Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PSIKOLOGI KELUARGA

TEORI-TEORI LANJUTAN KELUARGA

Disusun oleh Kelompok 2

1. Mutya Kristy Sulba (15000120130206)

2. Aulia Eryan Saputri (15000120130227)

3. Adinda Mutiarani Khairunnisa (15000120130277)

4. Windy Arnita Dhewi (15000120140245)

5. Tasya Hapsari Widyastuti (15000120140271)

6. Ulfah Nur Azizah (15000120130194)

7. Kristina Billa Ravita (15000120130180)

Dosen Pengampu

Kartika Sari Dewi, S.Psi., M.Psi.

Muhammad Zulfa Alfaqury, S.Psi., M.A.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………......


Daftar Isi ………………………………………………………………….... 1

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 2


Latar Belakang ……………………………………………………………… 2
A. Rumusan Masalah …………………………………………………... 2
B. Tujuan ………………………………………………………………. 2

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………….. 3


A. Teori Perkembangan Keluarga Sepanjang Hayat …………………... 3
B. Teori Fungsional ……………………………………………………. 6
C. Teori Sistem Keluarga ……………………………………………… 7
D. Teori Feminisme & Post-strukturalisme ……………………………. 14
Analisis Kasus Teori Keluarga Lanjutan ……………………………….. 18
Analisis Kasus Teori Feminisme ……………………………………….. 20

BAB III PENUTUP ………………………………………………………... 22


A. Simpulan ……………………………………………………………. 22
B. Saran ………………………………………………………………... 22

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 23


LEMBAR KONTRIBUSI …………………………………………………………. 24

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan rumah tangga yang berbasis hubungan darah atau perkawinan yang
menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi dasar dan ekspresif keluarga bagi para
anggotanya (Lestari, 2016). Keluarga merupakan warisan umat manusia yang terus
dipertahankan keberadaannya dan tidak lekang oleh perubahan zaman. Berbagai perubahan
oleh faktor perkembangan zaman tentu saja memengaruhi corak dan karakteristik keluarga,
namun substansi keluarga tidak terhapuskan.

Dalam keluarga pastinya seringkali timbul adanya pengharapan untuk terciptanya suasana yang
harmonis di antara anggota sebab keadaan tersebut akan memberikan kontribusi terhadap
tercapainya tujuan dari keluarga. Dalam hal ini, psikologi memberikan kontribusinya terhadap
pencapaian tujuan tersebut dalam bentuk ilmu-ilmu teoritis yang akan membantu. Ilmu-ilmu
teoritis tersebut terdiri dari teori perkembangan keluarga sepanjang hayat, teori fungsional,
teori system keluarga, teori feminis dan teori post-strukturalisme. Maka dari itu disusun
makalah berikut untuk memaparkan beberapa teori lanjutan keluarga tersebut dalam kaitannya
untuk mengkaji pokok bahasan keluarga.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan mengenai teori perkembangan keluarga sepanjang hayat?
2. Bagaimana penjelasan mengenai teori fungsional?
3. Bagaimana penjelasan mengenai teori System?
4. Bagaimana penjelasan mengenai teori feminis dan post-strukturalisme?

C. Tujuan
1. Menjelaskan dan memaparkan materi tentang teori perkembangan keluarga
sepanjang hayat.
2. Menjelaskan dan memaparkan materi tentang teori fungsional.
3. Menjelaskan dan memaparkan materi tentang teori System.
4. Menjelaskan dan memaparkan materi tentang teori feminis dan post-
strukturalisme.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Perkembangan Keluarga Sepanjang Hayat


Puspitawati (2013) menjelaskan bahwa teori perkembangan keluarga adalah
proses perubahan dalam keluarga dengan unsur “waktu” sebagai sumber daya yang
sangat signifikan dalam perspektif perkembangan keluarga. Paradigma siklus
kehidupan ialah menggunakan tingkat usia, tingkat sekolah dan anak paling tua sebagai
tonggak untuk interval siklus kehidupan (Duvall dan Miller, 1987 dalam Zakaria,
2017).

Empat asumsi dasar tentang teori perkembangan keluarga:


1. Keluarga berkembang dan berubah dari waktu ke waktu dengan cara-cara yang sama
dan dapat diprediksi.
2. Manusia menjadi matur dan berinteraksi dengan orang lain, sehingga mereka
memulai tindakan-tindakan serta reaksi terhadap tuntutan lingkungannya.
3. Keluarga dan anggotanya melakukan tugas-tugas tertentu yang ditetapkan oleh
mereka sendiri atau oleh konteks budaya dan masyarakat.
4. Kecenderungan keluarga untuk memulai dengan sebuah awal dan akhir yang
kelihatan jelas.

Keluarga sebagaimana individu berubah dan berkembang setiap saat. Masing-


masing tahap perkembangan mempunyai tantangan, kebutuhan, sumber daya tersendiri,
dan meliputi tugas yang harus dipenuhi sebelum keluarga mencapai tahap yang
selanjutnya. Tahap perkembangan keluarga menurut Duvall & Miller (1985): Carter &
Me Goldrick (1988), mempunyai tugas perkembangan yang berbeda, seperti:
1. Tahap 1, keluarga pemula atau pasangan baru
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
● Dapat membina hubungan harmonis dan perkawinan yang memuaskan
● Membina hubungan dengan orang lain dengan menghubungkan jaringan
persaudaraan secara harmonis
● Merencanakan kehamilan dan mempersiapkan diri menjadi orang tua
Keluarga baru ini merupakan anggota dari tiga keluarga, yakni: keluarga suami,
keluarga istri, dan keluarga sendiri

3
2. Tahap 2, keluarga sedang mengasuh anak (anak tertua bayi sampai 30 bulan)
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
● Dapat membentuk keluarga muda sebagai sebuah unit
● Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan
● Memperluas kekerabatan dengan keluarga besar dengan menambahkan peran
orang tua, kakek dan nenek serta disosialisasikan dengan lingkungan keluarga
besar masing-masing pasangan

3. Tahap 3, keluarga dengan anak usia prasekolah (anak tertua berumur 2,5-6 tahun)
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
● Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, seperti kebutuhan tempat tinggal,
privasi dan rasa aman, serta membantu anak untuk bersosialisasi
● Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan anak lain juga
harus terpenuhi
● Mempertahankan hubungan yang sehat baik di dalam keluarga maupun dengan
masyarakat
● Menanamkan norma kehidupan, kultur keluarga, dan keyakinan beragama
● Memenuhi kebutuhan bermain anak

