yang muncul
dari mazhab Frankfurt ini merupakan sebuah pemikiran untuk memahami sifat-sifat utama dari
masyarakat kontemporer dengan memahami perkembangan sejarah dan sosialnya
(Burchill&Linklater 1996). Dimana teori tersebut mempelajari pola-pola yang terjadi di masyarakat
dalam lingkup sosialnya dengan kurun waktu yang berbeda, sehingga mereka dapat melihat suatu
kondisi sosial manusia yang mengalami perkembangan jaman. Konsep teori kritis memungkinkan
adanya pemeriksaan tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi yang diajukan oleh teori-teori tertentu
(Burchill&Linklater 1996).
Teori kritis memandang tatanan hubungan sosial dan politik yang ada sebagai hasil historis yang
harus dijelaskan (Burchill&Linklater 1996). Teori ini juga memandang konfigurasi global hubungan
kekuasaan sebagai sasarannya dan mempertanyakan bagaimana hal itu terbentuk. Kemudian
muncul kritikan terhadap teori kritis sendiri yang menunjuk kepada persamaan nilai dari teori-teori
lain. Dimana kritikan tersebut muncul dari kaum teori kritis. Bahwa para pemikir dari teori-teori
yang dikritik berasal dari cabang ilmu yang berbeda dan tidak terbatas sehingga banyak dari
sebuah cabang ilmu kemudian mengkritik cabang ilmu yang lainnya.
Kemudian bagaimana teori kritis ini mampu menjadi teori yang dapat mengkritik teori-teori yang
sudah ada sebelumnya dapat dilihat dari bagaimana ia merepresentasikan hal apa yang sudah
dikritik baik kritikan yang menjelaskan ketidaksempurnaan sebuah teori tersebut atau
menambahkan apa yang kurang dari teori tersebut. Inilah yang menjadikan teori kritis sebagai teori
yang bebas nilai. Kontribusi yang diberikan oleh teori kritis ini terhadap hubungan internasional pun
amat besar. Walaupun teori ini diadopsi akan tetapi juga memiliki relevansi dengan ilmu hubungan
internasional dirasa mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap fenomena hubungan
intenasional dan politik global.
7. TEORI PRAGMATIS
1. SEJARAH DAN DEFINISI PERSPEKTIF PRAGMATIS
Perspektif pragmatis pertama kali ditemukan oleh Charles S. Peirce pada tahun 1878 dalam
sebuah makalahnya yang berjudul How I Make Our Ideas Clear. Perspektif ini kemudian sering
dikaitkan dalam bidang keilmuan filsafat Amerika, sehingga banyak ahli filsafat Amerika yang
tertarik untuk mengembangkannya, seperti William James, John Dewey, George Herbert Mead
dan C.I. Lewis. Pada perkembangannya, perspektif ini tidak hanya berada di dalam ranah keilmuan
filsafat saja, namun dapat digunakan untuk melihat fenomena di ranah ilmu sosial seperti
komunikasi dan sosiologi.
Dalam perspektif pragmatis, segala sesuatu dianggap ada dan benar apabila sesuatu
tersebut bersifat fungsional, memiliki utilitas dan berguna bagi sebuah sistem. Perspektif ini
terkesan sangat praktis karena menekankan pada hasil dan akibat dari sebuah proses, bukan
mengamati bagaimana sesuatu tersebut berproses untuk menciptakan akibat. Sehingga
keberadaan ‘sesuatu’ tidak dilihat dari prosesnya menjalani fungsi, namun dari akibat yang
dihasilkan sesuatu tersebut bagi individu-individu dalam sebuah sistem. Keberadaan konsep
‘makna’ dalam pragmatis ini ditentukan oleh ‘konsekuensi’ yang dihasilkan dari sebuah sesuatu.
Apabila sesuatu tidak memiliki konsekuensi praktis maka sesuatu tersebut tidak memiliki makna di
dalamnya. Meskipun ia memiliki sebuah proses, namun perspektif pragmatisme hanyalah melihat
konsekuensiyang dihasilkan proses tersebut untuk dapat mendefinisikan makna. Di ranah
komunikasi, perspektif pragmatis melihat komunikasi sebagai sebuah aktivitas interaksi manusia
yang memiliki kualitas, kuantitas, dan relevansi dengan konteks yang dibicarakan. Komunikasi
dinyatakan ada apabila memiliki utilitas dan relevansi. Jika terjadi pertukaran proses penyampaian
pesan namun tidak memiliki kualitas, kuantitas dan relevansi, maka komunikasi tidak dapat disebut
ada. Pragmatis tidak melihat keberadaan komunikasi dari proses yang dijalankan, namun melihat
melalui akibat yang dihasilkan dari proses komunikasi tersebut.
2. PRINSIP-PRINSIP PERSPEKTIF PRAGMATIS
Perspektif pragmatis tidak memiliki hubungan dengan semiotics untuk prinsip-prinsip
teoritis/filosofisnya. Prinsip-prinsipnya secara langsung lebih banyak berasal dari teori sistem
umum (general system theory), campuran, multidisipliner dari asumsi, konsep, dan prinsip-prinsip
yang berusaha menyediakan kerangka umum bagi studi berbagai jenis fenomena.
a. Pokok-pokok Teori Sistem
Teori sistem merupakan seperangkat prinsip yang terorganisasikan secara longgar dan
bersifat amat abstrak, yang berfungsi untuk mengarahkan jalan pikiran kita, namun yang
tergantung pada berbagai penafsiran. Pokok-pokok teori sistem mencerminkan beberapa prinsip
yang sifatnya menyeluruh, yang mencerminkan beberapa asumsi aksiomatis pokok yang
umumnya dianut oleh para ahli teori sistem.
Prinsip Ketidakmungkinan Dijumlahkan (Nonsummativity). Arti dari prinsip ini yaitu suatu
totalitas, “keseluruhan dari sesuatu”. Rapoport (1968:xvii) mendefinisikan sistem sebagai “totalitas
yang berfungsi sebagai keseluruhan karena adanya saling ketergantungan dari bagian-bagiannya.”
Prinsip ketidakmungkinan penjumlahan dan keseluruhan hanyalah merupakan dua sisi dari mata
uang yang sama yakni keseluruhan berarti bahwa sistem itu berlainan dari penjumlahan objek atau
komponen-komponen yang secara bersama, membentuk sistem yang bersangkutan. Akan tetapi,
apabila bagian-bagian yang merupakan komponennya itu dihubungkan secara interdependen,
hasilnya adalah kolektivitas yang memiliki identitasnya sendiri, yang terpisah dari identitas
komponen-komponen yang bersangkutan secara individual.
Hubungan yang sifatnya saling tergantung diantara komponen-komponen dapat dilukiskan
menurut ketiga unsur yang saling berhubungan yaitu struktur, fungsi, dan evolusi. Hubungan
struktural menunjukkan adanya hubungan ruang (spatial) diantara komponen-komponen.
Hubungan-hubungan fungsional mengandung arti adanya hubungan yang berorienatsi pada waktu
diantara komponen-komponen. Sedangkan hubungan-hubungan evolusioner melacak seluruh
sejarah sistem sepanjang waktu.
Prinsip keterbukaan. Semua sistem diklasifikasikan menurut tingkat keterbukaannya. Para
ahli menggunakan beberapa karakteristik untuk membedakan sistem yang terbuka. Yang paling
umum dari karakteristik ini adalah adanya pertukaran energi atau informasi yang bebas antara
sistem yang terbuka dengan lingkungannya. Menurut Rapoport, 1968:xviii , sistem yang terbuka
mempunyai daerah perbatasan yang dapat ditembus, yang memungkinkan pertukaran yang cukup
dengan lingkungan sistem tersebut. Prinsip keterbukaan mengandung arti bahwa batas-batasnya
dapat ditembus sehingga cara itu memungkinkan sistem tersebut berinteraksi dengan
lingkungannya, dalam pengertian bahwa sistem itu dapat memasukkan informasi atau energi dari
lingkungan. Sistem yang terbuka juga ditandai dengan ekuifinalitas dan karenanya kurang dapat
dipengaruhi oleh kekuatan entropi yang disintegratif, tidak dapat dibalikkan kembali. Sistem terbuka
dapat memasukkan dan menghasilkan informasi atau negentropi dan dapat berkembang ke arah
organisasi struktural yang makin meningkat, yang tidak mungkin dijalankan dalam sistem yang
tertutup. Banyak sistem terbuka yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan informasi
sendiri di dalam sistem tersebut terutama pada kebanyakan sistem sosial. Menurut Ackoff dan
Emery, 1972 , sistem terbuka memiliki tujuan dan mempunyai kemampuan untuk mengatur diri.
Sistem terbuka dapat menilai struktur dan fungsionalisasi sistemnya sendiri maupun keadaan
lingkungan dan dapat bertindak selaras dengannya. Adapun karakteristik lain dari sistem yang
terbuka adalah makin meningkatnya “kompleksitas” yakni diferensiasi fungsi. Pringle (1951)
membahas kompleksitas yang meningkat itu sebagai akibat dari proses evolusioner.
b. Pokok-pokok Teori Informasi
Teori informasi. Secara filososfis, teori informasi berasal dari Norbert Wiener dan secara
sibernetis dan statistik dari teori komunikasi yang matematis dari Shannon dan Weaver (1949).
Hubungan-hubungan struktural dan fungsional diantara komponen-komponen menyatakan adanya
informasi. Apabila komunikasi terjadi dalam sitem sosial, maka individu terlibat dalam pengolahan
informasi. Prasyarat bagi pembahasan komunikasi secara pragmatis adalah adanya pemahaman
yang menyeluruh tentang hakikat informasi itu. Teori informasi memberikan salah satu cara untuk
memperoleh pemahaman tersebut.
Pilihan dan ketidakpastian. Salah satu karakteristik yang memisahkan manusia sebagai
suatu spesies yang unik diantara dunia hewan adalah kemampuan manusia untuk menentukan
pilihan. Manusia, sebagai komponen yang aktif dalam sistem sosial, secara konstan melakukan
pilihan dari populasi selama interaksi sosial. Cara manusia menentukan pilihan adalah dengan
mengurangi jumlah alternatif yang terdapat sampai mencapai jumlah yang dapat ditanganinya dan
akhirnya sampai pada satu alternatif saja. Manusia dapat melakukan pemilihan karena manusia
memiliki informasi. Melalui fungsionalisasi informasi inilah yang menyusutkan rentangan alternatif
informasi. Informasi menurut prinsip teori informasi, hanya ada dalam bentuk jumlah ; yakni makna
atau arti item informasi tertentu seluruhnya berada di luar lingkup teori informasi. Informasi diukur
dalam artian “berapa banyak” ketidakpastian dapat dihilangkan ketidakpastian yang berkaitan
dengan pilihan mana yang sebaiknya dipilih dari serangkaian alternatif. Teori informasi
mengasumsikan beberapa persyaratan sebelum ukuran statistisnya dapat diterapkan. Yang
pertama, adanya jumlah alternatif tertentu dan terbatas bagi penentuan pilihan. Jadi, populasi
pilihan tidak pernak tidak terhingga. Kedua, individu menggunakan informasi untuk mengurangi
ketidakpastian.
Redundansi dan kendala. Teori informasi menentukan bahwa penyesuaian yang lampau
suatu sistem mempengaruhi masa kini sehingga perilaku pengolahan informasi cenderung untuk
berulang sepanjang waktu dalam pola uji coba. Selama urutan itu secara konsisten selalu diulang
kembali, sistem itu memperlihatkan redundansi (redundancy). Makin redundan suatu urutan, makin
berkurang ketidakpastian yang dikandung dalam urutan itu, yakni makin tinggi probabilitas kejadian
(makin banyak redundansi dari suatu peristiwa tertentu dalam urutan, makin banyak kendala
dikenakan pada rentangan alternatif yang dapat diperoleh). Karena redundansi membatasi pilihan
yang dibuat dari populasi pilihan, suatu pola peristiwa yang berurutan hanya dapat dibedakan
dengan cara mengamati sistem perilaku sepanjang periode waktu. Pengulangan masa yang lalu
dan pengaruh perilaku yang lampau pada perilaku yang sekarang (juga mempunyai arti bahwa
perilaku yang sekarang mempengaruhi urutan perilaku di masa depan) menggambarkan
keterbukaan sistem itu dan pentingnya dimensi waktu dalam pengkajian ilimiah (Watzlawick,
Beavin, dan Jackson tentang prinsip keterbatasan (1967 : 131-132).
3. PENERAPAN KOMUNIKASI MANUSIA
Perspektif pragmatis tentang komunikasi manusia berlainan sekali dari ketiga perspektif
yang terdahulu dan memerlukan konseptualisasi kembali terhadap fenomena komunikatif.