4. Tahap 4, keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua usia 6-13 tahun)
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
● Membantu sosialisasi anak dengan tetangga, sekolah dan lingkungan
● Mempertahankan keintiman pasangan
● Memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang semakin meningkat, termasuk
biaya kesehatan
● Membiasakan anak belajar teratur dan memperhatikan anak saat menyelesaikan
tugas sekolah

5. Tahap 5, keluarga bersama dengan anak remaja (anak tertua umur 13-20 tahun)
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
● Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab
● Mempertahankan hubungan yang intim dengan keluarga
● Mempertahankan komunikasi dua arah dan terbuka antara orang tua dan anak
● Perubahan sistem peran dan peraturan untuk tumbuh kembang keluarga
● Memberikan perhatian dan menghindari kecurigaan dan perdebatan

4
6. Tahap 6, keluarga yang melepas anak usia dewasa muda (mencakup anak pertama
sampai anak terakhir yang meninggalkan rumah)
Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
● Memperluas hubungan keluarga dengan anggota keluarga baru melalui
perkawinan anak
● Meningkatkan hubungan antara orang tua dengan menantu
● Memperbarui hubungan perkawinan dan keintiman pasangan
● Membantu orang tua yang memasuki masa lanjut usia atau sakit-sakitan
● Membantu anak mandiri di masyarakat
● Menata kembali peran dan fungsi keluarga serta kegiatan rumah tangga setelah
ditinggalkan anak

7. Tahap 7, orang tua usia pertengahan (tanpa jabatan atau pensiun)


Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
● Meningkatkan kesehatan dan pola hidup sehat
● Memperhatikan kesehatan masing-masing pasangan
● Mempertahankan hubungan yang memuaskan dan penuh arti pada orang tua dan
lansia
● Memperkokoh hubungan perkawinan, keintiman, dan keakraban pasangan
● Merencanakan kegiatan yang akan datang
● Tetap menjaga komunikasi dengan anak

8. Tahap 8, keluarga dalam masa pensiun dan lansia


Tugas perkembangan pada tahap ini adalah:
● Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
● Melakukan life review untuk memahami eksistensi kehidupan
● Menyesuaikan diri terhadap pendapatan yang menurun atau kehilangan
pasangan
● Mempertahankan hubungan perkawinan dan saling merawat pasangan
● Mempertahankan ikatan keluarga antar generasi
● Merencanakan kegiatan untuk mengisi waktu tua seperti berolahraga, berkebun,
dan mengasuh cucu

5
B. Teori Fungsional

Model fungsional bukanlah model orientasi utama dalam bidang keluarga. Sebaliknya, teori
ini masuk kedalam tema interaksionisme, yang menekankan aspek objektif dan struktural
hubungan dan dinamika keluarga. Fungsionalisme memiliki asumsi bahwa ketegangan dinamis
antara ketertarikan aktor dan sistem sosial tempat mereka berada. Menurut Alexander
“Fungsionalisme menempatkan perbedaan antara kepribadian, budaya dan masyarakat sebagai
hal yang penting bagi struktur sosial dan ketegangan yang ,merupakan hasil interpretasi mereka
sebagai sumber perubahan dan kontrol yang berkelanjutan".

Salah satu faktor yang membedakan teori fungsional dengan teori lainnya adalah orientasi
epistemologi. Dalam teori fungsional, struktur dan fungsi diasumsikan memiliki tingkat
keobjektifan realitas. Alih-alih menjadi sebuah konstruksi sosial atau proyeksi fenomenologis,
struktur dianggap memiliki beberapa eksternalitas yang terlihat oleh pengamat yang berbeda.
Fungsionalisme terus memiliki potensi sebagai orientasi untuk memandu penelitian dan
penerapan keluarga.

Fungsionalisme telah dianggap menggunakan orientasi nilai konservatif dengan biar


ideologi status quo, yang tidak ada nilai penting bagi pendekatan fungsionalis. Netralitas nilai
dasar pada fungsionalisme paling baik diilustrasikan oleh kemudahan kebijakan keluarga
liberal atau konservatif dapat dihasilkan dan dibenarkan ketika kondisi struktural dan
konsekuensinya sama.

Menurut White, Klein, & David (2014) tidak ada pekerjaan di bidang ini yang cukup untuk
membenarkan bahwa fungsionalisme adalah sesuatu yang lain selain hampir mati.
Fungsionalisme terus memiliki pengaruh penting dalam teori sistem dan telah menambahkan
varian fungsionalisme ke bab sistem untuk memastikan bahwa siswa mendapatkan beberapa
paparan sejarah intelektual dan beberapa ekspresi pemikiran fungsionalis saat ini. Namun,
untuk saat ini teori fungsionalis sedikit kurang relevan untuk digunakan.

6
C. Teori Sistem Keluarga

Pengertian Teori Sistem Keluarga

Teori sistem keluarga merupakan suatu teori yang pertama kali dicetuskan oleh
Salvador Minuchin (Lestari, 2016). Seiring dengan berjalannya waktu, teori sistem
keluarga mulai dikembangkan kembali oleh beberapa ahli. Salah satu ahli yang turut
merumuskan teori sistem keluarga ialah Murray Bowen.

Teori sistem keluarga pertama kali dicetuskan oleh Salvador Minuchin sebagai suatu
teori yang menekankan interdependensi antar subsistem keluarga. Minuchin juga
menjelaskan bahwa sebagai sistem, keluarga bekerja dalam konteks sosial dan terdiri
atas tiga komponen: 1) struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka akan
transformasi, 2) keluarga berkembang melalui tahap-tahap yang mensyaratkan
penstrukturan, dan 3) keluarga beradaptasi dengan perubahan-perubahan situasi kondisi
untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial
anggotanya.

Henry (dalam Lestari, 2016) kemudian juga mendefinisikan teori sistem keluarga
sebagai sebuah teori yang memandang keluarga sebagai kelompok dengan sistem
hierarki atau terdapat subsistem-subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan
dari kombinasi kualitas individu dan/atau relasi dua pihak (dyadic). Murray Bowen
(dalam Smith-Acuna, 2011) kemudian juga menekankan hubungan antara bagian dan
keseluruhan yang tidak memisahkan keinginan individu-individu yang ada dalam sistem
keluarga tersebut dalam kaitannya memperoleh otonomi maupun intimasi. Menurutnya,
sistem yang paling baik ialah sistem yang secara eksplisit menghargai kebutuhan dari
kelompok dan individual serta memiliki suatu aturan/norma di dalamnya yang
membolehkan masing-masing individu untuk mengkomunikasikan kebutuhannya atau
sistem terbuka.