Sistem sosial. Untuk memandang komunikasi manusia sebagai sistem memerlukan
eksistensi sistem sosial yang didalamnya terjadi komunikasi. Dari pernyataan tersebut disimpulkan
bahwa pertama konseptualisasi komunikasi sebagai aktivitas manusia dan jangan dikacaukan
dengan piranti keras komunikasi, walaupun unsur piranti keras itu mungkin saja relevan. Yang
kedua yaitu sifat dari sosial komunikasi adalah memusatkan perhatian pada pengolahan informasi
pada tingkat sistem dan tidak pada tingkat subsistem, yakni seorang individu. Masalah
kesenjangan (discrepancy) antara sikap dan perilaku individu merupakan titik pandang yang
penting. Jadi, kesenjangan sikap dan perilaku tidak “diselesaikan” dalam perspektif pragmatis,
bahkan tidak dikenal sebagai masalah.
Perilaku. Fokus perilaku sebagai satuan yang fundamental dari sistem komunikasi tidak
dimaksudkan untuk mengingkari relevansi atau arti komponen individu yang sifatnya bukan
perilaku (subsistem), akan tetapi relevansi atau arti dari unsur-unsur ini bagi sistem sosial secara
keseluruhannya juga tidak diasumsikan. Fisher dan Hawes (1971) menyarankan adanya penelitian
yang ditujukan untuk menemukan korelasi potensial antara “Model Sistem Interaksi” (hubungan
perilaku diantara individu) dan “model sistem manusia” (hubungan yang bersifat bukan atas dasar
perilaku). Perspektif pragmatis berpusat pada komunikasi manusia sebagai sistem perilaku.
Pola-pola interaksi yang berurutan. Watzlawick, Beavin, dan Jackson (1967:54-59)
menyatakan : “sifat hubungan bergantung pada pungtuasi urutan komunikasi antara para
partisipasinya.” Punftuasi (punctuation) ini semata-mata menunjukkan pengelompokan unsur-unsur
ke dalam pola yang telah dikenal. Tanpa adanya pengelompokan itu, pola atau struktur interaksi
tidka dapat dikenali, hanya akan berupa rangkaian yang kontinu dari tindakan yang mengikuti dan
mendahukui tindakan yang lain. Pungtuasi adalah pengelompokan, membuat mudah penafsiran arti.
Pungtuasi ke dalam pengelompokan yang sesuai merupakan hal yang wajar dan perlu agar dapat
menggambarkan hubungan yang tepat antara unsur-unsur tersebut. Jika kita menuruti arah teori
informasi, pungtuasi perilaku yang berurutan tergantung pada redundansi kejadian yang berulang,
atau kemugkinan untuk dapat diulang dari waktu ke waktu. Urutan yang terjadi secara berulangkali
yang disertai adanya keteraturan yang paling sering akan memberikan pungtuasi,
pengorganisasian atau pengelompokan interaksi yang sesuai. Asumsi teori informasi tentang
ekuivalensi redundansi dan pola memungkinakn pengamat untuk menggolongkan perilaku
komunikatif ke dalam pola yang berurutan dan dengan itu menetapkan sifat hubungan
komunikatifnya.
Dimensi isi dan hubungan. Dimensi isi dari tindakan komunikatif memberikan aspek “data”
dari informasi. Dimensi hubungan menghidangkan informasi seperti tentang bagaimana orang
sebaiknya menafsirkan data tersebut. Kedua dimensi ini tidak dapat dipisahkan dan selalu hadir
dalam setiap tindakan komunikatif. Walaupun aspek isi dan hubungan dari komunikasi itu dianggap
sebagai “dimensi” dan karenanya bersifat saling tergantung antara yang satu dengan yang lainnya
secara tidak terpisahkan, kedua aspek ini dapat diamati sebagai kualitas tindakan atau interaksi
yang sama yang secara analitis berbeda. Aspek hubungan dari komunikasi seperti halnya aspek
isi, ditentukan oleh penafsiran yang sama atas pemolaan, pungtuasi, dan pemberian urutan
prinsip-prinsip dari teori informasi. Sebagai dimensi komunikasi, aspek isi dan hubungan serupa
dengan dimensi tugas dan dimensi sosial dari proses kelompok saling tergantung akan tetapi
hanya dapat dipishkan untuk tujuan analisis. Secara tidak diragukan, satu dimensi mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh yang lainnya.
Ringkasnya, aplikasi teori sistem pada komunikasi berfokus pada perilaku individual yang
melalui pola-pola yang dapat diamati secara empiris yang berdasar pada redundansi, menandai
sistem sosial yang dinamakan komunikasi. Perspektif pragmatis tentang komunikasi manusia
didasarkan pada asumsi pokok dari teori sistem dan teori informasi, akan tetapi itu bukanlah satu-
satunya cara bagaimana teori sistem dapat diterapkan pada komunikasi manusia. (ulasan dari
“Model Sistem Manusia” dalam Fisher dan Hawes, 1971). Dengan demikian, perspektif pragmatis
merupakan aplikasi yang sesuai dari teori sistem pada komunikasi manusia dan jelas merupakan
perkembangan baru yang berbeda untuk penelitian ilmiah di kalangan para anggota masyarakat
ilmiah komunikasi manusia.
4. IMPLIKASI
Implikasi perspektif pragmatis lebih luas dan lebih jauh liputannya dalam perbedaannya dari
kebijakan konvensional yang mengitari komunikasi manusia. Dalam banyak hal perspektif
pragmatis mengingkari prinsip-prinsip utama mekanisme, psikologi, dan interaksionisme. Menurut
Feyerabend, perspektif pragmatis menyajikan alternatif paradigma yang sangat berbeda sifatnya
dengan perspektif lainnya.
Eksternalisasi
Komunikasi memusatkan perhatiannya pada perilaku, karena manusia masih mungkin untuk tidak
berkomunikasi namun tidak mungkin untuk tidak berperilaku. Manusia sudah dapat disebut
berperilaku hanya dengan bersikap diam ataupun tidak bergerak sekalipun. Oleh karena itu,
perilaku tidak memiliki lawan kata, begitu juga dengan komunikasi.
Perilaku yang asal-asalan, seperti menghentakkan kaki sembarangan tidak bersifat komunikatif.
Akan tetapi, pandangan memang menunjukkan bahwa semua komunikasi itu bersifat prilaku, dan
karenanya dapat ditangkap melalui pengindraan oleh semua partisipan dalam situasi komunikatif.
Karena itu, jelas sekali bahwa setiap fenomena internal komunikator tidak begitu berarti dalam
perspektif pragmatis. Apabila fokus analisisnya dari tingkat sistem, maka sikap yang
diinternalisasikan tidak dapat memengaruhi urutan perilaku interpersonal, namun ia dapat
memengaruhi tindakan seseorang yang secara tidak langsung dapat memengaruhi urutan perilaku
interpersonal.
Fenomena internal ini memasuki sistem komunikatif sebagai perilaku yang dieksternalisasikan,
atau tidak memasuki sistem itu sama sekali. Baru setelah itu, internalisasi menjadi bagian sistem.
Probabilitas Stokastis
Probabilitas stokastis tidak menunjukan adanya hubungan linear di antara keadaan pemula dan
keadaan berikutnya. Proses stokastis hanya menentukan probabilitas bahwa keadaan berikutnya
yang tertentu (dari antara rentangan keadaan yang mungkin ada) benar-benar timbul setelah
keadaan pemula yang tertentu. Tingkat probabilitasnya dihitung dengan menganalisa bentuk pola
urutan yang lalu dalam matriks interaksinya yang mewakili interval waktu yang cukup panjang.
Karenanya tingkat probabilitas stokastis itu adalah ukuran dari redudansi yang teruraikan secara
deskriptif dalam urutan interaksi.
Analisis Kualitatif
Pedoman analisis kualitatif dari Lofland memiliki gambaran yang relevan dengan perspektif
pragmatis. Lofland mengemukakan bahwa penelitian fenomena sosial dapat disimpulkan dalam
tiga buah pertanyaan dasar yang berusaha menemukan “karakteristik” dari fenomena tersebut.
Analisis kualitatif amat berkepentingan dengan pengkajian karakteristik fenomena sosial.
Karenanya, pertanyaan penelitian mengenai sebab dan efek menjadi kurang penting bagi peneliti
kualitatif dan juga tidak dapat diterapkan, tidak praktis, atau bersifat prematur.
Keterbukaan sistem sosial yang intrinsik dalam perspektif pragmatis mengandung arti bahwa
inferensi kausal menjadi kurang penting dalam memahami proses komunikasi manusia, jika tidak
mau dikatakan tidak sesuai. Yang lebih penting dan relevan adalah masalah-masalah kualitatif
tentang karakterisasi sistem komunikasi.
Semakin banyak terdapat kategori tindakan komunikatif, semakin kompleks analisis kualitatifnya.
Karenanya, karakterisasi perilaku komunikatif daam suatu sistem kategori tindakan, merupakan
langkah pertama dalam menganalisa komunikasi manusia secara kualitatif.
Analisis kualitatif pada sistem komunikasi secara jelas merupakan metodologi penelitian utama
yang ditekankan dalam rangka perspektif pragmatis. Analisis kualitataif mencakup pengelompokan
semua tindakan komunikasi yang dilakukan oleh perilaku komunikatif. Analisis interaksi pada
fungsi-fungsi komunikatif itu mencakup masalah-masalah kompleksitas ruang dan waktu, dalam
artian jumlah fungsi komunikatif yang tercermin dalam kategori analisis dan panjangnya urutan dari
tindakan yang analisis. Karena karakteristik sistem yang terbuka itu menunjukkan kecenderungan
untuk makin meningkat dalam kompleksitas sepanjang waktu, maka analisis kualitatif pada
kompleksitas ini penting bagi penelitan komunikasi dalam perspektif.
Kompleksitas Konsep Waktu
Di dalam kerangka perspektif pragmatis, waktu menjadi lebih kompleks dan semakin menjadi
bagian yang integral dari komunikasi manusia.
Mengkonseptualisasikan waktu dalam pengertian lain dari pengertian fisiknya memang agak sedikit
sulit. Waktu bersifat hanya satu arah dan selalu bergerak ke depan. Waktu juga bersifat konstan,
tidak dapat bergerak cepat ataupun berjalan lebih lambat. Dan diatas segalanya tadi, waktu
bersifat abadi.
Perspektif pragmatis komunikasi manusia mencakup konsep waktu secara fisik. Waktu fisik masih
tetap merupakan standar untuk mengukur semua dimensi waktu lainnya, namun begitu perspektif
pragmatis juga mencakup konsep-konsep waktu lainnya. Satu aspek waktu yang pragmatis
mencakup kesatuarahan. Dalam hal ini, peristiwa atau perilaku dalam tingkat redundansi dapat
terukur, waktu dapat mengulang dirinya sendiri. Melalui redudansi, kategori peristiwa yang sama
dapat terjadi pada waktu-waktu yang berlainan. Hal tersebut dapat mengartikan bahwa masa lalu
memengaruhi masa sekarang.
Dibandingkan dengan kelima indra yang dimiliki, memori manusia relevan dengan konsep waktu.
Kita tidak akan memperoleh pengalaman tentang waktu tanpa adanya pengaruh dan bantuan
memori. Memori tidak identik dengan waktu tetapi berfungsi sebagai “operator dalam waktu”.
Bahasan terakhir tentang konseptualisasi waktu dari perspektif pragmatis sebagai konsep yang
memiliki kompleksitas yang lebih besar. Kompleksitas tersebut adalah waktu dapat berjalan lebih
cepat ataupun lambat dalam perspektif pragmatis komunikasi manusia, padahal waktu memiliki
sifat konstan secara fisik.
Konsep waktu dicerminkan dalam perilaku yang dapat diamati dan dapat diungkapkan dalam
kategori fungsional perilaku komunikatif.
Komunikasi Interpersonal-Massa
Kecenderungan untuk memisah-misahkan komunikasi ke dalam tingakat sosiologis tertentu
umpanya seperti intrapersonal, interpersonal, kelompok, organisasi, masyarakat, atau massa
harus menunjukkan adanya potensi teori sistem untuk dipersatukan organisasi hirarkis dari sistem
terkandung dalam setiap perspektif pragmatis. Jadi, perspektif pragmatis seharusnya dapat
diterapkan secara sama kepada tiap tingkat hirarki tersebut. Konsep tentang urutan perilaku dan
redudansi dapat digeneralisasikan bagi setiap tingkat hirarki sistem. Perilaku dalam suatu sistem
yang terdiri dari dua orang mungkin hanya komentar verbal seorang individu, dan perilaku pada
tingkat masyarakat (komunikasi massa) mungkin lebih abstrak lagi, tetapi tetap berupa “perilaku”
juga.

5. MODEL PRAGMATIS
Komponen-Komponen Khas
Komunikasi dalam perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku orang-oran yang terlibat
dalam komunikasi. Oleh karena itu, satuan komunikasi yang paling fundamental adalah tindak
perilaku atau tindak yang dijalankan secara verbal atau nonverbal oleh seseorang peserta dalam
peristiwa komunikatif. Tindak itu lalu dikategorikan ke dalam berbagai fungsi yang dilaksanakan
komunikasi.
Karena tindak terjadi dalam rangkaian peristiwa yang sinambung maka keberurutan “tindak”
menjadi penting. Tindak tertentu harus mendahului tiap tindakan dan suatu tindakan menyusul
setiap tindakan; karena itu, satuan analisis yang lebih penting dari sistem komunikasi bukanlah
tindak tetapi interaksi atau interaksi ganda. Setiap kemungkinan pasangan tindak menurut
kategorinya terjadi pada tingkat probabilitas tertentu.
Sepanjang waktu pola interaksi itu dapat dipengaruhi oleh perubahan. Sistem komunikasi dapat
mengubah pola interaksi yang khas dan perubahan itu secara empiris dapat diketahui melalui
pencatatan perubahan dalam pola yang redundan dari interaksi dan interaksi ganda. Bergerser dari
satu pola interaksi ke pola karakteristik lainnya menunjukkan bahwa sistem komunikasi itu
meninggal satu fase interaksi dan memasuki fase lainnya. Pada tingkat pengertian yang awam,
memang wajar jika “percakapan ringan” antar individu yang bersifat basa-basi itu pada permulaan
percakapan berbeda sekali dengan jenis interaksi di antara komunikan yang sama beberapa waktu
kemudian. Jumlah fase sudah tentu, sangat berbeda-beda dari satu situasi komunikatif ke situasi
komunikatif ke situasi lainnya.
Beberapa sistem komunikasi merupakan sistem yang harus berlangsung sebagai suatu sistem
dalam periode waktu yang panjang. Kelompok yang sedang berlangsung tidaklah secara kontinyu
bergeser dari satu fase yang berbeda ke fase lainnya secara tidak terbatas. Lebih mungkin
sistem-sistem itu mengembangkan norma dan pola perilaku tertentu yang cenderung diperkokoh
secara berulang-ulang selama periode sejarah sistem tersebut. Dengan kata lain, fase di mana
sistem social itu bergerak, cenderung untuk berulang dalam suatu siklus yang sinambung.
Gambar tersebut membatasi pola tindakan, fase, dan siklus dalam parameter sistem social
tertentu. Suatu sistem komunikasi secara inheren adalah sistem social yang para anggotanya
memberikan kendala dan dengan cara itu mendefinisikan sistem melalui tindakan mereka serta
pola interaksi yang berikutnya. Dalam pengertian sistem social dan komunikasi inilah yang
divisualisasikan sebagai urutan peristiwa.
Memang sistem social tidaklah sama semua. Tetapi beberapa sistem social amat serupa, yang
menunjukkan bahwa penelitian ilmiah tentang fenomena komunikatif akan memperoleh keuntungan
dari pengembangan klasifikasi morfologis dari sistem social, yakni sistem komunikasi.
Fokus Perilaku Yang Berurutan
Fokus komunikasi dalam perspektif pragmatis secara jelas adalah perilaku, tindakan yang
dijalankan oleh para individu yang menjadi anggota sistem komunikasi. Tetapi, kita harus berhati-
hati mengkonseptualisasikan tindakan komunikatif secara terpisah. Tanpa tempatnya dalam
keseluruhan sistem, yakni dalam urutan redundan atau pola interaksi, maka tindakan itu sendiri
secara relative merupakan hal yang sepele dan tidak berarti. Hanya apabila urutan itu dikokohkan
kembali oleh tingkat kemungkinan terjadinya kembali barulah tindakan itu menjadi penting untuk
sitem tersebut dan mengendalakan atau mendefinisikan sistem. Perilaku dalam isolasi, dalam
perspektif pragmatis, sama sekali tidak dapat ditafsirkan.
6. TEORI YANG BERKAITAN DENGAN PERSPEKTIF PRAGMATIS
a. Teori Sistem Umum (Niklas Luhmann)
Luhmann memiliki pandangan yang berbeda dengan Parsons mengenai fungsionalisme struktural.
Ia memandang bahwa teori Parsons sangat kompleks dan memiliki beberapa kelemahan. Teori
sistem umum lebih menekankan kepada kontingensi dan kemungkinan dimana setiap fakta yang
ada tidaklah mutlak dan memiliki peluang untuk menjadi berbeda. Pertama teori fungsionalisme
struktural Talcott Parsons tidak memiliki referensi diri. Masyarakat lebih diarahkan untuk melihat
subsistem eksternal sedangkan tidak memiliki tempat untuk memahami dirinya sendiri yang
Luhmann anggap merupakan suatu hal penting bagi sebuah sistem. Kedua teori Talcott Parsons
terlihat kaku karena tidak memiliki kontingensi atau kemungkinan. Luhmann berpendapat bahwa
skema A G I L ciptaan parsons tidak dapat dilihat sebagai sebuah fakta, tetapi sebuah skema
kemungkinan.
ü Sistem Autopoietic
Luhmann menggunakan istilah autopoietic untuk menggambarkan sistem ekonomi, politik, hukum,
saintifik, dan birokrasi. Terdapat empat karakteristik dalam sistem.
Pertama, sebuah sistem autopoietic menciptakan elemen dasar yang menyusun sistem itu sendiri.
Sebagai contoh dalam sistem ekonomi uang merupakan sebuah ‘elemen dasar’ dan sistem
ekonomi tanpa adanya uang tidak akan dapat berjalan. Karakteristik yang kedua adalah, sistem
autopoietic mengorganisasikan pada batas batasnya sendiri dan mengorganisasikan sistem
internalnya. Misalnya sistem ekonomi memiliki batasan bahwa sesuatu yang dapat disebut dalam
sistem ekonomi adalah sesuatu yang langka dan berharga.Karakteristik yang ketiga dalam sebuah
sistem adalah self referential. Sistem ekonomi memiliki harga untuk menggambarkan dirinya
sendiri. Dalam sebuah pasar saham, harga ditentukan oleh sistem ekonomi. Pasar saham dapat
disebut sebagai referensi diri dari sebuah sistem ekonomi.
Ciri terakhir dalam sistem autopoietic adalah tertutup. Sistem ekonomi lebih berpihak kepada
pemenuhan kebutuhan si kaya, namun tertutup pada pemenuhan kebutuhan si miskin.
ü Masyarakat dan Sistem Psikis
Terdapat empat karakteristik masyarakat yang dijelaskan oleh Luhmann, yaitu membangun
struktur dan batas batasnya sendiri, self-referential, dan tertutup. Menurutnya elemen dasar dari
masyarakat adalah ‘komunikasi’. Masyarakat yang menciptakan komunikasi, dan komunikasi lah
yang membentuk masyarakat. Sesuatu yang individu miliki dan tidak pernah dikomunikasikan
kepada individu lain bukanlah bagian dari masyarakat.
Sistem psikis masyarakat yang dijelaskan selanjutnya oleh Luhmann dapat disebut sebagai
‘kesadaran’. Kesadaran yang dimaksud dalam hal ini adalah kesadaran terhadap makna yang
terbentuk dalam sebuah sistem. Dalam sistem psikis, segala sesuatu yang tidak bermakna berada
di luar sistem, yang menjadi penyebab tindakan kita. Sedangkan segala sesuatu yang bermakna di
dalam sistem berfungsi sebagai motivasi bagi tindakan kita.
ü Evolusi menurut Niklas Luhmann
Luhmann berpendapat bahwa evolusi tidak bersifat teleologis. Evolusi merupakan sebuah
perubahan yang deontologis dan perkembangan bukanlah tujuan yang ditetapkan sebelumnya oleh
sebuah sistem.
Evolusi merupakan seperangkat proses yang menjalankan fungsi variasi, seleksi dan stabilitas
karakteristik yang dapat diproduksi. Variasi dianggap sebagai berbagai macam cara yang
digunakan untuk menghadapi segala masalah yang timbul dari gangguan lingkungan. Dalam
memilih variasi tersebut maka dibutuhkanlah seleksi untuk memilih solusi yang dianggap mudah
untuk diterapkan. Terakhir, stabilisasi dibutuhkan bagi sistem untuk menyesuaikan diri dengan
diferensiasi atau sistem baru yang muncul akibat dari evolusi.
b. Teori Integrasi Informasi
Teori Integrasi Informasi (Information Integration Theory) merupakan teori tentang
pengorganisasian pesan atau informasi yang dikemukakan oleh Martin Feishbein. Teori ini
berasumsi bahwa organisasi mengakumulasikan dan mengorganisasikan informasi yang
diperolehnya tentang sekelompok orang, objek, situasi atau ide-ide untuk membentuk sikap yang
sesuai dengan konsep yang terbentuk dari hasil penerimaan informasi tersebut (Little John,
1997:234-240)
Feishbein dalam Little John kemudian mengemukakan bahwa merujuk pada teori ini semua
informasi mempunyai kekuatan potensial yang dapat mempengaruhi orang untuk memiliki sikap
tertentu. Besar tidaknya pengaruh tersebut tergantung kepada dua hal yaitu:
1. Valensi atau tujuan
Sejauhmana suatu informasi mendukung apa yang sudah menjadi kepercayaan seseorang. Suatu
informasi dikatakan positif apabila informasi tersebut mendukung kepercayaan yang telah ada
dalam diri seseorang sebelumnya. Sedangkan jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka informasi
itu dapat dipandang sebagai sesuatu yang negative.
2. Bobot penilaian
Berkaitan dengan tingkat kredibilitas informasi tersebut. Maksudnya apabila seseorang melihat
informasi itu sebagai suatu kebenaran, maka ia akan memberikan penilaian yang tinggi terhadap
informasi itu. Sementara jika yang terjadi adalah sebailknya, maka penilaian yang diberikan pun
akan rendah. (Littlejohn,1996-137-138)
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa Valensi berkaitan dengan bagaimana informasi dipengaruhi
sikap seseorang, sedangkan Bobot Penilaian berkaitan dengan sejauhmana informasi tersebut
mempengaruhi sikap seseorang. Dengan demikian, walaupun suatu informasi memiliki tingkat
valensi yang tinggi, apabila tidak didukung oleh bobot penilaian yang tinggi pula, akan menghasilkan
efek yang kecil pada sikap seseorang (Littlejohn,1996:137-138)
Selanjutnya, pendekatan integrasi informasi memusatkan pada cara-cara orang
mengakumulasikan dan mengorganisasikan informasi tentang orang, objek, situasi atau gagasan
tertentu untuk membentuk sikap terhadap sebuah konsep. Sikap sudah menjadi sebuah satuan
penting dalam penelitian tentang persuasi karena arti pentingnya dalam perubahan sikap. Sebuah
sikap adalah sebuah predisposisi untuk bertindak dengan suatu cara yang positif atau negatif
terdapat sesuatu.
Sebuah sikap merupakan sebuah akumulasi dari informasi tentang sesuatu, objek, orang, situasi
atau pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi baru memberikan tambahan pada
sikap. Sikap mempunyai korelasi dengan keyakinan dan menyebabkan seseorang memiliki perilaku
tertentu terhadap objek sikap.
Menurut teori integrasi informasi ini, adanya akumulasi informasi yang diserap seseorang dapat
menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Informasi dapat mengubah derajat kepercayaan seseorang terhadap suatu objek
2. Informasi dapat merubah kredibilitas kepercayaan seseorang yang sudah dimiliki seseorang.
3. Informasi dapat menambah kepercayaan baru yang telah ada dalam struktur sikap.
Sebuah sikap dipandang sebagai sebuah akumulasi dari informasi tentang suatu objek, orang,
situasi, maupun pengalaman. Jadi, perubahan sikap terjadi karena informasi baru memberikan
tambahan pada sikap, atau perubahan sikap terjadi karena informasi tersebut telah merubah
penilaian seseorang mengenai valensi dan bobot informasi lain. Namun, informasi apapun
biasanya tidak akan membawa pengaruh yang terlalu besar terhadap sebuah sikap karena sikap
tersebut memuat bebarapa yang bisa menangkal informasi tersebut. Gary L. Kreps dalam
bukunya Organizational Communication mengatakan:
Informasi adalah suatu proses pemaknaan pesan dan informasi adalah makna yang kita gunakan
untuk membentuk suatu pengertian. Pengertian mengandung nilai informasi yang memungkinkan
kita untuk mengerti, menginterpretasikan dan memprediksi suatu fenomena) (Kreps,1990:27)
Makna penting pengorganisasian komunikasi yang menghubungkan kepentingan antara
organisasi dengan lingkungan luarnya sebagaimana dikemukakan oleh Kreps yaitu, bahwa media
komunikasi eksternal menjembatani pesan antara organisasi dengan lingkungan sekitar dan pesan
tersebut bertujuan untuk mempengaruhi bagaimana lingkungan sekitar bersikap terhadap
organisasi) (Kreps, 1990:21).
c. Teori Pemrosesan Informasi
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.
Berdasarkan temuan riset linguistik, psikologi, antropologi dan ilmu komputer, dikembangkan
model berpikir. Pusat kajiannya pada proses belajar dan menggambarkan cara individu
memanipulasi simbol dan memproses informasi. Model belajar pemrosesan informasi Anita E.
Woolfolk (Parkay & Stanford, 1992) disajikan melalui skema yang dikutip berikut ini.
Gambar 1. Skema pemrosesan informasi
Model belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model kognitif information
processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf struktural sistem informasi, yaitu:
1) Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory register,
tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam sistem, informasi
masuk ke working memory yang digabungkan dengan informasi di long-term memory.
2) Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working memory, dan
di sini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working memory sangat terbatas
kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil informasi secara serempak.
3) Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga
mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta didik. Kelemahannya adalah
betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.
Diasumsikan, ketika individu belajar, di dalam dirinya berlangsung proses kendali atau
pemantau bekerjanya sistem yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk menyimpan
informasi ke dalam long-term memory (materi memory atau ingatan) dan strategi umum
pemecahan masalah (materi kreativitas).
Pengetahuan yang diproses dan dimaknai dalam memori kerja disimpan dalam memori jangka
panjang dalam bentuk skema-skema teratur secara hirarkis. Tahap pemahaman dalam
pemrosesan informasi dalam memori kerja berfokus pada bagaimana pengetahuan baru
dimodifikasi. Pemahaman berkenaan dan dipengaruhi oleh interpretasi terhadap stimulus. Faktor
stimulus adalah karakteristik dari elemen-elemen desain pesan seperti ukuran, ilustrasi, teks,
animasi, narasi, warna, musik, serta video. Studi tentang bagaimana informasi diidentifikasi,
diproses, dimaknai, dan ditransfer dalam dan dari memori kerja untuk disimpan dalam memori
jangka panjang mengisyaratkan bahwa pendesainan pesan merupakan salah satu topik utama
dalam pendesainan multimedia instruksional. Dalam konteks ini, desain pesan multimedia
berkenaan dengan penyeleksian, pengorganisasian, pengintegrasian elemen-elemen pesan untuk
menyampaikan sesuatu informasi. Penyampaian informasi bermultimedia yang berhasil akan
bergantung pada pengertian akan makna yang dilekatkan pada stimulus elemen-elemen pesan
tersebut.