Konsep Teori Sistem Keluarga

Dalam teori sistem keluarga oleh Bowen (1978), terdapat delapan keadaan yang
saling berhubungan dalam keluarga yang dapat menjelaskan kelelahan dan kecemasan
emosional yang cenderung muncul dalam hubungan keluarga. Kelelahan dan kecemasan
emosional yang dirasakan, apabila menjadi sangat parah, dapat menjadi sumber dari

7
disfungsi dalam keluarga. Konsep utama dari teori sistem Bowen adalah adanya
differentiation of self dan emotional fusion, yang berarti kemampuan seseorang untuk
membedakan diri sendiri sebagai individu dari keluarganya dalam tingkat personal
maupun intelektual (Bowen, 1978). Differentiation of self juga merupakan kemampuan
seseorang untuk berfungsi secara mandiri dengan membuat keputusan sendiri dan tetap
terhubung secara emosional dalam hubungan yang dianggap penting. Namun, menurut
Brown (1999) dan Bowen (1978), terdapat dua sisi dari kemandirian. Pada satu sisi,
kemandirian merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk berpikir secara jernih
dalam segala situasi, seperti memisahkan antara emosi perasaan dengan pikiran rasional.
Sedangkan pada sisi lainnya, kemandirian merupakan massa ego yang melambangkan
ketergantungan emosional dengan keluarganya meskipun terpisahkan oleh jarak yang
jauh.

Konsep kedua adalah emotional fusion, atau keeratan emosional, yang dapat
menjelaskan reaksi individu yang berada dalam hubungan keluarga tersebut. Individu
yang berada dalam hubungan yang erat cenderung untuk bereaksi secara emosional
tanpa berpikir terlebih dahulu kepada orang lain di hubungan yang sama. Individu yang
berada pada hubungan yang sangat erat akan merasakan stres dan kecemasan yang lebih
tinggi akibat ketakutan akan perpisahan emosional. Keadaan kecemasan yang parah
akan muncul pada anggota keluarga ketika ada individu yang tidak memiliki kapasitas
untuk berpikir sebelum bereaksi secara emosional terhadap dilema di hubungan keluarga
tersebut yang akan diturunkan dari generasi ke generasi (Brown, 1999; Bowen, 1978).

Konsep inti selanjutnya dari teori Bowen adalah triangling yang muncul ketika pada
hubungan keluarga yang terdiri dari dua individu mengalami kecemasan yang tinggi
mengenai hubungan mereka lalu menarik orang ketiga dalam keluarga tersebut untuk
menjadi pusat kecemasan mereka. Apabila dilakukan secara terus-menerus, Bowen
berpendapat bahwa hal tersebut akan menjadi permasalahan ketika orang ketiga tersebut
membuat pasangan itu tidak menyelesaikan permasalahan awal mereka yang
memunculkan kecemasan yang dialami. Ditambah lagi, proses triangling memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk diturunkan dari generasi ke generasi karena perilaku
tersebut dipelajari secara tidak sadar karena sering terulang.

8
Secara singkat, delapan konsep teori sistem menurut Bowen (1978) :

1. Differentiation of self

Bowen menyatakan bahwa keluarga merupakan pengaruh utama dalam


pengembangan diri. Seseorang yang kurang dapat mendiferensiasikan dirinya akan
membutuhkan validasi mengenai cara berpikir, dan perilakunya dari orang
disekitarnya. Berbeda dengan seseorang yang dapat mendiferensiasikan dirinya
dengan baik, individu tersebut dapat mengetahui betapa pentingnya keluarga dan
grup sosialnya, namun individu juga dapat menghadapi konflik, penolakan, dan
kritik, dan memisahkan secara emosional dan intelektual dari keluarga asal.
Individu dengan kemampuan diferensiasi yang rendah akan lebih kaku dan
bergantung kepada orang lain secara emosional

2. Triangles

Hubungan antara tiga orang dapat menstabilkan dua individu yang mengalami
rasa cemas. Ketika terdapat ketegangan dalam hubungan antara dua individu, rasa
cemas dapat dibantu dengan adanya pihak ketiga. Tegangan dapat diredakan namun
pihak ketiga bisa menjadi individu yang tersisihkan. Bowen mengatakan bahwa
kekuatan emosional dalam sebuah segitiga selalu bergerak, bagaimana segitiga
akan berusaha untuk meredakan ketegangan antara dua individu dan menjadikan
salah satu diantaranya sebagai orang yang terbuang. Bowen yakin bahwa pola yang
paling umum adalah hubungan segitiga antara ayah-ibu-anak, dimana ketegangan
biasa terjadi antara kedua orang tua, namun sang ayah dapat menjadi seorang yang
tersisihkan.

3. Nuclear family emotional system

Konsep utama dari nuclear family emotional system adalah penjelasan


mengenai empat dasar pola hubungan yang menurut Bowen adalah sumber dimana
masalah berkembang dalam sebuah keluarga. Perilaku setiap anggota keluarga dan
kepercayaannya memainkan peran dalam berkembangnya masalah, namun yang
menjadi faktor utama adalah peran emosional anggota keluarga. Masalah klinis atau
simtom dapat berkembang apabila tegangan antar anggota keluarga terus berlanjut.

9
Tingkat tegangan yang dirasakan akan tergantung dengan bagaimana sebuah
keluarga beradaptasi pada stres yang ditimbulkan.

4. Family projection process

Proses utama dimana orang tua menurunkan kekuatan, kelemahan, dan


permasalahan emosional kepada anaknya yang terdiri dari tiga tahap. Tahap
pertama terjadi ketika orang tua fokus kepada anaknya dan takut akan terjadi
sesuatu yang salah atau tidak diinginkan. Tahap kedua terjadi ketika orang tua
menginterpretasi perilaku anaknya sebagai perilaku yang salah atau tidak
diinginkan. Tahap ketika terjadi ketika orang tua menangani anaknya dengan
pikiran bahwa ada sesuatu yang salah di dalam diri anak tersebut. Menurut Bowen,
hal ini berhubungan dengan insting keibuan yang dapat memicu kecemasan orang
tua akan anaknya.