d. Teori Information Seeking


Menurut Donohew dan Tipton (1973), Information Seeking menjelaskan tentang pencarian,
penginderaan, dan pemrosesan informasi, disebut memiliki akar dari pemikiran psikologi sosial
tentang sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari
informasi yang tidak sesuai dengan image of reality-nya karena informasi itu bisa saja
membahayakan.
Information seeking adalah proses atau kegiatan yang mencoba untuk mendapatkan informasi dan
teknologi baik dalam konteks manusia. Mencari informasi berkaitan dengan, tetapi belum berbeda,
pengambilan informasi (IR). Information seeking juga diartikan sebagai upaya menemukan
informasi secara umum, dan information searching adalah aktivitas khusus mencari informasi
tertentu yang sedikit-banyaknya sudah lebih terencana dan terarah.
Dalam istilah sederhana, information seeking melibatkan pencarian, pengambilan, pengakuan, dan
penerapan isi yang maknawi. Pencarian ini bisa eksplisit atau implisit, pencarian mungkin hasil dari
strategi khusus atau kebetulan, informasi yang dihasilkan mungkin akan dipeluk atau ditolak,
seluruh pengalaman dapat dilakukan melalui suatu kesimpulan logis atau dihentikan di tengah jalan,
dan mungkin ada juta potensi hasil lainnya.
Information seeking telah dilihat sebagai latihan kognitif, sebagai pertukaran sosial dan budaya,
sebagai strategi diskrit diterapkan ketika menghadapi ketidakpastian, dan sebagai syarat dasar
kemanusiaan di mana semua individu ada. Bahkan, perilaku informasi mungkin istilah yang lebih
tepat, bukan mencari informasi, untuk terbaik menggambarkan hubungan multi-faceted informasi
dalam kehidupan manusia, sebuah hubungan yang dapat mencakup baik aktif mencari melalui
saluran informasi formal dan berbagai lain sikap dan tindakan, termasuk skeptisisme dan
ambivalensi (Pendleton & Chatman 1998 ).
Kuhlthau menjelaskan proses information seeking sebagai inisiasi, pemilihan, eksplorasi,
perumusan, pengumpulan, dan presentasi.
1. INISIASI
Inisiasi dimulai dengan pengakuan kebutuhan informasi dan melibatkan upaya pertama untuk
menyelesaikan ketidakpastian. Dalam teori psikologi perilaku, ketidakpastian, kebaruan, dan
varietas memberikan motivasi awal untuk mencari informasi ( Wentworth & Witryol 1990 ).
Keinginan psikologis untuk memprediksi hasil, untuk mengetahui yang tidak diketahui, atau untuk
memperluas jangkauan pengalaman berfungsi sebagai daya dorong utama untuk mencari
informasi dari perspektif behavioris. George Kelly berangkat dari kedua behaviorisme dan
psikologi kognitif tradisional untuk menyarankan pengetahuan itu, dan informasi mencari yang
membangun pengetahuan, muncul dari konstruksi pribadi ketimbang pengambilan murni objektif
dan aplikasi (1955). Proses dan produk dari konstruksi ini adalah pengalaman unik dipengaruhi oleh
keadaan kognitif, afektif, dan material individu.Kebutuhan untuk memodifikasi pribadi konstruksi
sebagai situasi yang baru dan pengalaman muncul kebakaran mencari informasi.
Menggambar pada teori komunikasi dan metodologi kualitatif, pendekatan pembuatan akal untuk
informasi pemahaman mencari dan menguraikan penggunaan atas beberapa ide-ide Kelly, tentang
pencarian informasi sebagai konstruktif dinamis, dan dinegosiasikan fenomena, ( Dervin 1999 ).
Individu terus-menerus membuat dan unmake pemahaman dan perspektif melalui eksplorasi
perhubungan luas dan mendalam informasi yang adalah hidup. eksplorasi ini terjadi sebagai
proses komunikatif, dialog berpotongan yang melampaui data untuk menyertakan emosi, ide-ide,
nilai, pendapat, takhayul, dan keyakinan pada tingkat pribadi dan sosial. Dari perspektif rasa-
pembuatan kompleksitas dan perubahan, awal dari sebuah tindakan tertentu atau situasi mencari
informasi ini terletak dalam konteks yang lebih luas.
2. SELEKSI
Setelah individu mengakui bahwa ia perlu mengetahui sesuatu, pertanyaan tentang apa yang perlu
mengetahui harus dijawab. Dalam tahap seleksi, individu mengetengahkan informasi sehubungan
dengan topik umum atau bidang pengetahuan. Sebagai contoh, sekolah sering meminta siswa
untuk menyelidiki pertanyaan penelitian dengan menggunakan metode yang ditentukan, untuk
memanfaatkan sumber-sumber informasi tertentu, dan untuk menyajikan temuan mereka dalam
format yang seragam. Untuk menyelesaikan tugas, mahasiswa harus menerjemahkan kebutuhan
informasi mereka ke dalam sistem organisasi yang perpustakaan dan agen-agen informasi lainnya
telah dikembangkan.
Masalah yang kompleks membutuhkan banyak pemikiran dan usaha. Individu harus menggambar
apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Dalam model proses pencarian informasinya,
Kuhlthau tampaknya mengenali tantangan dan menekankan bahwa individu harus didorong untuk
melanjutkan dengan langkah mereka sendiri dalam proses seleksi.
3. EKSPLORASI
Eksplorasi berfungsi sebagai metode dimana dasar-dasar konstruksi baru diletakkan, "membuka
dimensi-dimensi pribadi dari makna dalam alam semesta dipahami dalam hal proses ( Warren 1991
, 529). Individu cenderung mengolah untuk informasi nilai yang diperoleh dari tangan investigasi
pertama dalam lingkup kehidupan sehari-hari, seperti belajar dari pengalaman mereka sendiri dan
mencari saran dari orang lain dalam kelompok sosial mereka ( Pendleton & Chatman 1998 , Myers
1998 ). Hal ini tidak berarti informasi yang dari luar ranah pribadi dan sosial secara langsung tidak
relevan atau membantu dalam mencari informasi, tetapi kolaborasi dan komunikasi membayar
individu kesempatan untuk menggunakan informasi tersebut dalam cara-cara yang bermakna.
Individu mulai menggunakan informasi umum untuk menghasilkan pertanyaan lebih spesifik dan
rinci, untuk mempersempit topik mereka, dan untuk mulai mencari informasi secara lebih dalam.
Formulasi mengharuskan pencari untuk membuat hubungan antara ide-ide yang berbeda, untuk
berpikir kritis tentang informasi yang ditinjau sejauh ini, dan membuat pilihan pribadi yang relevan
berdasarkan belajarnya. Fokus informasi dengan karakter spesifik dan dimensi dari suatu masalah
tertentu memerlukan pengetahuan khusus, dan individu harus mempertimbangkan ahli dalam hal
memahami dunia mereka, kebutuhan informasi mereka, dan cara informasi dapat diterapkan pada
konteks spesifik dari kehidupan mereka (Dervin 1999).
Sama seperti di eksplorasi, individu harus menginvestasikan sebagian dari diri mereka sendiri
dalam refleksi dan gejolak merumuskan arah yang lebih disengaja untuk pencarian mereka. (
Kuhlthau 1993 , Mokros et al 1995.). Formulasi bisa berantakan dan tidak nyaman, tetapi di sinilah
letak pengalaman bahwa kreativitas semua cita - ekspresi perspektif yang unik seseorang, sebuah
visi yang akan memandu mereka mencapai keberhasilan.
4. KOLEKSI
Dalam tahap ini, individu mengumpulkan sumber daya review yang membahas fokus khusus yang
telah ia rumuskan. Pada titik ini, individu harus memiliki suatu pemahaman umum tentang prinsip-
prinsip dan konsep yang mendasari masalahnya untuk membuat keputusan mengenai relevansi
dari kedua isi dan bentuk. Jika tujuan mencari informasi adalah untuk mengembangkan
pemahaman pribadi, maka tahap ini lebih dari menerima atau menolak data. Individu tidak hanya
memilih apa yang erat dengan perhatian khusus tetapi juga menentukan bagaimana setiap ide
baru cocok menjadi solusi untuk mengatur dan dapat terhubung dengan informasi yang berlaku
dari kedua tujuan dan perspektif subyektif.
5. PRESENTASI
Kuhlthau menggambarkan tahap presentasi dalam proses pencarian informasi melalui pidato,
laporan, atau produk lain untuk latihan sekolah atau tugas (1993). Isu-isu baru dapat memberikan
wawasan tentang masalah, tetapi tidak dapat menjamin bahwa keadaan luar memungkinkan untuk
dijadikan solusi. Terlepas dari hasilnya, aplikasi dan transformasi data ke dalam pemahaman
pribadi baru berfungsi sebagai hasil penting dalam pencarian informasi.
7. 8. COVERING LAWS THEORY
Empat Perspektif dalam Ilmu Komunikasi
Secara umum berdasarkan metode dan logika penjelasannya, terdapat 4 (empat) perspektif yang
mendasari pembangan teori dalam ilmu komunikasi. Keempat perspektif tersebut adalah: covering
laws (perspektif hukum), rules (perspektif aturan), systems (perspektif system), dan symbolic
interactionism (perspektif simbolik interaksionisme). Berikut ini akan dijelaskan pokok-pokok pikiran
dari keemoat perspektif tersebut.
Pada dasarnya pemikiran covering laws theory berangkat dari prinsip “sebab-akibat” atau
hubungan kausal. Rumusan umum dari prinsip ini antara lain dicerminkan dalam peryataan-
pernyataan hipotesis yang berbunyi: Jika A . maka B . . Pemikiran “covering laws” model ini
diperkenalkan oleh Dray. Menurut Dray, penjelasan-penjelasan “covering laws theory” didasarkan
pada dua asas. Pertama, bahwa teori berisikan penjelasan-penjelasan yang berdasarkan pada
keberlakuan umum/hukum umum. Kedua, bahwa penjelasan teori berdasarkan analisis
keberaturan.
Hempel lebih lanjut memerinci 3 (tiga) macam penjelasan yang duanut dalam covering
laws: (1) D-N (Deductive-Nomological ), (2) D-S (Deductive-Statistical), dan (3) I-S (Inductive-
Statistical).
Penjelasan yang berprinsipkan D-N dibagi dalam dua bagian: Objek penjelasan dan Subjek
Penjelasan. Objek penjelasan menunjuk pada apa yang dijelaskan (explanandum), sementara
subjek penjelasan menunjuk pada apa yang menjelaskan (explanans). Contoh pernyataan yang
memakai prinsip D-N: “Semua X adalah Y”. Pernyataaan tersebut mencakup kegiatan pada masa
dulu, sekarang, dan juga masa yang akan datang. Dalam artian, semua X, pada masa dulu
sekarang, dan juga pada waktu yang akan datang adalah Y, dengan kata lain bahwa X adalah Y
bersifat universal.
Sementara itu, menurut Kaplan, pengertian universalitas pada dasarnya bersifat relative.
Hal ini disebabkan bahwa tidak mungkin menguji keberlakuan hukum pada segala situasi dan
waktu. Alhasil, keberlakuan atau kebenaran hukum bisa juga diragukan.
Hukum D-S berdasarkan prinsip probabilitas dalam statistic. Formula pernyataan D-S
adalah sebagai berikut.
P (X,Y) = R
Formula P (X, Y) = R menunjukkan bahwa proporsi X bersama Y bisa sama dengan R.
Hukum D-S ini juga bersifat deduktif. Namun, karena berisikan sedikitnya satu hukum
statistik makan pernyataan tentang objek penjelasan harus didukung oleh sedikitnya satu hukum
statistik sebagai bagian dari subjek penjelasan.
Sebagai contoh kita kembali ke formula P (X,Y) = R.
Katakanlah bahwa symbol X di sini berarti laki-laki yang bermata hitam., Y adalah wanita
bermata hitam juga, sedang R adalah anak-anak dari hasil perkawinan X dan Y. Formula di atas
bisa diubah menjadi pernyataan demikian: Jika laki-laki (X) dan perempuan (Y) kedua-duanya
bermata hitam maka setelah kawin ada kemungkinan beberapa anaknya (R) juga akan bermata
hitam.
Hukum I-S juga berdasarkan prinsip probabilitas statistik. I-S ini, subjek penjelasan
(explanans) dijadikan pendukung induktif untuk menerangkan objek pnejelasan.
Contoh:
P (T,R) = 0.90
Umpamakan simbol T menunjuk pada orang yang berambut keriting, simbol R artinya
pemarah, sedang angka 0.90 menunjuk pada tingkat probabilitas (P). Dengan demikian formula di
atas dapat berbunyi: Orang yang bersifat pemarah mempunyai kemungkinan (probabilitas) 90%
bahwa ia akan berambut keriting.
Perspektif “Covering Laws” ini pada dasarnya memiliki beberapa keterbatasan.
Keterbatasan-keterbatasan yang dimaksud, khususnya di dalam konteks ilmu sosial adalah: (1)
Keberlakuan prinsip universalitas bersifat relatif; (2) Formula statistik covering laws sulit diterapkan
dalam mengamati tingkah laku manusia karena pada dasarnya tingkah laku manusia itu berubah-
ubah dan sulit diterka; (3) Manusia dalam kehidupannya juga terikat oleh ikatan-ikatan kultur
spesifik; (4) Kehidupan manusia penuh keragaman dan kompleks; (5) Sifat kehidupan manusia bisa
berubah-ubah; (6) Analisis covering laws terlalu didasarkan pada perhitungan-perhitungan statistik
yang belum tentu sesuai dengan realitas.
Pandangan Proses menurut Hukum Peliput (Covering-Law)
Brodbeck (1958) melukiskan hakikat proses dalam artian “hukum proses” analisis yang langsung
tentang proses dari filsafat ilmu yang positivistis. Menurut Brodbeck, hukum proses merupakan
cirri dari teori yang disertai “pengetahuan yang sempurna.” Hukum seperti itu mengandung arti
bahwa pengetahuan tentang keadaan setiap variabel apapun pada suatu waktu yang manapun
berarti pula pengetahuan tentang efeknya pada semua variabel lainnya pada seua waktu yang
lainnya. Jadi, setiap dua keadaan dari sistem itu dapat diinferensikan dari satu dan lainnya (yakni,
dari arah mana saja) tanpa memandang pada saat di mana keadaan itu terjadi.
Hukum proses seperti itu seperti itu bersifat kausal dan menentukan. Hukum itu hanya
tepat dalam meramalkan satu peristiwa dari satu peristiwa yang lainnya dalam salah satu dari