5. Emotional cut-off

Emotional cut-off terjadi ketika ada anggota keluarga yang tidak dapat
menyelesaikan permasalahan emosional dengan anggota keluarga lainnya lalu
memutuskan kontak emosional dengan pergi jauh atau jarang pulang ke rumah.
Bowen memandang hal tersebut bukan sebagai tanda kemandirian, melainkan
permasalahan dengan diri sendiri individu tersebut.

6. Multi-generational transmission process

Hal ini merupakan dampak dari family projection process yang berlanjut dari
generasi ke generasi lainnya yang muncul dari pengajaran secara sadar dan
pembentukan kepribadian secara tidak sadar dari orang tua pada masa
perkembangan anak. Anak akan mempelajari pola emosional dari kebiasan dan
idealisme keluarga yang dapat menjadi pendukung atau penghambat bagi anak.

7. Sibling position

Mengutip dari Toman, Bowen menyatakan bahwa anak paling tua akan
cenderung menjadi pemimpin dan anak yang lebih muda akan menjadi pengikut
yang dapat mempengaruhi pemilihan pasangan bagi anak dan perceraian.

10
8. Societal regression (societal emotional process)

Merupakan penerapan dari teori Bowen untuk organisasi sosial secara umum.
Apabila masyarakat merasakan stres yang parah, maka masyarakat akan merasakan
penurunan tingkat fungsi seperti halnya pada hubungan keluarga.

Karakteristik Teori Sistem Keluarga


Menurut teori sistem, keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagian-
bagian yang berhubungan dan saling berkaitan. Berikut ini karakteristik keluarga sebagai
sebuah sistem menurut Randal D. Day (dalam Lestari, 2016) :

1. Keseluruhan (the family as a whole)


Dalam memahami sebuah keluarga, tidak dapat dilakukan tanpa memahaminya
sebagai sebuah keseluruhan. Dalam teori ini, fokus utama pendekatan keluarga
sebagai sistem yaitu bagaimana kehidupan keluarga sebagai satu kesatuan.
Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan psikologi yang melihat individu terdahulu
kemudian baru melihat bagaimana peran individu dalam sebuah keluarga. Individu
dijadikan fokus setelah memahami bagaimana kehidupan keluarga.

2. Struktur (underlying structures)


Suatu kehidupan keluarga berlangsung berdasarkan suatu struktur, seperti pola
interaksi antar anggota keluarga untuk menentukan apa yang terjadi di dalam
keluarga. Freud mengungkapkan hal yang menjadi dasar pikiran manusia, seorang
peneliti atau terapis keluarga pasti berusaha untuk memahami pola di dalam keluarga
melalui pengamatannya misalnya bagaimana keluarga memecahkan masalah,
komunikasi antar anggota keluarga, dan bagaimana sebuah keluarga membagi sumber
dayanya.

3. Tujuan (families have goals)


Setiap keluarga memiliki tujuan yang ingin dicapai, sebelum mengungkapkan
tujuan keluarga seorang peneliti atau terapis harus memiliki keterampilan observasi
yang memadai untuk dapat melihat pola-pola yang berulang di dalam sebuah
keluarga. Setiap keluarga pasti memiliki tujuan yang berbeda dan bervariasi.

11
Efektivitas pencapaian tujuan keluarga akan bergantung pada bagaimana setiap
anggota keluarga dapat mengupayakan untuk mencapai tujuan tersebut.

4. Keseimbangan (equilibrium)
Keluarga termasuk dalam sebuah sistem yang terbuka dan bersifat dinamis.
Sebuah keluarga akan menghadapi situasi yang membuat dirinya berkembang untuk
meraih tujuannya. Sebuah keluarga akan selalu beradaptasi dan menyesuaikan dengan
perubahan yang terjadi dan menanggapi kondisi yang dihadapinya. Keluarga yang
dinamis harus berusaha menjaga kehidupannya dan mencapai tujuannya..

5. Kelembaman (morphostatis)
Selain berusaha mencapai keseimbangan kehidupan, keluarga juga harus
mempertahankan aturan dan menjaga kelangsungan kehidupan sehari-hari dengan
baik. Misalnya sebuah keluarga dapat membuat rutinitas dan aturan dalam
keluarganya contohnya dalam tugas rumah tangga terdapat rutinitas memasak,
membersihkan rumah, mencuci piring, dan lain sebagainya.

6. Batas-batas (boundaries)
Setiap keluarga sebagai sebuah sistem memiliki batasan yang menjadikannya
berbeda dengan sistem lainnya. Terdapat beberapa sistem yang memiliki batas yang
kaku sehingga tidak dapat ditembus, dan ada batas yang mudah ditembus atau
permeable. Aturan dalam keluarga merupakan batasan dalam keluarga, seperti apa
saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota keluarga. Batasan yang
mudah ditembus artinya keluarga tersebut memiliki batasan yang tidak rapat.

7. Subsistem
Di dalam sistem keluarga terdapat unit-unit subsistem, seperti subsistem
pasangan suami istri, subsistem hubungan orang tua-anak, dan subsistem peran anak.
Subsistem keluarga memiliki tugas utama yaitu menjaga batasan keluarga. Konsep
ini menekankan bahwa dalam keluarga terjadi interaksi yang membentuk subsistem
keluarga.

12
8. Equifinality dan equipotentiality
Equifinality berarti berbagai permulaan dapat memberikan hasil akhir yang
sama dan dapat juga memberikan hasil akhir yang berbeda. Contohnya yaitu adanya
interaksi orang tua-anak dapat menunjukkan bahwa orang tua yang terlalu terlibat
(overinvolvement) dapat memberikan hasil yang berbeda terhadap hubungan orang
tua-anak. Kemudian, equipotentiality memiliki arti bahwa suatu sebab dapat
menghasilkan sebuah hasil akhir yang terkait dengan proses sejalan dengan sebab
tersebut.

Kelebihan dan Kekurangan Teori Sistem Keluarga

Kelebihan Teori Sistem Keluarga :


a. Pendekatan teori sistem berfokus pada riwayat keluarga multigenerasi dan
pentingnya memahami serta menghadapi pola-pola di masa lalu, agar dapat
menghindari pengulangan tingkah laku tertentu dalam hubungan antar pribadi.
b. Pendekatan teori sistem menggunakan genogram (diagram keluarga) dan memplot
hubungan riwayat yang merupakan spesifikasi pendekatan Bowen.