kedua arah waktu yang manapun, dan ramalannya tepat sesuai dengan saat (momen) tertentu.
Hukum proses fisika, misalnya memungkinkan peramalan yang cermat tentang posisi planet pada
suatu dan setiap titik di masa mendatang atau di masa lalu hanya dengan mengetahui posisinya
masa kini. Hukum proses memungkinkan peramalan yang cermat, misalnya tentang saat yang
tepat terbit dan tenggelamnya matahari setiap hari dalam setiap tahunnya pada setiap tempat
manapun di bola dunia ini. Lagi pula, peramalan itu mungkin bagi tahun manapun di masa silam dan
yang akan datang. Hukum proses tepat dalam kaitannya dengan saat waktu dan tepat dibalikkan
kembali dlam hubungannya dengan peramalan dalam kedua arah waktu yang manapun.
Suatu teori proses suatu teori yang terbentuk dari hukum proses memungkinkan untuk
meramalkan keadaan suatu sistem pada semua waktu melalui pengathuan tentang keadaan
sistem tersebut pada setiap waktu yang diketahui. Brodbeck percaya bahwa teori yang seperti itu
secara logis mungkin dalam ilmu-ilmu sosial walaupun ia berargumentasi perlunya individualism
metodologis agar memungkinkan adanya kemungkinan itu. Tampakanya iapun menyarankan
bahwa meskipun ada pengetahuan yang sempurna dalam ilmu-ilmu sosial secara logis mungkin
pada kenyaannya kelihatan tidaklah demikian.
Gustam Bergmann (1962) salah seorang pembicara kontemporer yang terkemuka dari
filsafat hukum-peliput ilmu, menajukan tiga buah persyaratan untuk pengetahuan proses: adanya
perangkat yang lengkap dari semua variabel yang relevan, dan pengetahuan tentang hukum
proses (yakni, semua keteraturaan seperti hukum yang mungkin ada tentang bagaimana setiap
variabel itu dapat berinteraksi dengan semua variabel lainnya dalam semua kobinasi yang
mungkin). Bergmann pun menunjuk pada pengetahuan proses sebagai “yang ideal” dan secara
esensial “tujuan akhir dari semua ilmu, tujuan itu merupakan satu-satunya tujuan tang berharga
untuk dikejar dalam setiap ilmu dan bahkan secara lebih spesifik lagi untuk ilmu sosial.
Smith (1972) mengemukakan bahwa pandangan tentang proses ni mendasari banyak
penelitin komunikasi dan mencerminkan faaham Newton, pandangan mekanitstis tentang proses,
yang ia anggap jelas-jelas sudah ketinggalan zaman. Secara meyakinkan Smith berargumentasi
bahwa banyak anggota masyarakat ilmiah komunikasi manusia, ia akan dapat meramalkan
bagaimana orang-orang akan berperilaku dalam setiap tindakan komuniktif atau menanggapi setiap
stimulus pesan. Dalam arti persuasi, pengetahuan tentang proses akan memungkinkan para
komunikator untuk memanipulasi imbauan mereka agar dapat mencapai secara konsisten, pasti,
respons yang diinginkan dalam diri penerima. Cita-cita ini mungkin mengemukakan pandangan
tahun 1948 suatu dunia baru manipulasi massa yang perkasa melalui komunikasi.
Smith meragukan bahwa cita-cita semacam itu sebagai hukum proses dimungkinkan.
Iapun meragukan bahwa ada orang yang benar-benar yakin bahwa pengetahuan yang sempurna
seperti itu mungkin. Pehatian utamanya adalah bahwa para ahli komunikasi merumuskan proses
komunikasi itu benar-benar berbeda dari pandangan hukum peliput ini dan kemudian melanjutkan
pelaksanaan penilitian menurut cara yang benar-benar sesuai dengan cita-cita hukum proses.
Argumentasinya bukan tidak bercacat, akan tetapi cukup meyakinkan. Perhatiannya yang utama
bukanlah bahwa banyak orang memandang proses secara salah namun bahwa penelitian dan
teori (atau, setidak-tidaknya, perspektif filosofinya) komunikasi manusia tidaklah searah,bila tidak
dikatakan betul-betul tidak konsisten.
Covering Law Perspective (Pendekatan Hukum/Law Approach)
Prediksi adalah karakter penting dari perspektif hukum liputan dalam human communication.
Perspektif hukum liputan banyak digunakan pada bidang pemasaran dan peiklanan. Faktor penting
dari perspektif hukum liputan adalahgeneralizability of law like statements. Salah satu penelitian
yang mencoba menguak tabir human communication dengan berdasarkan perspektif hukum
liputan adalah penelitian mengenai pengaruh persuasi dari suatu pesan, yang dilakukan oleh Carl I
Hovland, Janis dan Kelley di Universitas Yale pada tahun 1953.
Kelebihan perspektif hokum liputan adalah pertama, membantu kita membuat prediksi tentang
perilaku human communication. Pendekatan hokum liputan pada komunikasi telah banyak
mengungkap hubungan sebab diantara variable-variabel komunikasi. Kedua, telah banyak teori
komunikasi yang diperkuat dengan hadirnya perspektif hokum liputan.
Konsep utama dari perspektif ini adalah mengenai kausalitas atau hubungan sebab akibat. Menurut
perspektif ini, kita akan bisa memahami tentang perilaku komunikasi manusia apabila kita mampu
faktor antesenden (faktor pendahulu) yang nantinya akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi
tertentu sebagai efeknya. Pendekatan hukum ini (law approach) ini menegaskan tentang hubungan
sebab akibat, seperti yang barusan di sebutkan di atas. Orang-orang berkomunikasi dengan
seperti adanya disebabkan adanya kondisi yang mendahului perilaku komunikasi mereka,
membuat mereka merespon pesan dengan cara-cara tertentu.
Covering Law memandang fenomena komunikasi seperti fenomena alam, yang mana terdapat
hukum pasti yang menaunginya. Seperti contoh, hukum alam, gravitasi. Hukum alam gravitasi
adalah hukum yang pasti di bumi ini. Siapapun dia, orang jahat orang baik, dia pasti jatuh ke bawah
mengikuti hukum gravitasi. Terdapat sesuatu yang mutlak pada hukum ini.
Begitu juga dengan covering law, disebutkan apabila kita sudah berhasil menemukan muasal dari
suatu peristiwa komunikasi, maka dapat dipastikan kita bisa membuat kembali peristiwa itu dengan
menimbulkan muasal yang sama, karena kita bisa melakukan prediksi, dan karenanya kita bisa
berupaya untuk mengontrol lingkungan sekitar kita.Sama halnya dengan hukum alam, pada
perspektif ini pun berlaku generalisasi, yang artinya, if the law-like generalization holds true for one
group of people, then it should also hold true for many different groups of people as well.
Perspektif ini fokus pada teori perangkat peraturan, untuk meramal respon komunikasi.
(1) kita dapat melihat, menyentuh, mencium, atau mendengar hal itu; atau
(2) kita dapat menemukannya melalui beberapa bentuk asal usul logika.
Peneliti hukum percaya bahwa mayoritas tingkah laku manusia dipengaruhi oleh peristiwa yang
lampau atau stimuli sebelumnya. Pemahaman peristiwa itu dan stimuli adalah jalan yang terbaik
untuk meramalkan perilaku. Hubungan sebab akibat antar variabel komunikasi.
*Manusia itu pasif, menganggap manusia itu reaktif (baru bereaksi kalau ada stimulus),
menganggap manusia itu tidak berpikir
Pengkategorian
Covering Law Perspective dalam Perspektif Ifante termaksud dalam kategori Positive. Mengapa
demikian, karena dalam teori tersebut mengatakan bahwa Konsep utama dari perspektif ini adalah
mengenai kausalitas atau hubungan sebab akibat. Menurut perspektif ini, kita akan bisa memahami
tentang perilaku komunikasi manusia apabila kita mampu faktor antesenden (faktor pendahulu)
yang nantinya akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi tertentu sebagai efeknya.
Pendekatan hukum ini (law approach) ini menegaskan tentang hubungan sebab akibat, seperti
yang barusan di sebutkan di atas. Orang-orang berkomunikasi dengan seperti adanya disebabkan
adanya kondisi yang mendahului perilaku komunikasi mereka, yang membuat mereka merespon
pesan dengan cara-cara tertentu.
PERSPEKTIF PSIKOLOGIS AUDREY FISHER
PERSPEKTIF PSIKOLOGIS
Perspektif psikologis tentang komunikasi memfokuskan perhatiannya pada individu si
komunikator / penafsir baik secara teoritis maupun empiris. Secara lebih spesifik lagi, yang
menjadi fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme internal penerimaan dan pengolahan
informasi. Fokus ini telah menimbulkan orientasi komunikasi manusia yang terpusat pada si
penerima. Walaupun bidang psikologis sebenarnya yang dipinjam, perspektif ini masih tidak jelas,
unsur unsur perantara dari behaviorisme S-O-R dan psikologi kognitif, khususnya teori
keseimbangan, cenderung untuk mendominasi usaha penelitian para ilmuan komunikasi yang
mempergunakan perpektif psikologis.
Perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal dalam
pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat pendekatan
metodelogis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang amat
beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar
kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter konseptual
yang berupa black box itu (seperti misalnya sikap, persepsi, keyakinan dan keinginan) telah
mempercepat timbulnya arah yang berlainan ini.
Hendaknya juga telah menjadi jelas bahwa banyak dari penteorian, pembuatan model, dan
penelitian dalam komunikasi tidak menerapkan perpektif psikologis dalam bentuknya yang murni,
pada kenyataannya, bagian terbesar dari penelitian tentang dan sekitar komunikasi barangkali
merupakan pencampuran unsur mekanistis dan psikologis, mungkin dengan penekanan yang lebih
besar pada aspek psikologisnya.
Seandainya kita menghitung suara semua anggota Speech Communication Association and
International Communication Assiciation, misalnya, kita barangkali akan mengidentifikasikan diri
mereka sebagai penganut sejenis perspektif psikologis. Menurut Khun, paradigma yang paling
popular di dalam suatu bidang ilmu adalah paradigma sebenarnya dari ilmu tersebut, yang paling
terkenal dan digemari secara khas. Dengan sendirinya, setiap peneliti komunikasi yang serius
harus betul betul mengenal dan mengetahui perspektif psikologis.
Banyak penelitian komunikasi dalam tradisi empiris ilmu sosial kontemporer telah meminjam
secara besar-besaran dari psikologi, tetapi fenomena ini dapat dimengerti. Sejak berabad-abad
komunikasi meminjam dari disiplin lain seperti filsafat, sosiologi, bahasa dan lain sebagainya.
Banyak yang menganggap bahwa tradisi meminjam ini adalah hal yang wajar karena komunikasi
merupakan disiplin yang elektik (electic).
Karakteristik Penjelasan Psikologis
Seperti halnya komunikasi, psikologi merupakan disiplin yang beraneka ragam dengan spesialisasi-
spesialisasi yang dihubungkan secara longgar, misalnya psikologi kepribadian, psikologi sosial,
psikologi industri, dan lain sebagainya. Sebenarnya, pandangan psikologis komunikasi tidak
mencakup semua hal dari satu teori saja dalam psikologi. Ingat bahwa peminjaman komunikasi
dari psikologi secara relatife bersifat dangkal dan sporadis. Akibatnya, disini tidaklah dimaksudkan
untuk mengemukakan cirri-ciri esensial penjelasan psikologis. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk
menandai ciri-ciri penjelasan psikologis yang tampaknya mengarahkan ahli komunikasi yang
mempergunakannya.
Titik beratnya ialah bentuk paham behaviorisme setelah Skinner, disertai aroma penjelasan kognitif
yang kuat. Karena itu, karakteristik yang berikut sebaiknya tidak disimpulkan sebagai definisi yang
komprehensif atau realistis dari bentuk penjelasan yang dipakai oleh sebagian terbesar para ahli
psikologi. Sebaliknya, karakteristik ini merupakan ciri-ciri inti dari suatu yang pada dasarnya,
penjelasan S-R yang diadaptasikan pada komunikasi manusia.
PENERIMAAN STIMULI OLEH ALAT-ALAT INDERA
Sebagai manusia, kemanpuan kita sangat terbatas untuk berhubungan dengan lingkungan kita
serta dengan sesama kita. Secara fisiologis, setidak-tidaknya, kita hanya memiliki lima alat indera.
Fenomena lingkungan itu yang terkandung dalam banyak penjelasan psikologis, termasuk dalam
penjelasan teoritis di luar kecenderungan behavioristis, adalah konsep “stimulus” sebagai satuan
masukan alat indera.
Jadi, setiap berkas sinar yang masuk pada retina mata kita, setiap getaran udara yang
menggetarkan bagian dalam telinga kita, atau zat apapun yang merangsang indera kita dinamakan
stimulus. Akibatnya, stimuli memberikan data yang dipergunakan dalam penjelasan tentang
perilaku manusia.
Akan tetapi, konseptualisasi yang kedua dari stimulus tidak dipusatkan pada objek-stimulus itu
sendiri akan tetapi pada dampak objek tersebut pada alat indra; yakni, misalnya, stimulus itu
merupakan pola visual tertentu pada retina, pola getaran suara tertentu pada gendang telinga, dan
seterusnya. Dalam pengenian ini, pada dasarnya stimulus itu merupakan konsep fisiologis
penangkapan objek lingkungan oleh alat indria. Karena itu stimulus adalah objek yang diubah
menjadi sensasi, yakni ragam atau pola tertentu yang memiliki sifat visual, pendengaran, bau,
rabaan, atau rasa. Apa yang terkandung dalam penjelasan stimuli semacam itu adalah fisiologi
yang menghubungkan pengalaman psikologis dengan pengalaman fisik dan yang fisik dengan
yang psikologis. Bidang psikologi ini, seringkali dinamakan sebagai psikofisika, juga agak populer