Kekurangan Teori Sistem Keluarga :

a. Pendekatan teori sistem sangat kompleks dan ekstensif, teorinya tidak dapat
dipisahkan dari terapi. Pendekatan ini mempunyai keterlibatan daripada kebanyakan
pendekatan lainnya.
b. Klien yang dapat mengambil keuntungan paling banyak dari teori Bowen adalah
mempunyai disfungsi berat atau pembedaan diri yang rendah.
c. Pendekatan ini membutuhkan investasi yang besar dalam berbagai tingkatan yang
mungkin saja sebagai klien tidak mau atau tidak bisa melakukannya.

13
D. Teori Feminisme
Gerakan feminisme merupakan gerakan konflik sosial yang didasari oleh para pelopor
feminisme dengan tujuan mendobrak nilai-nilai lama (patriarki) yang selalu dilindungi oleh
kokohnya tradisi struktural fungsional. Pada akhir abad ke-19, kaum feminis berkonsentrasi
atas persamaan hak. Ketika gerakan sosial dan para pendukungnya mengalihkan fokus
sepanjang pada abad ke-20, perhatian beralih ke berbagai bidang seperti psikologi wanita,
budaya feminitas, dasar untuk pengasuhan wanita, dan keibuan. Gerakan feminism modern di
Barat dimulai pada Tahun 1960-an yaitu pada saat timbulnya kesadaran perempuan secara
kolektif sebagai golongan yang tertindas. Menurut Skolnick dalam (Puspitawati, 2013a) : Some
feminists denounced the family as a trap that turned women into slaves (beberapa feminis
menuduh keluarga sebagai perangkap yang membuat para perempuan menjadi budak-
budak). Gerakan feminisme yang berdasarkan model konflik berkembang menjadi gerakan-
gerakan feminisme liberal, radikal, dan sosialis, dllnya.
Mengacu pada pandangan Tong dalam Feminist Thought (2010: 1), terdapat setidaknya
delapan pemikiran feminisme yang beragam, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal,
feminisme marxist dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialis,
feminisme postmodernis, feminisme multikultural dan global, dan ekofeminisme. Disini kami
mencoba menjelaskan beberapa pengertian feminisme dari pandangan Tong yaitu:
1. Pemikiran feminis multikultural berhubungan dengan pemikiran multikultur, yaitu
suatu ideologi yang mendukung keberagaman. Secara umum, multikultural
didefinisikan sebagai gerakan sosial intelektual yang mempromosikan nilai-nilai
keberagaman sebagai suatu prinsip paling dasar, multikulturalisme menuntut bahwa
semua kelompok kebudayaan harus diperlakukan dengan penuh penghargaan dan
sebagai orang yang setara (Tong, 2010: 310, 312). Feminisme multikultural
mempermasalahkan ide, bahwa ketertindasan perempuan itu “satu definisi”, artinya
hanya dilihat bahwa ketertindasan terhadap perempuan terjadi dalam masyarakat
patriarkat. Padahal, menurut feminisme multikutural ketertindasan perempuan
berkaitan dengan ras, kelas, preferensi seksual, umur, agama, pendidikan,
kesempatan kerja, dan sebagainya. Perbedaan ras, kelas, umur, agama, dan
kesempatan kerja di antara perempuan dapat menjadi pemicu utama timbulnya
konflik yang berkepanjangan (Arivia, 2005: 14). Sejalan dengan hal tersebut, Tong
(2010: 309) menjelaskan bahwa feminisme multikultural didasarkan pada
pandangan bahwa semua perempuan tidak dikonstruksi secara setara. Bergantung

14
kepada ras dan kelas, dan juga kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya.

2. Feminisme liberal mengusung adanya persamaan hak agar perempuan diterima


melalui cara yang sah dengan laki-laki. Hak-hak perempuan akan dapat terealisasi
jika merek disejajarkan dengan laki laki. Aliran ini menyatakan bahwa, kebebasan
dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia pribadi dan
umum. Tujuan umum dari feminisme liberal adalah, untuk menciptakan “masyarakat
yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya dalam masyarakat
seperti itu, perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.Feminisme
liberal berpandangan bahwa kaum perempuan harus mempersiapkan dirinya untuk
dapat mensejajarkan kedudukannya dengan laki-laki dengan cara mengambil
berbagai kesempatan yang menguntungkan serta mengenyam pendidikan,
mengingat bahwa perempuan adalah makhluk yang rasional dan bisa berpikir seperti
laki-laki.

3. Feminisme Sosialis diwarnai oleh pemikiran-pemikiran Karl Marx, di mana pola


relasi gender dalam keluarga disebabkan oleh faktor budaya. Posisi inferior
perempuan dalam institusi keluarga berkaitan dengan struktur keluarga dalam
masyarakat kapitalis dan pola relasi yang timpang yang disebabkan oleh penerapan
sistem kapitalis yang mendukung tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan dalam
lingkup rumah tangga. Akhirnya yang terjadi, isteri secara ekonomi tergantung pada
suami dan mencemaskan keamanan ekonomi rumah tangganya karena dukungan
kekuasaan kepada suami. Oleh karena itu agar pola relasi laki-laki dan perempuan
seimbang diperlukan peninjauan struktur secara mendalam, terutama menghapuskan
dikotomi pekerjaan sektor domestik dan publik.

4. Feminis radikal adalah gerakan perempuan Amerika Serikat, yang didominasi oleh
kelas menengah terdidik. Meskipun awalnya feminis radikal banyak dipengaruhi
oleh mazhab sebelumnya, yakni feminis liberal dan sosialis, sehingga melahirkan 2
kelompok arus besar yaitu feminis radikal yang berhaluan liberal dan yang berhaluan
sosialis-Marxian. Apa yang menarik dari aliran ini adalah, perempuan memiliki
sendiri pengalaman ketertindasannya dan mengeksplorasi keperempuanan hingga

15
batas-batas ekstrimnya, dan aliran ini menolak institusi keluarga baik secara teoritis
maupun praktis. Institusi keluarga bagi aliran ini hanya akan memenjarakan kaum
perempuan.
Berdasarkan filsafat, feminism sangat tidak setuju dengan budaya patriarki. Budaya
patriarki yang berawal dari keluarga yang menjadi penyebab adanya ketimpangan gender di
tingkat keluarga yang kemudian mengakibatkan ketimpangan gender di tingkat masyarakat.
Laki-laki yang sangat diberi hak istimewa oleh budaya patriarki menjadi sentral dari
kekuasaan di tingkat keluarga. Hal inilah yang menjadikan ketidaksetaraan dan ketidakadilan
bagi kaum perempuan dalam kepemilikan properti, dan kontrol terhadap sumberdaya dan
akhirnya kurang memberikan manfaat secara utuh bagi eksistensi perempuan. Para feminis
menganggap bahwa kesetaraan gender tidak akan pernah tercapai kalau sistem patriarki
masih terus berlaku. Jadi teori feminisme adalah gerakan sosial yang dilakukan
oleh para feminis untuk kesetaraan atau keadilan peran gender yang berawal patriarki
menjadi egaliter / kesetaraan (KBBI). Secara etimologi atau menurut bahasa, kata egaliter
berasal dari bahasa Perancis : Egal, egalite atau egalitaire, yang berarti sama, tidak ada
perbedaan. Jadi pengertian dari egaliter adalah persamaan derajat pada setiap manusia.
Setiap manusia mempunyai derajat yang sama di hadapan Tuhan tanpa membedakan
kedudukan, kekayaan, keturunan, suku, ras, golongan, dan sebagainya, melainkan karena
sikap masing-masing individu. Untuk itu para feminis melakukan gerakan sosial yang
bertujuan untuk menuntut egaliter dalam peran gender yang disebut dengan feminisme.

Paham feminism telah melewati banyak perubahan dan terbagi dalam 3 gelombang,
yaitu:

1. Gelombang pertama (1792-1960), paham feminis sebelumnya lebih berfokus pada


kesenjangan politik di mana pada saat itu perempuan dianggap tidak memiliki hak
untuk memilih. Hal itu mendorong hadirnya feminisme untuk memperjuangkan hak
pilih wanita dan kesetaraan antara wanita dan laki-laki dalam tiap dimensi
kehidupan, terutama pada sosial-politik.
2. Gelombang kedua (1960-1980), sebagai gerakan pembebasan perempuan (women's
liberation) sebagai bentuk reaksi perempuan atas diskriminasi dalam berbagai
bidang yang sebelumnya sudah diperjuangkan di gelombang pertama. Namun, pada
gelombang pertama, gerakan tersebut belum terwujudkan secara maksimal

16
3. Gelombang ketiga (1980-sekarang), yang banyak dipengaruhi oleh
postmodernisme. Gelombang ketiga dibagi menjadi 4 aliran, yaitu: postmodern,
multicultural, global, dan ekofeminisme. Pada gelombang ketiga ini, sudah banyak
munculnya studi-studi mengenai feminisme, salah satunya adalah hubungan dengan
studi keluarga.

Studi keluarga mengenai teori feminisme banyak dipengaruhi oleh konstruksi sosial
mengenai gender yang mana merupakan pusat perhatian dari sebagian banyak area keluarga.
Berbeda dengan konsep seks yang merupakan perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita
secara alamiah, gender sendiri merupakan perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab yang
didasarkan oleh budaya antara laki-laki dan perempuan. Ideologi gender menempatkan laki-
laki sebagai kepala keluarga dan sebagai ordinat dari sebuah keluarga. Hal ini memunculkan
ketidakadilan kepada kaum perempuan seperti pewajaran pada diskriminasi, ketidakadilan,
kekerasan, dan sebagainya yang seolah sudah diwajarkan karena adanya penyalahgunaan pada
ideologi ini yang umumnya dilalukan oleh kaum patriaki.

Feminis sendiri berargumen bahwa patriaki muncul akibat adanya perbedaan peran yang
didasarkan oleh perbedaan seks, yang mana menempatkan wanita sebagai peran yang selalu
mengerjakan pekerjaan domestik. Menindaklanjuti hal itu, muncullah terkait pembagian kerja
rumah tangga antara laki-laki dan perempuan. Hochschild dan Machung, dalam penelitiannya,
telah menemukan bahwa, pada perkiraannya, istri menghabiskan waktu dua kali lipat
dibandingkan waktu suami dalam mengurus pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Maka
dari itu pembagian pekerjaan rumah tangga menjadi prediktor penting dalam kepuasan
berumah tangga dan kualitas dari pernikahan. Peneliti mengungkapkan, dalam rumah tangga
dengan pembagian yang tidak adil, kualitas dari pernikahan cenderung rendah. Pyke dan
Coltrane menemukan bahwa suami egaliter cenderung untuk membagi pekerjaan rumah
tangga, namun ada keraguan bahwa pembagian pekerjaan rumah tangga merupakan ideologi
egaliter.

Feminis menunjukkan bahwa kesetaraan dalam pekerjaan dan pendidikan dapat


dikendalikan oleh lingkungan pribadi rumah tangga, sebagai contoh perempuan yang bekerja
harus berhenti dari pekerjaan karena perlu membagi waktu atau fokus dalam pekerjaan rumah
tangga. Namun, Thompson berargumen bahwa itu hanyalah masalah ideologi saja. Wanita
yang tidak terlalu mengharapkan lebih kesetaraan dalam pekerjaan rumah tangga cenderung
menganggap ketidakadilan itu sebagai sesuatu yang adil (Klein & White, 2014).

17
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan jenis kelamin
disebabkan oleh adanya konstruksi gender di masyarakat yang dibentuk secara struktural. Post-
strukturalisme mengkritisi teori strukturalisme yang ada dengan menyatakan bahwa makna
ditetapkan bukan berdasarkan sistem, melainkan peristiwa. Kaum post-strukturalis melakukan
kritik terhadap hal-hal yang sifatnya sudah ada dan diterima oleh masyarakat dunia secara luas
begitu saja, seperti pandangan tradisional atau budaya lama karena adanya konstruksi sosial.
Pandangan ini kemudian akan didobrak dan memunculkan sudut pandang baru. Pembagian
peran berdasarkan jenis kelamin sebelumnya merupakan bentuk strukturalisme. Adanya
gerakkan feminis serta perubahan pola piker masyarakat membantu mendobrak pandangan
yang mengatakan bahwa wanita merupakan seseorang yang lemah lembut, emosional, damai,
dan selalu ditempatkan di bawah laki-laki. Post-strukturalisme membuktikan bahwa wanita
juga bisa menjadi tangguh dan menjalani profesi seperti laki-laki. Walaupun tujuan post-
strukturalisme untuk menentang strukturalisme, post-strukturalisme selalu membawa struktrur
di dalam teorinya. Seperti walau perempuan bisa melakukan profesi seperti laki-laki, tidak akan
merubah hakikat dari perempuan itu sendiri.