dalam" studi komunikasi yang mempergunakan instrumen untuk pengukuran fisiologis
Umpamanya, detak jantung, kecepatan pemapasan, getaran otak, rentang kornea mata, tingkat
pengeluaran kelenjar keringat, dan sejenisnya.
MEDIASI INTERNAL STIMULI
Setelah menerima stimuli-stimuli, indera kita akan mengolahnya kembali di dalam tubuh dan pikiran
kita. Hampir seluruhnya, mediasi organisme dalam penjelasan S-R merupakan konsep black-box
(kotak hitam); yakni, struktur khusus dan fungsi proses antara yang internal dipandang kurang
penting dibandingkan dengan proses pengubahan masukan menjadi keluaran. Karena itu, menurut
pengertian black-box ini, penjelasan memerlukan pengamatan masukan dan keluaran namun tidak
menuntut pengamatan langsung pada kegiatan dalam diri organisme yang bersangkutan, sekalipun
mungkin dapat dilakukan.
Pertama-tama pengamatan-langsung pada proses internal memang merupakan hal yang tidak
mungkin; karena itu kita hanya mengamati perilaku eksternal dan menganggapnya sebagai
manifestasi dari keadaan internal organisme yang bersangkutan. Jadi, pengkajian keadaan internal
secara hakiki merupakan pengamatan tidak langsung penarikan kesimpulan (inferensi) dari
perilaku yang dapat diamati.
Kehidupan kita sehari-hari dipenuhi oleh penyimpulan seperti itu. Apabila kita melihat seseorang
sedang tertawa atau tersenyum, bertepuk tangan dan bergaya secara berlebih-lebihan, kita
cenderung untuk menarik kesimpulan dari kombinasi perilaku ini tentang keadaan emosi internal
seseorang yang sedang bergembira. Orang lain yang 'menguap', selalu tidak tenang duduknya,
dan memandang secara tidak acuh ke sekeliling ruangan akan mendorong kita untuk
menyimpulkan bahwa orang tersebut merasa bosan. Ini tidak berani bahwa perilaku eksternal
selalu merefleksikan keadaan di dalam diri orang, akan tetapi menyatakan bahwa kita hanya dapat
menarik kesimpulan tentang keadaan internal seseorang dari perilaku eksternalnya. Kita tidak
memiliki cara lain untuk mengamati black box itu.
TEORI PERAMALAN RESPON
Tujuan penjelasan S-R berpusat pada peramalan, dan peramalan berpusat pada respons.
Sebenarnya respon dianggap sebagai perulaku yang dapat secara langsung diamatai, dan
penjelasan psikolologi berusaha menghubungkan, yakni menjelaskan perilaku dalam artian stimuli
dan keadaan internal. Memang jelas bahwa respons tidak dapat diramalkan semata mata dalam
arti sifat fisik stimulus. Respons lebih dapat diuntungkan dengan keadaan internal yang diaktifkan
oleh psikologis.
Untuk dapat memahami penjelasan yang didasarkan secara psikologis ada satu factor respons
perilaku yang perlu diketahui. Sejarah kondisi stimulus sebelumnya yang telah dihadapi oleh
organism penting diketahui untuk meramalkan perilaku, bilai situasi stimulus tertentu diketahui.
Dengan perkataan lain, keadaan internal organism berisi anasir stimulasi yang terdahulu, yang
mempengaruhi repsons dalam situasi berkutnya yang dinilainya sama. Jika stimulasi smuala
mempengaruhi respons kepada kondisi stimulus tertentu, maka setidak tidaknya beberapa
unsure dari keadaan antara internal itu sendiri merupakan produk atau respons pada pengalaman
stimulus terdahulu.
Secara singkat, dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah organisme menerima stimuli-stimuli dari
luar dan kemuadian memporosesnya di dalam dirinya, maka organisme akan dapat meramalkan
respons apa yang akan terjadi selanjutnya, baik itu akan dilakukan maupun tidak akan dilakukan.
PENEGUHAN (REINFORCEMENT) RESPONS
Peneguhan respons mempengaruhi keadaan internal organisme dalam keadaan kebalikannya.
Maksudnya, organisme itu dipengaruhi tidak hanya oleh peristiwa di masa lampau saja tetapi iapun
dipengaruhi oleh masa yang akan datang.
Akibat adanya arah ganda waktu ini adalah untuk memberikan penegasan yang lebih besar pada
keadaan internal organisme tersebut. Dalam arti, organisme tidak hanya tergantung pada
lingkungannya saja, tetapi ia dapat mengendalikan lingkungan dan pengaruhnya, sampai batas
tertentu, melalui penggunaan fungsi antara dari keadaan internalnya.
Perspektif psikologis tentang komunikasi manusia memfokuskan perhatiannya pada individu (si
komunikator/ penafsir) baik secara teoritis maupun empiris. Secara lebih spesifik lagi, yang
menjadi fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme internal peneriamaan dan pengelolahan
informasi.
Fokus ini telah menimbulkan orientasi komunikasi manusia yang berpusat pada si penerima.
Walaupun bidang sebenarnya psikologi yang dipinjam perspektif ini masih tidak jelas, unsur- unsur
perantara dari behaviorisme S-O-R dan psikologi kognitif, khususnya teori keseimbangan,
cenderung untuk mendominasi usaha penelitian para ilmuwan komunikasi yang mempergunakan
perspektif psikologi.
MODEL PERSPEKTIF PSIKOLOGI KOMUNIKSI MANUSIA.
Pertama- tama, perspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus,
yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Dalam model psikologis manusia
ditandai sebagai makhluk yang memiliki fungsi ganda menghasilkan dan menerima stimuli- jadi
manusia adalah seorang komunikator/ penfsir stimuli informasional.
Psikologis komunikasi memiliki model yang berbeda dari model psikologis yang menjelaskan
semua perilaku dalam kerangka asumsi bahwa semua manusia dalam medan stimulus
menghasilkan sejumlah besar stimulus yang ditangkap oleh orang lain. Karena itu, sampai batas-
batas tertentu, tiap komunikator telah terorientasi secara psikologis kepada yang lain.
Filter konseptual merupkan suatu “kata petunjuk”, yang ditujuan untuk mencakup semua konstruk
yang beragam yang telah dipakai untuk melukiskan secara teoritis kegiatan internal dalam diri
manusia. Filter konseptual juga berfungsi untuk membantu proses penyandian, apabila proses
penyandian kurang ditangkap dengan baik.
Salah satu hambatan perspektif psikologi, yaitu kecenderungan mendehumanisasikan manusia dan
pada akhirnya membuat mereka tidak berdaya terhadap lingkungan mereka sendiri.
Penggambaran tentang perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara
manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat
pendekatan metodologis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang
amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian
besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter
konseptual yang berupa black box (seperti: sikap, persepsi, keyakinan, dan keinginan) telah
mempercepat timbulnya arah yang berlainan.
MODEL PSIKOLOGI KOMUNIKASI MANUSIA
Pertama- tama, perspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus,
yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Dalam model psikologis manusia
ditandai sebagai makhluk yang memiliki fungsi ganda menghasilkan dan menerima stimuli- jadi
manusia adalah seorang komunikator/ penfsir stimuli informasional.
Psikologis komunikasi memiliki model yang berbeda dari model psikologis yang menjelaskan
semua perilaku dalam kerangka asumsi bahwa semua manusia dalam medan stimulus
menghasilkan sejumlah besar stimulus yang ditangkap oleh orang lain. Karena itu, sampai batas-
batas tertentu, tiap komunikator telah terorientasi secara psikologis kepada yang lain.
Filter konseptual merupkan suatu “kata petunjuk”, yang ditujuan untuk mencakup semua konstruk
yang beragam yang telah dipakai untuk melukiskan secara teoritis kegiatan internal dalam diri
manusia. Filter konseptual juga berfungsi untuk membantu proses penyandian, apabila proses
penyandian kurang ditangkap dengan baik.
Salah satu hambatan perspektif psikologi, yaitu kecenderungan mendehumanisasikan manusia dan
pada akhirnya membuat mereka tidak berdaya terhadap lingkungan mereka sendiri.
Penggambaran tentang perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara
manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat
pendekatan metodologis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang
amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian
besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter
konseptual yang berupa black box (seperti: sikap, persepsi, keyakinan, dan keinginan) telah
mempercepat timbulnya arah yang berlainan.Orientasi S-R cukup menonjol dalam perspektif
psikologis tentang komunikasi manusia.
KOMPONEN-KOMPONEN KHASNYA
Orientasi S-R cukup menonjol dalam perspektif psikologis tentang komunikasi manusia. Pertama-
tama, pcrspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus, yang
secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Di sekeliling setiap orang terdapat arus
stimuli yang hampir tidak terbatas jumlahnya, semuanya dapat diproses melalui organ-organ indra
penerima, yakni penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan rasa. Dalam pengertian,
semua stimulus ini bersaing untuk diterima karena banyaknya sehingga jumlahnya melebihi
kapasitas manusia untuk menerima dan mengolahnya.
Sudah tentu, manusia yang sedang berkomunikasi tidak hanya menertma stimuli akan tetapi iapun
menghasilkan stimuli. Sama sebagaimana habiya dengan konsep sumber/penerima dalam model
mekanistis, dalam model psikologis manusia ditandai sebagai makhluk yang memiliki fungsi ganda
menghasilkan dan menerima stimuli jadi, manusia adalah seorang komunikator/penafsir stimuli
informasional.
Model psikologis komunikasi berbeda dari model psikologi yang menjelaskan semua perilaku
dalam kerangka asumsi bahwa semua manusia dalam medan .stimulus menghasilkan sejumlah
besar stimulus yang ditangkap oleh orang lain. Karena itu, sampai batas-batas tertentu, tiap
komunikator telah terorientasi secara psikologis kepada yang lain. Tidak seperti model psikologis
yang menerangkan perilaku, situasi komunikatif mengandung suatu kesengajaan atau
instrumentalitas pada stimuli perilaku yang dikeluarkan oleh para komunikator, dan kesengjaan itu
berorientasi pada seorang komunikator lainnya.
Goyer (1970) mengembangkan model psikologis komunikasi dengan jalan memasukkan respons
diskriminatif yang secara kognitif terstruktur oleh si penafsir sebagai sine qua non
komunikasi manusia.
Ketika si penafsir menyerap stimuli ini (dan sudah tentu, yang lain juga), ia secara otomatis
mengolahnya melalui berbagai filter konseptual. Filter ini merupakan keadaan internal dari
organisme manusia dan secara esensial merupakan konsep "kotak hitam". Filter tidak dapat
diamati secara langsung sebagai keadaan internal, akan tetapi dianggap sangat mempengaruhi
peristiwa komunikatif.
Komunikasi manusia dalam model psikologis merupakan pengeluaran dan penerimaan tenis
menerus stimuli yang ditambahkan dan diseleksi dari stimuli yang terdapat dalam lingkungan
informasi. Walaupun penyampaian tidak selalu ada, dalam pengertian pesa.n yang disalurkan
pada saluran, setiap komunikator saling terorientasi secara psikologis kepada sesamanya.
Barangkali orientasi ini menunjukkan kesadaran tentang adanya orang lain. Goyer (1970)
memasukkan kriteria respons diskriminatif dan bukan hanya semata-mata pilihan secara acak dan
tidak terstruktur di pihak si penafsir. Dan Fearing (1953) memasukkan konsep intent(maksud).
Karena itu, situasi komunikatif ditandai oleh adanya medan stimulus yang terstruktur dan derajat
kesengajaan tertentu di pihak para komunikator. Jelaslah, situasi komunikatif dari perspektif
psikologis berbeda dari situasi S-R lainnya yang tidak. mengandung eksistensi fenomena
komunikatif.
LOKUS FILTER KONSEPTUAL
Perspektif psikologis komunikasi manusia jelas berfokus pada individu sebagai "tempat" yang
utama untuk menemukan terjadinya komunikasi. Tambahan pula, "di situlah" perspektif psikologis
memandang individu sebagai organisme kotak hitam, dengan berfokus pada individu secara efektif
komunikasi ditempatkan dalam keadaan internal sehingga tidak dapat dicapai melalui pengamatan
langsung. Banyak ungkapan klise yang relevan dengan komunikasi memperlihatkan lokus
psikologis ini. Misalnya, "Kata-kata tidak berkomunikasi; manusialah yang berkomunikasi." Dan
sudah tentu, makna lain yang populer, "Makna adalah persepsi". Lokus komunikasi dalam
perspektif psikologis jelas-jelas dan secara konsisten berada di dalam diri individu dalam
pengertian S-R, keadaan internal organisme yang bersangkutan.
Versi Thayer (1968) tentang perspektif psikologis komunikasi mencakup pembedaan antara "data"
dan "informasi". Thayer menganggap data hanya sebagai stimuli yang terdapat dalam medan
stimulus, akan tetapi data itu tidak seberapa penting bagi komunikator atau peristiwa
komunikatif sampai individu "memperhitungkannya." Ketika individu secara internal memproses
data, stimuli itu lalu menjadi informasi dan dengan cara itu menjadi relevan bagi komunikasi.
Istilah yang dijadikan pegangan oleh Thayer adalah kapasitas individu untuk "memperhitungkan"
data, dan sekali dilaksanakan, maka individu tersebut mampu menjalankan kontrol terhadap