18
Analisis Kasus Teori Sistem Keluarga Lanjutan
Kasus:

Analisis yang kami ambil yaitu penelitian mengenai intervensi single case study dengan
Bowen Family Therapy terhadap keluarga yang mengalami Skizofrenia. Dalam keluarga yang
memiliki anggota keluarga ODS (Orang dengan Skizofrenia) pasti pemulihannya tidaklah
mudah. Dibutuhkan keluarga yang mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Fadil
dan Mitra (2013) menunjukkan bahwa salah satu faktor pencetus kekambuhan adalah keluarga
yang tidak tau tentang cara menangani perilaku ODS di rumah. Oleh karena itu, dibutuhkan
peran setiap anggota keluarga untuk membangun relasi yang sehat agar keadaan ODS
stabil, terutama ketika ODS masih tergolong remaja (17 tahun). Peneliti mengambil kasus
ini sebab peneliti ingin melihat gambaran dinamika relasi keluarga pada ODS remaja
berdasarkan teori Bowen.

Analisis Kasus:
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kumala dan Irwanto (2021) peneliti menemukan
bahwa kedua orang tua dalam keluarga tersebut memiliki diferensiasi diri yang buruk (tidak
bisa memisahkan diri dari kelekatan emosi dengan keluarga asalnya) yang mengakibatkan
adanya konflik dalam pernikahan, sang istri menjadi pasif lalu tidak mampu menjalankan peran
dengan baik, kemudian adanya gangguan emosi bahkan gangguan kejiwaan pada salah satu
anak di dalam keluarganya yaitu anak terakhirnya yang dikatakan selalu menjadi masalah
keluarga (anak terakhirnya telah menjadi korban dari kekurangan kemampuan kedua orang
tuanya dalam melakukan diferensiasi dari keluarga asal). Dalam teori Bowen anak perempuan
pertama mereka dipengaruhi oleh sibling position (lebih disayang karena telah dianggap
sebagai anak yang baik dan berhasil dibandingkan anak terakhir mereka). Sang ibu yang
memiliki diferensiasi buruk lantas dipenuhi dengan kecemasan dalam membesarkan anak-
anaknya (Ibu mereka lebih sayang terhadap anak pertama dibandingkan anak terakhirnya
sehingga anak terakhirnya tidak suka terhadap keberadaan ibunya (adanya emotional cut-off)).
Persepsi sang ibu yang salah dan secara konsisten menganggap anak terakhirnya adalah anak
bermasalah disebut sebagai multigenerational transmission process.

19
Kesimpulannya yaitu teori Bowen dapat menggambarkan sebuah keluarga yang
memiliki diferensiasi rendah melalui 8 konsep yang dicetuskannya. Lalu, meskipun penelitian
ini mempunyai keterbatasan karena merupakan suatu single-case study, tetapi model terapi
Bowen memberikan perspektif yang utuh mengenai pihak-pihak yang terkait dalam
proximal system keluarga (closely-knit family system), dalam menjelaskan etiologi dan
sekaligus prognosis bagi anggota keluarga yang mengalami Skizofrenia.

20
Analisis Kasus Teori Feminisme
Kasus:
Keluarga, seharusnya menjadi tempat paling aman, damai dan tentram bagi
seluruh anggotanya. Namun faktanya, masih banyak terjadi ketidakadilan dalam peran
dan pembagian kerja gender dalam keluarga (suami dan istri) yang mengakibatkan beban ganda
(double burden ) bagi istri (wanita). Berbagai persoalan yang terjadi dalam keluarga lebih
disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat
yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentang subjek-objek,
dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang tidak
seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu,
anak perempuan). Masyarakat seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-
hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada
kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan berpendidikan), relasi yang dibangun
antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik, tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada
sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi yang seimbang antara perempuan dan
laki-laki masih jauh dari harapan (Widaningsih, 2014: 2).
Permasalahan mengenai karir dalam keluarga karir merupakan sesuatu yang baru
sehingga isu ini berkaitan dengan karakteristik personal dan karakteristik relationship
pasangan. Problem yang sering muncul dalam keluarga karir ganda adalah adanya ideologi
gender dalam masyarakat, terutama yang berkaitan dengan stereotipe kerja (gender
stereotype of work) dan pembagian kerja gender (gender distribution of labor) (Nohong,
2009: 27). Berkaitan dengan stereotipe kerja dan pembagian kerja gender (suami istri) dalam
keluarga, Gronseth (Supriyantini, 2002: 2) dalam penelitiannya terhadap 16 pasang suami istri
yang bekerja mengungkapkan bahwa ayah dan ibu yang sama- sama mengambil bagian dalam
mengasuh anak, kaum ayah merasa lebih baik dan terbuka dengan anak-anaknya sehingga
anak-anak tumbuh dengan kemampuan diri yang lebih tinggi serta keyakinan diri lebih besar,
cenderung lebih matang dan dapat bergaul serta mampu menghadapi berbagai masalah.
Perkembangan kemampuan berbahasa pada anak-anak ini juga menjadi lebih tinggi.

Analisis Kasus:
Studi ini didukung pula oleh Sarwono (dalam Supriyantini, 2002: 2)
menjelaskan bahwa ketiadaan tokoh ayah di mata anak lebih dahsyat dampak buruknya.

21
Anak yang setiap hari melihat ayahnya menyediakan waktu di rumah, bercengkrama,
bercanda ria dan berkomunikasi dengan ibunya akan langsung mengidentifikasi sikap
dan tingkah laku sang ayah. Berbeda dengan ayah yang tidak dapat memerankan fungsinya
sebagai “tokoh ayah” maka akan membias pada masalah psikis perkembangan anak. Anak
akan menjadi mudah terjerumus dalam banyak konflik disertai gangguan emosional.
Keterlibatan suami dalam kegiatan rumah tangga juga dapat meningkatkan rasa
kebersamaan, terutama pada keluarga yang memiliki karir ganda. Kehidupan keluarga karir
ganda ini menimbulkan suatu pola hidup yang lebih kompleks dan membutuhkan
keseimbangan, penyesuaian dan pengertian dari seluruh anggota keluarga agar tercapai
suatu kehidupan keluarga yang harmonis. Seperti yang diungkapkan oleh Sobur dan
Septiawan (dalam Supriyantini (2002: 2) bahwa jika suami ikut terlibat dalam kegiatan rumah
tangga, minimal istri akan merasa terbantu karena perhatian suami. Apalagi jika istri adalah
seorang pekerja, ada nilai kemandirian yang harus diterima oleh suami dalam kehidupan
rumah tangga tersebut.