informasi. Komunikator melengkapi data dengan makna. Infomiasi itu tidak lagi "menjadi milik"
komunikator yang semula menghasilkannya. Jadi, setiap komunikator mengalih sandi nilai pesan
(yakni, informasi) dari data, dan filter konseptual merupakan alat yang dipakai untuk mengubah
data menjadi informasi.
Para ilmuwan komunikasi dengan orientasi psikologis dapat menggunakan konstruk instrumental
dan teoretis yang saling berbeda antara satu ilmuwan dengan yang lainnya. Meskipun para
ilmuwan ini sejalan dalam perspektif umum dan penghampiran mereka terhadap fenomena
komunikasi manusia, mereka tetap saja harus memilih di antara berbagai konseptualisasi teoretis
dari alat-alat penyaring yang bersifat internal itu. Setidak-tidaknya ada selusin pendekatan teoretis
yang berbeda untuk studi tentang persepsi saja. Tambahkan kepadanya sejumlah besar
pendekatan teoretis terhadap sikap, dan jumlah pendekatan yang ada untuk pengkajian fenomena
komunikatif meningkat secara dramatis.
IMPLIKASI
Perspektif Psikologis tentang komunikasi manusia telah melahirkan banyak masalah dan petunjuk
baru, yang telah menandai sejumlah besar upaya penelitian di bidang komunikasi manusia dalam
tahun-tahun terakhir ini. Sebagian permasalahan yang diajukan dalam perspektif psikologis
merupakan masalah konseptual yang agak rumit, yang belum terpecahkan secara tuntas. Begitu
pula, kiranya belum akan ada pemecahan final dalam masa mendatang yang dekat ini. Akan tetapi,
implikasi lainnya telah memberikan pengarahan bagi sejumlah besar penelitian komunikasi.
Salah satu kecenderungan umum kelihatannya ialah memperlakukan langsung komunikator
sebagai manusia kembali kepada prinsip humanistis. Sampai taraf tertentu, keyakinan yang
populer bahwa psikologi S-R cenderung untuk mendehumanisasikan manusia dan pada akhirnya
membuat mereka tidak berdaya terhadap lingkungan mereka tidak ada bedanya dengan tikus, babi
ataupun monyet adalah "dakwaan yang bersifat murahan". Sudah tentu, tuduhan semacam itu
tidak seluruhnya tepat. Tanpa bermaksud mencoba untuk menggeneralisasikan seluruh pengkajian
psikologis, perspektif psikologis komunikasi manusia secara khas merupakan perspektif yang
konsisten, untuk sebagian besar, dengan prinsip humanistis yang abstrak, yang memberikan
penekanan pada individualisme dan martabat komunikator manusia.
ORIENTASI PENERIMA
Banyak usaha untuk mengkaji efek komunikasi, terutama yang berhubungan dengan media massa,
menimbulkan pemikiran kembali tentang model mekanistis murni. Paham yang terlalu sederhana
yang menyatakan bahwa sumber komunikasi "melakukan sesuatu pada" si penerima tampaknya,
setelah perenungan kembali berdasarkan penelitian, merupakan gambaran proses komunikasi
yang tidak lengkap dan agak kurang tepat. Sama seperti pandangan komunikasi "satu arah", sudut
tinjauan itu terkenal sebagai "model target" komunikasi dan didorong oleh adanya kepercayaan
yang dipopulerkan tentang manipulasi massa melalui pandangan yang begitu dikenal seperti
"propaganda", "cuci otak" (brainwashing), dan (sekali lagi) adanya "perayu-perayu terselubung
(hidden persuaders)." Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa para penerima tidaklah
mudah terpengaruhi oleh manipulasi massa dan bahkan mampu benahan secara kukuh terhadap
usaha-usaha manipulasi.
Model psikologis komunikasi dari Fearing (1953) memasukkan konsep “maksud" (intent) sebagai
sesuatu yang terkandung dalam situasi komunikatif. Dengan 'maksud', Fearing mengartikannya
bahwa si komunikator menstruktur dan mengarahkan isi stimuli .pesan dengan memikirkan si
penafsir. Penafsir atau si penerima karenanya mempengaruhi stimuli-pesan yang asli dengan
berada terus menerus dalam medan Psikologis si komunikator.
Begitu pula, kontrol tidak dipusatkan dalam diri siapapun dalam situasi komunikatif itu baik
komunikator ataupun penafsir akan tetapi merupakan sesuatu yang "kompleks dan saling
tergantung." Hasilnya adalah suatu pandangan tentang penerima sebagai peserta yang sama-
sama (bahkan mungkin lebih) aktif dalam proses komunikatif dan peserta yang dapat
mempengaruhi peristiwa dan stimuli informasi. Dengan demikian, si penafsir sebagian menentukan
keseluruhan proses komunikasi. Artinya, sasaran memberikan serangan balik.
Sampai batas tertentu orientasi pada penerima dari perspcktif psikologis komunikasi merupakan
reaksi terhadap model mekanistis dan sifat satu arah dari saluran yang terkandung di dalamnya.
Walaupun mekanisme (dalam konseptualisasi yang disederhanakan secara berlebihan namun
mudah untuk dijalankan) mendorong penggunaan model target tentang penerima, perspektif
psikologis beserta lokus komunikasi dalam diri individu yang menyertainya
mengkonseptualisasikan si penerima sebagai penyandi yang aktif alas stimuli terstruktur yang
mempengaruhi pesan dan sumbernya. Karena si penerima memiliki unsur pengendalian melalui
pemberian penafsiran yang bermakna pada informasi yang ia proses, kemampuan konseptual
komunikator untuk mengontrol komunikator lainnya sangat terbatas.
TINGKAT INTRAPERSONAL
Suatu konsekuensi langsung dari adanya orientasi si penerima adalah makin pentingnya tingkat
komunikasi intrapersonal komunikasi. Kontroversi yang umumnya terdengar di kalangan para
peneliti komunikasi adalah apakah ada yang disebut komunikasi intrapersonal. Kontroversi itu
mencakup masalah seperti apakah seseorang dapat berkomunikasi dengan dirinya sendiri atau
apakah seseorang dapat berkomunikasi dengan objek yang tidak bernyawa seperti misalnya
pohon.
Pertanyaannya bukanlah apakah ada komunikasi intrapersonal akan tetapi, lebih baik lagi, sejauh
mana proses interpersonal itu berarti bagi komunikasi manusia. Dalam perspektif psikologis,
proses ini sangat penting sekali. Mortensen (1972) mengemukakan bahwa komunikator itu dapat
ditinjau dari segi orientasinya - melihat pada dirinya sendiri (self directed), melihat pada orang lain
(other directed), dan koorientasi, yakni, berorientasi yang sama baik kepada diri sendiri maupun
orang lain sehingga menjadi kesatuan.
Yang sangat penting lagi adalah filter konseptual bagaimana diperolehnya, bagaimana mengolah
data pengindraan, bagaimana diubahnya, bagaimana mempengaruhi respons perilaku, bagaimana
memberikan makna, dan seterusnya. Studi komunikasi manusia secara sentral menjadi studi
tentang proses intrapersonal sikap, kognisi, persepsi, dan semacamnya. Keunikan dan keaktifan
individu menyebabkan variabel perbedaan individual (umpamanya, kepribadian, latar belakang
sosiokultural, dan seterusnya) menjadi sangat vital dalam melaksanakan penelitian fenomena
komunikatif.
Sekalipun komunikasi tingkat intrapersonal masih relevan dalam perspektif mekanistis, ia bukanlah
sesuatu yang penting dan dipandang sentral sebagaimana dalam perspektif psikologis. Pada
kenyataannya, tidak ada perspektif komunikasi manusia yang memberikan penekanan yang begitu
besar pada tingkat komunikasi intrapersonal seperti yang diberikan oleh perspektif psikologis. Bagi
ahli komunikasi yang memandang proses komunikasi manusia secara psikologis, penerapan
perspektif pragmatis tampak keterlaluan, dan kontroversi yang lain akan lahir.
Hubungan Sikap dan Perilaku
Telah banyak kita jelaskan bahwa perspektif psikologis mengarahkan studi tentang komunikasi
manusia kepada variabel black box yang ada di dalam diri individu. Sudah tentu, lokus tersebut
tidak memberikan arti bahwa para ahli komunikasi yang mempergunakan perspektif ini
sepenuhnya mengabaikan perilaku yang tampak. Akan tetapi, lokus itu hanya
menunjukkan titik berat saja. Karena itu, perilaku komunikatif dapat diterangkan dan dihubungkan
dengan pengetahuan tentang variabel intemal itu filter konseptual. Karena semua studi tentang
black box, maka sifat khas dari hubungan antara variabel yang tersembunyi dan perilaku yang
tampak merupakan permasalahan asumsi teoretis saja.
Pembahasan yang paling penting mengenai hubungan tampak tersembunyi berpusat pada
hubungan antara sikap dan perilaku. Sebagaimana dikemukakan oleh McGuire (1969:156), konsep
tentang sikap barangkali merupakan konstruk yang multidimensional (termasuk kognitif, afektif, dan
unsur perilaku), karena "laporan sikap secara verbal mempunyai korelasi yang agak rendah
dengan perilaku yang sebenarnya ...".
Dalam suatu survai tentang studi psikologis sikap dan perilaku, Wicker (1969) sampai pada
kesimpulan yang sama bahwa hasil penelitian telah memperlihatkan tidak ada konsistensi yang
jelas antara sikap yang sifatnya tersembunyi itu dan perilaku yang sifatnya terbuka. Masalah ini
telah terkenal secara populer sebagai "kesenjangan (discrepancy) antara sikap perilaku." Hakikat
sebenarnya dari hubungan ini (atau kurang adanya hubungan ini) belum dapat diketahui walaupun
para ahli komunikasi, antara lain, Burhans (1971), Larson dan Sanders (I975), dan Seibold (1975),
telah melakukan berbagai usaha untuk memecahkan kesenjangan yang tampak itu.
KUASI-KAUSALITAS
Kuasi-kausalitas paradigma masukan-keluaran dari penelitian psikologis dapat dengan mudah
disesuaikan dengan hipotesis hukum peliput dari filsafat ilmu. Keadaan pendahulu dalam
pernyataan yang bersyarat (kondisional) merupakan masukan, dan keadaan berikutnya merupakan
keluaran (output). Keadaan perantara internal dapat digambarkan dengan hipotesis tambahan atau
secara inferensial, kondisi pendahulu (anteseden) atau yang kemudian (koinsekuen) dalam
merumuskan hipotesis penelitian. Unsur utama dalam asumsi masukan-keluaran adalah
kesesuaiannya dengan filsafat ilmu yang tradisional dan sebagai konsekuensinya, dengan
eksperimentasi sebagai setting metodologis bagi penelitian ilmiah.
BEBERAPA BIDANG PENELITIAN
Penelitian komunikasi perspektif psikologis umumnya, walaupun tidak seluruhnya, bersifat
eksperimental. Walaupun model masukan-keluaran telah menandai penelitian semacam itu dan
mudah disesuaikan dengan metode eksperimental, faktor itu saja tidaklah menyebabkan
penggunaan yang meluas dari disain eksperimental dalam penelitian komunikasi. Mungkin lebih dari
hanya sekadar satu faktor, penelitian seperti itu secara langsung berasal dari bias eksperimental
yang terdapat dalam bidang psikologi. Karena para ahli komunikasi telah meminjam konsep dan
definisi operasionalisasi dari psikologi, maka wajar jika mereka juga merefleksikan metodologi
yang menjadi ciri khas yang digunakan oleh para ahli psikologi.
KESIMPULAN
Perspektif psikologis tentang komunikasi manusia memfokuskan perhatiannya pada individu si
komunikator/penafsir baik secara teoretis maupun empiris. Secara lebih spesifik lagi, yang
menjadi fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme internal penerimaan dan pengolahan
informasi. Fokus ini telah menimbulkan orientasi komunikasi manusia yang berpusat pada si
penerima. Walaupun bidang psikologis sebenarnya yang dipinjam perspektif ini masih tidak jelas,
unsur-unsur perantara dari behaviorisme S-O-R dan psikologi kognitif, khususnya teori
keseimbangan, cenderung untuk mendominasi usaha penelitian para ilmuan komunikasi yang
mempergunakan perspektif psikologis.
Selayaknya telah jelas bahkan bagi pembaca yang biasa sekalipun bahwa penggambaran di depan
tentang perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal
dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat pendekatan
metodologis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang amat
beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar
kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi.
Banyak dari penteori dan pembuat model yang tidak menerapkan perspektif psikologis dalam
bentuknya yang murni. Karena sebagian besar penelitian komunikasi barangkali merupakan
pencampuran unsur mekanistis dan psikologis, mungkin dengan penekanan yang lebih besar pada
aspek psikologisnya.
Menurut Kuhn, paradigma yang paling populer di dalam suatu bidang ilmu adalah paradigma
sebenarnya dari ilmu tersebut, yang paling terkenal dan digemari secara khas. Dengan sendirinya,
setiap peneliti komunikasi yang serius harus betul-betul mengenal dan mengetahui prespektif
psikologis ini.
DAFTAR PUSTAKA
. “Memahami Perspektif dan Teori dalam Sosiologi”. 21 Maret 2011.
http://www.scribd.com/doc/97631133/Memahami-Perspektif-Dan-Teori-Dalam-Sosiologi.
. Teori Information Seeking. Januari 2011.
http://hariatidonggeapoteker.blogspot.com/2012/01/teori-information-seeking-dan.html.
. “Teori Integrasi Informasi”. Maret 2010. http://all-about-
theory.blogspot.com/2010/03/teori-integrasi-informasi.html.
. “Teori Pemrosesan Informasi”. 8 Juni 2011.
http://blogzulkifli.wordpress.com/2011/06/08/teori-pemrosesan-informasi/.
Fisher, B.Aubrey. Teori-Teori Komunikasi Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional, dan
Pragmatis. Bandung: Remadja Karya. 1978.

http://www.blogteori.com/

http://khaliqida.blogspot.com/2009/06/teori-sistem-dan-perilaku-organisasi.html

http://rumahfilsafat.com/

http://salembaschool.blogspot.com/

http://adiprakosa.blogspot.com/

http://filsafat.kompasiana.com/

http://asbsosiologi.blogspot.com/

http://www.forumsains.com/

http://kuliahtantan.blogspot.com/2012/09/teori-fungsionalisme-menurut-emile.html

http://mbegedut.blogspot.com/2012/10/teori-sosiologi-struktural-fungsional.html

http://en.wikipedia.org/wiki/Structural_functionalism

http://duniapolitiku.blogspot.com/2012/12/teori-teori-komunikasi-interpretatif.html

http://kuliahsosial.blogspot.com/2010/07/teori-komunikasi-manusia.html

http://www.makalahkuliah.com/2012/08/teori-teori-komunikasi-interpretif-dan.html

http://ayurahmadhani-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75762-
Teori%20Hubungan%20Internasional-Marxisme%20dan%20Teori%20Kritis.html

http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2013/05/16/mengenal-teori-kritis-habermas/

http://robinvanmurdock.blogspot.com/2013/07/mengenal-berbagai-macam-teori-kritis.html
http://karlinawk-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-79080-
Teori%20Hubungan%20Internasional-Teori%20Kritis%20%20Teori%20Imanen.html

http://teori-teorikritis.blogspot.com/2013/01/gwf-hegel.html

http://nurazizahzakiyah.blogspot.com/2013/03/tradisi-kritis-dalam-ilmu-komunikasi.html

http://kuliahsosiologi.blogspot.com/2011/05/teori-postkolonialisme.html

http://aingkries.blogspot.com/2009/01/muted-group-theory.html

http://sinausosiologi.blogspot.com/2012/06/teori-struktural-fungsional-talcot.html

http://eprints.ung.ac.id/903/5/2013-­‐2-­‐69201-­‐281409066-­‐bab2-­‐06012014055212.pdf

Anda mungkin juga menyukai