22
BAB III
PENUTUP

Simpulan
Kontribusi psikologi terhadap tercapainya keluarga yang harmonis dibentuk dalam
ilmu-ilmu teoritis seperti teori perkembangan keluarga sepanjang hayat, teori fungsional,
teori sistem keluarga, teori feminis dan teori post-strukturalisme. Teori perkembangan
keluarga merupakan proses perubahan dalam keluarga dengan unsur “waktu” sebagai
sumber daya yang sangat signifikan dalam perspektif perkembangan keluarga dan
memiliki tahapan yang berbeda. Selanjutnya, berbeda dengan teori lainnya, teori
fungsionalisme lebih menekankan aspek objektif dan struktural hubungan dan dinamika
keluarga. Juga dalam keluarga terdapat sistem yang dijelaskan melalui teori sistem
keluarga yang dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian yang
berhubungan dan saling berkaitan. Selanjutnya adalah teori feminis di mana pandangan
feminis juga ikut andil dalam permasalahan keluarga, seperti masalah yang paling jelas
adalah pembagian tugas rumah antara laki-laki dan perempuan. Teori feminis juga
memiliki banyak aliran, salah satunya adalah post-strukturalisme. Teori Post-
strukturalisme melakukan kritik terhadap hal-hal yang sifatnya sudah ada dan yang
diterima oleh masyarakat dunia secara luas begitu saja.

Saran

Kami penulis menyadari bahwa makalah dengan judul Teori-Teori Lanjutan Keluarga
ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak yang perlu ditingkatkan kembali, baik
dari penulis maupun sumber makalah yang digunakan. Meskipun begitu, kami berharap
para pembaca dapat memahami dengan baik isi dan maksud tujuan dari makalah yang telah
kami susun ini. Kami juga berharap agar pembaca bisa membaca juga referensi dari
sumber lain terkait pembahasan teori-teori lanjutan keluarga ini yang meliputi teori
perkembangan keluarga sepanjang hayat, teori fungsional, teori sistem keluarga dan teori
feminisme - post strukturalisme untuk dapat lebih memahaminya lagi. Kami berterima
kasih apabila adanya kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
mengembangkan susunan makalah kedepannya.

23
DAFTAR PUSTAKA :

Aisyah, N. (2014). Relasi gender dalam institusi keluarga. Muwazah, 5(2), 32–54.

Bendar, A. (2019). Feminisme dan gerakan sosial. Al-wardah: Jurnal Kajian Perempuan,
Gender dan Agama, XIII(1), 24-35. DOI: http://dx.doi.org/10.46339/al-
wardah.v13i1.156

Bowen, M. (1978). Family Therapy in Clinical Practice . Jason Aronson, Inc.

Brown, J. (1999). Bowen family systems: Theory and practice: Illustration and critique.
Australian and New Zealand Journal of Family Therapy, 20 (2), 94–103.
https://www.thefsi.com.au/wp-content/uploads/2014/01/Bowen-Family-Systems-
Theory-and-Practice_Illustration-and-Critique.pdf

Couples, and Family Therapy . John Wiley & Sons, Inc.

Fadli, S.M., Mitra, M. (2013). Pengetahuan dan ekspresi emosi keluarga serta frekuensi
kekambuhan penderita Skizofrenia. Kesma. National Public Health Journal, 7(10) 466-
470. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v7i10.6
Kholida, P., & Halawa, M. V. (2021). Kajian Post-Strukturalisme terhadap Visual Karakter
Captain Marvel Menggunakan Analisis Gender. Journal of Science, Technology, and
Visual Culture, 1(1), 55-58. https://journal.itera.ac.id/index.php/jstvc/article/view/560
Khuseini, A. A. (2017). Institusi Keluarga dalam Perspektif Feminsime: Sebuah Telaah Kritis.
Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam, 12(2) 297-318.
http://dx.doi.org/10.21111/tsaqafah.v13i2.1510

Klein, D. M., & White, J. M. (1996). Family theories: An introduction (4th ed.). Thousand
Oaks: Sage Publications.

Kumala, H., & Irwanto, I. (2021). Dinamika relasi keluarga ODS (Orang dengan Skizofrenia)
usia remaja berdasarkan teori Bowen. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP),
7(1), 64. https://doi.org/10.22146/gamajop.61411

Lestari, Sri. (2016). Psikologi keluarga. Prenada Media Group.

24
Mustika. (2016). Scappa per amore. Jurnal Poetika, IV(1), 33-41. DOI:
https://doi.org/10.22146/poetika.v4i1.13313
Rkt, E. Y. S. (2019, October 4). Tahapan Proses Keperawatan Keluarga.
https://doi.org/10.31227/osf.io/4bkx3

Smith-Acuna, S. (2011). Systems Theory in Action: Applications to Individual,

Syahas, A. (2019). Teori-teori keluarga. Θησαυρίσματα, 13(December 1966), 258–283.

LEMBAR KONTRIBUSI

1. Mutya Kristy Sulba - 15000120130206


- Mencari materi Teori Sistem Keluarga
- Membuat makalah bagian cover dan daftar isi

2. Aulia Eryan Saputri - 15000120130227


- Mencari materi teori perkembangan keluarga sepanjang hayat
- Membuat makalah bagian pendahuluan (latar belakang)

3. Adinda Mutiarani Khairunnisa - 15000120130277


- Mencari materi teori perkembangan keluarga sepanjang hayat
- Membuat makalah bagian pendahuluan (rumusan masalah dan tujuan)

4. Windy Arnita Dhewi - 15000120140245


- Mencari teori fungsional keluarga
- Membuat PPT

5. Tasya Hapsari Widyastuti - 15000120140271


- Mencari materi feminis dan analisa kasus
- Membuat makalah bagian penutup (saran)

6. Ulfah Nur Azizah - 15000120130194


- Mencari materi teori sistem keluarga dan analisa kasus
- Membuat makalah bagian pendahuluan (latar belakang)

7. Kristina Billa Ravita - 15000120130180


- Mencari materi teori feminis dan post-strukturalisme
- Membuat makalah bagian penutup (Simpulan)

25

Anda mungkin juga menyukai